Seorang gadis sibuk dengan pikirannya sendiri. mondar-mandir tidak karuan di dalam kamar hanya memikirkan bagaimana caranya untuk keluar dari rumah yang suasananya sangat mencekik bagaikan kegelapan.
Tidak bisa dipungkiri, pasti sebentar lagi akan ada sebuah ketukan dengan genggaman amarah yang akan menghampirinya dan selalu begitu saja hampir setiap malam.
*tok, tok, tok*
"Cepat buka pintunya Bela" Bentak lelaki itu dengan suara yang keras hingga dapat membangunkan semua isi rumah.
"Sekali lagi aku harus bertahan" Gumamnya sambil menelan salivanya dengan perasaan yang gugup.
Langkahnya sedikit demi sedikit mendekati pintu. Menarik ulur nafas agar bisa menenangkan dirinya sendiri walau sejenak. Keyakinan terus digenggaman sambil berdoa pada Tuhan agar kali ini dia kuat menahan semuanya.
*klek* perlahan pintu terbuka sambil menampakkan wajah marah dari lelaki yang berumur sekitar 50 tahun ke atas.
"Ayah" Suara lirih sambil menatap sejenak mata yang menghunus tajam ke arahnya.
*plak, plak, plak* tamparan bertubi-tubi di layangkan ke pipi putih mulus yang ada dihadapannya. Tangannya membabi buta untuk segera menghabisi gadis itu.
"Ampun ayah, ampun" Jerit ampunan terus di teriakkan tapi telinganya enggan untuk mendengar.
"Ampun ayah itu salah paham" Ucapnya sekali lagi tapi tetap saja tangan besar itu sibuk untuk segera mengakhiri hidupnya.
"Daddy, sudahlah. Mungkin dia kembali berbuat ulah tapi mungkin juga dia tidak sengaja" Sentuhan lembut seorang gadis di sebelahnya mampu menghilangkan sejenak amarahnya.
Dia adalah Alana Wardana Prakasa kakak perempuan dari Bela. Umurnya hanya bertaut 1 tahun lebih tua dari pada Bela.
Sungguh malang gadis kecil bernama Bela Wardana Prakasa yang berumur 17 tahun saat ini. Dia selalu saja di beda-bedakan oleh kedua saudaranya yaitu Alana dan Eliene. Alana sendiri sudah berumur 18 tahun dan eliene Wardana Prakasa adalah adik Bela yang berumur 16 tahun. Masing-masing dari mereka memiliki selisih umur 1 tahun. Mereka sama-sana memiliki darah dari keluarga "Wardana Prakasa". Salah satu keluarga yang memiliki perusahaan paling besar dan sukses di kota ini.
Tapi kasih sayang mereka sangatlah berbeda karena hanya Alana dan Eliene mendapatkan kasih sayang seutuhnya dari ayah mereka. Sedangkan Bela hanya memiliki satu kasih sayang yaitu dari mamanya. Namun suatu hari semuanya berubah dan menghancurkan kehidupan Bela.
Flasback
Saat Bela berumur 5 tahun, terlihat sekali bahwa ayahnya tidak peduli dengan Bela. Dia hanya memberikan kasih sayang sepenuhnya pada Ana dan El. Bela yang masih kecil belum mengerti semuanya hingga waktu berjalan dengan begitu cepat.
Saat bela berumur 8 tahun, semua dunianya yang penuh dengan pelangi seketika hilang dalam sekeja mata saat mendengar berita sebuah kecelakaan yang sangat mengejutkan.
Sebuah mobil berwarna biru masuk ke dalam jurang dan mobil itu ditumpangi oleh kedua orang tuanya. Namun sungguh sayang bahwa takdir berkata lain dan mamanya tidak selamat. Hingga detik ini mayatnya belum ditemukan.
Seketika Bela merasa hancur karena satu-satunya pelindung telah lenyap. Matanya selalu menampakkan kepedihan saat dirinya dikurung dalam sunyi. Setiap malam mengadu pada bintang dan berharap mamanya ditemukan tapi rasanya sangat mustahil. Karena banyak cerita siapapun yang masuk ke dalam jurang, tidak ada seorangpun yang keluar dalam keadaan selamat.
Bela yang dulu menjadi anak baik dan penurut pada mamanya kini berubah menjadi Bela yang sangat bandel dan selalu berbuat ulah di sekolah atau dimanapun. Wajahnya ayu yang selalu tersenyum juga seketika menghilang dan menjadi dingin.
Dia akan tersenyum pada seseorang yang dianggap membawa pelangi-pelangi kecil dalam hidupnya serta taburan bunga-bunga yang merekah walau hanya dalam hayalannya. Dia merasakan kesepian di dalam rumah dan hanya jalanan yang bisa membuatnya merasa tenang.
Flashback off
"Kamu itu anak yang tidak ada guna, selalu saja mempermalukan orang tua" Tutur kasar yang terus di ucapkan pada Bela yang sedang sibuk membelai pipinya. Salah satu tangannya juga sibuk menyeka bibir yang keluar cairan merah.
"Kamu bisa tidak sedikit saja dengarkan aku" Tangannya kembali beraksi menjambak rambut Bela dengan kejam.
"Bela bisa menurut pada ayah, asalkan ayah juga memperlakukan Bela sama dengan mereka" Sahut bela sambil menunjuk pada Ana dan El yang berdiri di belakang pertengkaran mereka.
Entah kenapa kali ini keberaniannya keluar dari mulut Bela. Padahal dia selalu diam saat pertengkaran itu terjadi karena ayahnya yang kejam dan selalu ringan tangan pada Bela dan hanya pada Bela.
"Kamu.... " Bentaknya naik pitam. Tangannya mengangkat dan kembali ingin menampar.
"Jangan daddy, jangan pukul lagi kak Bela" Bela hanya tersenyum saat kedua saudaranya ingin membela dia. Padahal Bela sudah tau bahwa Ana dan El hanya memainkan sandiwaranya seperti biasa agar mendapatkan pujian untuk terlihat menjadi anak baik di depan ayahnya.
