NovelToon NovelToon

Siapa Sebenarnya Suamiku?

1. Menikah

Sah

Akhirnya kata itu terdengar juga dari mulut beberapa tetua yang berada dalam ruangan yang sudah dihias dengan indah itu. Rinjani dan Dave resmi menjadi sepasang suami istri. Setelah perjalanan panjang dari Dave, akhirnya pria itu bisa menikmati hasil indah dari perjuangan dan kesabarannya melunakkan hati Rinjani.

"Terima kasih untuk semua waktumu selama lima tahun terakhir," kata Rinjani mencium punggung tangan pria yang beberapa menit lalu menjadi suaminya.

"Semua waktuku adalah milikmu." Dave mengecup lama kening Rinjani.

Butuh waktu yang lama dan kesabaran ekstra saat Dave memperjuangkan cintanya. Sangat sulit menembus dinding tebal nan tinggi yang diciptakan oleh Rinjani. Wanita malang yang benar-benar trauma dengan pernikahan.

Ya, lima tahun yang lalu Rinjani sebenarnya akan menikah dengan kekasih yang ia pacari selama kurang lebih dua tahun. Namun, sungguh sial nasibnya, di hari pernikahannya yang tinggal menghitung jam, calon suami Rinjani menghilang dan ditemukan tewas di dasar jurang setelah dua hari dalam pencarian.

Keadaan Raga, mantan calon suami Rinjani kala itu sudah membusuk dan tak layak untuk dilihat oleh keluarganya. Menurut pihak berwajib, Raga adalah korban pembunuhan yang hingga kini tak dapat di temukan siapa tersangkanya.

Sejak saat itu, Rinjani mengalami depresi. Sering berhalusinasi akan kehadiran Raga dan terkadang ia merasa Raga masih ada di sekitarnya. Di saat itulah, Dave senantiasa berada di samping Rinjani dengan sabar.

Berada di titik ini pun, Rinjani masih sangat trauma. Ia merasakan panik dan cemas berlebihan sebelum akad di mulai. Rinjani tak ingin kejadian lima tahun lalu terulang kembali, wanita itu sampai meminta panggilan video call dengan Dave selama ia di rias hingga diantar ke pelaminan.

"Kok kayak ada yang dipikirin? Mikir apa?" tanya Dave saat mereka sedang istirahat makan siang.

"Kenapa kamu mau memperjuangkan aku begitu keras? Apa istimewanya aku di mata kamu? Aku hanya wanita yang pernah tidak waras karena perkara laki-laki."

"Aku sayang sama kamu tulus, Rin. Aku nggak mau lihat dan nggak mau tahu sama masa lalu kamu. Justru aku bangga sama kamu, masa lalu kamu sudah membuktikan kalau kamu sudah jatuh cinta sama orang, kamu cintanya nggak main-main."

"Tapi aku belum bisa menghilangkan Raga dari hati aku, aku sudah ikhlas dengan kepergiannya. Tapi hatiku masih bertahta namanya."

"Mungkin aku nggak akan bisa menempati tempat Raga sekarang. Tapi suatu saat aku yakin aku bisa menempatinya tanpa menghilangkan nama Raga. Aku bukan Raga, jadi sudah dipastikan aku nggak bisa gantikan dia. Aku hanya bisa menempati ruang hatimu yang sekarang masih disinggahi Raga. Aku nggak akan meminta kamu melupakan atau menghilangkan Raga dari hatimu. Aku hanya minta, kamu abdikan hidup kamu denganku, habiskan waktu denganku hingga maut. Biarkan Raga tetap di sini tanpa menggangu kita. Bisa?" tanya Dave di akhir kalimat serta menyentuh dada atas Rinjani.

Kata-kata yang diucapkan Dave membuat Rinjani terharu hingga menangis. Ia merasa beruntung, meskipun ia tak bisa bersatu dengan kekasih hatinya, ia bisa menemukan pria seperti Dave yang bersedia menerima apa adanya dirinya. Tak pernah menuntut apa pun darinya, dan yang terpenting Dave tak pernah mempermasalahkan masa lalunya yang hingga kini masih membekas dengan jelas.

Malam harinya, mereka kembali ke pelaminan untuk melakukan resepsi. Banyak tamu yang berdesakan untuk bersalaman dengan kedua mempelai. Baik dari kedua orang tua Rinjani maupun teman-teman mereka.

Tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang sejak tadi menatap ke arah pelaminan. Tatapan ****** dari seorang pria yang memiliki amarah di dada dan dendam yang sangat terlihat dari sorot matanya.

Sepasang mata itu langsung bersembunyi ketika Rinjani menatap kearahnya.

"Ada apa, Sayang?" Dave yang melihat istrinya celingukan akhirnya bertanya.

"Kayak ada orang di sana, Mas. Tapi udah nggak ada, perasaan aku aja kali, ya," jawab Rinjani menunjuk ke suatu arah, namun sudah tak ada apa pun di sana.

"Kamu terlalu cemas, Sayang. Istirahat aja, yuk. Udah malam juga ini, tamu juga udah berkurang, paling tinggal tamu-tamu Ayah dan Ibu, kan?"

Rinjani mengangguk, ia juga sudah lelah dengan rutinitas menjadi ratu sehari semalam. Kini saatnya ia mengistirahatkan tubuhnya.

"Apa aku benar-benar boleh istirahat?" Rinjani duduk di meja rias seraya menghapus semua make up yang menempel di wajahnya.

Dave yang baru saja keluar dari kamar mandi melangkahkan kakinya dan membungkukkan badannya agar sepadan dengan sang istri. Ia meletakkan dagunya di pundak wanita yang selama lima tahun ia perjuangkan. Memandang ke arah cermin yang terpampang wajahnya dan juga wajah ayu alami Rinjani.

"Apa kamu akan mengira jika aku akan membiarkan kamu istirahat? Tidak semudah itu, Sayang," kata Dave mengecup leher Rinjani di beberapa titik.

Salah satu kelemahan wanita jika di kecup pasti akan merasakan sensasi yang berbeda. Rinjani yang semula sangat gugup kini malah menikmati sentuhan demi sentuhan yang di ciptakan bibir seksi Dave.

Matanya terarah untuk terpejam dengan sendirinya. Tangan Dave juga tak mau diam begitu saja, tangan yang semula di perut kini sudah beranjak naik dan menekan-nekan sebuah gundukan di sana.

"Mas." Lengkuhan suara tanda kenikmatan telah terdengar di telinga Dave.

Mendengar suara itu membuat Dave semakin brutal menciptakan suara-suara yang sungguh ingin ia dengar.

Sudah tak tahan dengan hasrat yang sudah memuncak melewati kepala, pria yang baru saja menyandang sebagai kepala keluarga itu menggendong istrinya dan membawanya ke ranjang.

Gerakan demi gerakan mampu membuat ranjang besar milik Dave berdenyut dan bergetar halus. Sehalus desisan yang di ciptakan oleh keduanya.

Tak pernah melakukan ini sebelumnya membuat mereka cukup lama dalam memanaskan badan. Hingga akhirnya mereka tiba di titik mereka akan menyatukan tubuh dan bertukar keringat dalam waktu yang tak dapat di tentukan.

"Loh, kamu kok pakai ini? Lagi datang bulan?" pekik Dave terkejut.

Seketika Rinjani bangkit dari berbaringnya dan duduk dengan sempurna. Ia menepuk jidatnya dan menampakkan ekspresi wajah bersalah.

"Maafkan aku, aku lupa." Rinjani sedikit takut.

Mendengar kalimat Rinjani membuat tubuh Dave seketika lemas tak berdaya. Hasrat yang muncul di puncak kepala lenyap begitu saja, entah ke mana perginya.

"Jangan marah!" rengek Rinjani.

"Nggak, Sayang. Aku nggak marah, kenapa harus marah? Ini, kan memang sudah rutinitas setiap bulan, nggak apa-apa. Ya udah kita tidur begini saja, ya. Tapi mau ini." Dave menunjuk bongkahan lemak yang sebenarnya sejak tadi membuat Dave tertantang.

"Oh, mau kayak bayi? Ya udah ayo!"

Mereka akhirnya membaringkan tubuhnya berhadapan dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

2. Teror

Rinjani sedikit terkejut saat bangun tidur terdapat sosok Dave yang berbaring di depannya dan menatap dirinya dengan penuh senyuman, seakan menggambarkan cinta tersorot dari pancaran bibirnya yang melengkung.

