Pak Joko dan bu Joko adalah pasangan suami istri. Seperti pasangan pada umumnya, Pak Joko sangat mendambakan kehadiran buah hati. Usia pernikahan yang memasuki tahun ketiga, namun bu Joko belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Meski begitu, Pak Joko tidak pernah menunjukkan kekecewaannya di depan bu Joko. Tahun keempat adalah tahun yang menggembirakan, bu Joko sedang mengandung anak pertamanya. Perutnya membuncit karena usia kandungannya sudah memasuki 8 bulan. Pak Joko sangat menyayangi istrinya.
Namun suatu hari, istrinya tampak murung, Pak Joko membelai rambut istrinya, "Ada apa bu?" Pak Joko sudah membiasakan memanggil istrinya denagn panggilan bu, sedangkan bu Joko memanggil Pak Joko dengan sebutan pak. Untuk membiasakan anaknya jika lahir nanti. Pak Joko dan bu Joko sepakat menggunakan panggilan bapak dan ibu. Karena menurut Pak Joko, panggilan mama dan papa kurang tepat bagi mereka yang hanya hidup pas-pasan dan tinggal di desa. Pak Joko bekerja menjadi orang kepercayaan Pak Muhit, seorang kontraktor besar di desanya. Rumahnya besar namun sangat sederhana. Ada kandang sapi di belakang rumahnya.
Bu Joko menghela nafas, lalu menatap suaminya. "Aku merasa, tadi malam hingga sekarang, .... " bu Joko tidak meneruskan kalimatnya. Bu Joko membelai perutnya sendiri, "Mengapa tidak menendang seperti biasanya?"
Pak Joko terkejut namun berusaha menyembunyikannya. Pak Joko sangat khawatir mendengar perkataan istrinya. Namun berusaha untuk tidak membuat istrinya kuatir karena istrinya pasti sangat khawatir melebihi dirinya sendiri.
"Bu, nanti kita periksa ke dr kandungan di kota ya, ibu siap-siap ya. Aku akan ijin ke Pak Muhit dulu."
Bu Joko tersenyum namun tampak dipaksakan, sambil kembali mengelus perutnya sendiri. lalu berkata dalam hati seolah sedang berkomunikasi dengan janin dalam.kandungannya. "sehat ya nak, ibu dan bapak sangat menantikanmu."
Sesampai di RS poli kandungan, tibalah nama bu Joko dipanggil.
"Nyonya Rini!" perawat memegang map sambil memanggil nama bu Joko. Pak Joko pun menggandeng istri tercintanya memasuki
ruang periksa. Ini pertama kalinya Bu Joko diperiksa dokter kandungan, selama ini bu Joko hanya periksa di bidan desa.
Bu Joko hanya menurut ketika, dokter mulai menempelkan alat usg dan mengamati layar monitor di sampingnya. Bu Joko juga menatap Layar tersebut, tampaklah janin meski samar. Bu Joko tersenyum bahagia.
Namun raut dokter tampak serius, lalu berkata, "Ibu, janinnya laki-laki ya, ini kelaminnya." Tampak tanda panah di monitor namun tidak jelas.
"Sabar ya bu, Pak, bapak dan ibu masih muda." bu Joko dan pak Joko tidak paham, namun dokter berdiri dan pindah duduk ke ruangan samping. Setelah perawat membersihkan gel di perut bu Joko, perawat mempersilahkan pak Joko dan bu Joko mengikutinya.
"Silahkan duduk, janin ibu berusia 8 bulan dan sudah meninggal di dalam kandungan, hal ini mungkin diakibatkan karena tensi ibu yang terlalu tinggi. tensi 140/100 sangat membahayakan bagi ibu hamil. Saya akan memberi obat untuk membantu persalinan secara normal."
Bu Joko langsung menangis tersedu-sedu. Pak Joko berusaha keras menahan air matanya namun tidak sanggup lagi. Pak Joko merengkuh bahu istrinya untuk menenangkannya.
****
Setahun setelah kematian putra pertamanya tersebut, bu Joko hamil kembali, namun mengalami keguguran di usia kandungan kurang dari 4 bulan.
