NovelToon NovelToon

Aku Laras

Bab 1. Kesal

Bab 1. Kesal

Mayra 20 tahun, anak tunggal dari pasangan Rusli dan Lidia, orang tua yang terkenal mapan dan memiliki beberapa aset yang bisa di katakan wah. Namun, tidak dengan Mayra gadis ini merasa terkurung dan terkungkung oleh kemewahan yang sang ayah miliki. Mayra juga merasa heran kenapa di rumah sebesar ini memiliki japa mantra yang di pasang di setiap sudut rumah, belum lagi benda-benda klenik yang ada hampir di setiap ruangan. Penolak balak, itu yang sang ayah jawab saat Mayra bertanya tentang hal yang tak pernah di pahaminya.

Pagi ini, Mayra sedikit kesal saat sang ayah mengikat gelang dari benang berwarna merah dan mengucapkan mantra aneh, belum lagi sang ayah meminta untuk membawa bumbu dapur delingu bawang yang di taruh di dalam tasnya. "Hash! Ayah untuk apa ini? Mayra sudah bosan, sejak SD Ayah selalu meminta Mayra membawa benda ini." protes Mayra tak suka dengan wajah cemberut.

Namun, sang Ayah tak bergeming malah memberikan perintah pada orang kepercayaannya. "Awasi Mayra dan pastikan dia tidak membuang ajimat itu!" titah sang ayah.

Mayra yang mendengar ucapan sang ayah kembali memprotes. "Ayah, Mayra akan kuliah bukan wisata ke hutan atau pun gunung, heran! Lagipula kenapa harus memakai gelang ini juga." Mayra menggerutu kesal.

"Mayra!" teriak sang ibu marah saat mendengar dirinya menggerutu dan menatap tajam. "Jangan membantah, kerjakan saja apa yang Ayah kamu bilang!" tegas sang ibu.

Mayra akhirnya hanya bisa diam perasaan kesalnya kian menjadi saat sang Ayah membaca mantra, mantra aneh yang kadang membuatnya pusing sembari mengitari dirinya. Setelah sang ayah selesai membaca mantra Mayra baru boleh berangkat dengan wajah cemberut dan tatapan mata yang tajam menandakan pagi ini dia begitu marah. Mayra berjalan keluar rumah tanpa berpamitan pada kedua orang tuanya.

Sepanjang jalan Mayra menggerutu sembari berusaha melepas gelang dari benang yang kini melilit tangannya. "Argh .... sulit sekali, lagi pula apa gunanya semua ini!" geram Mayra kesal dan kemudian berhenti dan menatap ke arah pengawalnya yang sudah mengekor sejak tadi.

"Om, kemari," panggil Mayra pelan.

"Ya, Non. Ada yang bisa saya bantu?" tanya sang pengawal.

Mayra berhenti sejenak dan menatap pengawalnya. "Husstt ... jangan keras-keras nanti Ayah dengar," bisik Mayra semakin pelan.

"Om. Om tahu untuk apa gelang ini? Kenapa juga Ayah terus memaksa Mayra untuk memakainya. Apa ada sesuatu yang Ayah tutup-tutupi?" tanya Mayra kesal.

"Om, bantu saya untuk melepas gelang ini," pinta Mayra sembari berbisik.

Sang pengawal langsung menunduk, tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya, hingga membuat Mayra makin kesal. Amarahnya yang tadi sedikit mereda kini makin menjadi, netranya menatap tajam ke arah sang pengawal dan dengan mendengus kesal. "Tolol, kenapa harus meminta tolong pada Om, Marya lupa kalau Om itu antek-antek Ayah!" seru Mayra marah.

Mayra yang merasa kesal karena pertanyaannya tak memperoleh jawaban akhirnya memilih untuk diam dan masuk dalam mobil. Beberapa menit kemudian setelah mobil melaju, masih dalam diamnya netra Marya seketika membola saat terbersit ide dalam pikirannya, senyum Mayra tersungging sesaat seakan menemukan jawab akan kekesalan hatinya. Hingga mobil yang mengantarnya berhenti di depan kampus tempat yang paling Mayra suka, kebebasan dan jiwa merdeka yang Mayra rasakan terlepas dari segala klenik yang membuatnya kesal.

"Om, pulang saja tidak perlu menunggu nanti Mayra pulang dengan Panca!" usir Mayra sembari tersenyum.

