BAB 1.
POV AZZAHRA
Zahra masuk ke dalam kamar dengan kesal dan rebahan di atas kasur. Farhan menyusul ke dalam kamar.
"Ada apa dengan Ibu, sayang?" tanya Farhan, tapi Zahra masih belum menjawab.
"Sayang...?." Farhan mengelus punggung istrinya yang sedang sedang kesal. Zahra masih terdiam saja dan memejamkan matanya.
"Sayang,...?" Sekali lagi Farhan memanggilnya. Zahra bangun dan duduk yang masih tertunduk saja dengan muka yang kesal.
"Mas...Aku memang bodoh, tapi aku nggak suka dibentak kayak gitu, Mas...!" Matanya mulai ingin menjatuhkan air mata, tapi dia tahan.
"Hm, ya sudah ,nanti aku akan bilang sama ibu ya." Farhan memelukZahra agar tenang. Rambutnya dielus. Sementara Adzan Magrib berkumandang.Mereka bergantian ke kamar mandi untuk Wudhu. Setelah dari wudhu Zahra bertemudengan Ibu saat keluar kamar untuk mengambil air wudhu juga. Zahra jalan saja menunduk dan tak menghiraukan walaupun ibu sedang komat kamit mulutnya merutuki Zahra.
Farhan dan Zahra sholat. Mereka siap-siap akan pergi ke rumah pak Anggoro setelah sholat seesai.
"Mas, Jadi pergi?" tanya Zahra setelah dia melipat sejadahnya dan melepas mukenanya.
"Jadi, yuk, kamu sudah siap?" Farhan mengambil celana bahannya danterlihat memasukkan amplop ke dalam saku celananya. Mereka keluar dari kamar. Farhan berjalan ke dalam kamar ibunya untuk pamitan dan keluar berjalan menggandeng Zahra ke luar rumah.
Rumah Pak Anggoro tak jauh dari rumah mereka, sekitar tigaratus meter dari sana. Mereka berjalan pelan-pelan, dan bergandengan tangan. Mereka sepanjang jalan mengobrol mengenai sawah. Zahra ingin sekali menemaninya ke sawah tapi Farhan selalu melarangnya. Farhan selalu bilang, kalau di sawah panas dan saung untuk berteduh juga kecil, jadi Zahra tak pernah kesana. Padahal Zahra Ingin membawa makan siang buat Farhan, tapi Farhan memilih membawa bekal dai rumah.
Mereka sampai di rumah pak Anggoro dan mengucapkan salam, setelah menggeser pagar bambunya yang hanya sepinggang saja tingginya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab dari dalam rumah.
"Eh, ada mas Farhan," ucap Istrinya pak Anggoro setelah membuka pintu depan rumahnya.
"Iya bu, bapaknya ada?"
"Ada mas, silahkan masuk ke dalam. Silahkan duduk," katanya lagi dan mereka masuk ke dalam rumahnya, duduk di kursi ruang tamu. Tak berapa lama pak Anggoro muncul hanya dengan memakai sarung dan kaos oblong.
"Eh, ada tamu jauh nih, apa kabar mas Farhan?" tanya pak Anggoro senyum.
"Baik pak." Mereka bersalaman dengan Pak Anggoro.
"Silahkan mas Farhan, ada apa nih malam-malam datang ke rumah saya?
Kayaknya ada yang penting, nih!” ujarnya.
"Hm begini pak, mengenai tanah itu....!" Farhan kembali diam dan mengeluarkan amplop dari kantung celananya dan menyerahkan ke Pak Anggoro.
"Apakah bener ini cek nya untuk pembayaran tanah bapak saya, pak Anggoro?" tanya mas Farhan. Kemudian pak Anggoro menerima amplopnya dan membukanya.
"Hmmm...Iya Mas Farhan. Lah ini kok ada cek nya?" Dia heran sambil melihat ke arah ceknya.
"Iya pak, cek ini ditemukan oleh istri saya di bawah kulkas, dan sepertinya jatuh tidak ketemu. Kebetulan istri saya menyapu dan menemukannya," jelas Farhan.
"Hm, jadi begitu...?" Istri pak Anggoro datang membawa nampan berupa teh manis dan meletakkannya di atas meja.
"Silakan mas Farhan, Mbak Azzahra diminum....Cuma teh saja kok." Ibu Anggoro duduk di samping suaminya.