Setelah mengalami keguguran, bu Joko sudah pasrah, apalagi bu Joko divonis memiliki kista jinak di kandungannya dan dinyatakan akan susah memiliki keturunan. Dokter menyarankan agar bu Joko mengangkat kandungannya namun bu Joko menolak dan masih memiliki harapan yang sangat besar untuk bisa memiliki keturunan. Adanya kista tersebut, membuat bu Joko mengalami haid yang tidak teratur.
***
Tahun demi tahun berlalu, Pak Joko dan bu Joko sudah tidak pernah membahas soal keinginan memiliki keturunan lagi. Mereka tetap harmonis meski tidak memiliki putra.
Suatu hari, Pak Joko menyadari bahwa istrinya semakin berisi. Bu Joko yang sedang memasak mengetahui bahwa suaminya terus memperhatikannya.
"Mengapa bapak memperhatikan seperti itu?"meski bu Joko belum dikaruniai putra namun memanggil ibu dan bapak sudah terlanjur dibiasakan sejak kehamilan pertamanya.
"Bu, apakah ibu hamil? perut ibu gendut" tanya Pak Joko hati-hati.
"Bapak ini ada-ada saja, usiaku ini sudah 38 tahun. Apa mungkin aku masih bisa hamil?"
wajah Bu Joko tampak murung. Namun mulai menyadari bahwa ia sudah tidak haid beberapa bulan, dan mulai berpikir apakah mungkin ia hamil.
"Ibu harus periksa ya, mari bapak antar iku ke bidan." Pak Joko langsung mematikan kompor yang diatasnya sudah ada sepanci air yang sudah mendidih. lalu menggandeng istrinya untuk mengajaknya periksa. Bu Joko hanya bisa menurut saja.
Di bidan yang jaraknya hanya 50 meter dari rumah Pak Joko, tampak bu bidan senior yang usianya sudah 50 an itu memeriksa dengan seksama.
"Bu Joko, janinnya sehat. Usianya sekitar 4 bulan." Bu Joko dan Pak Joko sangat bahagia.
Lima bulan kemudian, tepatnya di tanggal jawa 1 Syuro lahirlah seorang bayi mungil cantik yang diberi nama Bidadari Jini.
Proses kelahirannya sangat mudah dan lancar. Ketika bu Joko mengeluh merasakan kontraksi, Pak Joko langsung berangkat menjemput bu bidan namun saat sampai di rumah dengan bu bidan, Bu Joko sudah menggendong bayi mungil lengkap dengan ari-ari yang masih menempel.
Setelah merawat Bu Joko dan bayinya, bu bidan pun permisi. Pak Joko memandang istrinya yang tampak sangat bahagia mendekap bayi mungilnya yang secantik bidadari. Tiba-tiba Pak Joko teringat tentang proses kelahiran putrinya.
"Bu, bagaimana cara ibu melahirkan sendiri?"
Bu Joko tidak mengalihkan pandangannya dari bayi cantiknya.
"Sendiri apa? aku dibantu nenek tua yang sangat sabar. Ia membelai perutku lalu tiba-tiba aku tidak tahan mengejan, nenek tersebut yang menerima bayi kita ketika dilahirkan lalu meletakkannya di dekapanku.
"Siapa dia pak? apakah tadi bapak meminta tolong nenek tersebut untuk mendampingiku selama bapak memanggil bu bidan. Kemana sekarang nenek tersebut? Apakah nenek tersebut dukun bayi? Aku belum pernah melihatnya?"
Pak Joko tiba-tiba merinding, namun tiba-tiba bayi mungilnya menangis keras. Bu Joko pun menetekinya lalu bayinya pun langsung terdiam sambil *******.
"Lucu ya pak, darimana bayi baru lahir tahu cara *******, jika bukan karena kuasa Allah." Pak Joko langsung mengucap Istighfar, Ya Allah sangking gembiranya Bapak lupa belum mengadzani putrinya. Pak Joko pun mendekatkan mulutnya ke telinga bayinya lalu mengumandangkan adzan.
.
