"Hey,,,, kenapa sih... kangen..." ledek teman kerja Zoya, menyenderkan pantatnya di meja kerja Zoya.
Sedari tadi, Zoya seperti enggan untuk menatap layar laptop dan menggerakkan jarinya di atas keyboard.
Zoya memasang wajah sebal dengan bibir cemberut. "Astaga, Zo..... Baru juga Reiner pergi kemarin. Elo sudah seperti bayi kehilangan empengnya." ejek Milly, teman dari Zoya.
Zoya melotot tak percaya mendengar apa yang dikatakan Milly. "Sialan elo!!" geram Zoya.
Reiner, lelaki dengan wajah tampan. Anak dari sahabat sang papa. Pemilik salah satu perusahaan besar di kota ini. Reiner adalah kekasih dari Zoya.
Kemarin pagi, Reiner pergi meninggalkan negera ini untuk bertolak ke negara lain. Tak lain dan tak bukan karena perihal pekerjaan.
Perusahaan orang tua Reiner yang berada di luar negeri sedang mengalami penurunan kinerja. Jika terus dibiarkan, dapat di pastikan jika perusahan akan di ambang kebangkrutan.
Oleh sebab itu, Reiner pergi ke sana atas permintaan kedua orang tua Reiner. Mengatasi dan memperbaiki perusahaan tersebut. Hingga bisa kembali seperti semula. Bahkan jika bisa lebih baik lagi.
Sementara Zoya, setelah lulus kuliah. Dirinya tak langsung bisa menduduki kursi kepemimpinan dengan mudah. Dia harus bekerja sebagai staf biasa di perusahaan sang papa.
Meski awalnya Zoya menolak, tapi akhirnya dia tidak punya pilihan lain. Dari pada semua fasilitas mewahnya dicabut oleh sang papa. Dan membuatnya menjadi gelandangan. Dengan terpaksa Zoya menuruti semua keinginan sang papa.
Saat keduanya sedang berbincang, seorang perempuan dengan perawakan besar dan wajah penuh dengan jerawat datang menghampiri mereka berdua.
Tak hanya itu, dia juga dikenal dengan badannya yang bau badannya. Meski begitu, tak dapat dipungkiri. Otaknya sangat encer alias pandai.
"Apa?!" tanya Milly dengan judas.
"Maaf, Zoya... kamu dipanggil sama papa kamu. Di suruh ke ruangannya." cicitnya dengan wajah sedikit takut.
Zoya menatapnya dengan sebal. "Ya sudah,, cepat pergi. Mau muntah gue dekat sama elo." ucap Zoya sengak.
Segera perempuan tersebut pergi ke meja kerjanya. Dirinya tak berani menatap rekan-rekan kerjanya yang berada di ruangan yang sama dengannya.
Karena memang tidak ada satupun dari mereka yang memperlakukan dirinya dengan baik. Setiap hari dia selalu dibully.
Ada saja kejadian yang dia alami. Dari omongan hingga dia yang selalu dikerjai. Meski tidak parah, tapi dirinya tetap saja merasa tertekan.
Meski begitu, dia tetap bertahan untuk bekerja di perusahaan ini. Selain karena susah mendapatkan pekerjaan. Gaji di perusaahan ini lumayan besar.
Dan lagi, dia tidak ingin membuat kedua orang tuanya sedih. Sebab selama ini, dia selalu mengatakan jika dia betah bekerja di sini. Dan juga dia mengatakan jika rekan kerjanya sangat baik kepadanya.
Zoya membawa beberapa lembar kertas. "Kerjakan pekerjaan gue. Selesaikan dengan cepat." Zoya meletakkan kertas tersebut dengan kasar di atas meja Yaya.
Yaya dialah perempuan yang bertubuh besar dengan banyak jerawat. "Baik." ujar Yaya lirih.
Meski pekerjaannya belum selesai, tapi Yaya selalu mengerjakan pekerjaan rekannya yang selalu dibebankan padanya dengan berbagai alasan.
