NovelToon NovelToon

Cinta Si Anak Kepala Desa

Ibu Tiri

"Jangan berpura-pura baik di depanku! Kau hanya wanita mata duitan yang menikahi Papaku karena kekayaannya!" seru Gwen pada seorang wanita berumur empat puluh tahun yang tak lain adalah ibu tirinya.

"Aku baik karena aku kasihan padamu. Untuk apa jauh-jauh ke Amerika untuk sekolah kalau setelah pulang kemari kau hanya jadi pengangguran? Sudah jelas, Papamu lebih menyayangi Carla daripada dirimu, meskipun kau anak kandungnya," ucap Hanna.

Gwen menggebrak meja, menyiram wajah Hanna dengan segelas air di hadapannya.

"Ah, kurang ajar!" seru Hanna kesal. Kedua matanya melotot tajam memandang marah pada anak tirinya.

"Itu pantas kau dapatkan!"

Saat keduanya saling bersitegang, suara pintu ruangan terbuka dan seorang laki-laki paruh baya datang bersama seseorang di belakangnya.

"Mama? Kau baik-baik saja?" Seorang wanita barusia dua puluh lima tahun mendekati Hanna dan tampak khawatir. Ia adalah Carla, saudara tiri Gwen.

"Ada apa ini? Gwen! Apa yang kau lakukan?" tanya Theo.

"Ah, Sayang. Ini bukan apa-apa. Kau salah paham," sela Hanna sambil mengusap wajahnya. Ia yang awalnya terlihat marah dan kesal pada Gwen, kini tatapan matanya berubah sedih, kedua mata itu berkaca-kaca.

Gwen tidak heran, ia melihat Hanna dan Theo secara bergantian. Sandiwara Hanna memang selalu berhasil di depan Theo. Sekeras apapun Gwen berusaha membela diri, Hanna selalu menang satu langkah di depannya.

"Bukankah Papa sudah memperingatkan mu? Bersikap baiklah pada Ibumu jika kau ingin ...."

"Aku tidak ingin apapun, Pa. Aku bisa mengurus diriku sendiri," ucap Gwen kesal. Ia menghentakkan kakinya dan berniat keluar dari ruangan direktur.

"Berhenti! Jangan berani melewati pintu itu tanpa meminta maaf pada ibumu!" seru Theo memperingatkan.

Gwen berbalik, menatap Theo dengan perasaan marah.

"Aku tidak melakukan kesalahan, dan aku tidak mau meminta maaf," jawab Gwen tegas.

"Apakah ini yang kau dapatkan dari bersekolah jauh-jauh ke Amerika? Mana sopan santunmu?"tanya Theo.

"Sudahlah, Sayang. Sudah, tidak apa-apa," sela Hanna. Ia mengusap lembut lengan Theo.

"Jika caramu seperti ini, lebih baik kau kembali ke Amerika. Papa muak melihatmu bertingkah dan membuat masalah, lebih baik Papa kehilanganmu mulai saat ini!" seru Theo.

Gwen melongo, menatap Theo sambil menggelengkan kepala pelan. Gwen tidak menyangka jika Theo akan tega mengatakan hal seperti itu padanya.

"Papa sudah kehilanganku sejak Papa membuangku ke Amerika tiga tahun lalu. Aku sudah Papa buang sejak wanita itu masuk dalam kehidupan kita!"

"Gwen!" seru Theo. Laki-laki paruh baya itu menatap anaknya dengan nafas cepat dan dada naik turun.

Gwen tidak peduli, ia berjalan keluar dan segera meninggalkan ruangan itu.

Kedatangannya ke kantor pagi ini memang untuk menemui ibu tirinya. Sejak pulang dari Amerika dua bulan lalu, Gwen sedang berusaha menyelidiki keuangan perusahaan yang ia rasa cukup mencurigakan.

Terlebih, Direktur perusahaan yang tak lain adalah ibu tirinya itu memiliki dana taktis yang disembunyikan keberadaannya. Gwen tidak yakin jika Theo mengetahui hal itu.

Gwen adalah anak tunggal dari pemilik perusahaan besar yang bergerak di bidang transportasi. Seharusnya, sebagai anak tunggal, Gwen adalah pewaris utama sekaligus penerus bisnis keluarganya.

Namun sejak kehadiran ibu tirinya, Theo mulai terpengaruh. Terlebih, Carla adalah saudara tiri yang pandai merebut hati Theo serta bermuka dua, sama seperti ibunya.