Setelah mengumandangkan adzan, Pak Joko melihat bayi mungilnya sedang terlelap. Istrinya tampak lelah. Maka Pak.Joko pelan-pelan mengambil bayi dari gendongan istrinya lalu meletakkannya disamping iatrinya. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.30 WIB. Tadi Bu Joko merasakan kontraksi pukul 00.05 WIB pak Joko ingat betul karena sempat melirik jam di dinding kamarnya. Jarak rumah bidan cuma 50 meter, mengapa tadi Ia sampai rumah dengan bidan pukul 01.10 WIB apakah selama itu tadi bidan mempersiapkan diri. Padahal Pak Joko merasa bu bidan segera tanggap setelah memencet bel rumahnya. Tidak perlu waktu lama, bu bidan sudah siap menenteng perlengkapan lahiran. Siapa dukun bayi yang membantu istrinya. Ingin sekali pak Joko menanyakannya, namun Pak Joko merasa waktunya belum tepat. Yang terpenting adalah anak dan istrinya selamat dan sehat.
"Bu, istirahatlah. Biadadari Jini, nama lengkap anak kita. Jini adalah perpaduan nama kita bu, Joko dan Rini. Apa nama panggilan yang cocok menurut ibu?
"Bida saja pak. Kita panggil Bida saja. Bagi kita anak kita yang paling cantik sedunia, maka itu kita beri nama Bidadari namun kata itu terlalu panjang untuk nama panggilan."
Bu Joko menatap lekat-lekat wajah Bidadari mungil yang sedang pulas di sampingnya.
"Baiklah, ibu istirahat ya, aku akan mempersiapkan mengubur ari-arinya Bida."
Bu Joko hanya mengangguk sambil terus memandangi Bida.
Pak Joko mengambil ari-ari yang sudah dibersihkannya, membungkusnya dengan kain kafan lalu meletakkannya di dalam sebuah gendok (kuali kecil bertutup dari tanah liat). lalu keluar rumah tepatnya di belakang rumahnya untuk menggali lubang. Udara terasa aneh, angin semilir seperti membelai tengkuknya. bulu di tengkuknya meremang, pohon jambu di belakang rumahnya bergoyang terkena angin, anehnya mohon mangga di sampingnya tidak ikut tertiup angin.
"Aneh, mengapa angin hanya menerpa pohon jambu, sedangkan ranting pohon mangga tidak bergerak? Ah pasti karena pohon mangga lebih kokoh sedangkan pohon jambu tidak sebesar pohon mangga." Pak Joko bertanya dan menjawab sendiri pertanyaannya. Pak Joko meneruskan menggali lubang. Setelah selesai, Pak Joko pun segera masuk ke dalam rumah untuk mengambil gendok berisi ari-ari Bida.
Sampai di dalam rumah, Pak Joko kebingungan mencari gendok berisi ari-ari Bida. Padahal Pak Joko yakin bahwa ia meletakkannya di atas meja. Pak Joko membungkuk, melongok di bawah meja. Namun tidak ada juga, lagi pula jika jatuh pasti pecah karena gendok tersebut terbuat dari tanah liat.
Pak Joko memutuskan keluar ke tempatnya menggali lubang, ia mulai berpikir mungkin tanpa sadar Pak Joko sudah membawa keluar gendoknya, ketika hendak menggali lubang. Namun Pak Joko sangat yakin bahwa ia tidak membawa keluar gendok tersebut.
Pak Joko melangkah keluar sambil berpikir dan sampai di belakang rumah, Pak Joko sangat terkejut karena gendok tersebut sudah ada di dalam lubang yang digali. Bau harum bunga kenanga menusuk hidungnya. Ia ingat bahwa ia belum membeli bunga untuk kelengkapan mengubur ari-ari. Bau bunga kenanga semakin menusuk wangi. Angin semilir sangat halus menerpa wajahnya. Pak Joko berdiri, melangkah ke depan rumah tempat pohon kenanga berdiri kokoh dan berbunga lebat. Halaman rumah Pak Joko sangat luas, ada sebuah pohon kenanga di halamannya. Pohon tersebut ditanam oleh nenek Pak Joko. Pak Joko ingat ketika kecil, membantu neneknya menanam bunga kenanga. Sekarang pohon tersebut sudah sangat tua. Berkali-kali Pak Joko berniat menebangnya namun istrinya selalu melarangnya. Istrinya sangat suka harumnya bunga kenanga.
Pak Joko mengambil galah lalu mengamati pohon kenanga, mencari bunga yang bisa dijangkaunya. Namun cahaya lampu teras terlalu redup untuk halamannya. Lain dengan halaman belakangnya yang lebih terang karena ada cahaya dari teras belakang dan kandang sapinya.
