NovelToon NovelToon

Semalam Bersama Kakak Ipar

Suami Cuek

"Mas, masa aku di tinggal di sini sendirian? Ini hujan deras lho Mas, tengah malam lagi," rengek Melisa, dia berdiri bersama sang suami di sebuah ruko kosong, mobil Darius sang suami tiba-tiba saja mogok di tengah perjalanan.

"Memangnya kamu mau kita hujan-hujanan, Mas hanya mau ke toko yang ada di sebrang sana itu, Mas cuma mau beli kopi doang ko. Dingin di sini, Mas pasti balik lagi ke sini dengan membawa payung. Mudah-mudahan di sana ada payung juga," jawab Darius, melepaskan jaket kulit miliknya lalu meletakkannya di atas kepalanya sendiri.

Laki-laki berusia 32 tahun itu berlari begitu saja menerobos derasnya air hujan, menuju supermarket yang berada di sebrang jalan. Melissa hanya bisa mengusap pergelangan tangannya, saat rasa dingin terasa menembus permukaan kulitnya. Hujan yang semakin deras membuat hawa dingin terasa membekukan tubuh. Belum lagi suara petir yang tiba-tiba saja terdengar menggelegar membuat Melisa sontak berjongkok memeluk kedua lututnya.

30 menit berada di tempat itu benar-benar terasa mencekam, Darius sang suami sama sekali belum kembali seperti yang di janjikan. Tubuh Melisa benar-benar menggigil kedinginan. Bibirnya bahkan mulai membiru dengan gigi yang saling beradu.

"Mas Darius mana? Ko masih belum kembali? Ya Tuhan, dingin banget ini," gumam Meli, menatap sekeliling berharap suaminya akan segera datang.

Sementara hujan semakin deras saja. Kedua kaki Melisa mulai terasa kaku. Sampai akhirnya samar-samar terlihat seorang laki-laki yang berjalan menghampiri dengan membawa satu buah payung berukuran sedang. Sontak, Melisa berusaha untuk berdiri tegak, akan tetapi karena kedua kakinya benar-benar kedinginan karena terlalu lama berjongkok, wanita itu seketika terduduk lemas di atas lantai.

Bruk!

"Argh!" ringis Melisa seketika ambruk, tapi dia berusaha untuk kembali bangkit dan berdiri.

"Astaga, Mel. Kamu baik-baik saja?" ucap seorang laki-laki, segera membantu Melisa untuk berdiri.

"Kenapa lama sekali si, Mas? Apa kamu tahu kalau aku di sini kedinginan? Kedua kakiku bahkan terasa beku, Mas. Sebenarnya Mas dari ma--" Melisa sontak menghentikan ucapannya sata menyadari bahwa laki-laki itu bukanlah Darius suaminya, melainkan Mahesa kakak dari suaminya sendiri.

"Benar-benar keterlaluan di Darius. Dia lagi enak-enak ngopi, eh istrinya malah di tinggal di sini! Dasar brengsek!" decak Mahesa seketika merasa kesal. Dia pun benar-benar membantu adik iparnya itu untuk berdiri tegak.

"Kak Mahesa? Sedang apa kamu di sini? Aku pikir tadi Mas Darius yang datang."

"Suami kamu lagi ngopi di cafe sana, sama saya juga. Dia bilang kamu di tinggal di sini. Makannya saya ke sini."

Kedua kaki Melisa seketika semakin terasa lemas. Tubuhnya hampir saja tumbang jika saja tidak segera di tahan oleh kakak iparnya sendiri. Di saat dirinya kedinginan, dan berharap suaminya akan segera kembali menjemput dirinya, Darius sang suami sedang asyik-asyiknya ngopi di sebuah cafe. Benar-benar keterlaluan.

"Kamu baik-baik saja? Saya akan antar kamu ke cafe dimana Darius berada. Adik saya itu benar-benar brengsek."

"Kaki aku lemas sekali, kak. Mungkin karena aku terlalu lama berjongkok di sini, makannya kedua kaki aku terasa beku."

"O ya? Kamu juga pasti pasti kedinginan 'kan? Sebentar, kamu pakai jaket saya."

Mahesa tiba-tiba saja membuka lekat jeans yang dikenakannya, setelah itu dia pun melingkarkannya di bahu sang adik ipar yang benar-benar terasa dingin membeku.

"Terima kasih, kak. Rasanya dingin sekali," lirih Melisa menggigil kedinginan.

Tanpa di sangka dan tanpa di duga, Mahesa tiba-tiba menggendong tubuh langsing Melisa kini. Tentu saja hal tersebut membuat Melisa merasa terkejut.