"Tapi ... Non, nanti Tuan marah," jawab sang pengawal takut.

"Agh! Sudah Om, Om bilang saja jika saya pulang dengan Panca. Ayah pasti percaya, janji nanti saya telfon," ucap Mayra memastikan.

Pengawal ini diam untuk sesaat seakan ingin mempercayai semua ucapan sang Nona yang terkadang memberinya masalah. Pengawal ini akhirnya mengiyakan saja semua keinginan Mayra dengan tersenyum sang pengawal berlalu pergi. Namun, belum juga jauh sang pengawal melangkah, dia berbalik badan untuk memastikan.

"Hus-hus, pulang!" usir Mayra sembari mendorong tubuh sang pengawal.

"Non, ingat telfon Tuan, saya enggak mau jika kejadian tiga hari lalu terulang lagi!" tegas sang pengawal.

Mendengar ucapan sang pengawal Mayra langsung menatap tak suka netranya seketika melotot tetapi tak lama tersenyum sembari membuka tas dan mencari dompet miliknya.

"Om, ini untuk beli kopi dan bakso." Mayra mengulurkan uang seratus ribu.

"Non, bukan begini maksud saya," jawab sang pengawal.

"Aghhh ... sudah. Ambil saja!" seru Mayra sembari mengulurkan uang yang di pegangnya, "mau atau tidak, kalau begitu saya masukkan dompet lho Om," ancam Mayra.

"Em ... Non, apa Non bersungguh-sungguh," jawab sang pengawal ragu dan menggaruk kepalannya.

"Hash! Om, pakai malu-malu kuncing, sudah terima saja."

Setelah memberikan uang seratus ribu Mayra langsung berlalu pergi dengan senyum penuh kemenangan Mayra berjalan menyusuri area kampus hingga langkahnya berhenti tepat di area parkir. Melihat sekilas untuk memastikan jika Panca ikut nongkrong di sana. Namun, Mayra tak bisa menemukan sosok Panca laki-laki tampan, tinggi dan rambut ikalnnya yang selalu di gerai hingga batas telinga.

Mayra seketika mencebik kesal saat tak mendapati Panca di mana pun berada, hingga Mayra mendengar namanya di panggil dengan keras.

"Hai, Mayra gadis bergelang merah."

Mayra seketika menoleh saat mendengar suara yang tak asing di telinganya. "Alhamdulillah, akhirnya dewa keberuntungan aku datang," gumam Mayra sembari tersenyum dan melihat siapa yang memanggilnya dengan keras. Senyumnya seketika terkembang sempurna mata bening dengan iris warna coklat muda seakan menambah kecantikan di wajahnya.

"Panca!" teriak Mayra keras seakan tak menyadari di mana dia berada.

Mayra langsung berlari menghampiri sosok Panca yang baru tiba, tetapi langkahnya seketika terhenti saat melihat wajah Panca yang tertekan. Mayra yang menyadari perubahan raut wajah Panca seketika menunduk. "Maaf, bukan maksud saya merepotkan kamu tetapi ... lihat ini," ujar Mayra manja.

"Argh ... kamu, jangan bersikap manja dan gara-gara kamu! Ayah kamu menelpon saya!" seru Panca marah sembari menyentil dahi Mayra.

"Ash, mesti begitu. sakit tahu!" geram Mayra sembari mengusap dahinya.

Panca hanya mengacuhkan rengekan Mayra dan memilih untuk berjalan lebih dulu.

Mayra yang merasa di acuhkan oleh Panca semakin merasa kesal dan langsung memburu langkah Panca. "Eh. Tunggu, kenapa aku di tinggal!" teriak Mayra keras.

"Hash! Beridik, ada apa?" tanya Panca kesal.

"Iya, maaf. Panca tolong buka ini, bosan saya jika di suruh memakai ini terus, malu Panca," ujar Mayra sembari menunjukkan gelang yang di pakainya.

Panca tak menjawab semua ucapan Mayra tetapi memilih menatap Mayra lekat dan tak lama tertawa keras seakan ada hal yang lucu hingga semua anak yang nongkrong di area parkir menatap dengan heran. Mayra yang merasa kesal dengan tawa Panca akhirnya hanya bisa menatap dengan kesal dan tak urung Mayra mencubit Panca dengan keras.

