Lily tersenyum miring saat menyaksikan acara pertunangan Aara dan Brian. Mulut berucap cinta namun nyatanya kenyataan di luar dugaan. Pria yang tengah menyematkan cincin ke jemari kakak kandungnya adalah pria yang beberapa bulan lalu menyatakan cinta.
"Bullsyyt!!"
Lily melangkah mundur dan memilih menepi, dadanya sesak bahkan sakit rasanya menahan air mata yang siap keluar dengan sempurna. Tak ada kata selesai karena memang tak jalinan yang mengikat keduanya.
Namun hati Lily sejak dulu sudah terpaut pada pria itu, hanya saja belum ada keberanian untuk jujur. Dan lebih memilih mengulur waktu hingga cinta itu benar-benar membawa keduanya bersatu.
Flashback on
"Gue cinta sama loe Li!"
deg
Hati Lily berdenyut nyeri, tak ada kata untuk menerima karena ia tau jika Aara pun tengah mendekati pria yang saat ini berdiri di belakangnya.
"Bagaimana dengan Kak Aara? bukannya kalian memiliki hubungan? loe nggak pantes bilang cinta sama gue tapi loe pacaran sama kakak gue! loe sengaja mau ngerusak persaudaraan gue kak?"
Lily diam tak ada niat membalikkan tubuhnya, tapi itu tak membuat Brian putus asa. Dia memeluk tubuh Lily saat langkah gadis itu kembali mengayun.
"Kak!"
"Sebentar aja Ly!" Brian mengeratkan pelukannya hingga Lily tak mampu lagi memberontak. "Gue nggak ada rasa sama dia dan gue tau kalo loe sebenarnya juga suka sama gue. Bukannya sejak dulu memang kita sudah dekat? Bukan suatu yang aneh jika gue dekat dengan Aara juga.
"Tapi Kak Aara menganggap lain dan dia suka sama loe kak..."
Flashback off
Sejak saat itu Lily mulai membiasakan diri untuk dekat dengan Brian, menganggap biasa meski hatinya antara suka dan luka. Tiara yang sudah sibuk dengan segala kegiatannya membuat Lily harus kemana-mana sendiri. Terkadang Brian pun menjemputnya, namun Aara selalu ikut serta.
Kedekatan keduanya berlanjut, Aara dan Brian bekerja satu kantor, kebetulan Brian ikut kerja di perusahaan Daddy Raihan. Membuat hubungan keduanya terlihat semakin serius.
Sedangkan dengan Lily, Brian dan Lily saling memendam rasa, karena permintaan Lily yang ingin menjaga hati Aara. Namun orang tua mereka menganggap lain hubungan Brian dan Aara, apa lagi Aara yang selalu mengatakan jika keduanya sudah resmi berpacaran. Hingga acara pertunangan pun di lakukan karena campur tangan orang tua mereka.
"Loe mau kemana Li?" tanya Tiara yang datang bersama Rafkha.
"Mau makan gue, kalo lagi begini enaknya makan Ra. Seenggaknya gue ada tenaga setelah ini!" celetuk Lily dengan nada rendah namun penuh penegasan. Dia tak ingin kakaknya dengar kemudian segera meninggalkan Tiara yang terdiam melihat adik iparnya kini melangkah menuju meja berisi bermacam makanan.
"Gila, efek patah hati bikin nafsu makan loe bertambah Ly! ngeri juga loe ya!"
"Sayang, ayo!" ajak Rafkha yang ingin mengucapkan selamat pada adik dan sahabatnya.
Setelah kenyang dengan segala makanan yang ia icipi satu persatu, kini Lily memilih untuk meninggalkan tempat acara dan melangkah menuju kamar.
Sesampainya di kamar Lily menangis sejadinya, ia terisak dalam diam. Tak ada punggung untuk bersandar tak ada jemari yang mengusap lembut air mata. Hanya sendiri dengan rasa sakit yang menyesakkan hati.
"Ternyata ikhlas itu sakit banget, tapi boleh nggak sich kalo gue tinju tuh hidung si Brian. Biar batang hidungnya masuk ke tenggorokan. Mommy.....anak gadis Mommy di PHP sama turunan soang! hiks....hiks....hiks..."