"Udah bu, tak usah repot-repot," sahut Farhan.
"Nggak papa Mas Farhan..Eh itu cek ayah, ya?" tanyanya.
"Iya, cek ini ditemukan oleh Istrinya mas Farhan dan setelah satu tahun ini baru ketemu"
"Iya bu."
"Terus bagaimana pak?"
"Ya, terserah dengan mas Farhan saja!" jawab pak Anggoro.
"Begini mas, saya sebenarnya tak mau menjualnya, tapi bagaimana cek nya sudah lama sekali, dan tentunya harganya udah nggak segitu lagi pak kalau sekarang!" Suamiku memberikan keinginannya.
"Hmmmm....Bagaimana menurut Ibu?" tanya Pak Anggoro kepada Istrinya.
"Ya mau bagaimana lagi. Itu sih terserah bapak saja!"
"Begini mas Farhan, sebenernya cek ini masih berlaku, tapi kebetulan uang di rekening saya tidak ada segitu, dan kalau dengan harga baru, saya sepertinya juga tidak sanggup membelinya!" jawab Pak Anggoro.
"Ya sudah pak, surat-suratnya saja saya minta kembali pak!" jawab suamiku.
"Ya sudah kalau begitu, saya ambilkan dulu, ya" Kemudian dia masuk ke dalam kamarnya dan membawa surat-surat nya dan menyerahkan kepada suamiku.
"Terima kasih, Pak."
"Itu semuanya masih komplit kok mas, nggak ada yang kurang" Kemudian sama suamiku dicek kembali.
"Iya pak, terima kasih, masih komplit!" Suamiku tersenyum kepada pak Anggoro. Sesampai di rumah, suamiku menyuruhku untuk menyimpan ditempat yang aman.
"Simpan ditempat yang aman ya. Itu dikoper yang ada kunci gemboknya saja," kata suamiku begitu sampai di dalam kamar. Dan dia kemudian keluar untuk memberikan baksonya kepada Ibu. Aku menyimpannya ditempat yang telah disarankan oleh Mas Farhan. Kemudian kunci gemboknya aku masukin di kardus sepatuku yang masih belum kupakai.
**
SEBELUMNYA.
"Mas, boleh aku bicara?"
"Ya, ada apa sayang?" Dia naik ke kasur dan meluruskan kakinya. Aku mengambi amplop itu dari laci lemari riasku.
"Mas, aku nemu ini." Aku serahkan amplopnya ke sauamiku.
"Apa ini sayang?" Dia membukanya.
"Aku nemu ini di bawah kulkas dan terhimpit dengan kaki meja makan,” ucapku.
"Astaghfirrullah!" Mas Farhan kaget sekali melihat isinya.
"Kenapa mas?" tanyaku heran.
"Ini cek udah lama hilang, kami mencarinya kemana-mana!" jawab mas Farhan.
"Loh, emang kapan ini cek hilang? Kan, aku disini kayaknya nggak ada deh yang meributkan masalah cek!" sahutku.
"Kamu sudah disini sayang. Kamu ingat, nggak? Waktu Ibu ngotot nggak menjual tanah bapak yang diujung dekat mesjid?" tanya suamiku.
"Kan, bukannya sudah terjual, karena dokumen rumahnya sudah ditangan Pak Anggoro?" jawabku.
“Iya tapi sini....Kamu duduk disini, kamu kunci dulu pintunya!" ajak mas Farhan.
"Kenapa mas?" Aku menutup pintu kamar dan menguncinya. Dia duduk bersila diatas kasur. Aku berjalan ke tepi kasur dan duduk.
"Gara-gara ini, kami tidak pernah bisa membuktikan bahwa Ibu menerima uangnya, karena Ibu juga nggak pernah berubah menjadi mewah atau membeli sesuatu yang mewah!"
"Terus hubungannya apa?" Aku heran.
"Pak Anggoro yang membeli tanah bilang sudah pernah memberi cek kepada Ibu, tapi Ibu bilang nggak tau, dan makanya tanah itu masih sengketa. Pak Anggoro pun tak pernah mengembalikan surat tanah kalau cek itu tak dikembalikan. Dulu aku yang ngotot ke pak Anggoro untuk dikembalikam, karena itu warisan Bapak, sayang!" jelasnya.