"Kenapa kamu lihat aku begitu? Apa aku terlihat jelek saat bangun tidur?" tanya Rinjani dengan suara serak khas bangun tidur.

"Justru kamu sangat cantik. Sepertinya langit sedang kehilangan satu bidadarinya."

Gombalan dari Dave mampu membuat wajah Rinjani seketika memerah menahan malu. Namun, hal itu justru membuat Dave semakin terlihat gemas pada wanita yang baru saja menyandang status sebagai istrinya.

"Aku mandi dulu, aku akan siapkan makanan untuk kita."

"Kan ada Bibi."

"Kamu nggak mau merasakan masakan aku?"

"Ya udah mau."

Jawaban dari Dave membuat Rinjani beranjak dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Seperti wanita pada umumnya, mereka akan menghabiskan waktu selama lima sampai sepuluh menit berada di sana, entah apa yang mereka lakukan hanya mereka yang tahu.

"Buruan mandi, Mas!" titah Rinjani duduk di meja rias.

Sedang asyik berkutat dengan make up. Ponsel Rinjani yang jarang ia gunakan bergetar pendek. Dengan segera ia mengecek apakah ada pesan yang masuk atau

"Email?" gumam Rinjani lirih seraya  mengerutkan kening.

[Hati-hati dengan suamimu, Rinjani!]

Rinjani membaca pesan yang tertera di emailnya tersebut. Ia semakin dibuat bingung. Ia tak tahu siapa yang mengirim pesan tesebut, karena pemilik email memakai nama yang aneh dan tak terbaca, seperti huruf yang diketik asal.

Bukan itu yang Rinjani herankan. Tapi hal lain, yakni tak ada satu pun yang tahu alamat email Rinjani ini selain dirinya dan juga Raga, calon suami Rinjani yang tewas. Lalu siapa yang mengirim email begitu padanya, jika salah satu orang yang tahu email rahasia Rinjani hanyalah Raga? Bukankah Raga sudah meninggal?

"Hayo, ngelamunin apa istriku ini?"

Saking fokusnya dengan email yang baru saja ia baca, Rinjani tak sadar bahwa Dave sudah keluar dari kamar mandi. Saking terkejutnya, Rinjani sampai melempar ponselnya ke lantai.

"Ada apa sayang?"

"Astaga, Mas. Kamu bikin aku kaget, hape aku sampai ke lempar." Rinjani berdiri dan memungut ponselnya yang tergeletak tak jauh darinya.

"Lagian kamu ngelamunin apa, sih? Masa aku keluar dari kamar mandi kamu nggak tahu, ada apa? Apa ada sesuatu terjadi?"

"Nggak ada kok, Mas. Ada pesan masuk dari nomor nggak dikenal aja tadi, iseng aja mungkin. Ya udah kita turun, yuk!"

Sepasang pengantin baru itu berjalan menuju meja makan dengan tangan yang saling bertautan. Begitu sampai di meja makan nampak meja makan tersebut sudah penuh dengan makanan. Gagal sudah rencana Rinjani untuk memasak makanan untuk suaminya itu.

"Ternyata kita terlambat bangun, Mas. Semua makanan sudah siap, itu artinya kamu harus menunda dulu keinginanmu untuk makan makanan aku," bisik Rinjani di telinga suaminya.

"Emang aku tadi bilang mau makan makanan kamu? Kamu sendiri yang bilang tadi mau masak buat aku, bukan aku yang minta."

Rinjani hanya terkekeh mendengar jawaban suaminya. Lalu ia menggeret pria itu untuk berjalan lebih cepat agar cepat sampai di meja makan, karena sejak tadi perutnya sudah meronta-rota ingin diberi asupan.

"Eh kalian udah bangun, makan dulu, yuk!" Ajak Bu Niken pada Rinjani dan menantunya.

"Selamat pagi, apakah Ayah terlambat untuk makan pagi hari ini?" tanya Pak Surya dengan nada suara yang gembira dan juga setengah berteriak.

"Tidak Ayah, Ayah tidak terlambat untuk makan pagi hari ini, hanya saja Ayah terlambat mengetahui kenyataan."

