“Malam ini aku tidak pulang. Langsung ke Bogor ... “ pesan singkat Bisma tertangkap Ajeng di keheningan malam.
Sudah kesekian kali Bisma mengirim pesan singkat jika tidak pulang ke rumah. Ajeng pun tidak ada keinginan untuk membalas. Ia paham, chat yang Bisma kirim hanya sebagai pemberitahuan yang tidak memerlukan imbal balik. Ia kembali meletakkan ponsel di atas nakas di samping tempat tidur.
Dengan perasaan lelah ia membaringkan diri di samping Lala putri kecilnya yang sudah terlelap dalam pelukan malam. Jemarinya membelai rambut Lala dengan perasaan sayang. Kalau bukan karena mama mertua dan Mayang, kakak iparnya yang baik hati, rasanya berat baginya untuk meneruskan pernikahan mereka yang kini sudah berjalan tiga tahun.
Sejak awal pernikahan, Ajeng berusaha menyelami karakter Bisma yang dingin dan pendiam. Pernikahan mereka bukan atas dasar suka sama suka, tapi karena perjodohan.
Serasa mendapat durian runtuh, Ajeng yang hanya orang biasa yakin akan kebahagiaan yang ia dapatkan jika berhasil menikah dengan Bisma. Perkenalan mereka cukup singkat, selama satu bulan dengan Nurita mama mertuanya yang mencomblangi hubungan mereka.
Pertemuan awal dengan Nurita, mamanya Bisma terjadi saat Mayang datang membawanya untuk membuka rekening baru di bank tempatnya mengais rejeki begitu menyelesaikan kuliah.
Sebagai seorang Customer service yang baik, Ajeng melayani keduanya dengan ramah. Nurita yang seorang perfeksionis terus mencecar pertanyaan yang bahkan tidak ada hubungan dengan pembukaan rekening.
Dengan penuh kesabaran Ajeng melayani semua dan menjawab pertanyaan Nurita dengan sopan dan ramah.
“Adek sudah menikah?” tiba-tiba pertanyaan Nurita membuat Ajeng terkejut.
Ia tidak menyangka nyonya besar yang penampilannya sangat modis mengajukan pertanyaan seperti itu. Belum sempat ia menjawab,
“Gak usah ditanggapi pertanyaan mama mbak,” celetuk Mayang.
Ia tak ingin mamanya membuang waktu petugas CS yang sedang bekerja profesional dalam melayani nasabah baru. Ia yakin, hobby baru mamanya menjodohkan adik batu-nya belum usai. Setiap perempuan menarik hatinya akan langsung ia tembak saat itu juga. Padahal Mayang yakin, belum tentu Bisma setuju dengan keinginan mamanya.
“Eh, kamu itu jangan ikut campur urusan mama. Kali ini mama yakin gadis ini cocok dengan karakter kulkas adikmu,” Nurita berbisik dengan sewot ke arahnya.
Mayang tersenyum sambil menganggukkan kepala pada Ajeng yang memandang ia dan mamanya dengan jidat berkerut. Raut perempuan itu heran melihat perseteruan yang terjadi di depannya.
Dalam hati Mayang pun meyakini apa yang dikatakan mamanya benar. Paket komplit ada pada sosok CS ramah di depannya. Wajahnya ayu dan manis, tak bosan memandang apalagi kalau tersenyum.
“Kalau keluarganya matre bagaimana?” Mayang berusaha menakut-nakuti mamanya, “Sekarang banyak kejadian lho ma ... disangka perempua baik-baik, taunya menusuk dari belakang, hi ... ngerii .... “
Ia sudah bosan, sudah puluhan gadis yang ia dan mamanya temui untuk mengakhiri masa lajang Bisma yang kini sudah berusia 32 tahun. Ia sendiri heran dengan si batu, julukan yang ia berikan pada Bisma adik semata wayangnya yang masih betah melajang di usia yang cukup mapan untuk berumah tangga.