“Ya kalau begitu kamu kembalikan saja ke pak Anggoro dan ambil surat tanahnya"
"Hm, aku nanti malam saja ke sana. Anterin aku ya sayang, sekalian kita makan bakso di sana!" sahutnya.
"Ish, tumben ngajakin makan bakso, mas?" tanyaku menggodanya.
“Iya nggak apa-apa, kita udah lama nih nggak kikuk-kikuk..!" Sambil tangannya merapikan rambutku dan mengkaitkan di atas telinnggaku.
"Hm, ayo, sekarang?" ajakku.
"Hm, nanti malam saja ya. Kamu belikan gorengan gih, aku mau makan gorengan sambil minum kopi. Udah dibuatkan kopinya?" mengalihkan pembicaraan.
"Sudah mas, ada di meja" Aku menjatuhkan badanku ke pelukannya.
"Kenapa nih, manja banget?" tanya suamiku.
"Hm, pengen disayang ajah!" tukasku.
"Kamu udah selesaikan dapetnya?" tanyanya.
"Udah dong, kan kemarin Magrib saja sudah Sholat aku, mas."
"Oh iya lupa, tadi malam kamu marah-marah sih, takutnya mau ajak kamu kikuk-kikuk, kamunya nggak **** lagi?" Suamiku terkekeh.
"Hm, sekarang ajah?" tanyaku lagi.
"Nanti malam saja, ayo kita ke teras dulu, belikan gorengan ya, sayang!"
"Iya mas" kemudian aku berdiri setelah diicium di keningku oleh suamiku.
Aku langsung mengambil uang untuk membeli gorengan karena aku harus bagi dua, untuk di dalam rumah satu piring, Biasanya Ibu selalu keluar kam,ar nyari cemilan.
Mas Farhan ke teras dan dia mencicipi kopi hitamnya dan merokok. Aku berjalan ke warung dekat rumah dan membeli gorengan yang cukup untuk kami makan bertiga. Setelah sampai di rumah, aku membagi menjadi dua piring dan aku tinggalkan satu piring di atas meja makan.
****
"ZAHRA...SINI!!" teriak Ibu terdengar sampai keluar.
"Iya bu...?" Aku lantas berdiri dan masuk ke dalam mendekat ke Ibu Mertuaku.
"Ada apa bu?" Aku berdiri di depannya.
"Jilbab ibu mana?!!" Lengkingan suaranya membuat ayam-ayam di kandang pada loncat semua...hehehe.
"Yang mana bu?" tanyaku mengingatnya.
"Yang warna hitam itu!!" Aku langsung ingat-ingat.
"Kan, lagi dicuci bu" jawabku.
"Lah, kok dicuci? Kan ibu taroh di atas kulkas!!"
"Iya, Zahra kirain kotor, bu!"
"Dasar, mantu BODOH gitu nih!!" Kemudian dia masuk ke dalam kamarnya lagi. Aku terdiam, dan mengelus dada saja.
"Astaghfirullah Al-Adzhim."
................
...............
BERSAMBUNG
BAB 2.
POV ZAHRA
Besok paginya seperti biasa aku dan suamiku sholat Subuh berjamaah. Setelah itu aku ke dapur untuk membuatkan kopi suamiku. Di dapur aku melihat Ibu masuk ke dalam kamar mandi, sepertinya dia terlambat bangun untuk sholat subuh. aku langsung membawa kopi hitam panas ke teras.
Aku dan Mas Farhan sudah hampir tiga tahun menikah belum dikaruniai anak. Kami tidak berhenti-berhenti terus berusaha dan berdoa. Kami memang tidak pernah mengkonsultasikannya ke dokter karena kami sehat.
"Mas, ini kopinya."
"Iya, makasih ya, sayang," jawab suamiku. Aku duduk di kursi samping suamiku.
"Mas, nanti siang aku ke sawah ya, membawakan bekal untuk kamu. Aku pagi ini hanya menghangatkan saja makanan kemarin untuk sarapan. Aku mau masaknya nanti jam 10an saja. Hari ini kan biasanya Ibu ikut pengajian di mushola jam segitu. Jadi setelah masak, aku mau antar makan siang ke sawah. Boleh ya mas?" Aku memohon kepadanya.