Ayahnya akan menuruti semua perkataan Ana dan El tentang apapun itu. Bahkan mereka berdua memanggil lelaki itu dengan sebutan "daddy". Berbeda dengan Bela yang hanya memanggil dengan sebutan "ayah".
" Bisa tidak sih kamu berbuat baik, pintar, rajin dan jadi juara sekolah. Bukan menjadi preman yang terus berbuat onar di sekolah" Telinganya sudah muak mendengarkan ocehan itu.
Dari hari ke hari, waktu ke waktu. Terus saja ocehan itu selalu dilontarkan tanpa ada topik pembicaraan lainnya. Bibir Bela bergumam samar-samar tidak jelas tanpa menatap lelaki yang dia sebut ayah.
Ingin rasanya dia msliapkan semuanya, karena dunia bela tidak akan sehancur ini bila ada seseorang yang membantu di mengangkatnya menjadi manusia yang baik. Bukan selalu dianggap dengan tatapan sampah yang snahat menjijikkan.
"Sekali lagi kamu berbuat masalah, aku akan mengusirmu dan keluar dari rumah ini. Ayo keluar dari sini nak"
*brak*
Mereka semua keluar dan pergi membanting pintu kamar Bela. Sering sekali ancaman itu ia dengar. Jika di tulis mungkin satu buku tulis yang tebal tidak akan cukup. Berapa kali ayahnya juga ingin mengusir Bela tapi tetap saja tidak pernah ada tindakan apapun. Hanya ada peringatan yang berupa tamparan.
Dengan sekuat tenaga Bela bangkit dari lantai dengan senyum kecil di bibirnya. Dia mengunci pintunya rapat-rapat dan duduk di ranjang sambil memandangi sebuah foto yang tertata rapi di atas nakas.
Bela tidak pernah menangis saat tangan kasar itu memukulinya walaupun hantaman itu hampir menghabisi Bela. Tapi dia akan menangis bila melihat sebuah foto dengan senyuman surga dan mengingat mamanya. Kerasnya kehidupan tidak akan mampu dia lewati tanpa mamanya.
Hanya foto itu yang tersisa, foto mama dan Bela. Sama-sama tersenyum sebelum seminggu kemudian mamanya pergi meninggalkan Bela.
"Ma, mama lihat sendiri kan. Lelaki itu memukuli Bela lagi dan tanggannya terus saja mengoyak-koyak tubuh Bela seakan ingin menjeratnya hingga tak bernyawa. Bisakah mama kembali, temani Bela walaupun hanya dalam mimpi ma"
Hanya aduan dengan kesedihan. Jerit tangis membisu memandang sebuah foto yang terpajang rapi. Apalagi yang harus dikatakan jika bukan tentang kekejaman lelaki tanpa pikiran. Selalu saja melampiaskan kekesalan, meluapkan amarah hanya pada Bela.
Pekerjaan kacau, masalah pribadi dan hanya pada Bela yang akan menjadi samsak hidup sebagai luapan emosi agar kembali stabil dan menjadi baik. Sedangkan Bela, dia hanya diam dan tidak bisa kemanapun
"Bela ingin pergi dari sini, tapi rumah ini penuh dengan kenangan mama" Aduan pilu seakan-akan berbicara dengan mamanya yang masih tersenyum membelai rambut Bela.
"Oh iya ma, tadi Bela di sekolah tidak akan berantem kok ma. Jika saja anak itu tidak merundung siswa yang culun. Makanya Bela hajar hidungnya sampai berdarah agar dia tidak berani melawan lagi"
Itulah salah satu alasan ayahnya kembali marah pada Bela. Di sekolah dia kembali memukul lelaki yang melakukan perundungan di sekolah. Sikap Bela yang dingin akan terbakar apabila melihat sebuah perundungan bagi mereka yang lemah.
Bela tidak ingin perundungan itu dilakukan karena dia tau betapa sakitnya dirundung oleh orang-orang kuat, seperti dia yang selalu dirundung oleh saudara kandungnnya sendiri.
Sekolah tidak berani mengeluarkan Bela karena dia adalah anak dari salah satu penyumbang terbesar untuk sekolah. Dan tentu saja kepala sekolah hanya bisa mengadu pada ayahnya Bela yaitu "Pras Wardana Prakasa".
"Ma, Bela mau tidur dulu ya. Jangan lupa belai rambut Bela biar tidurnya nyenyak dan jangan lupa juga mampir di mimpi muahhhhh" Kecupan kecil pada foto seperti kecupan pada mamanya dulu.
Ucapan itu, Bela tidak akan pernah lupa untuk melakukannya sebelum tidur. Walau terkadang mamanya tidak datang dalam mimpi tapi Bela yakin bahwa mamanya akan selalu tersenyum melihatnya dengan indah.
****
Pagi
"Bibi, makanan Bela sudah siap? "
"Sudah non, itu di meja. Tapi tumben bangun pagi sekali"
"Iya dong, Bela mau sekolah biar pintar"
Bela tidak memiliki teman kecuali bi Siti dan pak Taryo yang bekerja sebagai asisten rumah tangga dan supir pribadi. Merekalah tempat ngobrol saat semuanya asik dengan kehidupan masing-masing. Apalagi ayahnya yang akan datang berbicara pada saat Bela berbuat salah saja tanpa tau penyebabnya.
"Oh iya non tadi malam tuan Pras memberikan amplop ini. Katanya buat non Bela" Sebuah amplop besar dengan isi masih rahasia karena tidak ada yang tau pasti hal apa di dalam amplop.
"Makasih ya bi"
Sudah pasti uang bulanan yang diberikan. Bela tidak pernah bertengkar tentang uang bulanan walau dia diberikan hanya sedikit dibandingkan Ana dan El. Sudah pasti uang bulanan dia jauh lebih sedikit. Tapi senyum di wajahnya selalu saja tetap damai.