Ia tau, rasa tanggung jawab Bisma sebagai anak laki-laki yang harus melindungi kedua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya sepeninggal sang ayah dua tahun lalu membuat adiknya begitu keras dalam menjalani hidup. Bisma seolah menghukum dirinya sendiri untuk tidak terlibat dalam hubungan asmara.
Sejak kecil Bisma sudah menjadi seorang kutu buku, sehingga saat menyelesaikan sekolah kedinasan membuat ia tidak pernah memiliki pacar. Dan ia yakin, menjalin hubungan dengan perempuan hanya akan menghabiskan waktu dengan berbagai drama di dalamnya.
Ia tak habis pikir dengan jalan pemikiran Bisma. Ia dan suaminya Rudi langsung menikah begitu selesai kuliah S1. Otomatis sudah sepuluh tahun ia dan Rudi bersama, tapi Yang Kuasa belum mengizinkan keduanya memiliki keturunan.
Mungkin karena aktivitas masing-masing di dunia kerja membuat keduanya jarang memiliki waktu bersama, sehingga saat kembali ke rumah fisik sudah lelah dengan segala pekerjaan yang dijalani setiap hari.
“Gak masalah. Harta kita cukup untuk sepuluh keturunan,” Nurita kembali berbisik dengan kesal menyanggah ucapan putrinya.
Kali ini ia yakin dengan pilihannya. Tidak ada kepura-puraan dalam sikap gadis muda yang sudah masuk dalam targetnya sebagai menantu idaman di masa depan.
Selama tiga hari ia datang berturut-turut untuk mengamati aktivitas dan keseharian gadis yang ia ketahui bernama Ajeng Lestari Handayani. Tidak ada perbedaan dalam pelayanan yang dilakukan gadis itu pada setiap nasabah yang memerlukan bantuannya.
Adab yang dimiliki gadis itu benar-benar membuatnya jatuh hati. Sudah banyak gadis yang direkomendasikan keluarga, maupun lingkungan pengusaha yang ia temui. Tapi Ajeng telah mencuri hatinya sejak pertama bertemu.
Ia tidak ingin orang lain mendahului niat yang sudah terbungkus rapi di dalam pemikirannya. Bisma tidak akan menolak keinginannya. Pesan almarhum ayahnya agar selalu membahagiakan mamanya tertanam kuat di hatinya.
“Ibu, apa ada masalah?” Ajeng menatap perempuan parobaya yang memiliki kharisma kuat di hadapannya.
“Ya, masalahnya ibu pengen jadikan kamu mantu,” tembak Nurita langsung.
Ia tidak ingin membiarkan pikirannya bermain sendirian, karena belum mengetahui status CS yang telah ia klik.
“Mama .... “ tukas Mayang, tak menyangka mamanya akan berterus terang pada gadis yang tidak mereka ketahui asal usulnya.
“Maaf ya bu,” Ajeng menempelkan kedua tangannya di dada, karena tidak nyaman dengan sikap Mayang yang tampak keras.
“Nanti dek Ajeng istirahat jam berapa? Mama tunggu di kafe depan ya?” harap Nurita, “Mama tak ingin ada penolakan. Kalau memang kamu sudah menikah, mama ikhlas. Tapi kalau kamu berbohong, mama gak akan berurusan di bank ini lagi.... “
“Ih, mama main ancam lagi,” timpal Mayang menggeleng-gelengkan kepala dengan kekeras kepalaan mamanya.
Kini ia tau, sifat kepala batu Bisma turun dari sang mama. Pantas saja kalau sudah pendapatnya A, mama gak akan bisa dibantah.
Terpaksa Ajeng tersenyum menanggapi ucapan perempuan modis di depannya. Nasabah prioritas yang harus ia layani sebaik mungkin.
“Baik bu. Jam 12 siang saya akan menemui ibu di kafe depan.”