"Hm, memang kenapa nggak masak pagi ini saja?" tanyanya dan menghisap rokoknya.
"Aku belum belanja sayur mas, kemarin kan kita makan juga tak ada sayur. Aku hari ini mau buat sayur Asem. ikan asin, dan telur dadar saja!" jawabku.
"Hm, iya deh. Cuma kamu nggak usah lama-lama. Aku kasian kamu kepanasan disana!" ucapnya.
"Iya mas, nanti aku boleh pake caping mu saja?" Aku senang akhirnya diijinkan olehnya.
"Iya, boleh sayang." Mas Farhan tersenyum kepadaku. Senyumnya membuat aku blingsatan, untuk menyembunyikan rasa maluku, aku pamit ke dapur.
"Mas, aku mau ke belakang dulu. Mau nyuci baju dulu ya!" ujarku.
"Iya sayang," jawab suamiku dengan lembut. Setelah itu, berdiri dan berjalan ke kamar mandi untuk mencuci pakaian. Ibu memanggilku begitu aku sampai di dapur.
"ZAHRA...! Kamu nggak masak pagi ini?" teriaknya.
"Nanti abis nyuci bu!" jawabku.
"Masak dulu sana, Ibu Lapar!!" Suara mertua sangat keras dan kesannya membentak.
"Iya bu." Aku mengambil makanan yang dimasukkan ke dalam lemari tadi malam dan aku panaskan. Aku menambahkan bumbu kecap untuk telur dadar yang sudah ada. Sesudah selesai masak, aku taruh semua lauk di meja makan dan menuju ke kamar mandi untuk mencuci.
Pintu kamar mandi aku selot dan aku mulai mencuci. Setelah selesai aku menuju ke kamar. Begitu aku mau sampai di pintu ruang dapur menuju ruang tengah, aku mendengar percakapan ibu dan mas Farhan yang sedang berbincang-bincang serius. Terdengar jelas.
"Gimana Farhan? Ayolah, Ibu sudah tua...Ibu ingin menggendong cucu. Kalau si Zahra nggak bisa melahirkan anak atau Mandul, gimana?" tanya Ibu. Aku terdiam memasang kupingku agar terdengar duara mereka.
"Ibu yang sabar dong, Kan baru saja hampir tiga tahun aku menikah. Mungkin aku belum diberikan amanah oleh Allah, bu!" jawab Farhan.
"Hm, kamu ini, kan udah Ibu bilang, ceraikan saja Zahra dan kamu nikah lagi. Itu udah Ibu bilang, si Minah anaknya Haji Sabeni udah suka sama kamu. Dia baik, keluarganya juga terpandang. Kamukan kawan sekolahnya juga!" sahut Ibu lagi.
"Aduh Ibu, aku sudah menikah dengan Zahra. Jangan ibu gerecokinlah. Aku nggak suka kok sama si Minah, orangnya centil! Kenapa ibu jodohin aku dengan si Minah lagi!" sergah suamiku.
"Dia kan lebih cantik daripada si Zahra. Kenapa kamu nggak mau??!!" tanya ibu.
"Aku tau dari sekolah dulu bu...Dia gaulnya udah nggak bener!" bantah mas Farhan.
"Hah, kata siapa nggak bener? Ibu itu loh, sering ketemu dia di Pengajian, masa cewek nggak bener?" tanya ibu lagi.
"Hahahaha, dia kan cuma mau merayu Ibu saja, lagipula dia itu kan genit suka gonta ganti pasangan atau pacar dari dulu!" balas mas Farhan.
"Halah! Kalau nggak mau si Minah nggak papa, nanti Ibu jodohkan kamu dengan si Dara anaknya pak Haji Juhri!" Ibu kembali memberikan alternative.
"Wah siapa lagi itu? Aku ajah nggak kenal!" jawab mas Farhan.
"Ah, kamu itu dikasih tau sama Ibu. Pokoknya kalau sampe minggu bulan ini si Azzahra nggak hamil, ceraikan dia!!" Aku yang mendengarnya sangat sakit hatiku, suamiku disuruh menikah lagi oleh ibunya sendiri. Mereka tak tau, kalau aku juga sangat mendambakan seorang anak.