Tapi dia tidak pernah mengeluh atau menolak apa yang diinginkan oleh mereka. Terlebih Zoya. Sebab Zoya adalah putri dari pemilik perusahaan.
Dari meja paling sudut, seorang lelaki hanya memandang ke arah Yaya dengan wajahnya yang datar. Hanya dia yang selama ini tidak pernah membebankan pekerjaannya pada Yaya.
Dia juga tidak sama seperti pekerja yang lain. Yang selalu mengolok dan mengatai Yaya. Dia adalah Miko. Sosok pendiam, berwajah dingin.
Beberapa saat kemudian, Zoya kembali ke tempat duduknya dengan raut wajah kesal. "Kenapa elo?" tanya Milly.
Zoya memegang kepalanya dengan sedikit menekannya. "Biasa, papa. Pusing banget gue."
Milly hanya mencebik. Dirinya juga tak tahu apa yang terjadi. "Ehh,,,, gendut, jika punya Zoya sudah selesai, kerjain punya gue. Lagi malas nih gue." tukas Milly.
Yaya hanya mengangguk patuh. "Perbesar dong suhu AC nya. Sumpah bau keringat si gendut sudah mulai tercium." celetuk rekan kerja Yaya.
Yaya mendekat ke arah Zoya, menyerahkan pekerjaan Zoya yang sudah selesai. "Gue heran deh, makanan elo apa sih?!" Zoya memencet hidungnya.
Zoya menggerakkan tangannya, menyuruh Yaya segera menyingkir dari sampingnya.
Jam istirahat tiba. Semua karyawan pergi ke kantin untuk mengisi perut mereka yang terasa lapar. Tapi tidak dengan Yaya. Dia tetap berada di ruangannya. Makan bekal yang sudah disiapkan sang ibu dari rumah.
Dengan senyum di bibirnya, Yaya makan dengan lahap. "Elo berapa hari nggak dikasih makan?" tanya Milly dengan sinis, yang masuk kembali ke ruangan karena ada yang tertinggal.
"Pantas, badan elo segentong. Makan elo sebakul gitu." celetuk Zoya bergidik ngeri.
"Upsss,,,,, maaf." ujar Milly, seakan dia tak sengaja menumpahkan air minum milik Yaya ke atas meja.
Milly hanya acuh dan meninggalkan ruangan bersama dengan Zoya tanpa rasa bersalah. Mereka berdua malah tertawa lepas.
Dengan segera Yaya menyelamatkan berkas-berkas di atas mejanya. Lalu membersihkan genangan air di atas meja, dan juga lantai.
Saat Yaya membersihkan lantai, bekal kotak makannya yang masih terisi makanan jatuh ke bawah. Segera Yaya mengangkat kepalanya.
"Maaf, nggak sengaja." rekan kerja Yaya tersenyum manis, meninggalkan Yaya sendiri.
Yaya hanya bisa menghela nafas. Mengambil sisa nasi serta lauk pauk yang tadi sempat dia makan, dan sekarang tercecer di lantai.
Diperlakukan seperti itu bagi Yaya sudah biasa. Meski sakit hati, dirinya juga tidak bisa berbuat apa-apa.
Miko yang baru saja masuk ke ruangan menghentikan langkahnya sejenak, melihat Yaya duduk berjongkok membersihkan lantai.
Mengetahui ada Miko, segera Yaya bangun dan berdiri. Sebab sudah pasti, Miko akan lewat jalan yang sedang Yaya bersihkan menggunakan sapu tangannya.
Sialnya, tubuhnya yang terlalu besar sulit untuk di ajak berdiri. Malah membuatnya jatuh terjerembab di lantai dengan posisi duduk.
"Astaga..." keluh Yaya yang kesulitan berdiri karena berat badannya.
Sebuah tangan terulur tepat di depannya. Yaya mendogak, melihat siapa gerangan pemilik tangan tersebut. "Miko." gumam Yaya.
