Assalamualaikum readers, author datang lagi nih. Novel ini adalah sekuel dari novel Pengasuh Centil yang dinakhodai oleh Jovanka Baron dan juga Radith Aditya.
Kalau di Pengasuh Centil itu plot utamanya adalah tentang kehidupan asmara si Jojoba, Jovanka Baron bersama dengan Papa Radith Aditya, maka di Impian Tiga Dara, author akan menceritakan tentang kehidupan asmara dan mimpi-mimpi ketiga sahabat Jovanka, yaitu Mini Geraldine, Naomi Harun, dan juga Cici Dewangga.
Supaya lebih ngena di hati dan lebih nyambung alurnya, author sarankan untuk membaca kisah Pengasuh Centil dulu ya, okey?
Selamat menikmati...
🌺
"Kalian jangan pulang dong, nginap disini aja ya," pinta Mini pada kedua sahabatnya yang akan pulang ke tempat kost mereka masing-masing. Ya, pesta pernikahannya sudah selesai tetapi ia belum juga mau berpisah dengan sahabatnya.
"Ya ampun Min, memangnya kita mau tidur dimana? Kita mau tidur berempat ya?" Cici berusaha untuk tidak tertawa.
"Malam ini kita tidur bersama yuk. Aku gak nyaman banget sama Kak Zion. Dia gak kenal aku banget. Kami seperti orang asing." Mini berucap dengan wajah ditekuk.
"Eh, Kak Zion gak kayak gitu kok. Dia cuma jaga image aja sama kita-kita. Nanti kalau kalian tinggal berdua. Hemmm, pasti kayak harimau lapar." Jovanka yang sudah bersiap pulang bersama dengan suaminya ikut menimpali.
Perempuan itu sudah pernah mengalami rasanya jadi pengantin baru. Dan itu sangat luar biasa dan tidak bisa digambarkan lewat kata-kata. Sampai sekarang pun suaminya malah lebih garang dan lebih hot.
"Tapi Jo, ini beda ceritanya. Kak Zion itu amnesia. Aku dilupakan seolah-olah ia tak pernah mengenalku sebelumnya." Mini menundukkan kepalanya seraya menjalin jari-jarinya.
"Yang penting dia sudah jadi milikmu Min. Jadi kamu gak usah khawatir. So berikan yang terbaik padanya biar dia bisa mengingat dirimu seperti dulu."
"Tapi Jo, aku-," Mini kembali ingin berucap tapi ia mengurungkannya. Ia merasa sedang banyak mengeluh pada sahabat-sahabatnya.
"Sudah. Jangan kamu pikirkan yang berat-berat. Berprasangka baik saja, Okey?" Jovanka menepuk bahu sahabatnya dengan pelan.
"Iya deh Jo. Aku akan berusaha menikmati ini." Mini berusaha untuk tersenyum. Ia seharusnya lebih banyak bersyukur dengan keadaannya sekarang. Ya, doanya sudah terkabul. Zion sudah menjadi suaminya. Ia seharusnya tidak mengeluh lagi.
"Baiklah, kita semua pulang ya, kamu harus berusaha membuat suamimu itu ingat cinta kalian selama ini."
"Iya Jo. Makasih banyak ya semuanya." Akhirnya Mini melepaskan kepergian sahabatnya dengan perasaan tak rela. Ia pun berjalan dengan langkah loyo ke dalam kamar pengantinnya.
Malam ini adalah malam pertamanya dengan Zion Sakti. Seharusnya ia senang, tapi sayangnya ia tidak bisa merasakan hal itu. Zion benar-benar berbeda dimatanya. Pria itu kembali seperti dulu yang tak pernah menganggapnya ada.
"Min, kamu yang sabar ya sayang," ujar Rossy sang ibu mertua. Perempuan paruh baya itu mengelus tangannya dengan pelan. Ia tahu betul bagaimana perasaan gadis itu sekarang.
"Iya Mi." Mini berusaha untuk tersenyum.
"Pelan-pelan suamimu pasti akan ingat siapa dirimu. Jadi kamu harus berusaha. Lakukan apa saja yang bisa membuat ia mengingatmu," ujar Rossy lagi memberi semangat.