"Bi Bela berangkat dulu, kalau ada yang tanya Bela dimana. Bilang saja suruh cek di kamar saja"
"Baik non"
Bela pergi dan pamitan seperti biasa pada bi Siti yang sudah dianggap sebagai keluarganya sendiri. Dia tidak pernah risih saat bersalaman pada bi Siti. Karena Bela sudah menganggapnya sebagai seorang ibu. Lagipula bi Siti dan pak Taryo telah mengabdikan hidupnya semenjak Bela masih dalam kandungan.
"Pagi pak Taryo, Bela berangkat"
"Non tidak naik mobil? "
"Seperti biasa, Bela naik angkot saja" Pak taryo tersenyum dengan kelakuan salah satu anak tuannya yang berbeda jauh dengan kedua saudaranya yang manja.
Walaupun orang tuanya kaya, Bela sangat suka menaiki bus atau angkutan. Katanya biar bisa menikmati udara segar sambil berbaur dengan orang-orang disana. Karena menurutnya lebih baik berbaur dengan orang kecil daripada harus tertekan dengan suasana tertutup.
"Gila, pagi sekali aku ke sekolah. Sepi banget lagi, pasti si kucrut belum datang" Si kucrut panggilan bela pada sahabatnya yaitu Roy.
Mereka berada dalam satu kelas yang sama. Suka bolos pelajaran bersama dan suka buat onar bersama. Tapi yang tidak Roy tau bahwa bela anak orang kaya. Karena penampilannya selalu saja sederhana dan tomboy.
Saat keluar juga sama tidak memakai pakaian yang mewah. Hanya menggunakan baju kemeja, celana jeans dan kaos di dalamnya. Baju paling simpel dan selalu menjadi style Bela.
"Enak juga pagi ini segarrr" Menikmati suasana pagi di taman belakang sambil berbincang-bincang bersama tukang kebun di sekolah ini.
"Pagi pak, apakah bunga disini sudah bangun? "
"Sepertinya sudah, tapi ada beberapa yang belum dibangunkan"
"kenapa? "
"Capek"
"Hahaha" Pak kebun dan Bela selalu tertawa riang dari sorotan mata para siswa. Mereka berdua seakan telah menjadi teman akrab.
Hal itu sering Bela lakukan, dia selalu ramah pada orang-orang yang lebih tua. Tapi dia akan menjadi beku saat bertemu dengan teman-tenan sekolahnya kecuali Roy. Meskipun sifatnya yang dingin, Bela selalu suka menolong orang-orang sekitar walaupun tanpa ada pertanyaan atau perbincangan.
Sementara itu di kediaman keluarga "Pras Wardana Prakasa" Sudah berkumpul bersama di meja makan dan bersiap diri untuk melakukan makan pagi.
"Kemana bela bi? "
"Non bela sudah berangkat tuan"
*brak* hentakan meja membuat Alana dan Eliene terkejut.
"Anak itu selalu saja berbuat ulah, tidak pernah ingin makan bersama-sama di meja ini. Jika tidak berangkat terlalu pagi maka dia akan berangkat sangat siang. Dasar anak sialan" Ketusnya yang membuat wajahnya meradang kebakaran untuk menghantam. Tapi sayang Bela sudah pergi bersekolah.
Bela memang tidak suka makan bersama mereka di meja makan. Karena setiap di meja makan akan selalu ada drama sebelum ataupun sesudah makan. Baik itu drama perebutan lauk ataupun ocehan tentang nilai sekolah.
"Sudahlah dad, yang penting kita makan saja. Lagian anak itu akan selalu saja berbuat seenaknya. Karena dia tidak pernah memiliki aturan" Pintar sekali Alana untuk memaksakan kompor yang sedang menyala.
Wajahnya saja lembut tapi hatinya benar-benar busuk. Tujuannya untuk menyingkirkan Bela dari rumah ini benar-benar sangat besar. Dia takut jika harta dari daddynya akan dibagi 3 sehingga dia akan mendapatkan sedikit. Apabila di bagi 2 mungkin akan mendapatkan bagian yang besar.
"Sudahlah makan, kalian harus berangkat ke sekolah" Ucapnya lembut pada kedua anaknya. Namun beda lagi jika di depannya adalah Bela anak nomor dua yang selalu menjadi terakhir dalam hidupnya.
Mereka sudah melakukan sarapan dan segera berangkat ke sekolah serta ke kantor. Seperti biasa mereka berdua menaiki mobil mewah bersama pak supir. Sedangkan ayahnya menaiki mobil sendiri terkadang juga bersama pak supir jika dirinya sedang lelah.
Perjalanan dari sekolah juga cukup jauh dan mereka berdua Ana dan El bersekolah di tempat yang sama dengan Bela. Ana saat ini duduk di bangku kelas 3 dan El masih duduk di bangku kelas 1.
Di sekolah
"Bel, kamu kenapa sih tidak pernah tertawa pada mereka sedangkan saat bersamaku kamu merasakan tanpa beban" Roy memberanikan diri untuk menanyakan itu. Padahal hatinya canggung karena Bela pasti tidak akan menjawabnya.
"Sudahlah, lupakan itu. Aku ingin kebebasan" Berulang kali hal ditanyakan berulang kali pula jawaban yang diberikan tetaplah sama.
Bela hanya menginginkan kehidupan yang praktis dan tidah ribet. Jadi dia ingin melakukan apa yang dia mau, dan tidak ingin mengikuti perintah yang menurutnya tidak sesuai dengan jalan pikiran Bela sendiri.
Hidupnya sudah terlalu banyak beban, jadi dia tidak ingin menambah beban yang akan dibuatnya sendiri. Lebih baik dia merasakan ketenangan yang berusaha dia ciptakan setiap hari.
"Bolos yuk Roy" Senyumnya memiliki arti terselubung saat menatap Roy.
"Kau datang pagi hanya untuk bolos Bel? "
"Biasalah, aku ingin bebas. Lagipula bosan terus-terusan belajar" Sahutnya percaya diri dan beranjak dari kelas.
"Ayolah"
Mereka berdua keluar dari kelas dan menuju belakang sekolah. Dimana tempat itu sudah menjadi langganan Bela dan beberapa temannya jika ingin bolos.