"Hah, emang segampang itu? Aku sayang sama Azzahra bu. Dia baik, rajin ibadahnya, kalau pengajian aku memang melarangnya, kan Ibu tau sendiri, yang mimpin ajah ibu-ibu tukang ngerumpi kayak Ibu, pokoknya aku nggak mau ceraikan Azzahra!" bantah suamiku lagi.
"Pokoknya harus, aku nanti bilang sama kakakmu, suruh urusin itu si Zahra, mantu bego, bodoh! Bilang mau jadi soleha, sama Ibu ajah sering ngejek!" ledek Ibu mertuaku yang tak dijaga mulutnya.
"Aduh Ibu, sudah lah, aku mau ke sawah!" Aku mendengar mas Farhan berdiri dari kursi makan dan membawa piringnya ke belakang. Aku yang sedang berdiri mematung kemudian bertemu dengan suamiku.
"Eh, kamu ngapain di sini sayang?" tanyanya. Aku yang sedang mengeluarkan air mata karena sakit hati mendengar pembicaraan mereka
Aku langsung masuk berlari ke dalam kamar dan membanting pintu kamarku.
BRAAAAKKK
"HEH...!Jangan banting-banting Pintu! Kalau rusak kamu ganti!" Aku mendengar Ibu berteriak.
Aku menangis dengan tengkurap diatas bantal dan menutup wajahku dengan guling. Sakit hatiku mendengar hinaan dari mertuaku...Apalagi dia meminta mas Farhan untuk menceraikanku karena kami belum punya anak.
Mas Farhan masuk ke dalam kamar dan menutup pintu kamar dengan pelan dan menguncinya. Dia duduk dipinggir kasur dan mengelus punggungku.
"Sayang, kamu kenapa menangis?" tanyanya.
"Mas....Aku masih kuat kalau hanya diomelin Ibu, tapi kenapa aku harusdiceraikan! Huuuuuu." Aku menangis lagi.
"Sayang, mas nggak akan menceraikanmu, tenang saja. Mungkin Ibu memang sudah lama mau menggendong cucu, tapi kita juga kan nggak mau mendahulukan takdir. Kita sudah berusaha sebaik mungkin," jawab suamiku berusaha membuatku tenang.
"Iya mas, tetapi kenapa harus aku yang diceraikan? Kenapa kita harus pisah?!!" Aku masih terisak dan menangis kembali setelah mengingat Ibu yang mengatakan aku mandul.
"Kamu yang sabar sayang. Udah jangan didengarkan ya, kan yang menikah kita bukan Ibu" ucap mas Farhan dengan suara lembut. Dia manarik pundakku agar duduk. Aku duduk dan memeluknya.
"Mas, aku sayang kamu!" ucapku sambil memeluknya denga erat.
"Iya, Mas juga tau kalau kamu sayang mas, Mas juga sayang kamu kok!" Dia mengelus rambutku.
"Mas jangan mau kawin lagi!" kataku merengek.
"Hahaha, siapa yang mau kawin lagi?" ledeknya.
"Itu ibu mau jodohkan mas dengan siapa itu, Minah? Dara? Terus aku diceraikan gitu?" Aku merenggut.
"Hihihihi...Kan tadi Ibu yang bilang, mas kan sudah menolak. Kamu sudah dengar sendiri kan tadi?"
Aku terdiam. Mas Farhan mengusap jejak air mataku dipipiku.
"Sudah ya, jangan nangis lagi. Mas mau ke sawah dulu!" sahutnya.
"Iya mas" jawabku.
"Mas, nanti siang aku ke sawah, ya?" pintaku.
"Iya, bikin sambel juga ya, sayang!" ujarnya.
"Iya mas." Aku turun dari ranjang dan mengantarkan dia ke luar. Aku mencium punggungtangannya dengan takdzim.
"Mas, berangkat dulu ya dek, Assalamualaikum," ucap suamiku.
"Iya mas, Waalaikumsalam." Aku berjalan ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Aku membereskan kamar ku dan kembali keluar ke kamar mandi untuk menjemur pakaian yang tadi aku cuci.
Setelah aku menjemur pakaian, menyapu semua lantai di rumah dan mengepel lantainya. Sesudah selesai, aku masuk lagi ke kamar dan kudengar Ibu sudah keluar dari kamar dan mengunci kamarnya. Aku sendiri tak pernah menyapu atau pun mengepel lantai kamarnya. Ibu tak mau aku masuk ke dalam kamarnya.