Sejak awal, Hanna berusaha keras membuat Gwen terlibat masalah dan seolah-olah menjadi biang kerok di keluarga ini. Karena itulah, Theo mengirim Gwen untuk melanjutkan sekolah bisnis ke luar negeri dengan harapan agar Gwen berubah lebih baik. Namun sejak awal, Theo tidak sadar jika semua yang terjadi hanyalah rekayasa istrinya.

"Gwen tidak berubah!" seru Theo. Ia duduk di ruangan dengan Hanna dan Carla di sampingnya.

"Mungkin Gwen memang tidak cocok berada di sini, Sayang. Gwen sudah nyaman berada di Amerika. Dia bahkan sudah sukses menjadi model di sana," ujar Hanna.

"Aku berharap, Gwen pulang dan kembali pada kita. Dulu, dia anak yang baik, tapi sekarang, hah." Theo menghela napas panjang.

"Bisa saja Kakak tidak suka dengan dunia bisnis seperti ini, Pa. Bisa jadi Kakak ingin kembali menjadi model," sela Carla.

"Benar, Sayang. Bukankah lebih baik kita kembali mengirimnya ke Amerika?" tanya Hanna.

Ibu dan anak itu berusaha keras menjauhkan Gwen dari Theo. Dengan begitu, mereka bisa menguasai perusahaan dan bisa saja Theo menyerahkan hak waris pada Carla untuk menggantikan Gwen.

Theo hanya diam dan berpikir. Ia merindukan putrinya yang dulu, Gwen yang baik dan lemah lembut. Namun saat ini, Theo seakan tidak bisa mengenali putrinya lagi. Mereka tampak asing seperti orang lain.

...****************...

Meninggalkan Rumah

Gwen merasa marah, kesal, sekaligus kecewa. Ia ingin menangis saat ini, namun bersikap lemah bukanlah dirinya.

Wanita yang berusia dua puluh tujuh tahun itu sudah dewasa, ia bukan lagi Gwen yang manja dan mudah diatur. Sejak kematian ibunya lima tahun silam, Gwen sudah merubah dirinya untuk menjadi wanita yang kuat dan tegas. Ia ingin melindungi dirinya sendiri, karena sejak saat itu, Gwen kehilangan salah satu orang yang sangat ia cintai.

Saat tiba di depan gedung perkantoran, seorang laki-laki berusia tiga puluh tiga tahun sudah menyambut Gwen di samping bodi mobil. Laki-laki itu adalah Pedro, sekretaris sekaligus sopir yang sudah bekerja pada Gwen sejak delapan tahun silam.

"Ke mana, Nona?" tanya Pedro. Ia sudah duduk di bangku kemudi sementara Gwen sudah berada di belakangnya.

"Ke rumah," jawab Gwen.

"Baik."

"Tolong cari hotel yang bagus untukku. Aku ingin tinggal di hotel mulai hari ini," ucap Gwen.

"Hotel? Kenapa? Ada masalah apa lagi, Nona?"

"Aku sudah tidak tahan lagi dengan dua penyihir licik itu. Lebih baik aku pergi dari rumah. Kau bisa mengurus kembali pekerjaanku di Amerika, aku akan kembali ke sana dan melupakan orang-orang di sini," terang Gwen.

"Nona, tapi kenapa? Kau baru pulang dua bulan lalu."

"Sepertinya papa lebih menyayangi anak barunya daripada aku. Jadi, untuk apa aku di sini."

"Nona, apa ini pilihan tebaikmu?" tanya Pedro. Ia fokus berkendara sambil sesekali melirik Gwen dari spion di atas kepalanya. Ia sudah membersamai wanita itu bertahun-tahun bahkan sejak ibu Gwen masih hidup. Tentu saja, Pedro tahu betul tentang keluarga itu bahkan tentang sifat dan kebiasaan Gwen.

Gwen terdiam, mengabaikan pertanyaan Pedro dan melamun. Sejujurnya, Gwen sangat merindukan kota ini, negara ini. Namun sayang, kehadirannya seolah tidak dibutuhkan, bahkan ia sama sekali tidak dirindukan oleh satu-satunya orang yang paling ia harapkan.

