NovelToon NovelToon

At Least I’M Free

I

Kamis 07:10 WIB. Diantara para petugas berseragam merah yang sibuk merapikan gulungan selang, siswa siswi SMK Tunas Nusa berkumpul saling berdesakan di depan gedung lama sekolah. Sisa asap masih mengepul dari ruangan English Club di lantai dua ujung paling timur.

"Semuanya harap mundur!" Seru salah satu petugas mengisyaratkan dengan kedua tangan.

Mengabaikan, tak ada yang menurut, para murid malah makin melangkah maju sambil menatap ngeri ruangan sehitam arang di atas sana. Tak pernah terbesit dalam benak jika insiden ini bisa terjadi di sekolah tercintanya. Bisikan penuh spekulasi pun mengambang membentuk gema semu. Meski sudah memasuki jam pembelajaran, tak ada satu murid pun yang hendak meninggalkan tempat.

Di tengah keributan penuh kebingungkan, Arvin menguap. Dengan santai siswa kelas 11 farmasi itu menilik ekspresi orang-orang di sekitarnya. Ia menangkap banyak raut ketakutan juga kegelisahan yang merupakan reaksi wajar seseorang yang baru menyaksikan suatu insiden. Tetapi ada juga orang-orang yang asyik mengambil foto dan video lewat hpnya. Bisa ditebak mereka berencana segera memposting itu di sosmed masing-masing guna meramaikan jagat maya.

Arvin memasukan kedua tangannya ke saku celana sambil terus mengedarkan pandangan ke sekitar. Baginya, mempelajari ekspresi orang-orang itu jauh lebih menarik ketimbang menyerukan perasaan duka dan menduga-duga penyebab kebakaran. Karena toh semuanya akan terungkap dengan sendirinya. Begitu pikirnya.

Namun, tak dapat dipungkiri ada beberapa hal yang mengusiknya. Seperti nasib anggota club ke depannya.

'Pindah camp atau dibubarin?' Dalam hati Arvin bertanya-tanya. Entah mengapa kekecewaan menghampirinya.

Mengibas-ngibaskan sebelah tangan di depan hidung, Arvin berusaha menepis bau gosong yang berseliweran, dan untuk mengalihkan pikirannya ia pun mulai menyisir ekspresi orang-orang di belakangnya.

Untuk sesaat, Arvin tak menemukan perbedaan yang signifikan. Tapi begitu ia menilik jauh ke belakang, sosok gadis berambut hitam sebahu yang tengah berdiri lesu di samping pilar lab teknik mesin menarik perhatiannya. Gadis itu seakan sedang bersembunyi, meski matanya yang nanar nampak jelas menatap ke arah ruangan yang terbakar.

Arvin sepenuhnya terpikat, belum lagi karena ia juga mengenali gadis itu sebagai Ersya si murid teladan yang banyak memenangkan lomba essay dan pidato bahasa inggris di tingkat nasional. Sebagai anggota yang telah kehilangan ruangan club lumrahnya kesedihan dan amarah akan mendominasi, tetapi semua itu tak nampak di wajah Ersya. Malahan yang ada hanyalah ekspresi....

'Terharu?' Arvin menelengkan kepala, ia merasa itu bukan ekspresi yang tepat karena bagaimana pun kesuksesan akademik gadis itu pasti akan terpengaruh akibat insiden ini.

Tanpa sadar Arvin jadi terus memandangi Ersya, detik hingga menit ia bergeming. Sampai akhirnya seorang cowok tinggi bertubuh atletis datang menghampiri Ersya lalu memeluknya erat. Arvin refleks berbalik sambil tersenyum masam. "Tolol emang...."

"Siapa yang tolol?" Tiba-tiba Lilya datang dan mencengkram bahu Arvin hingga keseimbangannya runtuh dan hampir terjatuh.

"Eits! hati-hati!" Gadis bertubuh jenjang itu dengan sigap menahan tubuh Arvin agar tidak ambruk.