Isakan Lily semakin lemah seraya dengan jarum jam yang berputar. Matanya pun mulai terpejam seraya hati dan batinnya yang mulai lelah. Tetapi saat jiwa mulai ingin beranjak ke alam bawah sadar, sentuhan di pipi nya begitu terasa.
Lily terhenyak dengan kesadaran yang ia pulihkan, menatap pria yang kini duduk di depannya dengan menekuk sebelah lutut. Mengusap pipi yang masih basah dan mengecup kening lalu kedua mata yang kembali tertutup saat berusaha menyadarkan diri jika itu bukan halusinasi.
"Kak.." lirih Lily dan segera kembali duduk memposisikan dirinya hingga kini keduanya saling berhadapan.
"Maaf..."
Mata Lily kembali terpejam, dadanya memburu dengan emosi yang menggebu. Sadar, ia sudah benar-benar sadar namun rasa sedih itu berubah menjadi marah menyadari pria itu nekat masuk kamarnya tanpa ijin.
Ya, Brian ijin ke toilet di tengah-tengah acara. Acara yang diadakan di rumah keluarga Baratajaya dengan mengundang rekan, kerabat dan kolega serta keluarga. Ramainya acara membuatnya yakin jika tak akan ada yang melihat langkahnya. Hatinya tak tenang, ia paham telah mengecewakan gadis yang sejak tadi diam terpaku melihatnya lalu menghilang tiba-tiba.
"Ngapain loe kesini kak? loe mau nyari masalah atau nyari mati, hah?" sentak Lily dengan suara tertahan.
"Gue cuma mau lihat loe! gue tau loe sakit, sorry....bukan maksud gue mau nyakitin loe tapi gue gagal untuk menggagalkan rencana mereka. Gue udah usaha Ly, tapi Tuhan berkehendak lain."
Brian berusaha menjelaskan, tapi tak membuat Lily luluh dan terima akan penjelasan yang terlontarkan. Sejak Mommynya mengabari akan ada acara lamaran, ia yakin jika cinta pria itu sudah tak sepenuhnya utuh. Namun Lily masih berusaha kuat hingga acara tiba, ia menyerah dengan segala luka yang ia tahan beberapa hari lalu.
Brian meraih tangan Lily namun dengan cepat gadis itu menepis, bukan waktunya untuk berdua dan membahas perihal rasa. Namun mecoba terus sadar akan keberadaan keduanya yang tidaklah aman. Lily segera beranjak dan melangkah menuju pintu kamar, jika Brian sudah gila dan nekat maka dia yang masih waras memilih untuk menghindar.
"Kak!" sentak Lily yang sudah tak bisa lagi menahan emosinya saat Brian dengan mudah menarik tangannya hingga tubuhnya berbalik dan menabrak dada pria itu.
"Gue minta maaf Ly!"
"Gue udah maafin loe dan gue anggap semua yang loe ucapin hanya angin lalu. Karna gue sadar, mulut pria macam loe memang dari dulu itu nggak bisa di percaya. Tapi bodohnya gue, percaya dan membiarkan rasa ini tumbuh pada pria yang salah!" Lily berusaha melepaskan diri dari Brian yang terus menahan tubuhnya hingga ia semakin sulit untuk terlepas.
Keduanya bahkan dalam posisi rapat dengan tatapan lekat, saling menatap dengan emosi yang memuncak hingga tanpa sadar pelukan Brian semakin erat. Brian tak terima jika Lily menganggapnya hanya mempermainkan, padahal sudah sejak SMA Brian memendam rasa karena menghargai persahabatan dan tak ingin Lily malah menjauh.
Namun langkahnya salah, ia menjadikan Aara untuk bisa dekat dengan adiknya dan diam-diam memperhatikan. Dan hal itu justru membuatnya terikat dengan hubungan yang tidak ia inginkan.
"Gue nggak pernah bohong! gue nggak pernah mempermainkan loe! apa lagi niat hanya ingin membuat loe terluka lalu membuat kalian berdua musuhan! Gue nggak segila itu, justru yang buat gue gila di saat gue harus liat cewek yang gue cinta meminta gue untuk menjauh dari hidupnya!"