"Argh ... sakit."

"Mayra hari ini kuliah pulang lebih awal dan saya kemari bukan karena ingin membantu kamu tetapi Ayah kamu meminta saya membawa kamu pulang."

"Ayo!"

Bab 2. Perjodohan

Bab 2. Perjodohan

Mayra masih kesal dengan sikap Panca akhirnya melakukan aksi mogok, Mayra tak bergeming selangkah dari tempatnya berdiri dan kini malah duduk di bangku area parkir.

"Mayra. Ayo, lihat ponsel aku terus berdering," panggil Panca kesal.

Mayra makin cemberut tak menjawab semua perkataan Panca hanya netranya saja yang sesekali mengedip. Panca yang sedari tadi sibuk menjawab telfon akhirnya menghampiri Mayra dan menatapnya lekat. "Sahabatku yang cantik dan imut serta jutek, sayang aku tak mencintaimu, pulang yuk!"

Mayra masih tak bergeming, saat ini hatinya begitu kesal dan tak ingin memaafkan sikap Panca. Entah kenapa Mayra masih bersih kukuh tak ingin pulang seakan ada firasat buruk yang akan menyambutnya di rumah.

Mayra kembali menggeleng dan menolak ajakan Panca. "May pulang, sebelum Ayah kamu mengirim orang untuk menyeret kamu," jelas Panca akhirnya.

"Argh ... selalu itu yang Ayahku gunakan untuk mengacam!" seru Mayra kesal.

"Oke, kita pulang tetapi minta maaf dulu," pinta Mayra.

Mendengar seloroh Mayra, Panca seketika tertawa, menertawakan sikap sahabatnya yang manja. "Maaf, Mayra cantik, sayang aku tak mencintainya. Maaf jika hari ini sudah membuat hati kamu kesal," ucap Panca bersungguh-sungguh.

"Tidak ada maaf bagimu dan jangan pernah menertawakan aku dan sebagai hukumannya kamu harus bertanggung jawab dengan hilangnya benda ini," ucap Mayra sembari membuang delingu bawang yang di pegangnya dan memutus tali merah yang melilit tangannya.

"Ayo, pulang! Pikirkan saja alasan untuk Ayah nanti," ujar Mayra sekenanya.

Panca hanya bisa menggaruk kepalanya dan menatap sahabatnya dengan bingung. Mengekor langkah Mayra, Panca seakan memikul beban berat. "May, dewasalah sedikit jangan terlalu manja pada diriku dan kamu selalu membuat aku terpojok dengan amarah Ayah kamu," tutur Panca tiba-tiba dan membuat Mayra menghentikan langkahnya.

"Jadi. Kamu menyesal bersahabat dengan aku, kamu merasa aku menjadi beban kamu," cicit Mayra sembari menatap Panca kesal.

"Bukan-bukan seperti itu, paling tidak mulai hari ini kamu harus bisa memutuskan semuanya sendiri dan harus bisa melepas persahabatan kita," terang Panca aneh.

Mayra seketika membulatkan netranya, menatap Panca kesal, dirinya hanya bisa mengembuskan napas kesal tak menyangka jika sahabatnya akan berbicara seperti itu. Sementara itu, Panca hanya bisa melihat sahabatnya dengan tatapan sendu. "May, tolong jangan bersikap seperti itu. Pulang cantik," bujuk Panca lagi.

Mayra tak menghiraukan setiap ucapan Panca, tetapi sesaat bibirnya tersenyum licik.

"Baik. Kita pulang, tetapi janji kita masih bersahabat," tawar Mayra.

"Em ... bagaimana ya?"

"Oke, kalau begitu aku akan melarikan diri dan rasakan nanti apa yang akan Ayahku lakukan!" gertak Mayra.

"Hash, baik-baik!" jawab Panca kesal.

"Hish, enggak akan aku percaya dan sebagai buktinya apa?" tanya Mayra tak kunjung beranjak dari tempatnya.

"Oke-oke, apapun nanti jika kamu dalam kesulitan aku akan membantu kamu, janji!" seru Panca.

"Baik, aku pegang janji kamu. Ya, Allah dengarkan janji sahabat aku ini dan Engkau yang menjadi saksi Ya, Allah!" pekik Mayra keras.

Panca seketika menutup mulut Mayra dengan kesal. "Hash! Pelankan suara kamu, lihat mereka melihat ke arah kita," ujar Panca malu.