Sebenarnya Bela adalah anak yang pintar pada saat itu. Dia juga pernah mendapatkan nilai yang bagus berkat didikan mamanya. Tapi semenjak mamanya pergi semuanya berubah. Tidak ada yang menyambut Bela walau hanya untuk sekedar menanyakan nilai yang di dapat setelah pulang sekolah.
Bahkan ayahnya sendiri tidak peduli dengan nilai Bela. Tapi berbeda saat Ana dan El datang menunjukkan nilainya maka pujian-pujian akan keluar dengan bahagia bersama datangnya pelukan.
Dan pada saat itu juga Bela berhenti belajar untuk mendapatkan nilai bagus. Walaupun demikian, Bela bisa mengerjakan semua soal yang ada tapi dia memilih untuk mengerjakan soal dengan asal untuk mendapatkan nilai jelek.
Tujuan Bela yaitu untuk terus menjadi anak biasa saja karena percuma nilai bagus tapi tidak pernah dipandang ataupun menjadi anak emas dari ayahnya.
"Bel belakang saja"
"Oke"
Roy memberi kode untuk beralih ke tempat yang akan dituju untuk mendapatkan keamanan agar tidak diketahui oleh para guru yang sedang melakukan piket pengawasan.
*brak*
"Aduhh, kalau jalan pakai mata dong" Suara yang tidak asing masuk dalam telinga Bela. Tubuhnya segera berbalik dan menatap kembali orang yang ditabraknya.
"Makanya jalan jangan lemot"
"Bela, kamu mau kemana? " Ana terkejut saat melihat Bela berlari ke arah belakang. Sudah pasti dia akan bolos sekolah lagi.
"Urusi saja hidupmu" Bela dan Roy bergegas untuk kabur dan meninggalkan Ana yang masih tercengan.
Dia terus saja menatap Bela dengan tatapan benci lalu tersenyum licik karena akan ada hal menarik saat pulang ke rumah nanti.
Bela juga sudah tau pasti, bahwa Ana akan mengadukan hal ini pada ayahnya. Tapi pikirnya tidak peduli karena hidupnya butuh kebebasan. Tidak ada yang bisa mencegahnya untuk mencari ketenangan karena yang menjalani hidup saya ini adalah bela, bukan orang lain.
*bruk*
*bruk*
Bela dan Roy berhasil kabur dari sekolah dengan meloncati pagar belakang. Dan yang pasti bukan hanya mereka berdua yang bolos tapi masih banyak beberapa siswa lainnya yang malas untuk bersekolah.
"Kemana kita sekarang? "
"Tempat biasa"
Sebelum mereka sampai ke tempat biasa, tidak lupa mengganti pakaian seragam dengan baju biasa. Bila tidak membawanya maka akan membeli kaos di toko-toko terdekat karena takut ada pemeriksaan dan mereka berdua akan terjaring.
Di pinggir jalan menikmati suasan kota dengan lalu lalang motor dan mobil. Kepulan asap motor bersautan dengan asap rokok yang sedang di hisap oleh Roy dan juga Bela. Tangannya lihai dalam memegang rokok karena dia sudah terbiasa.
"Apakah itu ayah, tapi mengapa dia ada disini bersama pengacara keluarga" Gumamnya dalam hati.
Matanya terpaku melihat sebuah mobil berhenti di depan kafe dan terlihat 2 orang keluar dari mobil lalu masuk ke dalam kafe tersebut. Mereka berdua adalah ayah Bela dan juga pengacara keluarganya.
Pikirnya masih bingung, mengapa ayahnya bertemu dengan pengacara keluarga di luar rumah. Biasanya pengacara akan datang dan membicarakan hal penting di dalam rumah. Lalu apakah ada sesuatu yang mereka simpan sehingga harus berbicara keluar dari rumah.
"Bel"
"Astaga, kamu membuatku terkejut saja Roy"
"Ngapain bengong"
"Yuk ikut aku"
Putung rokok yang belum habis terlempar di atas tanah dan diinjak keras dengan sepatu yang beriringan pergi meninggalkan tempat duduk tadi. Roy mengekori Bela dari belakang, dia tidak tau apa yang akan dilakukan sahabatnya itu.
"Sial, tidak dapat aku dengar percakapan mereka"
Percakapan yang terlalu kecil dan terhalang tebalnya kaca kafe. Apalagi mereka duduk di tempat yang terlalu dalam sehingga Bela tidak dapat mendengar apapun tentang percakapan mereka berdua.
"Siapa mereka? Mengapa kau ingin sekali mendengarkan pembicaraan mereka berdua Bel?"
"Hmmm, dia saudaraku"
Bela berusaha berbohong, dia tidak ingin Roy tau bahwa lelaki itu adalah ayah dan pengacaranya. Sebab jika Roy tau pasti dia akan merasa canggung berteman dengan Bela. Karena selama ini Bela pintar menyembunyikan identitasnya sebagai anak orang kaya.
Bahkan seluruh sekolah tidak ada yang tau jika Bela memiliki ikatan saudara dengan Ana dan El. Yang mereka tau adalah Bela hanya anak orang biasa dari penampilannya. Dan Bela adalah anak bandel yang selalu berbuat onar.
"Roy, aku ingin mendengarkan pembicaraan mereka. tapi aku tidak ingin mereka tau"
"Berarti kamu harus menyamar Bel"
"Bagaimana? "
Mereka berdua bingung untuk melakukan penyamaran di dalam kafe. Karena rasa ingin tau Bela yang sangat tinggi membuat hatinya tidak tenang apabila tidak mendengarkan secara langsung tentang topik yang sedang mereka bicarakan.
Dari wajahnya saja terlihat bahwa pembicaraan itu sangat serius dan rahasia. Bahkan beberapa kali terlihat dari mata ayah Bela dia melakukan permohonan pada pengacara.
"Bel" Roy mengeluarkan sebuah topi yang ada di dalam tasnya. Lalu ia meminjam sebuah jaket dari anak jalanan yang sedang mengamen di sekitar lampu merah.