"Dan loe mau keduanya? jangan mimpi Brian! Asal loe tau, mulai malam ini rasa itu sudah pergi bahkan hampir ma_mmppptt"
Brian membungkam bibir Lily, menyesapnya dengan kuat dengan luapan emosi yang membuat dada Lily semakin sesak.
Lily tak kunjung keluar kamar, setelah perdebatan dengan Brian yang berujung ciuman maut membuatnya tambah ngamuk lalu mengusir Brian hingga nyusruk.
"Njiiirrrr sakit banget bokong gue!" langkah Brian membawanya kembali ke tengah-tengah acara yang sudah ingin usai. Menahan sakit dengan memasang kembali muka datar saat senyuman Aara menyambutnya.
Aara mengulurkan tangan lalu memeluk lengan Brian dengan tersenyum senang. Mengajak Brian yang sejak tadi menghilang menuju para sahabatnya di kampus dulu.
"Mau kemana sich Ra?" tanyanya dengan wajah datar menahan kesal.
"Kita di tungguin mereka, loe ngilang-ngilangan. Dari mana sich?" Aara pun sama kesalnya. Namun dengan rapi Aara menutupi segala rasa yang ia rasakan.
"Gue capek Ra, gue mau ikut balik sama orang tua gue. Kalo loe mau nemuin mereka silahkan, tapi gue mau pulang!" Brian melepaskan tangan Aara dan segera berbalik arah. Moodnya berantakan dan tak ingin terus di sana dengan rasa yang tidak nyaman.
Aara mengepalkan tangan melihat punggung pria yang baru beberapa jam menyematkan cincin di jemarinya kini pergi begitu saja. Malu pun menyertai karena banyak teman yang menyaksikan sikap Brian dingin.
Acara pernikahan antara Aara dan Brian akan di laksanakan Minggu depan di pulau Dewata. Sesuai permintaan dari calon mempelai wanita yang menginginkan acara dilakukan di pinggir pantai dengan tema outdoor.
Semua keluarga di sibukkan dengan rencana pernikahan Aara, begitupun dengan Lily yang ikut membantu. Ia mengesampingkan rasa sakit demi kebahagiaan kakak sendiri. Beruntung sesekali Tiara menemani meski hanya menjadi team heboh karena kondisinya yang sedang hamil membuat kakaknya begitu posesif.
Sudah beberapa hari setelah kejadian di malam pertunangan kakaknya, Lily dan Brian tak lagi bertemu. Akan lebih baik bagi Lily, dari pada harus menatap pria itu dengan hati terluka.
"Aara kemana dek? kok nggak ada di kamar? lusa sudah menikah mana boleh kelayapan!" Mommy ikut duduk membantu Lily yang sedang mengemas souvenir. Yang menikah Aara namun yang betah di rumah malah adiknya.
"Tadi Kak Aara pamit keluar sebentar Mom, sebentar lagi juga pulang. Mommy tenang aja!"
Semenjak tiga bulan ini Aara sering pamit tanpa memberitahu tujuannya, apa lagi seminggu belakangan. Hampir tiap hari menghilang di jam siang dan kembali di sore hari. Padahal ia sudah di beri cuti oleh Daddy dan sudah seharusnya ia dipingit di rumah.
Keesokan harinya semua sudah siap berangkat menuju lokasi yang telah di siapkan, karena lusa adalah acara utama. Dengan menaiki jet pribadi mereka sampai pada sore hari dan di sambut hangat oleh keluarga Bayu yang sudah datang sejak pagi.
Sesampainya di hotel semua anggota keluarga Baratajaya memilih untuk masuk kamar yang sudah di pesan sebelumnya. Dan akan berkumpul kembali saat makan malam tiba.
"Loe pesan kamar sendiri, karena kemungkinan Brian bakal datang ke kamar gue nanti malam. Loe pasti tau kan bakal seperti apa setelahnya?"
Lily terdiam menatap punggung kakaknya yang kini sudah melangkah menjauh. Semenjak acara pertunangan hubungan keduanya semakin menjauh. Lily menarik nafas dalam dan membuang dengan perlahan, mentalnya semakin ambyar mendengar ucapan Aara yang menyakitkan.