Namun, belum juga Panca melepas tangannya suara petir menggelegar seakan alam menyambut ucapan Mayra. Langit yang tadinya cerah tiba-tiba berubah mendung dan hujanulai turun rintik-rintik.

"Lihat Panca, alam pun merestui janji kamu," ujar Mayra sembari tersenyum penuh kemenangan.

"Ayo, kita pulang!" ajak Mayra tiba-tiba.

Perjalanan pulang Mayra lalui dengan wajah senang, tetapi netranya seketika meredup saat tiba di rumah. "Ayo, keluar!"

Mayra tak kunjung ke luar dari mobil, sementara Panca hanya bisa menggeleng saat melihat ulah Mayra. "May masuklah, sebelum Ayah kamu marah besar," ujar Panca mengingatkan.

Mayra dengan cemberut akhirnya keluar juga dari mobil, masih berdiri di depan mobil dan tak ujung beranjak dari tempatnya. Panca kembali menggeleng melihat sahabatnya yang tengah kesal. "Akhirnya, aku juga yang kena batunya," ujar Panca sembari ke luar dari mobil. Menarik tangan Mayra dengan kesal hingga mereka tiba di dalam rumah.

Tatapan beberapa mata langsung tertuju pada Mayra dan Panca. Panca yang sadar tengah menggandeng tangan Mayra seketika melepas tangannya. "Sore, Tuan Rusli. Maaf jika saya baru mengantar Mayra pulang," ucap Panca sopan.

"Panca, kemari sini dan kau Mayra juga kemari," titah sang ayah.

Pak Rusli yang duduk di ruang tamu seketika memindai Mayra menatap tajam ke arah tangannya. Sang ayah seketika menyengitkan dahi marah, berdiri berjalan mendekat ke arah Mayra dan Panca. Meraih tangan sang anak dengan tatapan tajam. "Kemana, gelang kamu!" seru sang ayah tak suka dan mengalihkan tatapannya pada Panca.

"Panca!"

"Ma-maaf. Tuan Rusli, tadi secatra tak sengaja Mayra terjatuh dan gelangnya tersangkut pagar," ujar Panca berbohong.

"Kamu, yakin?" tanya Tuan Rusli menyelidik.

Panca hanya mengangguk dan langsung menunduk, melihat tingkah dua anak muda di depannya, Tuan Rusli sesaat tersenyum sembari menepuk bahu Panca. "Terima kasih Panca, memang Mayra yang ceroboh," ujar Tuan Rusli sembari menatap tajam ke arah Mayra.

Panca seketika mendongak lega. "Tuan Rusli, kalau begitu saya pulang dulu," pamit Panca.

Sementara itu, sepeninggal Panca sang ayah Rusli langsung meraih tangan Mayra, menariknya dan seketika menghempas tubuh Mayra di kursi. Tubuh Mayra terjatuh dengan keras dan saat ini dia hanya bisa meringis menahan sakit. "Dasar, anak tak tahu di kasihani. Kenapa kamu membuang jimat itu Mayra," ujar sang ayah kesal.

"Sekarang duduk dan dengarkan! Mulai hari ini kamu tak usah ke kampus dan kamu juga tidak boleh ke luar dari rumah." Sang ayah geram.

"Ayah! Apa maksud Ayah!" seru Mayra penasaran.

Sang ayah tak segera menjawab tetapi netranya yang menatap Mayra tajam. Mayra yang mendapat tatapan dari sang ayah hanya diam tak berkutik. "Mayra, ada yang ingin Ayah sampaika," ujar Pak Rusli pelan dan berusaha untuk meredam emosinya sesaat.

Mayra kini hanya bisa menatap sang ayah dengan tatapan kesal.

"Mayra, Ayah minta kamu tinggal di rumah. Karena Ayah sudah menjodohkan kamu dan ini hukuman untuk kamu," Jelas sang ayah yang tak ingin ada penolakan.

"Apa!" seru Mayra kencang.

Bab 3. Pelarian

"Apa!" teriak Mayra terkejut.

"Ayah. Apa yang Ayah bicarakan, Mayra menolak perjodohan ini. Sekarang zaman sudah maju Ayah!" protes Mayra.