"Kak Mahesa, kamu mau apa? Turunkan aku," pinta Melisa kemudian.

"Katanya kaki kamu lemas? Kamu tak mungkin berjalan dengan kaki lemas dan kedinginan seperti itu, saya akan menggendong kamu sampai ke cafe, gak jauh ko. Ada di sebrang jalan sana. Bisa kamu pegang payung ini?"

Melisa menganggukkan kepalannya, dia pun memegangi payung yang semula di bawa oleh kakak iparnya tersebut. Dia melingkarkan satu tangannya di leher Mahesa sementara tangan lain memegang payung berukuran sedang. Jantung seorang Melisa benar-benar berdetak kencang kini. Tanpa sadar, wanita itu pun menyandarkan kepalanya di dada bidang seorang Mahesa.

'Andai saja Mas Darius perhatian seperti kamu, Kak. Mungkin aku akan sangat bahagia. Sayangnya, dia hanyalah suami cuek yang sama sekali tidak peduli dengan keadaan istrinya. Dia juga laki-laki egois yang hanya mementingkan urusannya sendiri,'(batin Melisa).

Mahesa benar-benar berjalan menerobos derasnya air hujan dengan menggendong wanita bernama Melisa yang sebenarnya adik iparnya sendiri. Dia tidak peduli meskipun sang adik akan murka dan merasa cemburu karena dirinya menyentuh istri sang adik.

Sampai akhirnya, mereka pun sampai di tempat tujuan, sebuah cafe yang memang selalu buka sampai dini hari. Perlahan, Mahesa mulai menurunkan tubuh Melisa dengan sangat hati-hati sampai adik iparnya itu benar-benar berdiri tegak. Darius yang berada di dalam sana tentu saja seketika mengepalkan tangannya, rasa cemburu terasa membakar hatinya kini.

"Sayang! Kamu baik-baik saja? Maaf Mas lupa, Mas malah keenakan ngopi di sini," ujar Darius segera berjalan menghampiri.

"Aku baik-baik saja, Mas. Hanya kaki aku saja yang terasa lemas, aku juga kedinginan. Untung ada Kak Mahesa datang kalau tidak, mungkin aku sudah benar-benar mati kedinginan di sana," jawab Melisa lembut.

'Apa? Kenapa Melisa tidak marah sama sekali? Wanita macam apa dia? Kenapa dia masih bersikap lembut setelah di perlakukan seperti ini oleh si Darius? Benar-benar keterlaluan,' (batin Mahesa).

"Kita pulang sekarang juga. Kita naik taksi," ujar Darius seketika menarik pergelangan tangan istrinya kasar dan membawanya keluar dari dalam cafe tersebut.

"Darius, yang lembut sama istri kamu sendiri. Dia sedang kedinginan!" teriak Mahesa, merasa tidak terima sebenarnya. Di saat dirinya menggendong wanita itu dengan sangat hati-hati, suaminya sendiri malah menariknya dengan kasar, benar-benar tidak punya perasaan.

"Dasar kurang ajar, tak bisa apa lembut sedikit sama istri sendiri? Sayang sekali, wanita sebaik dan selembut Melisa harus menikah dengan laki-laki kasar seperti kamu, Darius," gumam Mahesa menatap nanar kepergian Melisa dengan adiknya sendiri.

* * *

Keesokan harinya.

"Kamu mau kemana lagi, Mas?" tanya Melisa berbaring lemah di atas ranjang.

"Mas ada meeting 3 hari di luar kota. Kamu gak apa-apa ya Mas tinggal sendiri di rumah."

"Tapi aku lagi sakit, Mas."

"Alah, jangan cengeng. Cuma demam biasa ini ko. Itu karena kamu masuk angin semalam. Nanti sore juga sembuh lagi!"

"Tapi Mas--"

"Cukup! Mas berangkat sekarang, kamu hati-hati di rumah. Mas sudah siapkan bubur di meja makan."

Cup!

Satu kecupan pun mendarat di kening Melisa sang istri. Setelah itu, Darius benar-benar meninggalkan istrinya yang saat ini sedang dalam keadaan sakit sebenarnya.

'Kamu benar-benar luar biasa, Mas. Aku sakit saja kamu tak peduli?' (batin Melisa).

* * *

30 menit kemudian.

"Darius, kakak datang!" teriak Mahesa masuk begitu saja ke dalam rumah adiknya.

Mahesa nampak menatap sekeliling rumah yang terlihat sepi. Melisa yang merupakan istri dari adiknya pun nampak tidak terlihat di manapun. Sampai akhirnya ...