Semua orang yang berada di meja makan tentu saja mengarahkan pandangan pada Dave. Seakan mereka memberikan tatapan yang sama, tatapan penuh dengan permintaan penjelasan untuk maksud dari apa yang ia ucapkan barusan.

"Kenapa kalian semua menatapku begitu? aku hanya bercanda, maksud aku katakan Ayah terlambat mengetahui kenyataan adalah Ayah terlambat mengetahui kalau Rinjani sebenarnya ingin membuat sarapan untukku dan ternyata begitu sampai di bawah, kita sudah melihat meja makan penuh dengan makanan, itu saja." Sadar diperhatikan membuat Dave berkilah dengan cepat.

"Oalah kirain apa Dave, bikin Ibu kaget aja kamu."

Terlambat mengetahui kenyataan soal menantumu.

Dave memberi tatapan yang tak biasa pada kedua mertuanya.

Di tengah makannya, jujur saya Rinjani tidak bisa lupa dengan kalimat pesan email yang baru jadi dibaca olehnya. Untuk sejenak ia menatap laki-laki yang duduk di sampingnya, yang tengah menikmati makan paginya dengan nikmat. Ia meneliti setiap inci wajah pria itu, tidak ada yang aneh. Ia adalah Dave, laki-laki yang ia kenal jauh sebelum ia mengenal Raga. Tidak ada yang lebih tahu siapa suaminya sekarang, kecuali dirinya sendiri, karena memang mereka sudah bersahabat dari lama.

Semua orang menatap ke tempat yang sama ketika dering telepon rumah berbunyi sepagi ini. Dengan sigap asisten rumah tangga yang tak jauh dari meja makan segera menghampiri telepon itu dan mengangkatnya.

"Halo selamat pagi dengan keluarga Pak Surya Abdi. Ada yang bisa saya bantu?"

"Halo, halo selamat pagi. Halo."

Ucapan dari Bibi yang sejak tadi nampak tak dijawab oleh penelepon tentu saja membuat semua orang yang berada di meja makan menoleh ke arahnya.

"Dari siapa Bi?"

"Nggak tahu, Non. Dari tadi Bibi sapa tapi nggak ada yang jawab."

"Mungkin orang iseng, biarkan saja!" sahut Pak Surya.

Tak berselang lama, telepon kembali berdering. Kali ini Rinjani berinisiatif untuk menjawab teleponnya. Entah kenapa rasanya ingin sekali dirinya memaki jika memang kali ini yang menelepon adalah orang iseng. Bukankah ini masih terlalu pagi untuk iseng pada seseorang?

"Halo."

"Hati-hati dengan suamimu!"

Rinjani terdiam di tempat, nafasnya seakan terhenti. Mendengar kata-kata dari seberang sana membuat ia teringat pada pesan email yang baru beberapa detik yang lalu mencoba untuk ia lupakan.

Suara yang ia dengar adalah seperti suara laki-laki, namun entah bagaimana ceritanya suara itu terdengar sangat berat dan seperti dibuat-buat. Seperti suara samaran agar tak terdengar suara aslinya.

"Siapa kamu?"

"Kau tidak perlu tahu siapa aku, berhati-hatilah pada suamimu!"

Tuuuut tuuuut

"Halo, siapa kamu. Kenapa kamu sangat menganggu?" Rinjani berteriak dengan keras dan nafas yang sudah tak teratur. Nafasnya tersengal-sengal seperti habis berlarian dengan jarak jauh.

Semua orang berhamburan menghampiri Rinjani. Nampak wajah panik dari ketiga orang yang berada di sana.

"Kamu kenapa, Sayang? Siapa yang nelpon?" 

"Jangan ganggu aku. Jangan ganggu!" teriak Rinjani sekali lagi.

Pak Surya seketika mengambil telepon kabel yang sudah tergelak. Beliau mencoba bicara di sana, namun sama sekali tak terdengar sahutan dari seberang.

"Ssst. Nggak ada yang ganggu, Sayang. Nggak ada. Tenang, kamu tenang, ada aku di sini. Nggak akan ada yang ganggu." Dave mendekap kepala Rinjani dan mengelusnya dengan lembut.

Dasar bodoh, kenapa mereka malah neror menggunakan telepon rumah?

3. Keisengan Yang Rapi

"Ini, Rin. Minum dulu!" Bu Niken menyuapkan satu gelas ke arah bibir sang anak yang masih terduduk di pelukan suaminya.