Lekas Arvin menoleh dan menatap sebal "Lu tolol datang-dateng langsung ngerusuh!"

"Lebay bet ahahaha." Gadis yang mengaku blasteran indo-swedia itu tergelak heboh hingga menarik perhatian orang-orang di sekitar.

Arvin menahan diri, berusaha agar tak mengutuk sahabatnya itu. "Dari mana aja lu? di parkiran tiba-tiba lari gitu aja ninggalin gua."

"Wahai Arvin sahabatku..." dengan intens Lilya merangkul Arvin dan berbisik. "Kamu tahu kan apa itu kebelet..."

Cepat-cepat Arvin menjauhkan diri. "Ih! kecipirit lu ya? jauh-jauh sana!"

"Dih! siapa juga yang kecipirit? dasar tukang fitnah, gue tuh kebelet pipis!" Lilya melipat kedua tangan di dada sambil menggembungkan pipi.

"Sama aja!" timpal Arvin lalu mengalihkan pandangan ke arah ruang club yang hangus. "Lu udah lihat kan? gimana menurut lu?"

Lilya ikut menatap ke atas sana. Seketika ekspresinya berubah serius. "Parah sih kalo ampe diumumin penyebabnya gegara korsleting listrik. Karena dilihat dari manapun, jelas-jelas itu ada yang sengaja bakar."

"Tau dari mana lu?" tanya Arvin yang sudah sangat hapal dengan kebiasaan overanalyzing sahabatnya itu.

Setelah berfikir beberapa detik, Lilya pun berdehem. "Dari kondisinya yang lebih parah di sisi timur, kemungkinan korsleting listrik memang besar terus bagian situ emang lagi direnovasi kan? jadi mungkin aja ada kabel yang rusak atau isolasinya kurang kenceng."

"Ya emang begitu kali," timpal Arvin.

Lilya menggeleng penuh sesal. "Tidak sesederhana itu sobat, karena kejadiannya pagi dan pas-pasan sama waktu anak-anak dateng, gue jadi mikir kalo ada orang yang sengaja ngebakar dan manfaatin pemikir simple kek lo supaya dugaan korsleting listrik tambah meyakinkan."

Arvin tertawa geli. "Kebanyakan nonton film detektif ya lu? mana mungkin ada orang gabut ngelakuin itu. Lagian dugaan lu itu ga ada buktinya."

"Mau taruhan?" Lia menyeringai.

Arvin menghela nafas panjang. "Heh, Itu yang kebakar ruangan club orang ye. Lu gak ada rasa simpati apa sama anggotanya? Malah dibikin becandaan."

Lia tergelak, lalu memincingkan matanya. "Lo sendiri gimana? ngerasa simpati?"

Arvin menjawab tapi suaranya teredam bising sirine mobil polisi yang datang. Perhatian semua orang pun teralihkan termasuk Lilya yang bersorak kegirangan.

"Lihat kan? Gak mungkin polisi bertindak secepat itu kalo cuma insiden kebakaran biasa."

Arvin terdiam mengamati mobil dengan kilau merah biru itu parkir di persimpangan jalan dekat lab teknik mesin. Bersamaan dengan itu ia mendapati Ersya dan cowok atletis yang tadi dilihatnya telah menghilang.

"Eh buset, mereka gak ngerti fungsi tempat parkir di depan apa ya? kalo gitu kan malah ngalangin jalan." Protes Lilya setengah emosi.

"Kalian semua bubar!" Tiba-tiba sebuah suara berseru dari arah depan gedung. Sontak semua murid kembali menoleh dan mendapati pak Danu-selaku kepala tata usaha-tengah berdiri sambil menempelkan megafon portable ke mulutnya. "Semuanya masuk ke kelas masing-masing dan jangan ada yang ke luar!"

Mata Arvin seketika berbinar seperti baru menemukan harta karun. Sosok pak Danu yang terkenal tegas dan penuh wibawa itu kini telah melenceng jauh dari karakternya. Kalut bercampur gugup yang ditunjukan pria 50 tahunan itu telah menarik hati Arvin ketimbang gembar-gembor kedatangan polisi.