Tidak peduli baju itu lusuh yang penting bisa menutupi identitas Bela sehingga dirinya dengan leluasa memasuki kafe tersebut untuk mendengarkan mereka.
"Bagus Roy, aku akan masuk dan kamu tunggu di sini dulu ya"
"Oke siap"
Dengan santai Bela masuk ke dalam kafe dan berpura-pura menjadi seorang tamu. Wajahnya tertutup oleh sebuah topi yang dia kenakan. Memesan minuman dan makanan untuk memperlancar aksi penyamarannya.
Sedangkan Roy setia menjaganya dari luar tanpa ada rasa curiga sedikitpun. Karena prinsip mereka adalaha, kemana Bela pergi makan Roy akan mengikuti begitu juga sebaliknya dengan Roy. Kemanapun dia pergi makan Bela juga akan mengikuti.
Mereka berdua sudah terlihat sebagai sepasang sepatu yang tidak bisa dipisahkan. Sampai-sampai jika dihukum oleh ibu guru juga sama-sama.
"Ayolah pak, aku ingin nama dia diubah menjadi namaku"
"Tidak bisa pak, ini sudah menjadi ketentuan dari almarhum ibu untuk meletakkan nama Bela di sertifikat rumah dan perusahaan yang ada sekarang"
Mata Bela terbelalak saat mengetahui bahwa perusahaan dan rumah mewah itu atas namanya. Sekarang dia tau bahwa seluruh harta yang ada saat ini adalah milik mamanya yang sudah meninggal. Dan ayahnya tidak ada hak atas seluruh hartanya. Kecuali beberapa perusahaan kecil yng bercabang dan uang yang dia dapatkan sendiri.
"Bela akan menerima perusahaan dan rumah itu apabila dia sudah memiliki suami"
"Apakah saya masih bisa mengubah namanya menjadi nama saya? "
"Itu bisa, kecuali Bela sudah meninggal"
"Uhukkkk, uhukkk"
Bela tersedak mendengarkan pernyataan tersebut. Dia membuat mata kedua orang lelaki itu melihat ke arahnya. Bahkan ayahnya merasa bahwa dia mengenali suara itu. Dia beranjak dari tempat duduk dan berjalan perlahan menuju arah Bela.
"Jangan, jangan sampai ayah tau" Gumamnya dalam hari. Jantungnya berdegup kencang karena takut ayahnya tau bahwa itu adalah Bela.
Bela segera memalingkan wajahnya menghadap ke arah yang berlawanan. Dia tidak ingin ayahnya tau bahwa Bela berada disini dan mendengarkan semua hal yang mereka ucapkan tadi.
"Sayang, kamu sudah lama menungguku. Maaf ya, ayo kita pergi sekarang"
Roy menyelamatkan Bela dari kecurigaan ayahnya. Langkah ayah Bela terhenti dan kembali ke tempat duduknya. Bahkan Roy dengan mesranya memeluk Bela seakan mereka adalah sepasang kekasih.
Bela dan Roy berhasil keluar dari ruangan tersebut. Dan untung saja ayah Bela tidak mengetahuinya. Jika sampai dia mengetahui, mungkin Bela akan dihabisi di kafe tersebut.
"Makasih Roy "
"Iya tenang saja, aku akan selalu bersamamu bel" Tangan Roy masih menggenggam tangan Bela.
Wajah Bela melihatnya dan merasa heran. Bahkan Roy menggenggamnya dengan kuat seakan tidak ingin melepaskan Bela saat ini juga.
"Woy, lepasin"
"Eh iya maaf, maaf" Bela tersenyum melihat kelakuan sahabatnya itu.
" Sudahlah ayo kita pergi"
"Bentar, bentar, sepertinya aku mendengar sesuatu yang berbunyi"
"Bunyi apa bel? "
"Bunyi jantungmu yang bertebar kencang Roy, hahaha"
Bela berlari setelah mengerjai Roy yang membuat wajahnya tersipu malu. sebenarnya Bela mengetahui bahwa Roy sudah menyukainya sejak lama. Tapi dia memilih diam dan pura-pura tidak tau. Bela tidak ingin persahabatan ini menjadi asing saat kedua sahabat menjadi sepasang kekasih.
Benar kata orang, tidak ada namanya sahabat wanita dan lelaki menjadi satu dan menjalin persahabatan selayaknya sahabat seperti biasa. Sebenarnya di diri mereka masih ada ikatan rasa yang ingin menjadi lebih daripada seorang sahabat.
"Bel, senja perlahan mulai tenggelam dan hari akan semakin petang. Kenapa kamu tidak ingin pulang"
"Sudahlah, aku malas roy"
Bibirnya sibuk menyesap rokok yang ada di tangannya. Sudah beberapa barang yang dia hisap. Sedangkan pikirnya masih saja terngiang tentang percakapan tadi.
Hatinya masih tidak menyangka bahwa seorang ayah tega ingin merebut segalanya hanya demi harta. Sekarang Bela mengerti mengapa ayahnya tidak segera mengusir dia dari rumah tersebut. Mungkin karena Bela masih memiliki hak yang lebih besar dibandingkan ayah dan kedua saudaranya.
Ternyata mamanya sangat menyayangi Bela, tapi harta itu juga terbagi rata. Sepertinya begitu, karena masih ada beberapa tanah dan rumah yang dimiliki di tempat lain. Mungkin perusahaan dan rumah itu masih kecil dibandingkan harta yang lebih banyak lagi.
Tapi selebihnya Bela masih bingung tentang harta yang dia miliki. Karena Bela tidak pernah memikirkan harta apapun kecuali kasih sayang yang ingin sekali dia dapatkan.
"Aduh, rokok sudah habis Roy. Aku ingin membelinya lagi"
"Tidak, tidak, tidak. Kamu harus pulang Bel, aku takut orang tuamu khawatir"
Bela terdiam sejenak, kepalanya menyimpan banyak pertanyaan yang tidak dia ketahui. Entah apa yang terjadi pada dirinya, yang paling penting sekarang adalah dia harus mewaspadai kehidupannya sendiri. Karena kata-kata kematian seakan melintas jika berbicara tentang harta.