Prang!

Suara sesuatu yang pecah tiba-tiba saja terdengar dari dalam kamar. Sontak, Mahesa segera berlari ke arah kamar dan membuka pintunya kemudian.

"MELISA? YA TUHAN, KAMU KENAPA?" teriak Mahesa seketika merasa panik.

BERSAMBUNG

...****************...

Demam

Mahesa seketika panik, dia masuk ke dalam kamar begitu saja saat melihat Melisa tersungkur dia atas lantai dengan gelas yang pecah berhamburan tak jauh dari tubuhnya. Jari wanita itu bahkan tergores, dan beberapa serpihan kaca menancap sempurna di salah satu jarinya kini.

"Ya Tuhan, kamu kenapa? Dimana suami kamu?" tanya Mahesa segera menggendong dan membaringkan tubuh Melisa di atas ranjang.

"Kak Mahesa? Sedang apa kamu di sini?" tanya Melisa, dengan nada suara lemah wajahnya nampak pucat pasi.

"Gak penting sedang apa saya di sini. Kamu yang kenapa? Apa kamu sakit? Eu ... Tunggu, biar saya bereskan dulu serpihan belingnya," jawab Mahesa, tanpa rasa canggung segera menyingkirkan pecahan gelas di atas lantai hingga tidak bersisa sedikitpun.

"Gak udah di bersihkan, kak? Biar nanti aku saja yang melakukannya."

"Bagaimana kamu membersihkan semua ini, tubuh kamu saja lemah kayak gini."

Melisa hanya tersenyum getir. Lagi-lagi kakak iparnya itu menunjukkan perhatiannya. Perhatian yang membuat hati seorang Melisa meleleh. Perhatian yang tidak pernah dia dapatkan dari suaminya sendiri. Setelah selesai membersihkan serpihan beling tersebut, Mahesa duduk di tepi ranjang. Tanpa rasa sungkan dia segera memeriksa keadaan adik iparnya yang terlihat begitu mengenaskan.

"Kamu pasti masuk angin karena semalam. Dimana suami kamu? Kenapa dia meninggalkan istrinya yang lagi sakit sendirian di rumah seperti ini?" tanya Mahesa, meletakan punggung tangannya di kening Melisa.

"Mas Darius keluar kota," jawabnya lemah.

"Apa? Benar-benar keterlaluan! Astaga, kenapa saya bisa punya adik brengsek seperti dia."

Lagi-lagi Melisa hanya tersenyum getir.

"Tangan kamu, Mel. Tangan kamu berdarah! Ya Tuhan, tunggu sebentar saya akan mengobati luka kamu," decak Mahesa, dia pun keluar dari dalam kamar untuk mengambil kotak obat dan kembali beberapa saat kemudian.

"Aku gak apa-apa, Kak. Nanti juga sembuh sendiri."

"Sembuh sendiri bagaimana? Luka kalau gak diobati ya infeksi, mana bisa sembuh sendiri."

Mahesa meraih pergelangan tangan Melisa lembut, dia menatap dengan seksama luka di sela-sela jari sang adik. Beberapa pecahan beling nampak tertancap di permukaan kulitnya itu.

"Hmm ... Ada pecahan beling di jari kamu, Mel. Bukan hanya satu, tapi ada 3 buah. Saya akan mengeluarkannya, akan terasa perih. Tahan sedikit ya."

Melisa hanya menganggukkan kepalanya samar.

Perlahan, Mahesa mulai mencabut serpihan beling tersebut menggunakan gunting kuku. Pelan dan sangat hati-hati, meskipun begitu Melisa tetap saja meringis kesakitan saat benda tajam itu di tarik paksa dari permukaan kulit jarinya.

"Argh!" ringis Melisa, mengernyitkan kening.

"Maaf, saya akan lebih hati-hati," lirih Mahesa, meniup jari tersebut lembut penuh kasih sayang.

'Kenapa kamu melakukan hal seperti ini, kak? Kenapa bukan Darius? Kenapa harus kamu yang perhatian seperti ini,' (batin Melisa).

Wanita itu menatap wajah tampan seorang Mahesa, laki-laki berusia 38 tahun yang merupakan kaka dari suaminya sendiri. Hembusan angin yang berasal dari bibir sang kaka terasa hangat membasuh luka tersebut, membuat rasa perih itu perlahan mulai menghilang. Tanpa sadar, wanita bernama lengkap Melisa Vendern itu terus saja menatap wajah sang kakak ipar sampai laki-laki itu selesai mengobati luka di jarinya. Terakhir plester pun digunakan untuk membalut luka tersebut.