Yaya menggerakkan telapak tangannya. "Tidak perlu. Aku bisa berdiri sendiri." tolak Yaya. Dirinya takut Miko tak akan mampu menarik tubuhnya. Dan malah akan ikut terjatuh.
"Aku ingin segera ke kursiku." ujar Miko.
Yang berarti Yaya harus segera menyingkir dari jalan. "Ah.. iya." gugup Yaya.
Dengan dada berdebar, Yaya meraih tangan Miko. Menerima bantuan Miko untuk bisa berdiri dan tak lagi menghalangi jalan.
Ternyata kekhawatiran Yaya tidak terjadi. Ternyata Miko mampu menariknya. "Terimakasih." cicit Yaya.
Miko hanya acuh seperti hari-hari biasanya. Dia segera duduk di kursinya setelah membantu Yaya. Sementara Yaya, dia memasukkan kotak bekal ke dalam tasnya. Sebab, tak mungkin Yaya memakan makanan yang sudah terjatuh.
"Kamu kenapa sayang?" tanya ibu Murni.
Yaya tersenyum simpul. "Yaya baik-baik saja bu, hanya kecapekan." ucap Yaya beralasan.
Mana mungkin dirinya mengatakan pada sang ibu, jika dia sangat malas dan enggan untuk berangkat bekerja.
Yaya tak ingin membuat kedua orang tuanya sakit hati. Sidah dia membuat kedua orang tuanya selalu disindir para pembeli, saat mereka membeli bahan sehari-hari di toko mereka.
Tentu saja karena fisik Yaya. Yang jauh dari kata sempurna. Dirinya tak ingin beban kedua orang tuanya bertambah. Jika dirinya menceritakan apa hang sebenarnya terjadi di tempatnya bekerja.
Bu Murni menatap sang putri dengan tatapan iba. "Kasihan sekali anak ibu."
"Cuti saja, barang sehari." timpal sang ayah yang tiba-tiba datang entah dari mana.
Yaya tersenyum simpul. "Mana bisa yah, pekerjaan sedang menumpuk. Lagipula, hari minggu Yaya juga libur." ucap Yaya beralasan.
"Kamu itu. Setiap hari pekerjaan menumpuk. Setiap hari lembur. Perusahaan macam apa itu. Bagaimana perusahaan tempat kamu kerja membagi pekerjaan untuk karyawannya." omel sang ayah.
"Bahkan, hari minggu saja kami tidak bisa bersantai." lanjut sang ayah.
Hari minggu memang Yaya tidak akan datang ke perusahaan. Dirinya tidak bekerja. Tapi tetap saja, di rumah dia dihadapkan dengan tumpukan kertas yang dia bawa dari tempatnya bekerja.
Tapi, setidaknya Yaya meras tak ada beban saat membawa pekerjaan ke rumah. Dia bisa bersantai dan tidak tertekan.
Meski pekerjaan yang dia bawa pulang bukan pekerjaan yang seharusnya dia kerjakan. Melainkan tugas yang seharusnya dikerjakan rekan kerjanya yang lain.
Pak Endri merasa kasihan pada sang putri. Setiap hari pulang malam. Dan selalu beralasan lembur. Bahkan hari liburpun masih sibuk dengan kertas-kertas.
"Jika kamu sudah tidak sanggup. Kamu keluar saja. Ayah masih sanggup memberi kamu makan." ungkap sang ayah karena merasa jengkel.
Yaya memeluk tubuh sang ayah yang duduk di sampingnya. "Siapa bilang Yaya nggak sanggup yah. Lihat, bahkan berat badan Yaya tetap." ucap Yaya sembari terkekeh pelan.
Bu Murni mengambilkan nasi beserta sayur dan lauk pauk di atas piring Yaya, dengan porsi seperti biasa. Hingga piringnyapun tidak terlihat.
"Makan. Habiskan. Biar kamu semakin kuat bekerja. Ibu tidak ingin kami sampai sakit."