..."Nanti malam gue tunggu di kamar 207"...
Lily mengernyitkan dahi melihat pesan yang tertera di layar ponselnya. Tak lagi berkomunikasi namun tiba-tiba mengajak janjian.
"207...bukannya itu ada di kamar sebelah, apa dia menginap di kamar sebelah?" Lily berdecak dengan menggelengkan kepala, tak mungkin mengiyakan dan sengaja mengabaikan pesannya begitu saja. Memilih untuk segera beristirahat dari pada memusingkan orang yang sudah tak pantas ia pikirkan.
"Usai sudah semua cerita..... yang telah kita ukir berdua.... meninggalkan dirimu adalah hal terberat yang harus ku jalani....."
Air matanya kembali mengalir membasahi bantal. Mata terpejam namun bibir masih bersenandung sendu. Masih hancur karena hati yang rapuh namun hidup harus terus maju. Lily terus berusaha melupakan dan memilih menyingkir jika saatnya tiba.
Dan di acara pernikahan Aara dan Brian esok hari, Lily menggandeng Wahyu untuk di jadikannya partner agar tidak terlalu gabut. Seenggaknya sama-sama jomblo jadi nggak ada yang mempermasalahkan. Hanya saja Wahyu akan datang tepat di hari H karena pekerjaannya yang masih menumpuk.
"Cantiknya anak perawan Mommy...."
Lily tertunduk malu, tak seperti biasanya yang selalu memakai celana jeans kini penampilan Lily begitu memukau. Dia memakai dress flower nampak girly dan anggun. Semua yang ada di sana mengalihkan pandangannya pada Lily, tersenyum menyanjung Lily dengan penampilan tak biasa.
"Eh iya, Aara mana dek? kok nggak bareng?"
"Aku disini Mom!" seru saat yang sedang melangkah mendekat mengapit lengan Brian.
Semua bergantian menatap kedua calon pengantin dengan rasa bahagia. Kembali tersenyum melihat wajah keduanya yang nampak berseri. Lily pun ikut menoleh, kedua pasangan mata saling bersinggungan. Menyapa dalam diam dengan rasa yang tak lagi sejalan.
"Jangan nempel-nempel Ra! masih masa pingit udah main gigit-gigitan lagi!" celetuk Om Andika.
"Nggak apa-apa om, besok juga udah sah! lumayan buat latihan," sahut Aara yang sudah duduk di dekat Lily dengan Brian di sampingnya.
Setelah makan malam, semua kembali ke dalam kamar. Semua jalan berpasangan, hanya Lily yang sendirian. Namun ia memilih untuk melipir dan tak membersamai. "Sedih banget jadi gue!"
Tiba-tiba ponsel Lily berdering, Wahyu memanggil membuat langkah Lily terhenti.
"Hallo..."
"Hallo...gue terbang malam ini, loe udah di hotel apa masih di jalan juga?"
"Gue udah di hotel, katanya besok baru mau kesini?"
"Gue di suruh sama Bu bos, katanya kasian loe lagi butuh temen. Ya udah gue meluncur."
"Oke dech, thanks ya Yu. Loe the best partner hehehehe..."
"Bisa aja loe, ya udah sampai ketemu besok ya!"
Lily mematikan sambungan telepon dari Wahyu, dia menghela nafas panjang sebelum kembali melangkah menuju kamarnya. Tiara memang sangat pengertian, jika Wahyu sudah di sini berarti besok Lily tidak lagi sendirian.
Koridor hotel nampak sudah sepi, berarti semau keluarga sudah masuk ke dalam kamar masing-masing. Tinggal dirinya yang tadi sempat berhenti. Lantai lima memang sudah di booking khusus untuk keluarga, jadi kamar yang tersedia di sana pun hanya boleh keluarganya yang menempati.
"Sepi bener! nasib-nasib nggak punya gandengan, jalan sendirian, yang lain pada kelonaaan lah gue dewekan." Lily bergumam dengan cekikikan sendiri.
"Aaaggghh......"