"Kamu mengerti 'kan maksud Mami sayang?" Rossy tersenyum menggoda mengisyaratkan sesuatu yang luar biasa. Mini merasakan dadanya berdebar. Ia pun akhirnya mengangguk.
"Nah, masuklah. Berikan kesan yang mendalam malam ini. Insyaallah hati Iyon akan kamu dapatkan kembali." Mini merasakan pipinya menghangat. Otak kecilnya sudah bisa membayangkan yang tidak-tidak.
"Selamat berjuang!" Bisik Rossy kemudian meninggalkan Mini di depan pintu kamar pengantinnya.
Perempuan paruh baya itu pun pergi dari sana dengan senyum diwajahnya. Ia yakin ketakutan dan keresahan Mini akan segera menghilang jika mereka berdua sudah bersatu di tempat tidur. Mereka akan saling membutuhkan nantinya.
Ferry yang sejak tadi memperhatikan Mini dari jauh, entah kenapa merasa sangat kasihan pada adik iparnya itu. Ia ingin menghiburnya tapi ia tak punya hak untuk itu.
"Abang kok masih disini? Bukannya kamar Abang di lantai dua?" Pria itu tersentak kaget dengan teguran adiknya yang tiba-tiba saja berada di hadapannya.
"Oh tidak Yon. Tadi saya cuma memeriksa keadaan rumah kok. Ya udah, saya akan ke kamar sekarang." Ferry pun segera berlalu dari hadapan Zion yang menatapnya curiga.
Pengantin baru itu pun segera pergi ke kamarnya.
🌺
Ada rasa canggung yang dirasakan oleh Mini Geraldine saat memasuki kamar pengantinnya. Menikah dengan seseorang yang ia cintai adalah impian semua perempuan di dunia ini.
Akan tetapi bagaimana jika kamu menikah dengan pria yang lupa akan sosokmu? Pria yang hanya menganggap mu sebagai orang lain maka itu lain lagi ceritanya.
Mini berpura-pura sibuk karena suaminya pun menunjukkan hal yang sama. Mereka sama sekali tidak bertegur sapa padahal mereka sedang berada pada tempat yang sama di sebuah ruangan yang tidak terlalu luas.
Setelah membuka gaun pengantinnya ia pun membersihkan dirinya di kamar mandi. Memakai gaun tidur hadiah dari ibu mertuanya yang cukup terbuka dan tentu saja sangat tipis. Ia pun keluar dari sana menuju meja riasnya. Menyisir rambutnya yang hanya sebahu.
Pesan ibu mertuanya ia ingat dengan baik. Ia akan berusaha untuk membuat malam ini menjadi malam yang sangat berkesan dengan suaminya. Di dalam kaca ia melihat Zion sedang menatapnya. Dalam hati ia tersenyum dengan dada berdebar.
Pria itu tak disangka datang mendekat. Hati Mini semakin ketar-ketir. Ia berusaha menahan nafasnya.
Zion menatap wajah gadis itu dari dalam kaca dihadapannya dengan ekspresi datarnya.
"Temanmu tadi Jovanka Baron 'kan?" Mini mengangguk pelan.
"Hem, Aku ingat kalau aku sangat menginginkannya menjadi istriku. Lalu kamu sebenernya siapa?"
Duarrrr
Hati gadis itu terasa remuk. Ia tak menyangka dimalam pertamanya suaminya malah mengingat orang lain.
🌺🌺🌺
*Bersambung.
Hai readers tersayangnya othor, jumpa lagi kita dikarya baru yang pastinya lebih seru dan menarik. Sekuel dari Pengasuh Centil. Kalian yang belum membaca itu, boleh kok mampir kesana dan kesini hehehe.
Jangan lupa tap Favorit, Like dan komentar ya gaess. Ingat! Kasih rate Bintang lima ya. Kasih bunga juga dong.
Okey happy reading 😍
Malam itu benar-benar berlalu dengan sangat dingin. Mini sampai mengambil sweater rajutnya untuk ia pakai tidur. Gaun tidurnya yang terbuka disana sini rasanya membuatnya sangat malu. Ia seperti seorang perempuan yang akan menggoda suaminya sendiri.