"Baiklah, ayo kita pulang"
Bela bergegas pulang ke rumah, sedangkan Roy akan kembali pulang ke panti asuhan. Roy sebenarnya memiliki seorang ayah namun semenjak ibunya pergi ke luar negeri dan tidak pernah kembali lagi, ayahnya menikah lagi dan menitipkan Roy ke panti asuhan.
Hidupnya lebih malang dibandingkan dengan Bela, karena dia merasa dibuang oleh ayah kandungnya sendiri. Bahkan setiap malam dia selalu berharap yang sama yaitu ibunya kembali dengan selamat dan memeluk Roy seperti masa kecilnya.
Sementara itu Bela sudah sampai di depan rumahnya. Dia merasa aman karena mobil ayahnya belum datang juga jadi rasanya sangat tenang dan bersantai untuk masuk ke dalam rumah.
"Seprtinya sepi"
Langkahnya perlahan masuk dan tidak ada seorangpun di sana. Hanya ada bi Siti yang sibuk memasak di dapur dengan beberapa pembantu lainnya untuk persiapan makan malam.
Bela bergegas membersihkan diri untuk bersantai di dalam kamarnya. Tapi rasanya sangat bosan jadi dia memilih untuk bersantai di ruang tamu.
"Kita harus menyingkirkan Bela, agar semua harta bisa jatuh ke tangan kita berdua"
"Iya benar kak, aku setuju. Tapi bagaimana caranya kita menyingkirkan kak Bela? "
"Entahlah, masih aku pikirkan"
Langkah Bela terhenti saat melewati kamar Ana. Telinganya perlahan dia tempelkan pada pintu kamar untuk mendengar jelas percakapan Ana dan El di dalam kamar. Mereka sibuk berbicara tentang Bela. Suaranya berbisik tapi masih di dengar oleh orang-orang yang lewat di luar.
Memang tidak ada yang berani untuk melewati kamar mereka berdua karena takut dan harus sesuai persetujuan Ana dan El. Tapi mereka lupa bahwa Bela bebas lewat kemana saja karena kamar mereka bertiga memang sejajar.
"Mereka tidak tau jika aku datang, jadi dengan leluasanya mereka membicarakanku" Gumam Bela dalam hati.
Sekarang dia mengerti tentang semuanya. Ayahnya ingin menyingkirkan Bela hanya untuk harta dan saudaranya juga ingin menyingkirkan Bela hanya untuk harta juga. Dia tidak paham dengan isi kepala dari seluruh keluarganya yang selalu tentang harta.
Bela memilih untuk masuk kembali ke dalam kamar dan merenungi semuanya sendirian dalam kesunyian dengan penerangan yang sengaja dibuat remang-remang untuk menambah ketenangan hatinya.
"Ma, kenapa sih harus Bela. Tidak mendapatkan kasih sayang, dimusuhi, bahkan ingin dihabisi. Keluarga ini aneh tau ma"
Lagi-lagi pikirnya mengadu pada sebuah foto yang tertata rapi di atas nakas. Dia selalu nengadukan hal yang membuat hatinya terasa janggal. Setelah mengadu semuanya maka jiwanya akan tenang walau tidak ada jawaban seoarah katapun dari foto yang indah itu.
Dalam kamar sunyi selalu berbicara sendiri dengan foto yang menampilkan senyuman semu bukan senyuman nyata ari raut wajah mamanya yang telah tiada.
*tok, tok, tok*
Suara ketukan pintu membangunkan Bela yang terlelap sejenak setelah berbicara sendiri pada foto dan sedang memikirkan hal tadi. Dia terbangun lalu membuka pintu secara perlahan.
*ceklek*
"Ayah? "
"Hmmm, ayo nak kita makan malam bareng" Sikapnya yang aneh membuat Bela merasa heran.
Biasanya ayah tidak pernah menyuruh Bela memakan malam bersama. Dia hanya bisa memberikan sikap bodoamat amat. Masa bodo Bela makan atau tidak yang penting dirinya dan kedua putrinya yaitu Ana dan El makan bersama-sama.
"Hmmm, baik yah. Sebentar lagi Bela akan menyusul"
"Baiklah, ayah tunggu di meja makan ya" Bela mengangguk dan segera menutup pintu secara perlahan.
Pikirnya aneh tapi dia harus berfikir positif. Mungkin ayahnya ingin berubah sikap saat berbicara pada Bela. Sejenak Bela membuang kecurigaannya dan rasa takutnya tentang kematian yang ada dalam pikirnya tadi.
Lagipula tidak mungkin ada seorang ayah yang tega membunuh anaknya sendiri karena harta. Mungkin itu hanya pikiran buruk Bela saja dan dia yakin bahwa ayahnya tidak seburuk yang Bela pikirkan saat ini.
Langkahnya turun dan segera bergabung untuk mengikuti makan malam bersama. Di meja makan sudah tersedia hidangan yang banyak. Sudah lama Bela tidak makan malam bersama seperti ini, karena dia akan makan jika semuanya sudah selesai makan.
"Sini nak duduk disini dan makanlah yang kamu suka"
Ana dan El menatap lelaki paruh baya di hadapannya dengan heran. Karena tidak biasanya dia bersikap seperti itu pada Bela. Bahkan mereka berdua merasa dikesampingkan dan tidak diperhatikan seperti biasa.
Bela duduk menjauh dari ayah dan saudaranya. Dia sudah terbiasa menjauh dari mereka bertiga. Bahkan telinganya tidak peduli dengan perhatian yang diberikan oleh ayahnya. Tangan Bela sibuk mengambil lauk yang ada. Ayahnya juga sibuk ingin memperhatikan Bela dengan mengambilkan lauk untuknya, tapi dia tidak mau dan berkata bahwa bisa sendiri.
"Baiklah, makanlah yang kenyang jangan sampai kelaparan nak" Tutur lembut sambil menatap penuh kekaguman pada Bela.