"Ini kenape lagi si Danu?" Sindir Lilya sambil menahan tawa.

"Yah setidaknya karena kejadian ini, gua bisa lihat warna lain dari ekspresi orang-orang," timpal Arvin yang masih lekat menatap pak Danu.

"Dasar maniak ekspresi, emang aneh lo vin!" Cibir Lia.

Sementara pak Danu mengulang-ngulang seruannya, orang-orang pun mulai membubarkan diri tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Begitu pun Arvin dan Lilya, mereka tidak punya pilihan lain selain ikut beranjak.

Di tengah perjalanan, mereka sempat berpapasan dengan dua orang polisi berjas hitam yang berlalu dengan langkah lebar. Detik itu juga Lilya sadar kalau mereka bukan polisi biasa.

"Tuh kan, mana mungkin polisi langsung ngirim detektif kalo itu cuma kebakaran biasa!" Komen Lilya sengaja meninggikan suaranya.

"Gak usah terlalu skeptis deh lu. Percuma. Nanti juga bakal ada pengumuman resminya," timpal Arvin yang sedari tadi mengekori Lilya.

Mendengar itu Lilya pun menoleh dan tersenyum. "Kek yang gak kenal gue aja lu."

Arvin menghela nafas pasrah sementara Lilya mempercepat langkah dan menghilang di belokkan persimpangan.

Mungkin Arvin kurang bisa menganggap serius situasi ini layaknya Lilya, tapi semuanya akan berbeda jika dalam insiden ini ditemukan korban jiwa.

...* * *...

Setelah TKP diamankan dan garis polisi dipasang, dua orang detektif resmi dari kepolisian kota yang baru saja tiba langsung memasuki ruangan dengan sangat berhati-hati.

Setelah mendapat laporan beserta detail-detailnya, pimpinan pun memutuskan untuk langsung mengirim mereka berdua ke lokasi kejadian. Alasannya sederhana, karena TKPnya telah dirusak dan terkontaminasi oleh air yang disemprotkan para pemadam kebakaran. Mereka sukses menyapu bersih api sekaligus barang bukti yang mungkin tertinggal.

Sebelum dijamah lebih banyak orang, dua detektif itu pun diutus untuk mencari petunjuk sebanyak-banyaknya.

"Lumayan parah ternyata," ujar penyidik Ridwan sembari mengamati lagit-langit ruangan dengan seksama.

"Begitulah. Tapi setidaknya tempat ini belum diotak-atik orang, yang masuk ke sini juga baru petugas pemadam dan guru TU itu saja." Huga yang merupakan penyidik senior menunjukan sikap tenang sambil memperhatikan genangan air di bawah kakinya.

"Anda benar. Setidaknya 'dia' masih dalam keadaan aslinya." Rindwan berjalan ketengah ruangan, lalu berjongkok di hadapan jasad serupa arang yang tergeletak tertelungkup diantara air yang mengelilinginya.

Semuanya nampak hitam pekat. Pakaian dan kulitnya telah menyatu, bahkan wajahnya pun sudah tidak bisa diidentifikasi.

Huga mendekat dan mengamati mayat itu lekat-lekat. "90% ya..."

Pria 38 tahun itu pun menoleh ke salah satu sisi tembok yang tingkat terbakarnya lebih parah ketimbang bagian yang lain. Di sana, nampak sebuah lubang dengan sisa-sisa kabel yang menjulur dari sela-sela beton.

"Itu aneh," ujar Huga yang langsung disambut anggukan kepala juniornya.

"Memang sisi itu terlihat seolah-olah telah terjadi korsleting listrik. Tapi dari tingkat keparahan jenazah dan jejak jelaga di lantai, sudah jelas kalau kebakaran ini terjadi karena disengaja." Jelas Ridwan sementara Huga mendengarkan sambil mengelilingi ruangan.