Percakapan hangat penuh rasa kekeluargaan mengalir begitu saja. Nurita yang ia lihat sebagai perempuan sosialita begitu ramah dan terbuka dalam berbicara dengannya. Mayang yang tampak judes dalam beberapa kali pertemuan mereka pun kini menunjukkan keramahan dan keanggunan seorang perempuan kelas atas di matanya.
Sebelum melanjutkan niatnya untuk menjadikan Ajeng sebagai mantu, Nurita memperkenalkan dirinya dan Mayang serta putra tunggalnya Bisma yang sampai usianya kepala tiga belum menemukan jodoh.
Nurita menceritakan kehidupan keluarganya yang tanpa didampingi suami yang telah terlebih dahulu dipanggil Yang Kuasa. Ajeng dengan antusias mendengar cerita perempuan parobaya yang kini juga telah menyita perhatiannya.
Kepergian ibunya di saat ia masih SMP membuatnya harus menjadi figur yang tegar bagi Dimas adiknya yang baru kelas V SD.
Cinta yang terlanjur dalam dimiliki sang ayah Prapto Darmojo membuatnya enggan untuk menikah lagi. Ia ingin mengantarkan kedua buah hatinya mencapai pendidikan tinggi agar bisa menjalani hidup dengan lebih baik, dibanding dirinya yang hanya petani biasa.
Dengan tekad dan semangat yang kuat untuk membuat ayahnya bangga, kini Ajeng berhasil menjadi pegawai di salah satu bank pemerintahan. Ia sudah bekerja selama 4 tahun, dengan penghasilan yang membuatnya mapan dan membantu membangun rumah permanen untuk ayahnya dan Dimas di salah satu kampung di kabupaten Kediri.
Saat pertemuan pertama dengan Bisma, betapa ia tak bisa menutupi rasa senang. Rasanya ia ingin melompat saking bahagianya akan dijodohkan dengan lelaki yang di matanya begitu sempurna tanpa cacat dan cela.
Sekelumit percakapan di masa lalu kembali terbayang di wajah Ajeng ketika malam itu ia diundang Nurita untuk makan malam di kediamannya.
Di meja makan ia melihat sosok laki-laki tampan duduk dengan tatapan tajam padanya.
“Nak Ajeng, perkenalkan. Ini Bisma putra mama,” Nurita membawa Ajeng berdiri di hadapan Bisma.
Dengan senyum ramah yang sudah biasa ia lakukan pada nasabah membuat Ajeng santai menyapa Bisma.
“Selamat malam mas.... “ sapa Ajeng.
Dengan enggan Bisma menerima jabat tangan Ajeng dan meneruskan makannya kembali. Ajeng tak terlalu mengambil hati perlakuan Bisma saat itu. Nurita sudah mengingatkan padanya, bahwa putra bungsunya itu seorang yang kaku dan tidak pandai berbasa-basi.
***Happy weekend buat readerku tersayang. Otor punya kisah baru yang akan kita nikmati bersama. Dukung terus ya. Salam sehat selalu ....***
Setelah pendekatan selama dua bulan, itu pun Nurita yang gencar mengundang Ajeng untuk datang ke rumahnya jika sang anak menghabiskan akhir pekan di rumah mamanya.
Bisma yang kebetulan seorang ASN di ibukota dan menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Program dan Anggaran di Sekretariat Kota Administrasi Jakarta Utara, memang sudah komitmen untuk selalu pulang di akhir pekan.
Semenjak kepergian papanya beberapa tahun silam, membuat ia mengambil tanggung jawab sebagai lelaki satu-satunya yang akan melindungi mama dan Mayang, keluarga inti yang ia miliki.
Di umur 32 tahun dan dengan posisi mapan dan jabatan yang ia sandang Bisma masih betah melajang. Sejak di bangku sekolah hingga kuliah ia adalah tipe introvert. Susah untuk menerima pertemanan dengan lawan jenis.