Pak Joko memfokuskan pandangannya berusaha menemukan bunga kenanga yang rendah karena pohon tersebut begitu besar tinggi menjulang namun masih ada bagian yang bisa dijangkau galahnya. Seekor burung Gagak hitam datang entah dari mana, mengagetkan Pak Joko. Kepakan sayapnya bergesekan dengan daun kenanga menimbulkan suara yang mengerikan dtemani suara "kwuak kwuak kwuak". Gagak hitam itu bertengger di pohon kenanganya.
Belum hilang kagetnya, tiba-tiba Pak Joko kembali dikagetkan dengan sekumpulan kelelawar yang terbang rendang seolah mengerumuni dan menerobosnya lalu terbang tinggi ke arah daun-daun kenanga yang rimbun.
"Kwuak kwuak kwuak" burung gagak kembali bersuara lalu sekumpulan kelelawar juga terbang kesana kemari masih di atas pohon kenanga, menimbulkan banyak bunga kenanga berjatuhan. Lalu burung gagak terbang menjauh disusul oleh kumpulan kelelawar seolah-olah mengikuti burung gagak sebagai pemimpinnya.
Pak Joko, tertegun mengamati bunga kenanga yang berjatuhan. Ia ingat bahwa ari-ari Bida menunggu dikuburkan. Maka Pak Joko segera meletakkan galah lalu memungut beberapa bunga kenanga untuk keperluan mengubur ari-ari Bida.
Semilir angin kembali terasa, kini bahkan daun beluntas yang menjadi pagar samping rumahnya pun bergoyang lembut terterpa angin. Malam itu terasa sangat sunyi, bahkan sapi-sapinya tidak mengeluarkan suara. Biasanya jam segini sapinya bersuara, bahkan tidak ada juga suara jangkrik malam yang biasanya ramai di jam segini.
Pak Joko ingin segera menyelesaikan penguburan ari-ari Bida. meletakkan bunga kenanga di pangkuannya, di atas kaos yang dipakainya, meletakkan beberapa bunga kenanga di atas gendok sebelum ditimbun tanah, lalu menaburkan sisa bunga kenanga di atas kuburan ari-arinya. Pak Joko kembali terheran, perasaannya menyatakan bahwa ia hanya membawa sedikit bunga kenanga, tapi mengapa bunga kenanga di pangkuannya masih banyak sehingga Pak Joko menambahkan bunga kenanga pada kuburan ari-ari tersebut terlihat menggunung.
Penguburan ari-ari Bida sudah selesai. Adzan Subuh berkumandang, Pak Joko segera masuk untuk mandi dan bersiap menuju musholla untuk sholat subuh. Sudah menjadi kebiasaan bahwa Pak Joko selalu sholat berjamaah di musholla.
Setelah mandi keramas, dan memkai baju koko. Pak Joko tidak langsung berangkat ke musholla, ia masuk ke kamar untuk berpamitan kepada istri dan Bidadari mungilnya. Namun melihat istri dan Bidafari mungilnya terlelap maka Pak Joko mengurungkan niatnya lalu berangkat menuju musholla.
Pak Joko melintasi halamannya, tubuhnya merinding, wangi kenanga menusuk hidungnya, harum sekali. Pak Joko menuju musholla yang jaraknya 80 meter dari rumahya. Anehnya sepanjang perjalanan menuju musholla, seolah hidungnya sudah terlanjur menyimpan wangi bunga kenanga. Wangi bunga kenanga masih memenuhi rongga hidungnya hingga sampai di pelataran musholla, wangi tersebut mulai memudar.
Setelah sholat berjamaah, Pak Joko menyampaikan pamit tidak ikut berbincang seperti biasanya. Sudah kebiasaan jamaah mushola setelah berdoa dan berdzikir lalu duduk di teras musholla dan berbincang tentang kehidupan bersama pak Ustad.
Pulang dari musholla, Pak.Joko masuk ke kamar depan meletakkan pecinya. Ketika Pak Joko masuk ke kamar Istri dan bayi Bidadarinya yang cantik, kamar tersebut kosong. Pak Joko segera keluar memanggil istrinya.