"Meski sudah tersiram air, bau bensinya juga masih tercium..." tiba-tiba Huga menghentikan langkah seiring dengan matanya yang menangkap sesuatu di sela-sela reruntuhan plafon. Ia pun melambaikan tangan agar juniornya mendekat.

"Ada apa?" Tanya Ridwan yang sedetik kemudian terbelalak. "Apa maksudnya ini....?"

"Bersiap-siaplah." Huga menatap juniornya sembari tersenyum puas. "Kasus ini akan jauh lebih menyusahkan dari semua kasus yang pernah kau tangani sebelumnya."

II

Dalam kamar yang hanya berisikan kasur matras, Arvin terbaring santai menatap layar hpnya. Meski ingin mengakhiri hari dengan ketenangan, tapi pembicaraan di grup chat sekolah membuatnya tergelitik hingga melupakan kantuk.

Balon-balon pesan berisi opini bergulir cepat tiap detik sebab banyak detektif dadakan yang menyuarakan spekulasi rumpangnya secara bersamaan. Walau banyak analisis cerdas, tetapi esensi jawaban masih berputar bagai pusaran air tak berdasar.

"Harusnya Lia ikut nimbrung nih." Batin Arvin ketika menyadari ketidakhadiran sahabatnya itu di grup.

Karena tidak ada diskusi yang cukup menggugah, Arvin pun menguap bosan dan menatap jam dinding yang telah menunjukan pukul 22:45.

"Udah jam segini aja..." gumamnya lesu sambil memejamkan mata.

Dalam gelap, ia mencoba mengingat kembali kejadian pagi tadi. Tepatnya setelah pak Danu membubarkan para siswa. Tak lama berselang setelah semua masuk ke kelasnya masing-masin, guru-guru lain datang memberikan instruksi. Mereka ingin mencegah keributan ini tersebar ke luar sekolah sebelum pengumuman resminya dikeluarkan.

Namun tentu saja upaya itu berakhir sia-sia, karena sudah banyak murid yang terlanjur memposting status tentang insiden ini. Imbasnya, SMK Tunas Nusa menjadi tranding topic di internet.

Dalam kekacauan itu, Arvin menangkap ekspresi syok, bingung, juga takut bercampur sedih yang menghiasi wajah pucat para guru. Sekeras apapun seseorang menyembunyikan emosinya, mereka tetap tak akan pernah bisa mengendalikan micro ekspresi yang muncul dalam sepersekian detik di wajahnya. Dengan informasi yang minim itu Arvin bisa menyimpulkan kalau masalah ini jauh lebih serius dari yang ia bayangkan.

Setelah diberi pengarahan, semua siswa disuruh langsung pulang ke rumahnya masing-masing. Meski kegiatan belajar mengajar ditiadakan hari ini, tapi pihak sekolah tidak berencana meliburkan anak didiknya selama proses penyelidikan. Sejujurnya hal itu cukup mengganggu Arvin.

'Apa karena sebentar lagi akhir semester genap? atau ada alasan lain?' Arvin memukul ringan jidatnya berusaha mencari jawaban. Prinsipnya yang 'tidak akan memikirkan hal yang kelak akan terpecahkan dengan sendirinya' pun runtuh, untuk masalah yang satu ini ia merasa perlu menggunakan otaknya.

Drrrtttt! drrrttt!

Getar panggilan telfon tiba-tiba masuk. Dengan enggan Arvin membuka mata lalu bangkit meraih hp di lantai. Saat dicheck, nama Lylia terpampang jelas di atas fotonya yang tengah mengacungkan jari membentuk peace. Tombol hijau pun ditekan.

"Ya? hall-"

"Eyyyooo ma friend! cabut yuk!" teriak Lilya dari seberang sambungan.

"Ape sih nyet, maen teriak-teriak aja?"Arvin refleks menjauhkan hp dari telinganya, "niat banget bikin gue budeg..."

Lilya tertawa puas. "Sorry sorry, abisnya gue lagi bersemangat! lo turun deh, gue udah di depan rumah lo btw."