"Aku istrimu kak. Dan kita sudah menikah. Jadi sebaiknya kakak tidak mengingat lagi masa lalu mu dengan Jovanka." ujar Mini dengan suara bergetar menahan tangis yang ingin pecah.
"Jadi menurutmu aku seharusnya memikirkan mu sebagai masa depanku? Padahal sedikit pun aku tidak mengingatmu?"
"Lalu kenapa kamu mau menikahiku kak? Kenapa tidak kita tidak berpisah saja sebelum ini terjadi?" Mini menatap pria itu dengan air mata yang sudah siap menggenang dari pelupuk matanya.
"Mami yang memaksa, katanya kamu sudah terlalu baik padaku. Kamu menjagaku sampai aku sembuh. Bukankah ini adalah wujud dari balas budiku?" Zion balas menatap perempuan dihadapannya itu dengan tatapan datar. Tak ada ekspresi yang mencolok disana. Ia benar-benar sangat asing dimata istrinya.
Mini Geraldine semakin merasakan sakit yang teramat sangat dihatinya.
"Baiklah, terimakasih karena kamu mau membalas budi baikku padamu Kak. Tapi apakah kamu tahu bahwa dengan caramu yang seperti ini malah semakin menyakitiku?" Mini meremas ujung gaunnya karena emosi.
"Pernikahan ini sakral Kak. Ini bukan permainan," lanjut perempuan itu kemudian berlari ke atas ranjangnya. Ia menumpahkan semua tangisnya disana. Ia sungguh benci keadaan ini. Sedangkan Zion hanya bisa menarik nafas panjang.
Malam itu mereka tidur di ranjang yang sama tetapi saling membelakangi. Tak ada lagi yang membahas tentang pernikahan yang tak diinginkan terjadi ini.
Sampai pagi menjelang mereka berdua bangun dalam suasana hati yang buruk.
Akan tetapi Mini berusaha untuk baik-baik saja. Ia segera mandi dan membasahi rambutnya untuk meredakan sakit kepalanya karena semalaman menangisi nasibnya. Setidaknya dengan begitu ia tampak lebih segar.
Matanya yang bengkak ia berikan foundation untuk menyamarkannya. Pokoknya ia harus tampak sebagai pengantin baru yang lumayan berbahagia.
Ia keluar dari kamar dan langsung menuju ke dapur. Ibunya berpesan kalau ingin disayang mertua maka ia harus rajin membantu di dapur.
Rossy yang melihatnya berada di sana nampak sangat kaget.
"Lho, kok pagi-pagi udah ada disini sih sayang?" tanyanya dengan senyum samar diwajahnya. Ia cukup tahu apa yang telah terjadi hanya dengan melihat rambut perempuan itu yang masih basah.
"Baiknya itu kamu istirahat aja, kamu pasti lelah," lanjutnya dengan hati yang sangat senang.
"Gak apa-apa Mi. Aku mau juga menyiapkan sarapan untuk seluruh keluarga."
"Ah iya gak apa-apa kalau gitu, tapi ada baiknya kamu minum susu dulu sayang, matamu kok nampak berkantung kayak gitu. Pasti semalam begadang ya?" Rossy menatap sang menantu dengan tatapan menyelidik.
Mini langsung tersenyum malu karena ketahuan. Ya, ia ketahuan begadang bukan karena ritual pengantin baru tapi ia begadang karena menangisi nasibnya.
"Kamu balik ke kamar gih. Mami ngerti kok. Kamu bebas bersama dengan suamimu sampai kalian puas. Disini ada Fery yang akan nemenin mami masak. Iyyakan Fer?" Rossy mengalihkan pertanyaannya ke putra pertamanya yang ternyata ada juga di dalam dapur itu. Pria itu hanya tersenyum saja. Ia sedang mengulek bumbu untuk campuran tumis tempe yang sedang dibuat Maminya.
"Gak apa Mi. Aku disini aja. Lagipula Kak Iyon udah bangun sejak tadi kok. Katanya mau jogging di sekitar kampus gitu."