Sebagai lelaki penerus satu-satunya, Sasongko Permadi almarhum ayahnya telah mendidik dengan sangat disiplin. Ia tidak memiliki waktu walau hanya sekedar hang out dengan teman sekelas maupun teman kampus begitu ia sudah menjadi mahasiswa.
Papanya yang seorang pengusaha dan pemilik perkebunan teh terbesar di Jawa Timur telah mendoktrinnya dan mempersiapkan Bisma sejak awal untuk meneruskan estafet kepemimpinan jika ia sudah tidak sanggup untuk menjalankan roda perusahaan keluarga yang sudah berjalan tiga generasi.
Dalam perjalanan hidupnya, ternyata Bisma tidak tertarik untuk melanjutkan usaha papanya. Ia cenderung ingin menjadi abdi negara dan mengambil sekolah kedinasan yang membuatnya bersaing dengan pelajar lain untuk mengikuti tes sekolah kedinasan.
Bisma tak puas dengan ilmu yang dia dapat, hingga terus lanjut mengambil magister untuk mengisi otaknya yang selalu dahaga akan pengetahuan. Hingga di sinilah ia mulai mengabdi sebagai PNS di belantara kota besar Daerah Ibukota.
Bukan pertama kali mamanya meminta agar ia dekat dengan perempuan. Sudah puluhan malah yang dikenalkan mama padanya. Tapi sedikitpun hatinya belum tergerak untuk mencari pendamping di usianya yang sudah mapan.
Bukan ia tak mau untuk memulai, tapi Bisma melihat kehidupan rekannya yang lain. Darmawan, Kasubag Protokol tampak begitu sibuk dengan segala tingkah polah putra-putrinya yang membuat ia sering bolak-balik kantor hanya untuk urusan sepele.
Belum lagi Bagito, Sekda yang sering ditinggal istrinya yang seorang dokter di rumah sakit pemerintah. Jam dinas yang tak menentu membuat Bagito sering curhat karena kesepian ditinggal sang istri piket di malam hari.
Berulang kali Bisma berusaha menolak keinginan mamanya. Dari cerita rekan serta lingkungan kerja yang membuatnya banyak bertemu dengan lawan jenis, sedikit banyak ia mengetahui bagaimana watak perempuan.
Sebagai lajang yang memiliki kedudukan mapan, tentu tidak sedikit rekan kerja perempuan yang mulai memberikan perhatian lebihnya. Tapi sedikitpun tidak terbersit di hatinya untuk memulai dengan salah satu diantara mereka yang tertarik padanya. Bukan berarti ia ada kelainan. Hanya saja ia masih berat untuk memulai. Ia tidak ingin mengalami kegagalan berumah tangga seperti yang terjadi padi Enggar Hartadi teman akrabnya yang kini menjabat di kecamatan Pademangan.
Perkenalan dengan Ajeng seorang pegawai bank pemerintahan yang direkomendasikan mama cukup mengusik hatinya. Dari sekian banyak perempuan yang ia kenal, sosok Ajeng memang berbeda.
Gayanya sederhana tidak dibuat-buat. Senyum tulus dari wajah manisnya sempat membuat Bisma merasa dunianya teralihkan. Tak bisa ia sembunyikan, pertemuan pertama dengan Ajeng membuat Bisma gugup. Hingga ia kembali ke mode dingin untuk menutupi perasaannya.
“Aku mau menikah dengannya,” ujar Bisma dua minggu kemudian setelah pertemuan mereka saat makan malam pertama.
Mendengar ucapan Bisma tak ayal, rasanya saat itu juga Nurita ingin sujud syukur. Tapi dengan menampilkan wajah dingin ia menatap putra bungsunya itu.
“Yakin mau nikah?” padahal dalam hati ia bersorak saat menanyakan itu sekali lagi untuk benar-benar memastikan keputusan Bisma.