Rinjani sedikit tenang setelah meneguk beberapa tegukan air putih. Nafas dan emosinya sudah bisa kembali normal, tidak se paranoid tadi.

"Tadi ngomong apa yang telepon sama kamu? Pas Ayah bicara nggak ada suaranya soalnya, kayaknya udah ditutup setelah kamu teriak tadi."

Rinjani masih menjawab dengan gelengan kepala, nampaknya ia masih belum sepenuhnya sembuh dari sakit yang pernah ia alami sebelum menikah.

"Ayah, sepertinya Rinjani belum bisa ditanya banyak. Lebih baik aku bawa ke kamar untuk istirahat, ya. ini sangat tidak baik untuk psikisnya. Dia baru saja sembuh."

"Iya-iya, bawa saja. Bawa saja istrimu istirahat di kamar."

Dave akhirnya kembali ke lantai dua untuk menenangkan istrinya. Ia masih nampak syok meski emosinya sudah stabil dan jauh lebih baik.

Sementara Rinjani, kata demi kata yang ia dengar barusan masih saja terngiang di telinganya. Pesan email dan penelepon membicarakan hal yang sama. Apakah mereka orang yang sama juga?

Untuk yang kesekian kalinya, Rinjani kembali menatap wajah suaminya. Bagaimana bisa ia diteror dengan ucapan yang sama? Kenapa ia harus hati-hati dengan suaminya sendiri? Bagaimana bisa ada yang menilainya jahat ketika ia saja ditemani selama lima tahun terakhir meski dalam kondisi yang berantakan dan dalam titik hidup yang paling bawah.

Kenapa? Nggak mungkin, suamiku nggak jahat, kenapa aku harus hati-hati? Dia satu-satunya laki-laki yang ada di samping aku. Dia hanya orang iseng.

"Jangan dipikirkan apa yang kamu dengar tadi, ya. Apa pun yang tadi dia ucapkan, itu tidak benar. Jangan dipikirkan, itu akan mengganggu pikiranmu. Alangkah lebih baik kalau kamu minum obat ini lagi, ya. Untuk hari ini aja, biar kamu bisa istirahat dan menenangkan diri." Dave mengambil botol obat yang biasa diminum Rinjani saat dirinya merasa gelisah.

Dengan lembut dan penuh kasih sayang, pria itu memberikan sentuhan di puncak kepala istrinya agar wanita itu bisa tidur dengan cepat.

Akhirnya tidur juga.

Dave beranjak dari tempat tidur dengan pelan agar tak menimbulkan suara. Ia melangkah ke balkon untuk menelepon seseorang. Rasanya ia sudah tak tahan untuk maki seseorang.

"Kau bodoh, udah nggak punya otak atau bagaimana? Aku sudah berkali-kali mengatakan untuk telepon dan teror Surya di telepon pribadinya, bukan melalui telepon rumah. Tidak bisakah kau diajak bicara memakai bahasa manusia?"

"Maaf, Tuan. Tapi saya belum bicara apa pun, saya juga belum melakukan apa pun. Jangankan menelepon rumah Pak Surya, nomornya saja saya tidak tahu. Bagaimana bisa saya menelpon ke rumahnya?"

Mendengar penuturan dari antek-anteknya tentu saja Dave terkejut, "Apa? Kau belum melalukan apa pun? Apa kau yakin? Tadi ada seseorang menelepon di telepon rumah, kau yakin kau tidak melakukannya? Kau jangan berbohong padaku!"

"Sangat yakin, Tuan. Saya belum merencanakan apa pun untuk menghubungi Pak Surya. Tapi jika untuk yang lain, saya sudah melakukannya."

"Kalau begitu pikirkan dan laksanakan mulai dari sekarang! Aku tidak suka sesuatu yang diulur-ulur."

Dave memutus sambungan telepon secara sepihak. Ia mulai berpikir keras, lalu siapa yang menelepon telepon rumah tadi kalau bukan antek-anteknya? Apakah Pak Surya memiliki masalah juga dengan orang lain selain dirinya? Kalau memang, iya, kenapa harus caranya sama dengan dirinya? Meneror ... Bukankah masih banyak cara untuk melakukan sebuah kejahatan?