"Wah, hebat nih pengantin baru. Malam sibuk, pagi-pagi pun langsung sibuk juga." Rossy kembali tersenyum samar.
"Ah Mami bisa aja. Sekarang aku bisa bantu apa?" tanya Mini dengan cepat. Ia sungguh tidak nyaman dengan pembicaraan sang mertua tentang dirinya dan Zion.
"Kamu atur saja makanan ini di Meja. Semuanya sudah hampir siap kok."
"Iya Mi." Mini pun mengambil beberapa piring dan sendok untuk dibawanya ke meja makan. Sedangkan Fery yang sudah selesai dengan ulekan bumbunya, segera ikut membantu Mini membawa nasi dan lauk lainnya.
"Kamu ambil cuti gak Min?" tanya Ferry dengan tatapan lurus kedalam mata sang adik ipar.
"Gak bang. Aku gak ambil cuti supaya bisa cepat lulus. Pengen langsung dapat kerja."
"Oh, gitu ya."
"Iya Bang."
"Nah tempe tumis ala mami sudah siap nih, silahkan makan." Rossy yang baru datang membawa satu piring tempe andalannya langsung mempersilahkan semuanya untuk makan.
"Aku nunggu kak Iyon dulu Mi." ujar Mini seraya mengarahkan pandangannya ke arah pintu luar. Ia berharap suaminya akan segera datang dan ikut makan bersama dengan mereka.
"Gak apa Min. Kamu makan saja sayang. Kamu masih mau ke kampus 'kan? Nanti malah telat lho."
"Tapi Mi, Kak Iyon nanti makannya sendiri dong." Mini masih berusaha menolak karena Ingin menunggu suaminya untuk makan bersama.
"Gak usah ditunggu. Zion udah biasa kayak gitu. Dan bahkan gak biasa sarapan juga. Jadi, kamu makan aja. Makanannya nanti gak enak kalau udah dingin," timpal Ferry seraya menawarkan udang krispi buatannya. Perempuan itu menerima pemberian kakak iparnya dengan mengucapkan kata terimakasih.
"Makan aja. Enak kok. Itu buatan aku sendiri," ujar Ferry lagi dengan senyum diwajahnya. Ia memandang Mini, menunggu gadis itu mencicipi makanan hasil masakannya.
"Heh, siapa bilang aku tidak biasa sarapan bang?!" tiba-tiba saja Zion muncul dihadapan mereka semua. Mini dan yang lainnya tersentak kaget. Apalagi ekspresi yang ditunjukkan oleh pria itu sangat tidak nyaman dilihat.
Pria itu menarik kursi di samping Mini kemudian menatap sekilas istrinya yang sudah mulai mengunyah udang Krispi buatan abangnya. Mini semakin tak nyaman. Ia merasa bersalah karena tidak bersabar menunggu suaminya.
"Ya gak apa-apa sih, aku memang biasa makan sendiri." Zion berujar lagi dengan tatapan tajam pada Ferry sang kakak. Ia seolah-olah ingin menyindir abangnya itu. Ferry tidak peduli. Ia sendiri cepat-cepat mengisi piringnya dengan nasi putih.
"Udah, makan aja Yon. Setelah itu antar istrimu ke kampus." tegur Rossy dengan cepat. Ia mulai merasakan bahwa atmosfer ruang makan itu jadi agak panas.
Dan kewajibannya adalah membuat semuanya berjalan dengan semestinya. Mereka semua pun akhirnya makan dengan tenang. Akan tetapi entah kenapa hati mereka sedang kebat-kebit.
🌺🌺🌺
*Bersambung.
Hai readers tersayangnya othor mohon dukungannya untuk karya receh ini ya gaess dengan cara klik like ketik komentar dan kirim hadiahnya yang super banyak agar othor semangat updatenya okey?
Nikmati alurnya dan happy reading 😍
Setelah sarapan pagi selesai, Mini segera bersiap ke kampus. Menunggu suaminya yang agak lama di kamar mandi, ia pun mengaktifkan handphonenya kemudian membuka aplikasi chatnya. Bunyi klotok-klotok terdengar beruntun dari benda pipih itu.