“Aku juga capek dikejar mama dan mbak Mayang,” tuntasnya.
“Baiklah. Berapa waktu yang kamu berikan untuk mama mempersiapkan semuanya?” kejar Nurita cepat.
Kabar ini harus ia sampaikan secepatnya pada Mayang. Mereka berdua harus gercep untuk mempersiapkan semuanya. Tidak mungkin hanya pernikahan biasa yang dilakukan, apalagi mereka adalah keluarga terpandang.
Satu bulan kemudian pernikahan megah terselenggara di Jakarta, rumah kediaman mereka yang ditinggali Bisma. Resepsi besar-besaran diadakan Nurita dan Mayang yang mengundang banyak pejabat penting serta artis ternama ibukota.
Banyak rekan kerja Bisma yang masih lajang patah hati, dan memandang tidak suka melihat perempuan yang kini berdiri di samping cem-ceman mereka dalam wujud pengantin cantik yang akan mendampingi sosok the most wanted yang kini telah mengakhiri masa lajang.
Mahar yang diberikan Bisma tidak tanggung-tanggung. Uang dua milyar dengan rumah dua lantai, membuat Ajeng merasakan indahnya menjalani pernikahan karena memiliki mertua yang tajir dan menyayanginya seperti anak sendiri. Kakak ipar yang baik hati dan tidak julid membuatnya merasa menjadi manusia paling bahagia.
Di usia pernikahan yang baru berjalan tiga hari, akhirnya terungkap alasan Bisma mau menikah dengannya. Pagi itu Ajeng bermaksud mengantarkan teh hangat dan kopi di taman belakang rumah mertuanya.
“Kamu bisa ajak Ajeng pindah menemanimu di Jakarta,” saran Nurita.
“Untuk apa?” Bisma memandang mamanya seketika.
“Wajar kan? Kalian sudah menikah. Tidak baik suami istri tinggal berjauhan. Mama ingin kamu dan Ajeng segera mendapat momongan. Mayang sudah lima tahun menikah, tapi sampai saat ini belum memberikan cucu .... “ curhat Nurita sedih.
Ia sangat menginginkan menimang cucu, karena ia begitu kesepian di rumah megah mereka. Apalagi teman sosialita serta saudaranya yang lain sudah memiliki cucu yang banyak.
“Aku sudah memenuhi keinginan mama untuk menikah. Ku harap urusan lain, mama tidak perlu ikut campur. Jika dia masih ingin bekerja, aku tidak masalah.”
Degh!
Terasa ada yang ngilu di hati Ajeng mendengar suaminya sendiri, imam yang ia harapkan mendampinginya hingga ke Jannah, tapi tidak menginginkan dirinya.
“Bukan pernikahan seperti itu yang mama inginkan,” Nurita berkata dengan sedih.
“Terserah mama. Yang penting aku sudah menuruti keinginan mama dan mbak Mayang untuk menikah. Aku pun telah memberikan mahar yang besar untuk perempuan itu. Ku rasa adil bukan?”
“Paling tidak berilah mama seorang cucu .... “ pinta Nurita penuh harap.
Ia tau, putranya memang keras seperti almarhum suaminya. Hanya dengan kelembutan yang membuatnya bisa mengabulkan keinginannya. Ia akan berterus terang pada Ajeng bagaimana karakter asli putra bungsunya itu. Ia harap Ajeng bisa merubah watak Bisma agar tidak kaku dan lebih hangat.
“Baiklah, jika itu keinginan mama. Aku akan memberikan cucu untuk mama. Tetapi setelah ini, jangan meminta yang tidak mungkin ku lakukan.”
Perasaan Ajeng seperti dikoyak mendengar percakapan antara mertua dan suaminya. Ia tidak menyangka akan bertemu dan terlibat penikahan dengan lelaki yang kini ia ketahui berhati batu.