"Bu !" Pak Joko khawatir baru beberapa jam melahirkan, mengapa istrinya sudah keluar kamar.
"Apa Pak? sahut bu Joko." Ternyata bu Joko di dapur sambil mengaduk kopi buat Pak Joko.
"Loh bu, mana Bida? Ibu juga kok sudah bangun, biarkan bapak membuat kopi sendiri.
"Bida ada di kamar pak, aku sudah sehat kok, dukun bayi itu hanya membelai perutku kemudian bayi mungil kita segera keluar, cepat sekali Pak. Tidak seperti yang kubayangkan, ternyata mengejannya saja ndak terlalu susah pak. Bu Bidan sudah memeriksaku, tidak ada sobekan pada jalur lahirku. Aku sehat. Bapak jangan khawatir, lebih baik, bapak temani Bida. Aku mau menggoreng telur. Kita sarapan bersama sebentar lagi."
Teringat Bida, pak Joko tidak menjawab tapi langsung menuju kamar karena tadi Pak Joko tidak melihat Bida dan istrinya. kamar tersebut kosong.
Sampai kamar, Pak Joko heran melihat bayi mungilnya sedang tertidur lelap di atas kasur masih di posisi sama ketika Pak Joko tadi hendak berpamitan sebelum berangkat ke musholla.
"Bida, apakah bapakmu ini sudah rabun, tadi bapak lihat kasur ini kosong." Pak Joko bertanya pada Bida bayi mungilnya yang menurutnya secantik bidadari meski belum pernah mengetahui wajah bidadari. Yang Pak Joko sadari bahwa bayi mungilnya adalah bayi yang tercantik sedunia karena ia adalah anaknya.
Pak Joko tersenyum sendiri, mengingat ia sudah merasa konyol bertanya pada bayi yang lahir beberapa jam lalu. Meskipun bayi mungil ini tidak sedang pulas pun, pastinya juga tidak bisa menjawab. Rasanya sudah tidak sabar, Pak Joko menantikan perkembangan dan pertumbuhan putrinya. Terbayang jika bidadarinya ini memanggil namanya,
"Bapak, ayo kita sarapan." bu Joko muncul di pintu kamar, berkata sambil sedikit berbisik kuatir bidadarinya terganggu dengan suaranya.
"Ya." Pak Joko melangkah ke luar namun tiba-tiba menghentikan langkahnya, karena Pak Joko mendengar suara kasur berderit. Seolah ada seseorang yang naik ke kasur tempat Bida tidur. Sementara Bu Joko sudah berlalu kembali ke dapur. Wangi bunga kenanga memenuhi ruang kamarnya.
"Pak, ayo sarapan." Istrinya kembali muncul di depan pintu kamar sambil menatap bayinya yang ada di kamar.
"Apakah Bida ku gendong saja." kata Pak Joko.
"Jangan Pak, biarkan Bida tidur. Kasihan lan Pak, Bida baru beberapa jam lahir, jangan ganggu tidurnya." Bu Joko mengatakannya masih dengan suara pelan.
Akhirnya Pak Joko mengikuti bu Joko ke dapur. Bu Joko makan dengan porsi lebih dari biassnya. Pak Joko tidak berkomentar karena Bu Joko harus makan banyak agar asinya lancar.
*****
Pagi ini, cuaca cerah. Burung-burung berkicau, aktifitas warga sudah mulai berlangsung. Pak Joko mengeluarkan ketiga ekor sapinya untuk berjemur dan memberinya makan.
Bu Sulis tetangganya yang suka bermulut usil melewati samping rumahnya untuk mengambil daun ketela rambat yang tumbuh di samping belakang rumah Pak Joko. Pohon ketela rambat itu merambat hingga ke pohon Jambu. Lalu matanya terbelalak menatap kuburan ari-ari Bida.
"Eh, Mbak Rini (bu Sulis sudah terbiasa memanggil nama asli bu Joko) sudah lahiran, kapan pak? tadi malam ya? jam berapa? kok saya ndk dikabari? kita kan tetangga berdampingan. Aneh tadi malam, saya nyenyak sekali. Tidak dengar suara bayi menangis."