"Hah?" Arvin segera menghampiri jendela, dan benar saja tepat di depan gerbang sana Lilya tengah duduk di atas motor retro modifikasinya sembari melambai-lambaikan tangan.

Sesaat Arvin menahan nafas, berusaha sekuat tenaga agar tidak berkata kasar. "Lilya Lindberg... jangan teriak-teriak lagi ok? gue ke sana sekarang."

"Aasiiikkkk...." sorak Lia sembari menekan intonasi suaranya hingga yang keluar hanyalah bisikan tercekat.

Setelah menutup telfon, Arvin segera meraih hoodie merah yang tergantung di belakang pintu dan keluar menuruni tangga.

Sementara itu, sambil menunggu dengan tidak sabar Lilya menarik resleting jaket kulit hitamnya hingga ke leher. Meski udara malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, tapi semangat gadis itu tidak meredup sedikitpun. Di saat yang bersamaan, ia merasa bersyukur punya sahabat yang tinggal berdekatan dengannya. Karena selain bisa berangkat dan pulang sekolah bersama, dalam situasi seperti inilah peran Arvin sangat dibutuhkan.

Tap! Tap! Tap!

Derap suara langkah terdengar, disusul kedatangan Arvin yang tergesa-gesa ke luar gerbang.

"Mau ngapain lu?" tanpa basa-basi Arvin langsung bertanya.

Lilya tersenyum lebar. "Lo pantengin grup chat sekolah kan?"

"Yaa sedikit." Arvin memincingkan mata, "emang kenapa?"

Bukannya menjawab, Lilya malah cengengesan sambil mengetuk-ngetuk hp di genggamannya.

Belum genap setahun Arvin mengenal gadis bersurai coklat kemerahan itu, tapi semua gelagatnya sudah sangat tertebak. Berkat itu Arvin bisa langsung sadar jika 'rasa segan dan malu' yang ditunjukan Lilya sekarang adalah kamuflase dari keinginan sejatinya.

"Oh pantes malem-malem ngajak gua pergi naik motor, terus itu pake baju item-item, rambut dicepol, nanyain obrolan di grup pula..." Arvin melipat tangan di dada dan menatap Lilya tajam. "lu mau ke sekolah lagi? Mau liat TKP?"

Lilya tertegun, untuk beberapa saat ia hanya terdiam mengagumi tebakan tepat cowok di hadapannya. "Lo emang sahabat gue yang paling pengertian vin."

"Emang lu punya sahabat lagi selain gua?" tanya Arvin datar.

Bukannya menjawab, Lilya malah menyodorkan helm dan mulai mengkickstarter motornya.

"Eh eh! Bentar dulu, gue ga mau ikut-ikutan. Ntar kalo ketahuan bisa berabe." Arvin menyerahkan kembali helm retro chips di genggaman pada pemiliknya.

"Yaelah... malem-malem gini ketahuan siapa sih? Seberani apa pun polisi, mereka juga pasti mikir-mikir lagi kalo disuruh jagain TKP semaleman." Lilya dengan cepat menarik tangan Arvin dan mulai memasang helm itu secara sepihak. "Gue punya banyak dugaan, dan satu-satunya cara buat buktiin ya harus datengin TKPnya langsung."

Arvin menghentikan gerak tangan Lilya lalu menatapnya lekat, "Lia... itu kerjaannya polisi. Kalau kita ikut campur, nanti malah ngehambat proses penyelidikannya."

Lilya langsung menggeleng tegas, "Apa alasan korsleting listrik udah bikin lo puas? Gue lihat kok pas pulang ada ambulance, dan kalo emang ini cuman kebakaran biasa kenapa dateng banyak polisi? Terus kenapa guru pada panik pas tau anak-anak bikin status?"

Arvin menunduk, tenggelam dalam bimbang. Apa yang Lilya ucapkan memang tidak salah, tapi tetap saja baginya ini terlalu beresiko. "Lu napa ga ikut nimbrung di grup aja? Diskusi sama yang lain kan bisa. Gak perlu nyusahin diri sendiri kek gini."