Mata Ajeng mengerjab menahan tumpahan air mata. Selama ini ia hanya sebagai istri di atas kertas. Satu tahun pernikahan mereka dijalani dengan LDR. Sejak awal terjadinya ijab qabul, tidak ada pembicaraan atau komitmen bersama.
Bisma tidak pernah melibatkan dirinya dalam urusan pekerjaan kantor. Karena ia hanya pulang di akhir pekan. Hubungan suami istri mereka pun dapat dihitung dengan jari.
Bisma mencarinya hanya disaat ia butuh. Tanpa ada rayuan, ungkapan kata mesra sebagai pembuka keintiman yang tercipta. Ajeng merasa dirinya hanya sebagai pemuas dahaga lelaki batu yang berkedok suami.
Terkadang timbul hasrat untuk mendua, apalagi tidak sedikit rekan kerja yang suka padanya. Bahkan ada keinginan untuk mengakhiri pernikahan yang baru seumur jagung. Tapi, mengingat bapak yang semakin tua di kampung serta kebaikan mama mertua dan mbak Mayang, membuat Ajeng membuang segala pikiran nyeleneh yang sempat hadir di kala malam menjelang, dan naluri sebagai perempuan dewasa begitu menyiksa untuk mendapatkan kehangatan.
***Maaf ya readerku\, mungkin otor agak lama update\, pikiran cabang antara Pram dan Citra\, sekarang pindah Bisma dan Ajeng. Tapi tetap seru. Dukung terus ya ...***
Empat bulan pernikahan mereka lalui tetap dalam kebekuan. Ajeng masih berusaha meraih hati suaminya. Tapi Bisma tetap dingin tak tersentuh. Ia tak henti-hentinya memohon pada Yang Kuasa untuk membukakan hati sang suami agar rumah tangga mereka berjalan dalam koridor yang disyariatkan.
Malam belum terlalu larut. Ajeng sudah mempersiapkan diri. Dua pekan suaminya tidak pulang ke rumah karena melihat perkebunan teh mereka yang ada di Bandung dan dikelola sepupunya Angga.
Sesudah makam malam ia beberes dengan cepat. Ia hafal suaminya tidak menyukai keramaian. Di rumah mereka yang mewah, Ajeng memang tidak mempekerjakan art untuk membantunya sehari-hari.
Ia tau, Bisma tidak mau ada orang luar yang mengganggu aktivitasnya di dalam rumah. Hanya secara berkala ia memanggil jasa art untuk membersihkan rumahnya dari debu yang tak terjangkau jika Bisma masih belum kembali dari luar kota.
Ia memasang wewangian dan parfum yang lembut dileher dan pergelangan tangannya. Ia yakin dua minggu berjauhan akan membuat suaminya merindukan kehangatan darinya.
Senyum tak lekang dari wajah ayunya, membayangkan kemesraan yang tak lama lagi akan ia arungi bersama Bisma. Untuk menunggu sang suami yang ia lihat selesai makan memasuki ruang kerjanya, akhirnya Ajeng meraih ponsel untuk mengatasi rasa bosan menunggu.
Ajeng terbangun begitu sayup-sayup suara Azan bergema. Ia meraba samping. Tempat tidurnya dingin, berarti Bisma tidur di ruang kerjanya. Semalaman ia menunggu, ternyata pekerjaan lebih menarik bagi suaminya ketimbang istri yang begitu merindukannya.
Ajeng mengusap dada. Miris ....
Entah sampai kapan ia sanggup menjalani pernikahan seperti ini. Bisma seperti bayangan dalam hidupnya. Ada, tapi seperti tiada. Ia tak mampu menjangkaunya.
Saat hendak bangun kepalanya terasa berat. Pandangannya terasa berkunang-kunang. Tapi Ajeng tetap memaksakan diri. Ia harus menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya. Ia hafal kebiasaan suaminya yang tidak suka jajan di luaran jika sudah berada di rumah.