°°°

Pak Surya baru saja menginjakkan kakinya di teras ketika ponselnya berdering. Dahi pria itu berkerut ketika melihat layar ponselnya. Nomor yang tidak dikenal sedang berusaha ingin berbicara dengannya. Sembari melanjutkan langkah, beliau menggeser tombol hijau untuk menghentikan bunyi di gawainya.

"Halo, selamat pagi," sapa pria itu ramah.

"Surya, apa kabar? Masih ingat denganku?" Seseorang di seberang sana bicara dengan nada berbisik, namun masih terdengar dengan jelas.

"Aku tidak akan tahu kau siapa kalau kau tidak menyebutkan nama."

"Aku adalah mantan pegawaimu yang sudah berusaha kau lenyapkan hanya karena sebuah rahasia."

Langkah Pak Surya yang tadinya terus berjalan, seketika terhenti tepat di depan lift.

"Hahaha. Apa kau berusaha untuk menipuku? Dia sudah lama mati. Katakan apa yang kau inginkan dariku! Jangan bertele-tele."

"Siapa bilang dia mati? Kau hanya berhasil membuat dia tidak bernapas untuk beberapa menit saja. Setelah itu kau tinggal dia, kan? Apa kau tahu apa yang terjadi selanjutnya? Aku rasa tidak. Jadi apa yang membuatmu sangat percaya bahwa kau telah benar-benar membunuhnya? Nyatanya dia masih bisa menghubungimu sekarang."

"Apa kau pikir kau bisa menipuku? Buang jauh-jauh pikiranmu itu! Dasar bodoh!"

Pak Surya dengan tak sabar memutuskan sambungan teleponnya. Beliau merasa ini hanya orang iseng yang memang sengaja mengganggunya. Beliau sudah sangat yakin apa yang dilakukan belasan tahun yang lalu sudah aman dan terkubur dalam. Bagaimana bisa tiba-tiba ada yang datang dengan mengakui sebagai orang yang sudah beliau lenyapkan? Itu adanya hal yang mustahil.

Beberapa saat kemudian, Pak Surya sampai di ruangan kebesarannya. Beliau meletakkan tas di meja dan menyeruput kopinya sedikit dan ... Tunggu, apa ini? Sebuah amplop?

Ada sebuah amplop yang tertindih oleh piring kecil sebagai alas cangkir yang berisi kopi. Beliau ambil amplop tersebut dan membukanya. Begitu tahu isi amplop tersebut, beliau langsung membuangnya ke sembarang arah.

Isi di amplop itu sangat mengejutkan Pak Surya. Saking terkejutnya, beliau sampai sedikit tertegun dan sedikit ngos-ngosan.

"Siapa yang berani mempermainkan ini?"

Tangan beliau seketika menekan telepon kabel yang berada di meja dan meminta seseorang untuk mengecek CCTV pada hari ini sebelum beliau sampai di kantor.

Tangan Pak Surya menunggu dengan mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Beliau menunggu dengan gusar dan menunggu dengan sedikit emosi yang sudah mulai muncul. Bagaimana bisa beliau kecolongan seperti ini? Dengan mudahnya ada orang lain yang masuk ke ruangannya sebelum dirinya.

Tak berselang lama, terdengar pintu yang diketuk. Pintu terayun ke dalam setelah beliau meminta orang tersebut masuk.

"Maaf sekali, Pak. Seluruh CCTV di kantor kita mati setelah subuh tadi dan baru menunjukkan aktivitas setelah Bapak sampai di kantor. Saya sudah cek seluruh CCTV, tidak ada satu pun yang aktif sebelum Bapak tiba di kantor?"

"Kau yakin?"

Pak Surya semakin gusar. Jika memang orang yang melakukan ini adalah orang iseng, bagaimana bisa ia bekerja dengan begitu rapi? Pak Surya mau tak mau mulai memikirkan siapa orang ini.

"Ya sudah, kau kembali!"

Pria yang sudah memiliki uban itu akhirnya kembali mengotak-atik ponselnya. Mencari nomor yang tadi sempat menghubunginya, entah kenapa beliau merasa bahwa orang yang meneleponnya barusan adalah orang yang sama dengan tersangka pengiriman foto ini.

"Sialan, nomornya sudah tidak aktif."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!