Bab. 1
"Hari ini kelasnya siapa sih, Bi? Kok gue lupa," tanya seorang gadis yang mendekat ke arah satu-satunya murid yang memakai cadar di kelas mereka.
Merasa namanya di panggil, gadis yang bernama Verbena Puspasari dan biasa dipanggil dengan sebutan Bina tersebut menoleh ke belakang. Rupanya, ada Gita yang sekarang duduk di belakangnya.
"Kelasnya Pak Jordi, kan?" ingat Bina. "Kamu nggak mencatat jadwal pelajaran yang baru?" tanya Bina kemudian.
Aneh saja. Perasaan jadwal itu sudah keluar tiga hari yang lalu dan dibagikan oleh sang ketua kelas, Bara.
Gadis yang bernama Gita itu menyengir sambil menggelengkan kepala. "Enggak, Bi. Lupa," ujarnya kemudian.
Bina menghela napas pelan. Lalu gadis itu menghadap ke arah depan lagi. Sebab sebentar kelas akan dimulai.
"Nggak ada PR kan ya, Bi?" tanya Gita mencoba untuk memastikan lagi. Takut-takut kalau dirinya disuruh bersihin toilet oleh guru yang terkenal sadis dan raja tega tersebut.
Bina menggelengkan kepala tanpa menoleh ke belakang lagi. Gadis itu tengah sibuk menyusun kegiatannya.
Verbena Puspasari, merupakan murid yang sangat pintar dan agamis di banding teman-temannya. Tidak hanya dari pakaiannya saja yang berbeda. Tentu sikap gadis itu juga sangat jauh berbeda dengan murid perempuan yang lain.
Karena masuk ke SMA Mahardika ini menggunakan jalur prestasi, tentu Bina lebih banyak menghabiskan waktunya dengan belajar. Sebab ia tidak mau nilainya menurun hingga nanti mempengaruhi posisinya sebagai penerima beasiswa yang bisa dicabut kapan saja. Jika nilainya sudah tidak memenuhi syarat.
Selain belajar, kegiatan Bina lainnya ialah bekerja dan bekerja. Gadis berusia delapan belas tahun tersebut seperti seolah tidak mempunyai waktu untuk dirinya. Walau sekedar berkumpul dengan teman-temannya di luar sekolah.
Rupanya pak Jordi berhalangan untuk hadir. Meski begitu, Bina yang di panggil ke ruang guru dan seperti biasa. Jika ada salah satu guru yang tidak bisa masuk, maka Bina lah yang akan menjelaskan materi yang sudah siapkan oleh guru tersebut kepada teman sekelas Bina.
Tentu teman-temannya lebih senang jika Bina yang menerangkan. Selain bisa bersantai dan bersikap semaunya, ada pula yang merasa lebih paham dan leluasa dalam bertanya jika ada yang mereka tidak pahami. Tidak canggung. Berbeda jika guru yang menerangkan.
Jam istirahat tiba.
"Ke kantin yuk, Bi!" ajak Gita yang langsung main menarik tangan Bina. Padahal Bina masih akan mengambil sesuatu di dalam tasnya.
"Eh, sebentar, Gi! Aku mau ambil uang sakuku dulu," ucap Bina melepas tangan Gita.
Gita pun menurut. Menunggu sahabatnya itu dengan penuh rasa sabar. Karena memang pembawaan Bina yang sangat kalem. Namun sangat menyeramkan juga jika dia bersikap tegas di kelas.
"Tumben nggak bawa bekal hari ini?" tanya Gita.
Bina menggeleng. "Nggak sempat masak pagi tadi. Ibu udah berangkat kerja lebih dulu soalnya."
Gita mengangguk. Sangat memahami kondisi keluarga serta ekonomi sahabatnya ini.
Semenjak ayah Bina mengalami kecelakaan dan sampai sekarang masih di rawat di rumah sakit, Bina dan ibunya saking bahu membahu membagi tugas mereka. Semenjak itu juga Bina tidak pernah meminta uang kepada ibunya. Merasa kasihan dan Bina memutuskan untuk bekerja sampingan.
"Eh, tumbenan banget ya ramai kantinnya," ucap Bina sedikit heran.
"Udah dari beberapa hari yang lalu kali, Bi. Lo nya aja yang nggak pernah ke kantin kan akhir-akhir ini?" ujar Gita.
Lalu mereka segera mencari tempat duduk terlebih dulu, baru memesan makanan secara bergantian. Agar tempat mereka tidak ada yang menempati.
"Kamu tau sendiri, kan? Kalau pas tanggal tua hitu ya duitku menipis, Gi. Mau minta sama ibu juga nggak tega. Harus bayar rumah sakit dan kontrakan," balas Bina dengan tatapan matanya yang terlihat sendu.
Mata Gita berkaca-kaca setiap mendengar Bina menceritakan hidupnya. Lalu gadis itu menarik bahu Bina dan memeluknya dari samping.
"Jadi sodara kembar gue aja gimana, Bi? Biar hidup lo di tanggung sama Papi," usul Gita seenaknya aja.