Hal pertama yang dibukanya adalah percakapan temen-temen se gengnya.
Cici Dewangga 🌼: Selamat pagi dunia, Assalamualaikum.
Naomi Harun 🐌: Selamat pagi Ci' Waalaikumussalam.
Cici Dewangga 🌼: Balik kanan ke tempat tidur lagi yuks, Mak Jojoba sama pengantin baru kita masih dibawah selimut tuh.
Naomi Harun 🐌: Iya, ah gak seru. Mereka pada berselimutkan benda hidup, kita jeles. 🤣🤣🤣.
Mini Geraldine 🐭: Heh, aku udah siap ngampus kalian mau apa? Ribut banget.
Cici Dewangga 🌼: Cuman ngabsen doang. Emang gak boleh? 🤭
Naomi Harun 🐌: Eh, pengantin baru kok sensi banget sih kayak habis itu...🤭
Mini Geraldine 🐭: Habis apa? 😤😠
Cici Dewangga 🌼: Ya ampun, roman-romannya, nih orang benar-benar butuh air dingin nih. Emangnya kamu gak keramas tadi pagi Min?"
Mini Geraldine 🐭: Gak!!!! Ayo cepat bersiap. Aku udah mau berangkat nih.
Naomi Harun 🐌: Iya iya Mak cerewet. Kita udah lama siap nih. Kami tunggu di kampus ya, bye.
Cici Dewangga: Bye.
Gadis itu pun menutup aplikasi chatnya dengan tersenyum-senyum lucu. Keberadaan sahabatnya merupakan obat tersendiri buatnya ditengah kegalauannya dengan suaminya yang bagaikan manusia asing.
Ia pun melihat ke pintu kamar mandi karena mendengar suaminya sudah keluar dari tempat itu. Pria itu sudah berpakaian lengkap. Rupanya ia membawa baju ganti ke dalam kamar mandi itu. Sebuah jaket kulit berwarna hitam ia pakai dengan jins belel sebagai bawahannya. Untuk pertama kalinya Mini melihat pria itu memakai pakaian seperti itu. Ia semakin aneh saja rasanya. Akan tetapi penampilan pria itu jadi semakin keren dan juga tampan.
"Ada apa? Kenapa kamu melihatku seperti itu?" tanya pria itu pada sang istri yang nampak bengong. Mini tidak menjawab. Perempuan cantik itu sepertinya sangat terpaku dan takjub menatapnya.
"Hey! Kamu lihat apa?!" tanyanya lagi karena Mini tak memberi respon. Perempuan itu tersentak kaget.
"Ah tidak kak. Kamu kelihatan berbeda banget," jawab Mini dengan pipi memerah karena malu kedapatan menatap suaminya sampai segitunya. Zion mengibaskan tangannya kemudian berucap, "Ah sudahlah. Kamu jam berapa masuknya?"
"Jam pertama Kak."
"Ya udah, kita berangkat sekarang." Pria itu pun berjalan lebih dulu keluar kamar yang diikuti oleh Mini dibelakangnya.
"Eh udah mau berangkat ya?" tanya Rossy dengan tatapan aneh pada putranya. Ia memandang Zion dari atas sampai ke bawah dengan dahi mengernyit heran.
Tak biasanya, ujarnya membatin.
"Iya Mi." Mini dan Zion menjawab bersamaan. Mereka pun menyalami Perempuan paruh baya itu kemudian keluar menuju pintu. Rossy hanya menggeleng-gelengkan kepalanya bingung dengan gaya berpakaian putra keduanya yang biasanya sangat rapih dan juga necis.
"Anak itu semakin aneh saja. Apa kepalanya perlu dibenturkan lagi, supaya ia ingat sama Mini? Heran, penyakit macam apa itu? lupa sama Mini doang Hhhh." Rossy mendengus kesal. Ia tak habis pikir dengan penyakit putranya itu.
Dua orang itu langsung meninggalkan sang mami menuju pintu depan tanpa ada yang berkomunikasi sama sekali. Mereka benar-benar seperti orang asing yang dipaksa untuk pergi bersama.