Dengan lahap, Yaya makan dengan lahap. Pak Endri mengelus pelan rambut Yaya dengan tatapan penuh kasih sayang. "Pelan-pelan saja. Ibu kamu masak banyak." tukas sang ayah.
Sedangkan sang ibu sibuk mengisi tepak yang biasanya Yaya gunakan sebagai wadah makanan untuk di bawa bekerja.
"Ayah nggak ke toko?" tanya Yaya, dengan mulut penuh makanan.
"Telan dulu makanan di mulut kamu." tegur pak Endri. "Ayah agak siangan buka toko. Sekalian, menunggu barang pesanan ayah datang." jelas pak Endri. Yaya mengangguk pertanda mengerti.
Seperti biasa, Yaya akan berangkat bekerja menggunakan sepeda motor matic. Jika dilihat, tampak sepeda motor tersebut tak terlihat, karena saking besarnya tubuh Yaya.
Tapi Yaya tetap memakainya. Bahkan, saat sang ayah menyarankan Yaya membeli sepeda yang lebih besar, sehingga seimbang dengan tubuhnya. Yaya menolak.
Yaya mengatakan jika tidak perlu. Dan malah membuang-buang uang. Sebab sepeda motornya yang sekarang juga masih bagus dan masih bisa dipergunakan olehnya.
Semua mata memandang Yaya dengan senyum mengejek, saat Yaya toba di area parkir perusahaan. Tapi hal itu sudah biasa untuk Yaya.
Yaya tak terlalu ambil pusing. Hanya dilihat. Dan dipandang remeh. Bukan masalah besar. Yang Yaya takutkan, jika dirinya kembali di kerjain. Padahal tidak tahu kesalahan apa yang telah dia lakukan.
Tapi Yaya cukup bersyukur. Beberapa hari ini, dirinya hanya mengerjakan pekerjaan rekannya seruangan. Tidak mendapatkan kekerasan fisik. Meski harus terus bekerja hingga matahari tak lagi menampakkan cahayanya.
"Lihat, badannya seperti babi. Sama sekali tak ada lekuknya." ujar seorang pegawai wanita dari divisi lain dengan pakaian kerja melekat ketat di badan hingga penampilan semua bentuk tubuhnya dengan nyata. Meski memakai pakaian.
Yaya tahu, jika ucapan itu ditujukan untuk dirinya. Tapi dia acuh dan berpura-pura tidak mendengar.
"Gue berani taruhan. Di perusahaan ini, sama sekali tidak ada lelaki yang mau mendekati dia." timpal wanita dengan dandanan setebal buku rumus matematika.
"Gue saja yang perempuan ogah dekat dengannya. Apalagi lelaki. Nggak nafsu mereka. Pasti barang mereka nggak mau on." sahut yang lain dengan tawa puas.
"Baunya itu loh,,, sumpah. Makan bangkai pa sih dia." cicit yang lain.
Yaya dengan cepat melangkahkan kakinya menuju ke ruangannya. Sayangnya, secepat apapun dia melangkah, bentuk tubuhnya yang besar sulit untuk diajak berkompromi.
"Hoeyy,,, beruang....!! gue kira elo dah mati. Ternyata masih hidup." teriak pegawai lelaki yang melihat Yaya.
"Beruntung banget lelaki yang mendapatkan elo. Nggak usah beli kasur." timpal karyawan lain.
Yaya bernafas lega, saat dirinya sampai di ruangannya. Tapi, belum juga Yaya duduk, rekan satu ruangan dengannya sudah mengejek dirinya.
"Yaya...!! Elo mandi nggak sih. Bau banget...!!" serunya, memencet hidungnya.
Yaya sadar, jika bajunya sudah basah karena keringat, akibat berjalan dengan cepat agar sampai ke ruang kerjanya.
Tapi siapa yang menyangka. Dirinya malah mendapatkan maslaah baru. Yaya hanya bisa diam. Rekan-rekan satu ruangan menggerutu.
"Naikkan AC nya. Sumpah, gue mau pingsan." ucapnya dengan nada sinis, memandang Yaya dengan tak suka.