Lilya tertawa hambar, "Pertanyaan bagus, tapi gue ga bisa jawab."

"Hah? Apaan dah?" Arvin mengernyit lalu berusaha melepas kembali helm dari kepalanya.

"Yaudah gue pergi sendiri aja deh. Sorry udah ganggu," Sesal Lilya sambil menggembungkan pipi, kemudian kembali mengkickstarter motonya hingga menyala.

Arvin memberengut, tidak ada alasan baginya untuk ikut campur dalam keputusan ceroboh Lilya atau ikut menyelidiki kasus itu. Lagi pula ia sudah muak dengan polisi.

Namun tepat sebelum gas diputar, tiba-tiba Arvin berubah pikiran dan naik ke boncengan sembari mengkaitkan tali helmnya. "Dasarrr.... Mana bisa gue biarin orang bego kek elu ke sana sendirian."

Lilya menengok dengan terkejut, tapi sejurus kemudian ia tertawa lepas. "Nah gitu dong!"

Brooomm!!!

Mereka pun melaju keluar kompleks perumahan menuju jalan raya. Tanpa memperdulikan kendaraan di sekitarnya, Lilya menyelip dengan kecepatan tinggi.

III

"Oi, jangan ngebut-ngebut dong!" Protes Arvin sambil memegang erat pundak gadis itu.

        "Vin, menurut gue kebakaran itu bukan karena korsleting listrik," ujar Lilya acuh mengabaikan rengekkan sahabatnya.

        "Iye gua paham, lagian lu udah bilang kek gitu berkali-kali."

        "Nah kalo emang gegara korsleting listrik, berarti listrik sekolah harus dimatiin ampe sumber kerusakannya dibenerin. Tapi kerjaan kek gitu kan ga mungkin beres sehari, apalagi polisi-polisi juga pada sibuk olah TKP. Ampe sini gue bener dong?"

        Sesaat Arvin terdiam, enggan meneruskan, "Jadi sekarang lu mau mastiin listrik sekolah dimatiin engganya?"

      "Itu baru rencana tahap satu. Kalo semisal listriknya nyala, berarti kita lanjut ke tahap dua alias otw ke TKP" Lilya menjelaskan dengan enteng, sedangkan Arvin mulai memijit pelipisnya yang mendadak pening.

        "Itu ilegal, bodoh..."

        Lilya menggelengkan kepala penuh kekecewaan. "Wahai anak muda, sesungguhnya tidak ada kata ilegal dalam pencarian kebenaran."

        "Lu kata Sun Go Kong yang ke barat nyari kitab suci?!"

        "Lah iya dong, gue Sun Go Kong lu si Pat Kai. Dah cocok emang!"

        "Hah?! Monyet ama babi dong?" Arvin menyerah.

       Sementara itu Lilya tergelak heboh sambil menambah kecepatan. Mereka pun melesat menembus malam.

...* * *...

20 menit berlalu, akhirnya mereka sampai di sekolah. Setelah memarkirkan motor di bahu jalan, mereka pun berdiri menghadap gerbang setinggi 3 meter yang terkunci. Tentunya masing-masing dari mereka memikirkan hal yang berbeda.

        "Sialan... kenapa pake nyala sih." Dengus Arvin sambil melirik Lilya yang nampak begitu bangga pada dirinya sendiri.

        "Tahap dua vin, gue duluan yang naik ntar lo nyusul. Ok?" Tanpa menunggu jawaban, Lilya langsung membuka resleting jaketnya dan maju mengambil posisi untuk memanjat.

        "Oi Lia tunggu dulu!" Arvin berusaha keras menahan suaranya agar tidak berisik.

        Namun dengan sengaja Lilya mengabaikan Arvin dan terus naik hingga mencapai puncak.

         "Lihat, gampang kan?" Ujar Lilya kemudian berganti sisi dan menuruni pagar hingga mendarat di bagian dalam dengan selamat.