Pak Joko belum menjawab rentetan pertanyaan bu Sulis tapi bu Sulis sudah melangkah masuk rumah lewat pintu belakang tanpa dipersilahkan. Bu Sulis ini sangat menjengkelkan, meski rumahnya berdampingan tapi karena luasnya pekarangan masing-masing maka menjadi keuntungan bagi Pak Joko untuk sedapat mungkin menghindarinya.
Bu Sulis tidak bisa menjaga perkataan dan seenaknya sendiri berkata yang sering menyakitkan hati bu Joko. Bu Sulis seperti tidak suka kepada bu Joko.
"Mbak Rini! mbak !" bu Sulih heboh berkeliling mencari keberadaan bu Joko.
Pak Joko segera masuk tergopoh-gopoh.
"Maaf bu Sulis, jangan keras-keras nanti Bida bangun."
"Bida? Siapa Bida? tanya Bu Sulis sambil memoyongkan bibirnya.
"Bida, nama anak saya Bidadari. panggilannya Bida." jawan Pak Joko dengan penuh kebanggaan.
Bu Joko yang tadi mendengarkan panggilan bu Sulis keluar kamar sambil masih menyusui Bida." Ada apa mbak Sulis? tanya bu Joko basa basi, karena pasti tetangganya akan menjenguk putrinya.
Bu Joko ingin menunjukkan bahwa ia perempuan sejati kepada mbak Sulis tetangganya yang mulutnya sudah seperti mesin bor air yang ngucur byor.. byor... tanpa saringan dan tidak bisa disetel volumenya.
Masih ingat semua kalimat menyakitkan dari mbak Sulis yang menyatakan, "Suruh saja suamimu menikah lagi. Terima takdir dengan legawa kamu itu sudah usia 35 tahun ke atas, susah punya anak lagi. Lagian sih jika hamil, ndk jaga kesehatan, bayinya meninggal di dalam baru nangis. Harusnya ketika kamu hamil lagi itu, jaga diri jangan menggoda suami kan ndk boleh orang hamil dengan kondisi lemah kandungan seperti kamu itu, jika melakukan itu selama hamil." seolah-olah mbak Sulis sok tahu dengan rumah tangganya. Padahal Pak Joko sangat hati-hati dan tidak berani menyentuh istrinya ketika hamil meskipun dokter menyatakan bahwa itu bukan penyebab keguguran istrinya.
"Eh sini, lihat bayinya. Perempuan ya, kok diberi nama Bidadari sih. iya kalau nanti besarnya cantik, jika jelek kan kasihan anaknya. Namanya ketinggian. Bidadari..."
Pak Joko menatap Bu Sulis dengan raut wajah tidak suka. Apalagi Bu Sulis sekarang tampak mengagumi kecantikan bayi mungilnya. Kulitnya putih bersih kemerahan, matanya bolak, bibirnya mungil namun penuh berwarna merah, rambutnya lebat, meski samar ada lesung pipit di kedua pipinya. Lesung pipit itu terlihat ketika bayinya sedang ******* dan saat ini Bida memang sedang *******.
"Lucu ya. kulitnya bersih. Tapi belum tentu loh dewasanya putih. Anak saya saja, Gatot lahirnya putih eh setelah bisa jalan kulitnya jadi item."
Bu Joko tersenyum hampir terkikik, bagaimana mungkin Mbak Sulis menyinggung anaknya sendiri dengan mengatakan item.
Pak Joko berdehem, memang Pak Joko tetap memanggil dengan panggilan Bu Sulis meski Bu Sulis tidak suka dan ingin dipanggil Mbak Sulis alasannya agar terlihat muda. Justru itulah Pak Joko tidak mau meladeni permintaannya. Karena sudah jelas Bu Sulis itu tidak muda lagi, bahkan usianya sudah mendekati 50 tahun.
"Kapan nih selamatannya? sudah lama kalian ndk punya anak kan? harusnya diselamati dong." kata bu Sulis yang semakin menjengkelkan.
"Nanti Mbak Sulis, jika cuplakan, selapanan, aqiqahan, dan lain-lain. Mbak Sulis akan aku kabari ya.
"Selamatannya harus besar-besaran ya. Makanannya harus yang enak-enak. Sebagai bukti syukur kalian bisa punya anak. Jangan kuatir, aku akan bantu memasak. Aku ini jagonya memasak."
"Ya mbak. Insya Allah."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!