Yaya menulikan telinganya. Dirinya fokus pada lembar-lembar yang ada di hadapannya. Sementara Miko, hanya memandang Yaya dari tempatnya duduk tanpa ekspresi.
Yaya merasa perutnya sakit. Diapun memutuskan untuk pergi ke toilet. "Gajah, kemana elo?" tanya rekan kerjanya.
"Ke toilet." sahut Yaya, yang memang sudah terbiasa dengan panggilan para temannya yang selalu menyamakan dirinya dengan berbagai hewan karena fisiknya.
Kedua mata Yaya membulat sempurna, melihat sesuatu yang seharusnya tak dia lihat. Dan Yaya yakin dirinya akan terkena masalah.
Segera Yaya menyembunyikan tubuh gendutnya di balik tiang penyangga gedung. Berharap dirinya tidka terlihat.
Tapi sayang, Milly melihat dengan jelas kedatangan Yaya. Bahkan saat Yaya bersembunyi. "Nanti malam kita lanjutkan lagi ya sayang. Nggak enak kalau di sini. Takut ada yang lihat." ucap Milly dengan manja.
Cup.... "Baiklah. Jangan lupa, pakai baju seksi kamu. Sudah lama kita tidak melakukannya. Rasanya, aku sangat tidak sabar." cicit sang lelaki.
"Pasti." Milly memainkan matanya dengan genit.
Keduanya kembali bercumbu sebelum berpisah. Milly melambaikan telapak tangannya dengan senyum manis tersungging di bibir.
Milly melangkah dengan pasti menghampiri Yaya. "Percuma elo sembunyi. Bahkan, badan elo lebih besar dari pada tiang ini."
Dahi Yaya mengeluarkan keringat sebesar biji jagung. "Elo, jaga lidah elo. Jika sampai ada yang tahu, gue anggap itu dari mulut elo."
"Milly,,,,, tapi itu tidak benar." Yaya berniat mengingatkan Milly, jika yang dilakukan Milly adalah kesalahan.
"Husssttt...." Milly menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya. "Elo jangan banyak bicara. Diam. Atau elo berada dalam bahaya." ancam Milly, dengan tangan berada di leher.
"Paham...!! tutup mulut elo. Atau elo akan celaka."
Yaya diam tak berani bersuara. Jika elo berbicara tentang apa yang elo lihat, gue yakin. Nggak akan ada yang percaya. Jadi lebih baik elo diam."
Yaya mengangguk. "Bagus. Gue suka perempuan penurut." Milly menepuk keras pundak Yaya.
Lalu dengan ekspresi jijik, Milly menepukkan kedua telapak tangannya. Seolah telapak tangannya baru saja menyentuh barang kotor.
Dengan langkah anggun, Milly meninggalkan Yaya yang masih syok dengan apa yang dia lihat baru saja.
Di sebuah rumah megah bak istana, seorang perempuan paruh baya melepas kepergian sang putri tercinta.
Nyonya Ratna mencium kedua pipi sang putri secara bergantian. "Hati-hati di sana. Kabari mama jika sudah sampai."
Zoya mengangguk. "Iya mamaku yang cantik."
"Jangan lupa terus berkabar. Ketemu Reiner, lupa sama mama." tukas Nyonya Ratna.
"Ya nggaklah ma." ucap Zoya dengan manja.
Kembali Nyonya Ratna mencium kedua pipi Zoya berkali-kali. "Astaga mama.... Zoya hanya akan pergi dua atau tiga hari. Bukan selamanya. Jadi, nggak usah drama seperti ini." ucap Zoya, merasa sang mama terlalu berlebihan.
"Mama juga nggak tahu kenapa. Rasanya berat melepas kamu pergi." Nyonya Ratna memeluk Zoya dengan erat.
"I love you ma. Zoya sayang banget sama mama." ucap Zoya membalas pelukan sang mama.