"ZAHRA...Ibu mau pergi dulu..!!" teriaknya dari depan kamarku.
Aku keluar dan mencium tangan ibu.
"Hati-hati bu!" Dia langsung saja jalan tanpa salam.
Aku hanya mengelus dadaku saja dan menutup pintu. Aku langsung ke kamar mengambil uang untuk belanja bahan sayur asem dan tempe sepapan. Kemudian, pulang dan kunci pintu depan menuju ke dapur.
Memotong sayuran dan mencucinya, dan mengulek bumbu dan merebus sayur dan memasukkan bumbunya. Akupun menggoreng tempe yang sudah dipotong-potong kotak-kotak besar. Sambil menunggu, kubuat sambel. Sesudah semua selesai, aku mandi. Jam dua belas kurang, aku mengunci pintu rumah dan membawa dua rantang menuju ke sawah.
Sesampainya di sawah, aku duduk di saung kecil milik mas Farhan. Kulihat dia sedang mencabuti rumput.
"Mas, makan siang dulu," teriakku.
"Ya." Dan kulihat dia berjalan di pematang sawah dan menuju ke saung.
"Mas, Assalamualaikum." Aku mencium tangannya.
"Waalaikumsalam Dek,' jawabnya.
"Sini makan mas, aku mengeluarkan dua rantang tadi dan menyiapkan makan siangnya.
"Mas, ini makannya." Kuberikan piring berisi nasi dan lauknya.
"Iya dek. Wah kayaknya enak banget ini makannya!"
"Hehehe, paling enak itu kata orang makanan masakan istri? Bener mas?" tanyaku.
"Iya, sayang. Kan dengan cinta, hahahaha!"
...
...
BERSAMBUNG
BAB 3.
POV ZAHRA
Kami tertawa bersama. Kusiapkan minumnya di kendi yang kubawa dari rumah. Setelah dia selesai makan langsung meneguk minumnya dari kendi langsung.
"Alhamdulillah." Aku ambilkan kopi yang kubawa yang dimasukkan ke termos kecil.
"Ini mas kopinya."
"Hm, makasih sayang."
"Mas seneng kan, kalau aku bawakan makan siang kayak gini? Dan makannya pun lebih enak karena masih hangat."
"Iya sih, tapi mas nggak mau kamu kepanasan!"
"Hm, nggak papa mas. Kan aku kalau sudah masak nggak ada kerjaan lagi, palingan ambil jemuran setelah aku makan siang!"
"Beneran kamu nggak keberatan?"
"Nggak mas...oke? Mulai besok aku ke sini ya, bawa makanan buat kamu!"
"Iya deh, kalau kamu nggak repot ya, dek!"
"Nggak kok, mas."
Kemudian aku pamit pulang ke rumah dan suamiku masih tiduran untuk istirahat di saung. Aku kadang sedih melihat dia bekerja untuk menghidupiku dan Ibu. Uang yang di dapat dari menjual padi, dia berikan kepada Ibu sebagian, dan sebagian lagi untukku yang dipakai untuk makan sehari-hari. Begitulah dia meperlakukanku sama dengan ibunya. Sesudah sampai di rumah, aku sudah melihat pintu sudah tidak terkunci dan aku masuk ke dalam rumah menuju ke dapur. Aku letakkan rantangnya dan mengangkat pakaian yang sudah kering di belakang rumahku.
"ZAHRA...Sini, Ibu mau ngomong sama kamu!!" bentaknya.
Aku masuk ke dalam dan meletakkan semua pakaian di bak setrikaan dan ke dalam rumah mendekat ke ibu.
"Kenapa bu?"
"Kamu kemarin ke rumah pak Anggoro, ya?"
"Iya bu."
"Katanya kamu menemukan cek di dalam amplop?" tanya Ibu.
"Iya, dan saya kasihkan ke Mas Farhan!"
"Sekarang mana surat-surat rumahnya?! Kasihkan ke Ibu!"
"Maap bu, saya nggak tau mas Farhan taroh dimana?" jawabku cuek.
"Halah...Palingan kamu yang simpen! Mana cepet!" paksa Ibu.
"Nggak tau bu, tanyakan saja sama mas Farhan!" Aku jalan melewati tubuhnya. Tiba-tiba lenganku ditariknya dan dicekalnya.