Tanpa sadar ada yang menarik tangannya hingga masuk ke dalam salah satu kamar. Terkunci dari dalam dengan mulut yang tak lagi bisa berteriak. Ntah siapa yang berani melakukan itu pada putri dari keluarga Baratajaya.
Mata Lily membola melihat siapa gerangan yang membekap mulutnya, menginjak kaki pria itu hingga Brian mengaduh kesakitan.
"Kasar banget sich Ly! sakit tau nggak...." Brian mengusap kakinya yang terkena heels Lily, mana lancip benar-benar gadis ini mau membuat kakinya berlubang.
"Kak Brian ngapain narik aku kesini! jangan buat masalah bisa nggak sich kak!" Lily menatap tajam pria yang dengan lancang memasukkannya ke dalam kamar. Bagaimana jika ada yang melihat keduanya, sungguh mereka dalam bahaya. Dan Brian selalu saja menyita sabarnya.
Namun beberapa detik kemudian ia teringat akan pesan yang tadi Brian berikan, kemudian melihat kartu akses yang bertuliskan angka 207. Lily kembali menyorot pria yang sejak tadi sibuk dengan kakinya, menatap kesal dan memilih untuk keluar.
"Ly, tunggu!" Posisi Brian yang masih terduduk di lantai membuatnya asal menarik agar Lily tak jadi keluar. Namun bodohnya Brian yang ia tarik adalah dress Lily hingga wanita itu jatuh terjengkang menindih tubuhnya.
"Auuwwwhh...... Tuhan punggung gue! loe kecil-kecil ngapa berat banget sich Ly!" celetuk Brian. Dia tidak tau Lily pun merasakan hal yang sama karena terbanting dengan cukup kencang.
Kini Lily terduduk di lantai dengan meringis merasakan punggung dan bokongnya yang nyeri, ia menatap tajam Brian yang kini memperhatikan dengan wajah bersalah.
"So...sorry Ly, gue reflek tadi. Beneran! nggak dari hati kok!" Brian meminta maaf namun emosi Lily sudah memuncak, membuatnya menerjang tubuh Brian hingga kini menindihnya dengan tangan berada di leher Brian.
"Loe minta di cekik ya kak!" sewot Lily. Brian dengan sigap menahan tangan Lily di lehernya.
"Jangan dong Ly, nanti kalo gue mati loe nangis 40 malem 40 hari!" sahut Brian kemudian dengan cepat mendorong tubuh Lily dan membalik keadaan. Kedua mata mereka saling menyapa dan sadar akan getaran yang masih kuat.
Lily pun diam tak melakukan pergerakan, kedua tangannya di cekal oleh Brian dengan kuat, sekuat matanya yang terpaku oleh manik mata pria yang kini berada di atasnya. Hati Lily berdesir, ia tau cinta masih sangat besar untuk Brian. Hingga tanpa sadar ia menerima kecupan di bibirnya dengan lembut.
"Kak..."
"Seharusnya gue tadi yang nanya, untuk apa loe ajak gue ketemu di sini Ly?" tanya Brian dengan lembut tetapi dengan cepat Lily menggelengkan kepala membuat Brian merasa heran.
"Kalo rindu bilang, jangan di tahan nanti jadi kembung!" celetuk Brian dengan mengulum senyum namun Lily yang tadi mulai sedikit luluh seketika kembali sewot dan mendorong tubuh Brian sekuat tenaga hingga terduduk di lantai.
"Jangan memutar balikkan fakta dech kak! jelas-jelas Kakak yang mengirim pesan buat gue." Gadis itu segara beranjak dari sana dan memilih duduk di sofa lalu meraih minuman yang telah tersedia di sana. Tenggorokan Lily rasanya begitu haus, dia yang ingin melupakan dan menghindar malah harus kembali bersinggungan membuat hatinya kembali gamang.
Padahal lusa adalah hari pernikahan pria itu tapi malah kini keduanya berada dalam kamar yang sama. Lily kembali meletakkan gelas itu di atas meja dengan Brian yang ikut duduk di sampingnya.
Namun tiba-tiba ia merasa ada sesuatu hawa yang janggal, panas, gerah, dan ada yang menggelitik di aliran darahnya membuat Lily mulai tidak nyaman.