Nyonya Ratna hanya bisa tertawa pelan. Zoya memang sangat manja bila sedang bersama dengannya. "Papa sudah berangkat ma?"
Nyonya Ratna mengangguk. "Dari pagi."
Zoya cemberut. "Zoya heran, papa punya banyak karyawan. Tapi papa selalu senang sibuk sendiri." tukas Zoya.
"Husstt,,, kamu itu." tegur sang mama.
Zoya berangkat ke bandara di antar oleh sopir. Dirinya pergi dengan perasaan senang. Bagaimana tidak, Zoya akan bertemu dengan sang kekasih.
Padahal, mereka masih berpisah selama seminggu. Dan Zoya sudah begitu rindu. "Gue akan menghabiskan waktu berdua bersama Reiner." cicitnya.
"Pasti Reiner akan terkejut dengan kedatangan gue." ucap Zoya, yang memang tidak memberitahu pada Reiner, jika dirinya akan menemuinya.
Zoya memilih penerbangan first class. Tentu saja dengan pelayanan yang memuaskan. Perjalanan yang lumayan memakan waktu, membuat Yaya memilih untuk merebahkan badannya di atas ranjang dan tertidur lelap.
Setelah sampai, Zoya sama sekali tidak merasa lelah. Sebab hatinya memang merasakan kebahagiaan ingin berjumpa dengan orang terkasih.
Zoya dijemput oleh seseorang yang sebelumnya sudah diatur oleh sang papa. Bahkan, untuk tempat tinggalnya, sang papa juga sudah mengaturnya.
Tentu saja di apartemen yang bersebelahan dengan milik Reiner. Seperti yang diharapakan oleh Zoya.
Zoya langsung membersihkan diri. Merias diri secantik mungkin begitu sampai di apartemen. Tak lupa, Zoya menghubungi sang mama. Mengatakan jika dirinya sudah sampai di negara tempat Reiner berada.
"Sempurna." puji Zoya memandang penampilannya sendiri dari pantulan cermin.
Diambilnya parfum dengan harga mahal yang dia letakkan di atas meja rias. Disemprotkan ke beberapa bagian badannya. Hingga tercium semerbak wangi yang menggoda.
Zoya melihat ke layar ponselnya. Menunggu Reiner membalas pesannya. Sebab, Zoya mengirim pesan pada Reiner. Bertanya sedang apa Reiner sekarang.
Berkali-kali Zoya melihat ke ponselnya. Hanya ingin melihat balasan pesan dari Reiner. Tapi sama sekali tak ada pesan dari Reiner. Yang ada dari teman atau orang lain.
"Seharusnya Reiner sudah pulang bekerja." cicit Zoya.
Zoya memutuskan untuk keluar dari apartemennya. Dan langsung menuju ke apartemen milik Reiner yang berada tak jauh dari apartemen miliknya.
Saat kaki jenjang Zoya melangkah dengan anggun, indera pendengarannya menangkap bunyi yang menurutnya aneh. Tapi terdengar familiar.
Zoya berjalan ke arah di mana dia mendengar bunyi tersebut. Sebelah matanya memicing, melihat apa yang ada di depan matanya.
Seorang lelaki dengan memakai jas berwarna hitam, bercumbu dengan seorang perempuan dengan pakaian seksi di lorong apartemen.
Zoya hanya bisa melihat wajah sang wanita, sebab sang lelaki memunggunginya. "Tidak sabaran sekali mereka. Astaga." lirih Zoya bergidik.
Bahkan, tangan sang lelaki juga sudah masuk ke dalam gaun seksi milik sang wanita. Memainkan jari jemarinya di sana.
Begitu juga dengan s sang wanita. Memasukkan tangannya ke dalam celana sang lelaki. Dan Zoya sudah bisa menebak apa yang dia lakukan.
"Menjijikkan. Kenapa tidak masuk ke dalam. Seperti hewan saja." cicit Zoya, membalikkan badan.
Langkah Zoya terhenti, saat mendengar suara sang lelaki yang sedang mendesah. "Suara itu." gumam Zoya, segera membalikkan badan.