Sesampainya di rumah, Gwen langsung menuju kamarnya dan membereskan semua pakaiannya. Ia memasukkan semua barang miliknya ke dalam koper, sementara Pedro membantunya membawanya ke dalam mobil.

Sebagai sekretaris, Pedro selalu bertindak cepat dan pintar. Ia selalu menuruti perintah Gwen, namun sesekali ia berusaha memberi nasehat sebagai orang yang lebih tua.

"Aku memesan satu kamar eksklusif untukmu, Nona. Kita bisa segera ke sana," ucap Pedro setelah mereka sudah kembali ke mobil.

"Ya." Gwen mengangguk.

"Nona, bolehkah aku memberimu sedikit nasehat?" tanya Pedro. Ia berusaha memahami perasaan marah Gwen, namun tidak ingin memaksa jika wanita itu tidak membutuhkan saran darinya.

"Katakan!"

"Jika kau lari dari masalah ini, bukankah ibu tiri dan saudara tirimu akan semakin menggila? Mereka akan semakin senang karena kau kalah sebelum berperang. Kembali ke Amerika bukanlah pilihan yang buruk, tapi lari dari masalah dan membiarkan penyakit terus menggerogoti keluargamu bukanlah hal yang bagus. Semakin lama, penyakit itu akan semakin ganas dan mematikan. Setelah itu terjadi, akan semakin sulit pula untuk disingkirkan," jelas Pedro.

Gwen terdiam, mencerna perkataan Pedro dan memikirkannya. Apa yang Pedro katakan memang benar. Namun, Gwen tidak bisa berbuat banyak jika Theo saja tidak menaruh sedikitpun kepercayaan padanya. Theo benar-benar telah dijadikan boneka dan Hanna adalah dalang cerdik yang sudah mengatur semua rencana dengan matang.

"Papa memintamu melaporkan semua tentangku padanya, kan?" tanya Gwen.

"Ya, Nona."

"Katakan padanya jika aku keluar dari rumah, aku ingin tahu reaksinya," jelas Gwen. "Sejujurnya, aku ingin Papa mencegah kepergianku. Aku ingin Papa membujukku untuk tetap tinggal," lanjutnya dengan nada lemah.

"Baik, aku akan meneleponnya begitu kita sampai di hotel."

"Terima kasih, Pedro."

"Sama-sama, Nona."

...****************...

Sebuah Kesepakatan

Sesampainya di hotel, Gwen langsung membereskan kopernya dan beristirahat. Ia merasa lelah, namun rasa kesal di hatinya membuat wanita itu menjadi tidak nyaman.

Saat wanita itu tengah duduk melamun dengan secangkir coklat panas di depannya, pintu kamarnya di ketuk beberapa kali. Namun sebelum itu, ia membaca pesan singkat yang masuk ke dalam ponselnya.

"[Tuan Theo tiba, Nona.]" Isi pesan itu.

Gwen menghela napas panjang. Ia menebak, kedatangan Theo hanyalah untuk memarahinya. Ia tidak berharap banyak jika Theo akan membujuknya untuk kembali pulang.

"Papa, masuklah," ujar Gwen. Ia mempersilahkan Theo masuk dan duduk di sofa panjang di depan televisi.

"Papa langsung kemari setelah Pedro memberi kabar," ujar Theo.

"Jika Papa datang hanya untuk memarahiku, sebaiknya Papa lekas pergi. Aku lelah."

Theo menghela napas panjang. Ia menatap Gwen dengan perasaan bersalah. Apakah selama ini ia terlalu mengabaikan putrinya?

Benar Theo merasa marah dan kecewa pada sikap Gwen sejak kematian ibunya. Gwen menjadi lebih sensitif dan agresif, terlebih sejak kehadiran ibu tiri dan saudara tirinya.

Namun sebesar apapun perasaan marah di dalam dirinya, Theo tidak bisa membohongi hatinya bahwa Gwen adalah satu-satunya cinta di hatinya. Cinta tak beralasan dari seorang ayah pada putrinya.

"Papa tahu, kau pasti merasa iri dengan ibu dan saudara tirimu. Apakah itu sebabnya kau membenci mereka dan tidak bisa menerima kehadiran mereka?" tanya Theo.

"Aku memiliki segalanya, untuk apa aku merasa iri, Pa?"

"Lalu, kenapa?"

"Papa terlalu percaya pada mereka. Apa Papa tidak tahu dengan apa yang mereka lakukan di belakang Papa?"