Keduanya akhirnya berdiri saja di depan beranda rumah itu. Di luar hujan sedangkan Zion hanya akan memakai motor. Hari ini adalah giliran Ferry yang akan memakai mobil satu-satunya peninggalan Ayah mereka.
"Kak, hujannya kayaknya awet nih. Apa aku pesan taksi saja ya?" Mini yang sudah lama menunggu hujan reda dalam keheningan akhirnya memberi usul. Zion tidak menjawab. Pandangannya lurus ke depan memandang tetesan air hujan yang nampaknya akan awet dan lama.
Mini hanya bisa menarik nafas panjang. Suaminya tidak merespon perkataannya itu berarti pria itu tidak setuju. Ia pun diam saja.
Lama mereka berdua berdiri disana dengan perasaan tak sabar dari perempuan itu. Berkali-kali ia melihat ke arah jam tangannya, tapi kondisi alam saat itu memaksanya untuk mengusulkan hal yang tadi.
"Aku pesan taksi aja ya kak. Waktunya udah mepet banget nih," ujarnya seraya menatap wajah suaminya yang nampak tanpa ekspresi itu.
"Gak perlu Min. Ikut saya saja bagaimana?" Ferry yang juga akan berangkat ke kantornya langsung berbaik hati ingin menawarkan bantuannya.
Mini menatap Zion, meminta izin. Tak ada respon samasekali. Hingga Mini menolak penawaran dari kakak iparnya itu.
"Gak usah bang terimakasih banyak. Aku ikut kak Iyon saja." Mini menolak dengan halus. Ia tersenyum dengan wajah tak nyaman.
"Yon. Kamu tega kalau istrimu terlambat? Lihat! Hujannya awet tuh. Bisa-bisa redanya saat sore tiba. Jadi kamu harusnya mengizinkannya ikut denganku." Zion tanpa sadar mengepalkan tangannya disisi kiri kanan tubuhnya. Ia tidak suka kalau kakaknya selalu saja ada diantara mereka berdua.
"Gak apa-apa kok bang. Aku juga udah biasa terlambat. Dosennya juga gak killer-killer amat." Mini kembali menolak dengan halus.
Entah kenapa aura wajah Zion tampak sangat gelap seperti itu dan ia sangat takut kalau suaminya akan lebih tidak mengenalnya lagi jika ia melakukan hal yang tidak disukainya.
"Ah ya baiklah. Saya pergi kalau begitu." Ferry pun naik di mobil itu kemudian menghidupkan mesinnya.
"Eh tunggu bang. Biarkan Mini ikut sama Abang." Zion langsung menghampiri mobil itu setelah sadar kalau ia telah membuat istrinya tegang karena penolakannya.
"Nah gitu kan lebih baik. Kamu memberikan kesempatan pada diriku untuk berbuat baik." senyum pria itu mengembang.
"Ah ya pergilah. Aku akan menjemputmu nanti." ujar Zion seraya membuka pintu mobil itu untuk istrinya. Mini tertegun selama beberapa detik. Ia belum juga naik ke mobil itu. Ia menatap suaminya yang juga menatapnya.
Deg
Mini merasa tatapan itu adalah tatapan suaminya yang sangat ia rindukan.
"Kenapa? Kamu mau hujan-hujanan denganku saja?"
"Eh?"
"Ayo buruan kita berangkat!" Terdengar suara Ferry dari dalam mobil dan terpaksa memutuskan tatapan keduanya.
"Naiklah. Aku akan menjemputmu nanti." Zion mempersilahkan dengan wajah kembali datar. Mini pun naik ke mobil itu dengan tarikan nafas beratnya.
Ia benar-benar bingung dengan apa yang telah terjadi di dalam keluarga ini.
🌻🌻🌻
*Bersambung.
Hai readers tersayangnya othor mohon dukungannya untuk karya receh ini ya gaess dengan cara klik like ketik komentar dan kirim hadiahnya yang super banyak author semangat updatenya okey.
Nikmati alurnya dan happy reading 😍
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!