        Arvin tak berkutik. Ia akui kalau Lilya lebih hebat dalam hal-hal nekat seperti ini.

        "Ayo buruan. Gue tungguin nih," Lilya tersenyum jahil.

        "Tangkep gua ya kalo jatuh." Dengan enggan Arvin mendekati pagar. Ia mendongkak, mencoba mengukur jarak.

         Setelah merasa cukup yakin, cowok itu pun mulai memanjat dengan gerakan kaku. Meski membutuhkan lebih banyak waktu dari pada Lilya, tapi akhirnya ia berhasil sampai di atas. Semua tampak baik-baik saja hingga saat berpindah posisi, kaki Arvin salah menjejak hingga meruntuhkan keseimbangannya.

         "Aahhh! Lia tolongin gue! Pa-pagernya! Pagernya mo copot!"

        "Pfftt! Mana ada pagernya copot" Lilya mundur beberapa langkah agar mendapat visual penuh dari sahabatnya yang bergelantungan heboh di atas sana. "Yang ada lo nya aja yang ja-"

        Bukk!

       "...tuh."

        "Aaaa!!!"

        Dengan posisi pantat yang mendarat terlebih dahulu, Arvin berteriak menahan nyeri.

        "Pfftt! Anjir vin j-jangan berisik!!" Sambil berusaha keras menahan tawa Lilya berlari menghampiri Arvin dan membekap mulut cowok itu.

        "Mmmpp!" Arvin melepas tangan Lilya. "Lu kagak nolongin gua!"

        "Sssttt!!! Gue kan tadi ga bilang 'iya'" Lilya kembali membekap mulut Arvin, ia tak kuasa menahan tawa hingga airmatanya mencuat dari sela-sela mata. "Haha..., Lagian gue harus apa? Jadi matras buat nahan pantat bau lo?"

        Arvin kembali melepas tangan Lilya dan menyalak. "Iya!"

        Plak!

        Lilya membekap kembali mulut Arvin. Kali ini cukup keras hingga cowok itu tak bisa bernafas.

        "Mmpp! Mmmppp!" Arvin menyilangkan kedua tangan tanda menyerah.

        Lilya berusaha mengatur nafas hingga rasa tergelitiknya benar-benar hilang.

        "Kita ga boleh buang-buang waktu di sini, ayo." Perlahan Lilya melepaskan cengramannya.

        Dengan nafas terengah-engah, Arvin memegangi leher sambil menatap datar sahabatnya. "Gila lu... mau bunuh gua apa?"

        "Iya iya sorry. Abisnya lo ngakak materials bet." Lilya menjulurkan tangan, membantu Arvin bangkit.

         Tentu saja bagi Arvin pengalaman terjun dari ketinggian 3 meter itu tidak bisa dilupakan begitu saja. Terlebih, kini pantatnya mulai berdenyut.

        Sambil berdebat dan saling melempar canda, mereka pun berjalan menuju bagian belakang sekolah tempat gedung lama berada. Meski lampu jalan dan koridor menyala, suasana sekolah masih saja terasa mencekam.

        Selama perjalanan Arvin tak bisa berhenti mengeluh dan menggerutu, sementara Lilya nampak acuh mengamati lingkungan sekitar dan bangunan-bangunan yang mereka lewati.

        Setelah melewati persimpangan dan lab teknik mesin, akhirnya mereka sampai di depan gedung berlantai 2 yang nampak tua namun terurus itu.

        "Demi apa.... kita beneran dateng ke sini...?" tanpa sadar Arvin bergidik ketika kilat petir mempertegas siluet gedung di hadapannya.

        "Ya demi mengungkap kebenaran lah," Lilya dengan santai mengacungkan kepalan tangan dan berjalan mantap menuju tangga.

        "Tunggu bentar napa." Protes Arvin sambil mengekori.