"Mana cepet, ambil!!" paksa Ibu lagi.
"Aduh bu lepaskan!"
"Nggak mau!! Mana cepat ambil!!" katanya sambil mendorong badanku ke depan. Aku berontak dan tanganku terlepas.
"Ibu jangan maksa saya! Saya tidak tau!!"
"Awas kamu! Kalau ketauan kamu boong, kamu pergi dari rumah ini!!"
"Saya nggak mau pergi!! Aku istri mas Farhan!!" aku menahan sesak di dada. Ingin menangis tapi masih marah.
"Awas kamu kalau ketauan boong!! Saya usir kamu!! Istri nggak berguna aja mau belagu!!"
"Kenapa sih Ibu nggak suka sama saya!!??"
"Kamu tuh mandul, nggak bisa punya anak. Udah tiga tahun nggak bisa hamil!!"
"Ibu, punya anak itu karunia Allah. Kalau Allah nggak meridhoi, ya nggak bisa bu!"
“Eh, Bales omongan ibu lagi!!"
Plaaakkkk
Aku ditamparnya. Panas pipi kananku ditampar oleh Ibu mertuaku. Aku lari ke dalam kamar sambil menangis. Aku tak tau kenapa ibu begitu jahat kepadaku, aku tak tau kenapa Ibu sebegitu bencinya kepadaku...Apakah karena aku belum memberikannya cucu?
"Heh ZAHRA..!! Buka!!"
Aku diami saja dia berteriak terus, tapi aku nggak bukain pintunya. Aku akan buka pintu kalau mas Farhan sudah pulang.
DUK
DUK
DUK
"Cepat buka!!" masih saja teriakannya bergelegar. Aku diam dan menutup wajahku dengan guling.
Aku tak mendengarnya lagi suara pukulan di pintuku dan teriakannya. Aku duduk dengan masih menangis meratapi kekesalanku kepada Ibu. Dia sudah berani manamparku. Ibu dan bapakku saja di kampung tak pernah memukulku apalagi menamparku dengan keras.
Kupegang pipiku yang sebeah kiri. Tak berapa lama kemudian ada suara mas Farhan mengetuk pintu.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumslam." Kuturunkan kakiku dan kujalan ke pintu untuk membuka kunci pintuku dan begitu kubuka aku peluk mas Farhan dan menangis di dadanya.
"Sayang....Kenapa kmu menangis?" ucapnya dan mengelus rambutku.
"Mas, aku mu pulang! Huuhuuuuu!"
"Loh loh kok begitu? Nggak ada angin nggak ada apa, kok minta pulang..." balas mas Farhan.
"Pokoknya aku mau pulang!"
"Sudah masuk dulu..." Mas Farhan merangkul pundakku dan menutup pintunya dan menguncinya.
"Udah kamu duduk disini dulu!" suruh suamiku. Aku diam saja.
"Kenapa? Pasti dengan Ibu ya?" tanyanya. Aku menganggukkan kepalaku. Aku ceritakan kejadian tadi sampai aku ditamparnya.
"Astaghfirullah Al Adzim....Kok Ibu sampai segitunya ya?" Dia mengusp wajahnya dengan keras.
"Aku mu ketemu ibu dulu," lanjutnya setelah itu dia bangun dan berjalan ke Pintu dan membukanya. Dia berjalan ke arah kamar Ibu. Aku keluar ke ambang pintu ingin mendengar apa yang terjadi.
Tok Tok Tok
"Bu, Ibu!"
Kamar Ibu terbuka.
"Apa? Kamu sudah bersekongkol dengan istrmu untuk mengambil surat rumah ya? Kamu sudah menyimpan cek itu dan ngumpetin nya ya!"
"Dengerin saya Ibu, Ibu kenapa sih marah-marah dan sampai menampar Zahra?"
"Halah! Ibu menamparnya karena dia melawan aku!!" bentaknya lagi.
"Astaghfirullah bu, Zahra kan nggak salah! Gimana sih bu?" aku tak pernah mendengar Mas Farhan bicara dengan nada sepeerti ini. Dia bicara dengan nada kesal dan anggak tinggi.
"Farhan, kamu tau kan tanah itu Ibu mau jual karena Ibu mau membayar hutang Ibu!"
"Hutang Ibu yang mana sih?"
....
....
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!