Dengan perasaan takut bercampur khawatir, Zoya melangkahkan kakinya untuk mendekat ke arah mereka.
"Reyyy...." panggil sang wanita dengan suara serak mengundang hasrat.
"Rey,, Reiner." tebak Zoya dalam hati. "Tidak mungkin. Reiner tidak mungkin berkhianat. Dia lelaki setia." ucap Zoya menepis pikiran negatif dari benaknya.
Sang wanita menghentikan aksinya, saat melihat Zoya menatap ke arah mereka dengan intens. "Ada apa?" tanya Reiner pada wanita di depannya dengan menggunakan bahasa asing.
Deg... benar. Itu benar-benar suara dari lelaki yang dicintai sepenuh hati oleh Zoya.
Wanita tersebut tidak menjawab pertanyaan Reiner. Dia memandang tajam ke arah Zoya, yang berada di belakang Reiner. Memandang ke arahnya dengan tatapan sayu.
Reiner merasa wanitanya menatap ke arah belakang. Membuat dirinya membalikkan badan. Penasaran, apa penyebab hingga wanitanya menghentikan kegiatan panas mereka.
Deg... Pandangan Reiner dan Zoya bersitatap. "Zoya." cicit Reiner.
Zoya tersenyum kecut. Dirinya tak mampu menahan air mata yang sudah terkumpul di pelupuk matanya. "Ba-ba-bagaimana kamu bisa ada di sini?"
Reiner mendekat ke arah Zoya, dengan tatapan terkejut. Zoya mengangkat tangannya. Menyuruh Reiner untuk berhenti.
"Maaf, mengganggu." ucapnya di sela-sela isakan tangisnya.
Zoya membalikkan badan. Berlari menjauh dari Reiner dam wanita tersebut tanpa arah tujuan. Pikirannya kosong. Hatinya terasa hancur hanya beberapa detik.
Reiner mengejar Zoya. Teriakan sang wanita untuk menghentikan Reiner sama sekali tidak berpengaruh. "Sial... Siapa perempuan itu?!" geramnya.
Zoya terus berlari. Naik ke lift, dan berlari lagi begitu lift terbuka. Beberapa kali, tubuh Zoya yang sempoyongan menabrak orang yang berjalan berlawanan dengannya.
"Zoya....!!!" teriak Reiner, melihat tubuh Zoya tertabrak mobil dengan kecepatan tinggi. Hingga tubuh Zoya melambung tinggi dan terjatuh keras di atas aspal.
Reiner sangat syok dengan apa yang dia lihat. Bahkan lidahnya kelu untuk sekedar berbicara. Dengan dibantu petugas keamanan di apartemennya, Reiner membawa tubuh Zoya yang bersimbah darah ke rumah sakit.
Reiner segera menghubungi Tuan Darwin. Papa dari Zoya. "Gue harus punya alasan. Nggak mungkin gue bilang dengan jujur sebab Zoya mengalami kecelakaan." gumam Reiner di depan ruang operasi.
"Semoga, Zoya selamat." cicit Reiner berharap.
Sebenarnya, Reiner hanya mengisi waktu luangnya dengan bermain wanita. Dirinya benar-benar tidak mempunyai niat untuk mengkhianati Zoya.
Tapi siapa yang menyangka. Zoya malah melihat sendiri saat dia sedang bersama seorang wanita yang baru saja dia kenal semalam di bar.
"Tuhan. Selamatkan Zoya." harap Reiner. Meski Reiner sendiri melihat, bagaimana parahnya keadaan Zoya. Tapi dia tetap berharap Zoya selamat..
Sebenarnya, Reiner sejak dulu memang suka bermain perempuan. Hanya saja, Reiner dengan pandai menutupi kelakuannya tersebut. Sehingga Zoya tidak pernah tahu.
Apesnya, hari ini Zoya melihatnya. Dan langsung terjadi kejadian yang sama sekali tidak terduga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!