"Kurang ajar sekali, sejak kapan Bela berhasil menaklukkan hati daddy yang selalu marah padanya. Dan sekarang daddy berubah dari sifat kasar menjadi lebih baik" Batin Ana mencekam kekesalan melihat apa yang telah ayahnya lakukan.
Dia merasa bahwa bela sudah berhasil membuat daddynya menjadi lebih baik lagi pada Bela. Bahkan sifat itu terlihat sangat berlebihan. Matanya masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat sedangkan itu sudah benar adanya.
"Aku harus membuat daddy marah kembali pada Bela" Rasa irinya menguasai pikiran yang lebih buruk lagi.
Rencana jahat dari pikiran licik sedang dia susun sambil tersenyum kecil melihat ke arah Bela Sepertinya setiap saat selalu ada pikiran buruk yang harus dilakukan pada Bela.
Dia ingin membuat ketenangan makan malam menjadi kacau agar daddynya kembali marah pada bela yang selalu berbuat onar. Pikiran jahatnya kembali mengingat hal tadi pagi yang bela lakukan.
"Wahhh, akhirnya daddy memperhatikan Bela dengan baik" Bibirnya pandai mengungkapkan akting yang baik.
Bela meliriknya dengan tatapan sinis. Dia sudah tau apa yang akan terjadi selanjutnya, karena itu sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan ini.
Awalnya Ana akan berkata baik untuk Bela lalu kemudian dia akan menghempaskan Bela dengan perkataan buruk yang berkaitan dengan Bela. Sungguh pemain drama yang baik sehingga perannya sangat mudah di tebak.
"Oh iya Bel, kamu tadi jadi bolos. Upsss" Ana mencoba menutup mulutnya seakan pura-pura bahwa dia keceplosan berbicara hal tersebut.
"Apa? "
*brak*
Hentakan meja makan sangat keras membuat semuanya ketakutan. Jika ayahnya marah maka semuanya selalu mengejutkan, tapi pada akhirnya akan tenang juga jika Ana dan El yang akan menentukan.
"Matilah aku" Bela menelan salivanya dengan kasar.
Dia tau pasti bahwa ayahnya sangat membenci bila mendengarkan rentang kebolosan pada saat sekolah. Pikirnya akan selalu mengingat, jika hentakan itu sangat keras maka selanjutnya sebuah tangan besar akan mengambil ancang-ancang untuk siap menampar.
Kali ini Bela meraskaan bahwa tidak akan selamat dari jeratan ayahnya karena kesengajaan yang dibuat oleh Ana.
"Matilah riwayatmu sekarang Bel" Senyum liciknya terlukis diantara dua bibir yang bertaut.
Pikirnya berkata bahwa dia berhasil membuat kekacauan kembali malam ini. Itu semua karena perbuatan Bela yang benar-benar di luar batas kewajaran.
"Apa yang akan dilakukan oleh kak Ana, mengapa dia tersenyum seperti itu. Padahal saat ini daddy sedang marah" Gumamnya dalam hati.
El heran dengan tatapan kakaknya yang tersenyum licik. Dia tidak tau rencana apalagi yang akan dilakukan kali ini. Tapi yang dia pikirkan sekarang yaitu hal ini akan bersangkutan paut dengan rencana untuk mengusir kak Bela dari rumah ini.
*brak* hentakan keras untuk kedua kalinya.
"Apa maksud kamu, apa maksudmu berkata seperti itu Ana" Semuanya terkejut mendengar hal itu.
Ini baru pertama kalinya ayah Bela membentak Ana dengan bentakan yang sangat keras. Mata Ana terbelalak heran dengan daddynya yang menatap penuh dengan kemarahan. Dia tidak bisa berkata apapun, karena hatinya sangat terkejut dengan hentakan yang tidak pernah dia dapatkan hingga saat ini.
Pikirnya meracau penuh tanda tanya, mengapa dia yang dimarah bukan bela. Hal itu terus membuat dahinya berkerut keheranan.
"Memang benar dad, dia tadi bolos"
"Cukup Ana, tutup mulutmu. Sudah beberapa akhir ini Bela tidak pernah bolos dari sekolah. Lalu mengapa kamu berkata seperti itu ha. Jawab!"
Ana gemetar dengan hentakan itu. Sikap daddynya yang lembut kini berubah menjadi amarah. Ana menyalahkan dirinya karena saat Bela bolos sekolah, dia hanya diam. Sehingga saat ini deddy nya tidak percaya jika bela telah bolos sekolah.
Berulang kali dia mengatakan Bela bolos, mungkin tidak akan ada yang mempercayainya lagi. Karena kebolosan Bela kemarin dia sembunyikan sehingga Ana menghardik kelakuannya sendiri.
"Tapi dad, aku tidak berbohong"
*brak*
Bela menatap tenang dengan sikap ayahnya saat ini. Biasanya dia akan mendengarkan semua yang Ana katakan dan segera memarahi bela. Tapi kali ini sebaliknya, dia memarahi Ana dan berkata bahwa dia berbohong.
"Sudah diam, makanlah cepat"
"Daddy jahat"
Dengan tangisan di wajahnya, Ana pergi meninggalkan meja makan dan berlari ke dalam kamarnya. Terlihat jelas raut wajahnya merasakan kekecewaan yang teramat dalam.
El yang melihat hal itu juga ingin mengejar Ana, karena dia juga merasakan kejutan terbesar setelah mendengar bentakan orang yang paling mereka sayangi untuk pertama kalinya.
"Mau kemana kamu El? " Bentak lelaki itu dengan kasar saat melihat El beranjak dari tempat duduk dan ingin mengejar Ana.
"El... Mau... "
"Duduk, makanlah dengan cepat" Hentakan yang sangat kuat membuat El menuruti perkataannya.
El duduk dan kembali melanjutkan makan seperti biasa. Sedangkan Bela merasakan sedikit rasa lega karena ayahnya tidak memukuli dia hari ini. Mungkin pikirnya ayahnya sedang absen.
Bela juga melanjutkan makan seperti tidak terjadi apa-apa. Lalu tanpa pamit dia pergi ke dalam kamarnya setelah makan malam selesai. Tidak ada perbincangan seperti biasa antara anak dan seorang ayah.