        "Lo pengen cepet balik kan? Yaudah jangan buang-buang waktu." Dengan penuh semangat Lilya menjejaki tiap anak tangga di hadapannya. "Lagian keknya bentar lagi mau ujan deh, dari tadi banyak petir soalnya."

          Arvin tak bisa perotes, toh dia sendiri juga yang memutuskan untuk ikut. Setelah menaiki semua anak tangga dan melewati beberapa ruangan kosong, akhirnya mereka sampai di ujung koridor tempat ruangan club bahasa inggris dulunya berada.

        Garis kuning nampak membentang di pintu yang lapuk menghitam itu. Bisa dirasakan juga aura aneh keluar dari sela-sela retakannya yang hangus. Tanpa ragu Lilya mendorong pintu itu, dan ruangan sebesar kelas pun menyambut dalam gelap dan hening.

         Arvin yang berdiri di belakang Lilya langsung menutup hidung akibat bau gosong yang menyengat. Sementara itu Lilya menelan ludah, tak menyangka kondisinya akan seburuk ini. Meski begitu gadis itu tetap melangkah maju dan masuk. Dengan hati-hati ia melewati garis polisi sembari menyalakan lampu flash hp sebagai penerangan.

        Cuit! Cuit!!

       Tiba-tiba terdengar gema suara seperti burung pipit dari ruang sebelah. Mereka berdua pun seketika mematung dan saling menatap.

      "Apaan tuh?" Bisik Arvin dengan hati-hati.

     "Halah... c-cuman suara burung kan itu?" Lilya tetap berusaha tenang, meski tangannya mulai gemetaran.

      "Katanya sih suara mbak kunti juga gitu" timpal Arvin dengan lebih santai. Ia pun ikut menyalakan flash hp dan mengarahkannya ke tembok dan langit-langit. "Mau dicheck ga, kali aja iya."

      Lilya berdecak, "Ish! Orang aneh macam apa yang malah sengaja cari mati coba?"

        Arvin menatap datar gadis itu sembari menunjukkan jari tengahnya. "Sadar diri napa nyet."

       "B-berisik ah, mending kita cepetan cari petunjuk." Lilya memalingkan wajah dan mulai menyusuri tembok mencari saklar listrik yang rusak.

      Arvin terdiam memperhatikan gelagat Lilya yang berubah kikuk itu. "Lu sebenernya penakut ya? makanya lu ngajak gua."

       "Kalo iya emang kenapa?" Lilya berbalik dan mengarahkan lampu flashnya ke wajah Arvin.

        "Anjir lu, silau tau!" Protes Arvin sembari menghalau cahaya itu dengan tangannya.

      "Eh lihat deh," Lilya kembali mengarahkan flashnya ke depan. "Saklarnya di pojokan sana, tapi yang parah kebakar malah tembok samping lu."

       Mendengar itu Arvin pun mengarahkan flashnya ke samping dan mendekati tembok. "Paan nih kabel-kabel?"

       "Coba tarik," titah Lilya yang masih sibuk memperhatikan saklar di seberang ruangan.

        "Plis lah gua ga mau ngotak ngatik nih tempat, ntar polisi tau lagi kita ke sini." Tolak Arvin sembari melipat tangan di dada.

        "Yah, kagak ditarik juga gue yakin kalo kabel-kabel itu ga nyambung ke mana pun. Alias palsu. Alias petunjuk jebakan," jelas Lilya yang mulai mengarahkan flashnya ke lantai dan menemukan sesuatu yang selama ini ia cari-cari.

       "Kenape juga dugaan gue bener semua?" bersamaan dengan kilat petir, Lilya menatap teduh gambar garis yang membentuk tubuh manusia di lantai.

        Arvin menghampiri, berdiri di samping Lilya dan ikut memperhatikan pola yang sedang gadis itu amati. "Sialan lu... sekarang kita harus apa?"

       "Pertanyaan bagus," Lilya berjongkok, memperhatikan setiap bercak merah dan hitam di lantai dengan seksama. "Kita harus cari tahu siapa pelakunya."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!