Namun, sang Ayah tak bergeming sedikitpun masih berdiri menatap anak gadisnya dengan berbagai penolakan yang di lakukannya.  Mayra masih terus berusaha menolak dan terus mendebat sang ayah, tetapi semua yang Mayra lakukan seakan membentur tembok dari keangkuhan orang tuanya. Mayra dengan kesal akhirnya menyerah saat sang ayah memberi keputusan yang membuatnya tak percaya. "Ayah dan Ibu sudah memutuskan dan rencana pernikahan ini akan di gelar dalam dua minggu mendatang, Ayah harap kamu menerima semua keputusan Ayah dan Ayah tak ingin mendengar lagi penolakan dari kamu, Ayah harap kamu paham akan ini Mayra," tegas sang ayah.

"Tapi, Ayah!"

"Ayah bilang tidak ada tapi-tapi, siapkan saja dirimu untuk dua minggu ke depan," ujar sang ayah sembari berlalu pergi dan tak menghiraukan terikan Mayra dan penolakan yang terus sang anak lontarkan.

Mayra saat ini tak tahu harus berbuat apa sementara Panca sudah lama pergi sejak dirinya menolak perjodohan ini.

Perasaan kesal membuat dirinya memilih masuk dalam kamar, tetapi belum juga langkahnya masuk dalam kamar, Mayra mendengar sang Ayah tengah berbicara serius dengan seseorang dan itu menyebut suatu tempat yang tak pernah dirinya dengar nama kota yang begitu asing di telingannya. "Aneh. Apa yang sedang Ayah bicarakan dan sepertinya Ayah secara diam-diam sering membicarakan kota ini," gumamnya dan kini berjalan mengendap, mendekat  berusaha mendengarkan percakapan yang sang ayah lakukan. Mayra benar-benar mendengarkan semua percakapan sang ayah.

Rasa penasaran yang tinggi membuat Mayra melupakan semua rasa kesalnya, sesaat bibir Mayra tersenyum penuh arti, Mayra segera mencatat dan menyimpan nama kota dan alamat yang di dengarnya. Hingga tepukan lembut hinggap di bahunya membuat dirinya terkejut, menoleh ke arah ke belakang.

"I- ibu .... "Sapa Mayra pelan.

"Anak bandel, sejak kapan kamu memiliki sikap mencuri dengar percakapan orang tua," kesal sang ibu sembari menjewer telinga Mayra.

Mayra tak menyangka jika ibunya sendiri enggan untuk membantunya dan seakan sang ibu menuruti saja semua sikap sang ayah yang keras dan semaunya. "Hash, Ibu. May hanya mencuri dengar dan itu pun hanya sekilas," jawab Mayra sembari berlalu pergi begitu saja.

Sang ibu yang melihat tingkah anaknya akhirnya hanya bisa diam menatap Mayra pergi meninggalkan dirinya begitu saja. Namun, diam-diam Mayra melirik ke arah sang ibu. Mayra sesaat terdiam dan hanya bisa melihat dari tempatnya berdiri. "Apa, juga yang di lakukan oleh ibu, semua terasa aneh, belum lagi perjodohan ini," gumam Mayra tak suka.

Mayra kembali terkejut saat sang ayah berteriak dengan keras dan memanggil namanya berulang kali. "Ya. Ayah!" teriak Mayra tak kalah keras.

"Kemari!" panggil sang ayah.

Mayra dengan perasaan kesal datang memenuhi panggilan sang ayah, berjalan dengan wajah cemberut. Namun, langkahnya terhenti saat melihat seorang laki-laki asing menatapnya dengan tersenyum. Laki-laki yang berusia beberapa tahun darinya, jelas terlihat dari wajahnya yang kebapakan.

"Mayra, kenalkan dia calon suami kamu," tutur sang ayah sembari tersenyum.

Mayra yang terkejut, membuatnya hanya bisa menatap laki-laki yang berdiri di depannya, netranya seketika menatap tajam seakan ingin mengajak laki-laki ini berduel. "Mayra!" teriak sang ayah mengejutkan.

"Ayah! Mayra, menolak dan tak menyukai perjodohan ini titik!" pekik Mayra kesal dan memilih meninggalkan sang ayah dan laki-laki yang sedari tadi menatapnya seakan-akam ingin menelan Mayra bulat-bulat.