Sementara itu Ana masih menangis di dalam kamarnya sambil meluapkan kata-kata kekesalan karena teguran dari lelaki yang menyayanginya.
"Kurang ajar kamu Bel, baru sekali saja mendapatkan hati deddy dan kamu sudah ngelunjak" Geramnya sambil mencengkeram sprei di atas kasurnya.
"Liat saja, aku akan segera menyingkirkanmu dari sini"
Tangannya sibuk menyeka air mata yang menetes sedangkan bibirnya sibuk untuk meluapkan kata-kata kutukan agar bisa menghilangkan Bela dari rumah itu.
Hanya karena bentakan itu dia semakin membenci Bela dan ingin segera menyingkirkan salah satu adiknya dari rumah ini.
"Kak, kakak gapapa" El masuk dan menatap kakaknya dengan tatapan iba.
Dia juga tidak bisa berbuat apapun jika deddynya sudah marah. Dan El juga terkejut karena baru kali ini deddynya marah pada El dan Ana. Hanya kata diam untuk menghadapi kemarahan itu.
"Aku akan menghilangkan Bela dari rumah ini secepatnya El, lihat saja"
Dia bangkit dari ranjangnya dan menatap ke arah jendela dengan tatapan licik. Senyumnya penuh arti untuk melakukan hal apapun agar Bela bisa celaka atau dimarahi oleh ayahnya lagi.
Dendam dalam hatinya semakin membara, dia menyalahkan malam ini kepada Bela. Dan dendam itu semakin bertambah serta membuat hatinya bergerak untuk menyusun rencana.
"Tapi kak bagaimana caranya, sedangkan sifat daddy saat ini berubah sekali"
"Tenang saja, semuanya akan aku atur"
Pelukan kakak adik ditemani gelap malam bersama sebuah rencana yang sudah disimpan untuk membalaskan dendam. Sebegitu bencinya mereka berdua dengan Bela.
Mereka berdua sibuk mengurusi hidup Bela yang aman dan damai. Mereka selalu merasa iri dan ingin sekali mengusik kehidupan yang menurutnya tidak pantas saya melihat Bela tersenyum walaupun hanya sepintas. .
Sedangkan Bela selalu dalam keadaan tenang sehingga dia bisa menikmati malam yang pekat dengan lelapnya bersama bintang-bintang. Bahkan hari-harinya selalu di penuhi dengan bunga mimpi yang indah setelah berbicara dengan foto mamanya sebelum ia tertidur.
Pagi itu saat Bela ingin berangkat ke sekolah, ayahnya menyuruh Bela untuk berangkat bersama pak supir menggunakan mobil bukan menggunakan angkot. Tapi Bela lebih memilih menggunakan angkot karena setiap hari dia sudah terbiasa dengan debu jalanan.
Lain halnya dengan Ana dan El yang selalu dimanja untuk berangkat kemanapun menggunakan mobil mewah dengan uang saku yang jumlahnya cukup besar.
"Emmm, tunggu dulu Bela" Bela menghentikan langkahnya saat ia hendak keluar dari rumah.
"Ada apa yah? " sahutnya dingin.
"Ini uang jajan kamu nak" Beberapa lembar uang ratusan diberikan pada Bela. Katanya untuk menambah uang sakunya pada hari ini.
Ana dan El melihatnya dari belakang dan mereka berdua terlihat begitu kesal. Mereka merasa bahwa ayahnya pilih kasih dengan menambah uang saku pada Bela.
"Tidak yah, uang Bela masih cukup"
"Tidak-tidak, kamu harus mengambil uang ini. Jika perlu kamu bisa mentraktir teman sekolahmu"
Ayahnya memaksa Bela untuk mengambil uang tersebut. Bela juga tidak bisa menolaknya dengan paksaan yang diberikan. Akhirnya Bela pergi menaiki angkot dengan membawa beberapa uang yang jumlahnya cukup banyak.
"Boleh juga uang ini untuk mentraktir teman-teman" Gumamnya sendiri dalam angkutan umum.
Pikirnya tidak pernah meletakkan rasa curiga dalam perilaku ayahnya yang berubah drastis menjadi lebih baik. Bela hanya memikirkan bahwa ayahnya bisa berubah dan menyayangi Bela dengan tulus.
Walaupun sebenarnya hati bela belum terbiasa dengan perubahan dan perhatian yang diberikan saat ini oleh ayahnya. Karena Bela sudah terbiasa dengan keadannya yang sunyi, menyepi dan selalu sendiri.
Setibanya di sekolah, dia langsung menghampiri Roy untuk mentraktirnya nanti setelah pulang sekolah. Dia berkata bahwa kali ini memiliki rejeki yang sangat banyak, tapi dia tidak berkata bahwa uang itu dari ayahnya.
"Kamu kerja apa sih bel, sampai banyak sekali uangmu"
"Sudah diam saja, yang penting kita bisa makan enak hari ini"
"Tapi itu uang halal kan? "
Roy meragikan tentang keberadaan uang itu. Dia takut jika Bela mencurinya dari seseorang yang dapat menyebabkan dia dalam pengejaran polisi.
"Tenang saja, ini halal kok"
"Tapi kamu tidak menjual sertifikat rumah kan"
"Hahahahah"
Bela tertawa dengan keras mendengarkan ucapan dari sahabatnya tersebut. Roy sangat lucu karena pikirnya takut dia menjual sertifikat rumahnya dan mengambil uang hasil penjualan lalu membiarkan keluarganya tidur di jalanan.
"Tidak lah, aku bekerja" Ucapnya bohong.
"Bekerja apa? "
"Kamu banyak tanya sekali, Lama-lama bibirmu aku capit nih"
"Hahahah"
Mereka berdua tertawa dengan keras dan dengan kesenangan. Memang kedua sahabat ini selalu dikenal sangat akrab walau wajah Bela tidak pernah hangat jika bertemu dengan siswa lainnya. Kecuali siswa yang telah mengenal Bela dengannya.
~~~~ BERSAMBUNG ~~~~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!