"Nah sudah selesai," ujar Mahesa, menoleh dan menatap wajah Melisa membuat wanita itu seketika merasa gugup, lalu memalingkan wajahnya.

"Terima kasih, kak," lirihnya kemudian.

"Sama-sama, Mel. Eu ... Apa kamu sudah minum obat?"

Melisa menggelengkan kepalanya.

"Kamu demam, kamu harus minum obat penurun demam."

"Kenapa kaka baik sama aku?"

"Apa maksud kamu? Kamu adalah adik ipar saya, sudah sewajarnya saya baik sama kamu."

"Kenapa Mas Darius tidak sebaik kaka?"

"Mungkin karena dia bodoh. Dia memang sudah bodoh sejak kecil. Jika saya yang menjadi dia, saya tidak akan meniggalkan istri saya dalam keadaan sakit seperti ini, apa lagi istri yang baik seperti kamu, Mel. Eu ... Izinkan saya merawat kamu sampai kamu sembuh, katamu Darius keluar kota selama 3 hari. Saya akan berada di sini sampai kamu sembuh, tentu saja jika kamu mengizinkan."

Melisa diam seraya menatap wajah Mahesa dengan tatapan mata sayu. Sekujur tubuhnya memang terasa lemas, demam di tubuhnya pun semakin menjadi-jadi membuatnya tak mampu melakukan apapun. Ya ... Dia butuh seseorang, seseorang yang akan merawatnya sampai dia sembuh.

"Bagaimana? Saya janji gak akan berbuat yang macam-macam, saya hanya akan merawat kamu sampai kamu sembuh."

Melisa mengangguk-angguk kepalanya juga akhirnya. Dia hanya ingin sekali saja merasakan diperhatikan dan diperlakukan spesial, terutama dia hanya ingin di rawat saat dia sedang dalam keadaaan sakit seperti ini. Selama ini dia selalu melewati semuanya sendiri, karena Darius sang suami selalu saja sibuk dengan urusanya sendiri.

"Terima kasih, saya akan segera pulang setelah kamu sudah merasa baikan."

"Kenapa jadi kaka yang berterima kasih? Seharusnya aku yang berterima masih karena kaka mau merawat aku."

'Itu karena saya senang bisa berada dekat sama kamu, Mel,' (batin Mahesa).

BERSAMBUNG

...****************...

Luka

Mahesa benar-benar menjaga Melisa. Bukan hanya itu saja, dia bahkan mengompres kening wanita itu tiada henti, tapi demam di tubuh Melisa sama sekali tidak turun bahkan setelah wanita itu meminum obat penurun demam. Tentu saja hal itu membuat Mahesa semakin di selimut rasa khawatir. Apa dia bahwa saja Melisa ke Rumah Sakit?

"Argh! Sakit, Mas. Ampun!" Melisa tiba-tiba saja mengigau di dalam tidurnya.

"Mel? Kamu mimpi buruk? Bangun Melisa!" Mahesa menggoyangkan tubuh Melisa yang saat ini tidur menyamping.

Perlahan, Mahesa hendak membalikan tubuh Melisa agar wanita itu bisa berbaring terlentang. Namun, tiba-tiba saja wanita itu semakin meringis kesakitan saat tubuhnya mulai terlentang, dia bahkan kembali berbalik seolah benar-benar merasa kesakitan.

"Argh! Sakit ..." gumam Melisa dengan kedua mata yang masih terpejam sempurna.

"Apa punggung kamu sakit?" tanya Mahesa mulai merasa curiga.

"Sakiiiit!"

"Apanya yang sakit?"

"Sakit Mas, cukuuuup!"

"Ya Tuhan, apa yang harus saya lakukan. Apa saya periksa saja punggung Melisa?" gumam Mahesa menatap punggung sang adik ipar.

Sementara itu, Melisa masih saja meringis kesakitan. Buliran air mata bahkan mulai turun begitu saja dari sudut pelupuk matanya. Untuk mengobati rasa penasarannya, Mahesa nekat menyibakkan selimut yang menutup separuh tubuh Melisa. Meskipun merasa ragu pada awalnya, laki-laki itu pun tetap memeriksa punggung Melisa dengan cara menaikan pakaian tidur wanita itu.

"Astaga! Apa ini? Bangun Melisa, punggung kamu sepertinya terluka!" pinta Mahesa seketika merasa panik.

Melisa perlahan mulai membuka kedua matanya. Dia pun mengusap pelupuknya pelan yang saat ini membanjir dengan buliran air mata. Melisa hendak berbalik, tapi segera di tahan oleh kakak iparnya itu.