Di dalam kamar Mayra segera mengulir ponselnya menghubungi Panca, tetapi berulangkali dirinya melakukan panggilan Panca tak menjawab dan mengalihkan panggilannya. Mayra dengan kesal melempar ponselnya begitu saja dan menghempaskan tubuhnya di ranjang dengan keras. Netranya terus menatap langit-langit kamar, Mayra tak menyangka jika sang Ayah tetap bersih kukuh melanjutkan perjodohan ini dan tak menghiraukan protes dan penolakan yang di lakukannya.

Mayra memutar otak bagaimana caranya bisa lepas dari perjodohan yang sudah di rencanakan dan berbagai persiapan sudah sang ayah dan ibunya lakukan. "Panca angkat teleponnya," ujar Mayra gusar.

Mayra tak menyangka jika Panca jadi begitu sulit untuk di hubungi dan melupakan dirinya begitu saja. Hingga satu minggu sudah berlalu dan berarti pernikahan ini tinggal menghitung tujuh hari ke depan. Namun, sore ini Mayra merasa senang saat Panca mau membalas panggilan yang di lakukan oleh Mayra. "Ayolah, Panca bantu aku lari dari pernikahan konyol ini. Ingat kamu sudah berjanji membantuku Panca," rengek Mayra pada Panca.

Mayra segera menutup ponsel miliknya dan meraih tak punggung kecilnya, memasukkan beberapa barang dan membaca sekilas kertas kecil yang di pegangnya. "Terima kasih Panca akhirnya kamu mau juga membantu," gumam Mayra sembari keluar dari kamar.

Mayra sedikit terbantu karena hari ini ibu dan sang ayah tengah pergi ke suatu tempat untuk melakukan ritual bulanan yang dikakukannya. Mayra berjalan mengendap memindai seisi rumah yang terlihat sepi, Mayra bergegas pergi ke tempat yang mereka sepakati, pelarian Mayra seakan alam ikut mendukung semua rencananya. Para antek-antek sang ayah juga tak terlihat berkeliaran di rumah. "Selamat," gumam Mayra senang dan masuk dalam mobil.

Namun, belum juga Mayra melaju terdengar teriakan keras dari arah belakang. "Nona, tunggu! Nona jangan pergi!" teriak seorang penjaga dan terlihat berlari mengejar mobil yang di kendarai oleh Mayra.

Mayra sesaat tersenyum saat semua aksinya berjalan lancar dan menghentikan mobil dan bibirnya tersenyum lebar saat melihat Panca dengan wajah tegang. "Panca!" teriak Mayra senang.

"Hash, kamu selalu membawa aku dalam masalah kamu dan apa juga menagih janji dariku," ujar Panca sembari bersungut-sungut kesal.

"Tolong, sekali ini saja. Antar aku ke alamat ini Panca," pinta Tania sembari memberikan alamat yang di bawanya.

Panca lalu membaca dan sedikit menyengitkan dahinya heran. "Kamu akan ke kota ini?" tanya Panca tak percaya.

"Benar! Mungkin di kota ini aku bisa bersembunyi," jawab Mayra sekenanya.

"Kamu nekat May, tetapi aku hanya bisa mengantar kamu hingga terminal terakhir dan selanjutnya kamu melakukan perjalanan sendiri, bagaimana?" tanya Panca seakan sedang merencanakan sesuatu.

Mayra segera masuk dalam mobil Panca, tetapi Panca tak kunjung melajukan mobilnya. "Ayo, kita tunggu apalagi. Ayah tak akan bersedih jika hanya kehilangan satu mobil seperti itu, lagipula kamu juga harus segera tiba di rumah," ujar Mayra panjang lebar.

"May .... "

"Ayo, Panca sebelum antek-antek Ayah datang," ucap Mayra bersemangat.

Perjalanan yang begitu jauh, Mayra tak menyangka jika alamat asing yan di tujunya berbeda dengan semua yang berada di dalam angannya. Namun, Panca seketika berhenti sebelum memasuki terminal terakhir menatap Mayra sesaat. "May, kamu yakin ingin pergi ke kota ini?" tanya Panca ragu.

"Demi menolak pernikahan aneh yang Ayah atur aku rela tinggal di sini hingga Ayah sadar akan keputusannya Panca," jawab Mayra bersamaan dengan suara ponselnya yang terus berdering.

"Matikan, cepat matikan," pinta Mayra cemas.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!