Mertuanya yang baik hati telah mewariskan tidak hanya kekayaan dan barang branded padanya tetapi juga ilmu kuliner yang ia miliki. Sehingga kemahiran Ajeng dalam memasak 11 12 lah sama mama mertua kesayangannya.
Setelah melaksanakan kewajiban sebagai hamba yang selalu bersyukur, Ajeng dengan memijit kepalanya yang masih berdenyut berjalan perlahan menuju dapur.
Dengan segenap kekuatan yang ada ia mengeluarkan sayuran dan dua butir telur yang akan digunakan untuk tambahan nasi goreng seafood. Udang dan baso yang tersedia membuat racikan nasi goreng bikinannya mengeluarkan aroma yang membuat rasa lapar.
Bisma keluar dari ruang kerjanya dengan kaos pol* dan celana training. Itulah dinas seharinya jika berada di rumah. Ajeng tak berani lama memandang wajah tampan suaminya yang berselimut salju.
Tidak ada percakapan yang terjadi selama sarapan berlangsung. Ajeng sudah sangat hafal apa yang dimaui suaminya. Biasanya selesai sarapan pagi, Bisma akan pergi ke rumah mamanya sendirian.
Tumben kali ini ia masih betah di kursi tanpa ada keinginan untuk bangkit dan melanjutkan rutinitas akhir pekannya.
“Ada yang ingin ku bicarakan,” suara bariton Bisma mengentikan aktivitas Ajeng yang telah menyatukan piring kotor untuk segera ia cuci, “Duduklah ....”
Ajeng menuruti keinginan suaminya. Dan segera mendudukkan diri tepat di hadapan Bisma yang kini menatapnya dengan sorot yang tidak bisa ditebak.
Ruangan makan hening sesaat. Bisma membuang muka dan menghela nafas dalam-dalam. Tanpa berpikiran negatif Ajeng tersenyum melihat wajah gelisah suaminya.
“Apa ada masalah mas?” Ajeng bertanya dengan hati-hati.
“Aku ingin kita mengakhiri sandiwara ini,” ucapan Bisma begitu dingin.
“Sandiwara? Maksudnya?” Ajeng belum paham perkataan suaminya.
“Pernikahan ini bukanlah seperti yang ku harapkan,” ujar Bisma, “Aku pun yakin kamu tersiksa dengan rumah tangga kita.”
Ajeng menggelengkan kepala, berusaha menolak kebenaran yang disampaikan Bisma. Ia tidak ingin mendengarnya dan menganggap itu hanya omong kosong.
Empat bulan ini ia berusaha belajar dan bersyukur dengan segala apa yang miliki. Walau pun sebagai seorang istri kekurangan nafkah batin, tidak lantas membuatnya melupakan anugerah yang ia dapat berupa harta dan mertua yang selalu mendukungnya.
“Aku tidak ingin berdosa lebih besar karena membiarkan istri yang harusnya ku bimbing tapi .... “
“Aku redho dengan semuanya mas. Tapi ku mohon, jangan akhiri pernikahan ini,” dengan cepat Ajeng memotong ucapan Bisma.
Ia kasian dengan bapak di kampung serta Dimas. Apa tanggapan keluarga di sana jika ia harus berpisah dan menyandang status sebagai janda?
Ajeng menggelengkan kepala berharap bahwa semua ini hanya mimpi dan ia segera terbangun dari mimpi panjangnya.
“Aku tidak bisa menjalani lebih lama lagi. Dunia kita berbeda. Dan aku pun tidak bisa menjadi suami sempurna untukmu,” tegas Bisma.
“Mas, aku mohon.... “ Ajeng mengharap belas kasih Bisma.
Ia sudah terlanjur sayang pada suaminya yang sampai detik ini masih dingin dan kaku. Ia tak ingin berpisah.
“Kamu tidak akan kekurangan walau pun kita berpisah,” ujar Bisma datar.