Brian tiba-tiba heran dengan pergerakan Lily yang gelisah.
"Lily...loe kenapa?" tanyanya dengan menyentuh kening Lily yang mulai berkeringat. Tatapan Lily tiba-tiba berubah, ia hampir menangis merasakan hawa menyiksa dari dalam tubuhnya yang mulai tak bisa ia tahan.
"Kak, tolong Lily....panas kak..." lirihnya dengan gerakan tangan mencari resleting pakaian. Dan itu membuat mata Brian terbelalak.
"Ly, loe mau ngapain? bukannya loe marah tapi kenapa sekarang malah kayak cacing kepanasan begini ly? sadar Lily! loe abis makan apa sich?"
Mata Brian beralih ke arah dua gelas di atas meja dengan satu gelas kosong tak tersisa, di duga Lily telah meminumnya.
Brian meraih gelas itu dan menciumnya, tak ada yang mencurigakan karena hanya sirup biasa namun ia yakin di dalamnya telah di campur oleh sesuatu.
"Setan! siapa yang ngelakuin ini!" geram Brian saat sadar jika keduanya ada yang menjebak. Dari Lily yang tidak mengaku jika mengirim pesan hingga kini Lily berubah menjadi liar membuat Brian sadar jika ada yang sengaja melakukan demikian.
"Kak...." Lily mulai menanggalkan dress nya membuat Brian berulangkali mengumpat kesal, dia pria normal jika di suguhi model beginian sudah dapat di pastikan tak bisa menolak. Tapi pikirannya masih waras dan tak ingin merusak wanita yang ia cinta.
Dengan menahan dan menarik nafas panjang, Brian membawa Lily masuk ke dalam kamar mandi, mengisi bathtub dengan air dingin untuk merendam gadis itu.
"Kak....tolongin donk, panas banget!" Lily menarik tubuh Brian hingga pria itu masuk ke dalam bathtub.
"Lily!" Brian yang belum siap dengan posisinya tiba-tiba tersentak saat Lily menyerang dan mencumbu dengan liar.
Sebisa mungkin Brian menolak, tapi cukup kewalahan dengan Lily yang terus merusuh bahkan kini membuka pakaian Brian dengan terburu-buru.
"Jangan perkosa gue Ly! sadar loe perempuan gue aja yang perkosa loe! eh salah....jangan...jangan... please sayang sadar! gue emang cinta sama loe tapi gue nggak mau ngerusak loe Ly!"
Brian berusaha mengatur kesadaran meski si Joni sudah tegak menjulang, bagaimana tidak jika kini Lily sudah polos tanpa sehelai benang pun. Pergerakannya cukup gesit hingga Brian tak bisa mencegah.
"Kak...." wajah Lily memohon membuat Brian tidak tega, bahkan kini gadis itu terus saja merusuh meminta di sentuh.
"Gue nggak mau nyakitin loe, tapi gue tau ini menyiksa loe Ly... Gue sayang sama loe, gue cinta sama loe...loe mau gue?" Kedua tangan Brian merangkum pipi Lily, mengusap air mata Lily yang mulai runtuh karena menahan sesuatu yang sejak tadi terus menuntut.
Lily menganggukkan kepala, ia sudah tak mampu jika harus terus tersiksa. Berusaha sadar jika ini tidak benar namun akal sehatnya hilang seiring obat setan yang membuatnya semakin kepanasan.
Brian menghela nafas berat, ia segara memeluk Lily dan membawanya keluar dari kamar mandi. Merebahkan Lily di ranjang dan membuka semua yang masih menempel di tubuhnya.
"Maaf kalo gue nyakitin loe...gue akan tanggung jawab setelah ini. Dan gue akan membatalkan pernikahan gue sama Aara."
Lily segara menarik Brian, tak peduli lagi dengan ucapan pria itu. Hingga Brian pun tak bisa lagi membendung rasa kelakiannya untuk segera menyentuh Lily. Malam ini keduanya menyatu, merenggut nikmat berulangkali kali hingga pagi. Brian dan Lily seakan lupa dan tidak sadar dengan status keduanya sebagai calon ipar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!