"Bukannya Papa tidak percaya padamu, Sayang. Tapi selama kau berada di Amerika, mereka lah yang senantiasa membantu Papa. Dan tiba-tiba saat kau pulang, kau mengatakan hal-hal buruk tentang mereka? Bagaimana Papa bisa percaya. Padahal, selama ini kau tidak tahu apa-apa."

"Pa, aku tahu karena aku sudah mengawasi mereka sejak lama. Aku tahu apa yang mereka lakukan!" seru Gwen.

Theo tersenyum kecil, ia mendekati putrinya dan meraih tangan Gwen.

"Kau adalah satu-satunya anak Papa. Kau memang pewaris yang sah. Papa tidak mungkin membiarkan orang lain merebut posisimu. Jangan khawatirkan itu," ujar Theo menenangkan.

Theo berpikir, jika selama ini Gwen hanya mencari-cari masalah untuk menunjukkan jati dirinya. Theo kira, Gwen sedang mengkhawatirkan posisinya sebagai pewaris utama karena kehadiran saudara tirinya. Namun, Theo berusaha meyakinkan, bahwa tidak akan terjadi hal-hal diluar kendalinya.

"Pa! Bukan itu masalahnya!" tegas Gwen.

"Bagaimana jika kau pergi berlibur dan menenangkan diri? Bukankah bagus jika kau beristirahat setelah bertahun-tahun sibuk menjadi model dan bersekolah?" tawar Theo.

Gwen mengernyitkan dahi, apa kini Theo kembali berusaha membuangnya?

"Pa!"

"Kenapa? Papa hanya ingin kau berlibur dan menenangkan diri. Papa tahu sebuah desa yang asri dan bagus. Desa dengan pegunungan, sawah, serta dekat dengan pantai. Kau pasti menyukainya," terang Theo.

"Aku tidak tertarik," tolak Gwen.

"Jika kau berpikir Papa tidak menyayangimu, itu salah, Gwen. Bagaimana bisa Papa tidak menyayangi anak kandung Papa sendiri? Kau bahkan lebih berharga dari semua yang Papa miliki di dunia ini."

"Kau mempelajari banyak hal di Amerika? Sekolah bisnis pasti sangat rumit dan membosankan, kan? Tapi kau melakukannya dengan baik. Papa bangga padamu."

"Kau bercita-cita menjadi model terkenal sejak kecil, dan kau sudah meraihnya, kan? Mama pasti sangat bangga melihatmu seperti ini."

"Sebelum menjadi pemimpin, kau harus ditempa, kau harus merasakan jatuh, tersungkur, bahkan kau harus bisa merangkak naik dengan tangan dan kakimu sendiri. Agar kau bisa menjadi pemimpin yang baik dan bijaksana."

"Papa ingin kau menjadi orang yang kuat. Jangan pernah menyerah pada kekuranganmu, percayalah bahwa kau bisa melakukan segalanya!"

Gwen terdiam, mendengarkan dengan seksama penuturan Theo. Selama ini, Gwen berpikir jika Theo tidak lagi menyayanginya. Gwen berpikir jika Theo telah membuangnya.

Namun saat ini, Gwen merasa sedikit lega.

"Apakah liburan hanya alasan Papa untuk kembali membuangku? Apa Papa tidak suka jika aku ada di sini?" tanya Gwen.

"Sayangku, Gwen. Papa tidak pernah berpikir untuk membuatmu pergi jauh. Papa hanya ingin kau lebih belajar banyak hal yang belum kau tahu."

"Baik, aku akan pergi sesuai permintaan Papa jika itu akan membuat Papa senang."

Theo tersenyum. "Tentu saja, Papa sangat senang jika kau bersedia berlibur dan menenangkan diri. Kau bisa kembali saat pikiran dan hatimu sudah tertata dengan baik."

"Berapa lama?" tanya Gwen.

"Dua bulan, Papa rasa cukup."

"Dua bulan?" Gwen melotot. "Tidak, aku hanya akan pergi selama dua minggu."

"Enam minggu," tawar Theo.

"Satu bulan, satu bulan atau tidak sama sekali," tegas Gwen.

"Baiklah, satu bulan." Theo tersenyum, ia merentangkan tangan dan Gwen memeluknya.

"Papa menyayangimu, Gwen."

"Aku juga menyayangimu, Pa. Aku mohon, percayalah padaku."

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!