"Jangan berbalik. Punggung kamu terluka. Maaf jika saya lancang, tapi sebenarnya punggung kamu kenapa? Sepertinya kulitnya melepuh, harus segera di obati itu," tanya Mahesa semakin merasa khawatir.

"Dari mana kakak tahu kalau punggungku terluka?" Melisa balik bertanya dengan nada lemah.

"Gak penting saya tahu dari mana. Yang jelas, penyebab demam kamu gak turun-turun karena luka di punggung kamu ini. Kalau kamu gak keberatan, izinkan saya untuk mengobati luka kamu, Mel."

Melisa diam sejenak. Dia pun seketika mengingat kejadian tadi malam saat suaminya menyiramkan air panas di punggungnya karena terbakar api cemburu. Sakit, rasanya sangat sakit. Bukan hanya punggungnya saja yang sakit, tapi hatinya merasakan rasa sakit lebih dari yang dia rasakan di punggungnya itu.

"Apa kamu bisa duduk tegak? Saya akan bantu kamu untuk duduk," pinta Mahesa seketika membuyarkan lamunan panjang seorang Melisa.

Dengan di bantu oleh Mahesa, wanita itu pun berusaha untuk duduk tegak di tengah kondisi tubuhnya yang sebenarnya terasa sangat lemas. Dia nampak memejamkan kedua matanya merasakan sakit di punggung juga rasa pusing di kepalanya. Tanpa di minta, Melisa tiba-tiba saja membuka satu-persatu kancing baju tidur yang dia kenakan. Dia benar-benar memperlihatkan luka akibat siraman air panas yang dilakukan oleh suaminya itu.

"Astaga, Mel. Punggung kamu benar-benar melepuh? Siapa yang melakukan ini? Apa suami kamu?"

"Mas Darius tak sengaja melakukannya."

"Tidak sengaja? Hahahaha! Kamu pikir saya akan percaya begitu saja dengan apa yang kamu katakan ini, hah? Kenapa kamu masih bertahan dengan laki-laki seperti di--"

"Cukup, kak. Bisa tolong obati saja lukaku, rasanya sakit sekali," sela Melisa meringis kesakitan.

"Kita harus ke Rumah Sakit, Mel."

"Tidak, aku gak mau. Ada salep luka bakar di kotak obat itu. Oleskan saja salepnya lalu balut dengan perban."

"Tapi, Mel--"

"Kalau kaka gak mau bantu juga gak apa-apa. Biarkan lukanya sembuh sendiri kalau begitu."

Mahesa mengusap wajahnya kasar. Rasanya sakit sekali melihat wanita ini dalam keadaan terluka seperti ini. Tanpa sepatah katapun lagi, Mahesa segera mengikuti apa yang dimintakan oleh Melisa. Tanpa rasa sungkan lagi, laki-laki itu membuka tali yang melingkar di punggung wanita itu.

Dengan sangat hati-hati Mahesa mulai mengoleskan salep luka bakar di punggung yang sebenarnya terlihat sangat indah jika saja tidak terdapat luka di tengah-tengahnya. Melisa sesekali nampak meringis kesakitan. Rasanya sangat perih. Kulitnya terasa terbakar. Setelah salep tersebut selesai di oleskan, luka tersebut pun di balut dengan perban.

Mahesa, kembali merapikan pakaian Melisa. Dengan sangat hati-hati, dia kembali membantu wanita itu untuk kembali berbaring. Keduanya pun nampak saling menatap satu sama lain. Senyuman kecil pun Melisa layangkan, senyuman penuh arti, senyuman yang menyiratkan banyak rasa yang sulit untuk diungkapkan.

"Pasti rasanya sakit sekali," ujar Mahesa menatap lekat wajah Melisa kini.

"Sekarang tidak lagi. Terima kasih, kak."

"Kenapa kamu masih bertahan dengan suami seperti adik saya itu? Kenapa tidak kamu tinggalkan saja dia dan mencari kebahagiaan kamu sendiri?"

"Entahlah, mungkin karena aku terlalu mencintai Mas Darius."

"Sayang sekali, wanita secantik dan selembut kamu harus memiliki suami seperti Darius."

Melisa hanya tersenyum getir.

"Mel, maukah kamu menghabiskan satu malam bersama saya?"

"Hah? Mak-sud kaka?"

"Saya akan tunjukan kepada kamu bagaimana cara memperlakukan wanita secantik dan selembut kamu, Melisa."

BERSAMBUNG

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!