Ia yakin dengan pemikirannya, bahwa Ajeng mengkhawatirkan kehidupannya yang selama ini dihujani kemewahan akan berakhir dengan perpisahan mereka.
“Bukan seperti itu .... “ Ajeng menggelengkan kepala.
Ia tau isi kepala sang suami yang selalu menganggapnya matre karena barang-barang branded yang selalu bertambah setiap minggu.
Bukan keinginan Ajeng untuk shopping, tetapi mertuanya dan Mayang sering minta ia temani untuk cuci mata di akhir pekan. Sebagai menantu yang baik, ia selalu menyempatkan diri untuk menemani keduanya setiap panggilan datang.
“Aku tau, setiap wanita semua sama. Jangan khawatir akan masa depanmu ....” Bisma menjadi tak sabar karena Ajeng menolak keinginannya.
“Biarkan aku memikirkan semuanya .... “ lirih Ajeng.
Ia memegang erat sisi meja saat hendak bangkit dari duduknya. Hanya itu kekuatan yang ia punya agar tetap mampu berdiri dengan kokoh di hadapan suaminya.
Tak sanggup ia terus duduk di hadapan Bisma yang begitu memaksa untuk berpisah. Ia redha dan ikhlas dengan segala sikap Bisma yang tetap dingin. Ia pun yakin masih mampu bertahan dengan pernikahan yang begitu dingin tanpa ada kehangatan dan sikap mesra satu sama lain.
Begitu bangkit, kepalanya terasa berputar. Ajeng sudah tidak merasakan apa-apa lagi selain kelukaan akibat percakapan Bisma yang telah membuat hatinya terkoyak.
“Jeng .... “ samar-samar ia mendengar suara Nurita dengan tepukan lembut di pipinya.
Matanya terasa berat untuk dibuka dengan kepala yang berdenyut bertalu-talu. Ia tidak tau apa yang terjadi dengan dirinya.
“Dek .... “ kembali ia mendengar suara Mayang.
“Biar saja bu. Mungkin ini bawaan hamil muda hingga mbak Ajeng pingsan. Jangan khawatir .... “ dr. Ergi Sihotang, SpOg yang biasa menangani Mayang yang sedang menjalani program kehamilan bersam suaminya Rudi Anggoro menjelaskan pada Nurita dan Mayang.
“Alhamdulillah ya Allah .... “ Nurita mengucap syukur mendengar penjelasan dr. Ergi dan memeluk Mayang dengan perasaan bahagia.
Bisma yang baru saja mengurus administrasi dan masuk dalam ruangan tidak mengerti dengan raut mamanya yang terlihat bahagia dengan bibirnya yang terus menerus mengucap syukur.
“Apa yang terjadi ma?” Ia tak bisa menahan rasa ingin tahu.
“Ajeng hamil nak. Hari ini mama merasa sangat bahagia .... “ Nurita kini memeluk Bisma dan menangis terharu.
Bisma tercekat. Baru saja ia menyampaikan keinginannya untuk berpisah dengan istrinya. Ternyata semesta berkehendak lain.
Kini Ajeng mendengar semua pembicaraan dengan jelas. Rasa bahagia berbalut luka hinggap di hatinya. Ia tau, Allah lah yang telah mengatur semuanya. Mungkin ini jawaban do’anya agar bisa bertahan dalam rumah tangga yang baru seumur jagung ia jalani.
“Bantu bunda untuk tetap kuat ya sayang .... “ lirih Ajeng berkata sambil membelai perutnya yang masih tampak rata.
Ia yakin, dengan adanya buah cinta yang kini bersemayam di dalam rahimnya akan menguatkan dirinya untuk berjuang dalam merebut hati suaminya agar memiliki setitik rasa kasih demi keluarga kecil mereka di masa depan.
***Segala bentuk dukungan sangat Otor harapkan dari para pembacaku tersayang ....***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!