"Nggak mau. Palingan kamu mau manfaatin otakku aja," tolak Bina mentah-mentah sembari melirik sinis ke arah Gita. Membuat gadis itu tertawa terbahak.
Hai hai hai ... Ayaaaanggg! Kita ketemu lagi dong ya, di sini. hehe. Jangan lupa kaporitin sama komen. Biar bisa bincang-bincang ama Yuta yang manis nan imut iniiihhh. semoga suka, Ayang😚
Bab. 2
"Lo mau makan apa? Gue pesanin sekalian. Daripada lo yang antri. Ntar malah desakan sama anak-anak yang pada heboh, noh!" tawar Gita sembari menunjuk ke arah kerumunan siswi-siswi. Entah apa yang mereka lihat.
"Nasi goreng aja, Gi. Biar gampang aku makannya. Nggak terlalu buka cadar lebar-lebar juga," jawab Bina yang memang tidak mau ribet. "Kalau nggak ada ya roti panggang juga nggak apa-apa," lanjutnya lagi.
Gita mengangguk.
"Oke. Lo tungguin di sini loh, ya. Jangan ke mana-mana dan jangan beranjak sedikit pun dari tempat lo. Tungguin gue kembali," tekan Gita.
Bukan karena apa Gita memperingatkan Bina seperti itu. Sekarang ini keadaan kantin begitu ramai. Dia tidak mau kalau Bina berdesakan dengan murid lain atau malah berakhir dengan sindiran pedas yang Bina terima. Karena sampai sekarang ini, masih banyak siswi yang mencemooh cara pakaian Bina yang serba tertutup. Lebih lagi tidak mau bersentuhan dengan teman-temannya secara langsung.
"Iya, iya. Udah, sana kamu cepetan pesen. Udah laper banget aku," balas Bina dengan mata menyipit. Membentuk seperti bulan sabit di sana.
Belum juga lama dari kepergian Gita mengantri, datang tiga orang siswa yang tiba-tiba duduk di kursi yang ada di depannya. Dengan sikap cool mereka, tiga cowok itu sok kenal dengan Bina.
"Boleh gue duduk di sini?" tanya salah satu cowok yang baru saja duduk di depan Bina.
Bina bingung mau menjawab bagaimana. Karena memang ini bukanlah tempat pribadi, sehingga tidak berhak jika dirinya melarang. Akan tetapi di sisi lain, Bina merasa tidak nyaman dengan kehadiran mereka.
"Nggak ada yang melarang," jawab Bina dengan nada datar.
Kalau dirinya tidak bisa melarang, maka Bina memutuskan untuk beranjak dan pindah saja dari sana.
"Mau ke mana lo?" tanya cowok yang duduk di tengah. "Kursi lainnya penuh. Duduk di sini aja," ucap cowok yang tak lain ialah Reino. Sang pembuat onar dari kelas sebelah.
"Makasih," sahut Bina namun tidak mengisahkan ucapan Reino. Gadis itu berdiri dan beranjak dari sana. Pergi menyusul Gita.
Seolah perkataannya di abaikan begitu saja, membuat kedua rahang Reino saling bertaut. Mengeram kesal karena gadis itu lagi dan lagi menolak ucapannya.
"Huahahaha ... ditolak lagi lo, Rein!" ucap Fata, teman Reino. "Pantas sih si Bina nolak lo. Lo nggak level sama bidadari macam dia!" lanjut Fata yang semakin terbahak.
"Lah, lo tau dari mana kalau dia cantik, Fa?" tanya Dika, teman yang satunya lagi.
Reino juga menatap ke arah Fata. Meminta penjelasan temannya itu.
Awalnya Reino sangat penasaran dengan gadis yang bernama Verbena ini. Karena hanya dia yang tidak terpengaruh dengan pesonanya. Di mana cewek lain akan berlomba mendapat perhatian darinya, namun sangat berbeda dengan gadis dengan sapaan akrab Bina tersebut. Sikapnya itu seolah memandang dirinya jijik dan tidak tertarik sama sekali. Sungguh, membuat Reino semakin penasaran.
"Dia sempet jadi temen gue pas SMP di Surabaya. Cuma setahun gue di sana terus balik lagi ke sini. Eh, nggak taunya ketemu dia pas SMA ini," ungkap Fata yang sempat satu kelas dengan Bina waktu SMP.
"Dia dulunya nggak makai cadar, emang?" tanya Dika yang sangat penasaran. Sedangkan Reino diam mendengarkan.
Fata menggeleng. "Sumpah. Dia cuantik banget bro. Lo aja nggak pantes jalan sama dia," ucap Fata yang langsung mendapat tonyoran dari Reino.
"Sialaan, lo!" umpat Reino.
Reino menatap kepergian Bina yang tengah ikutan mengantri makanan.
'Jangan sebut gue Reino jika nggak bisa nahklukin lo, Bina.' batin Reino.
Bab. 3
"Mi, aku mau pindah sekolah," ucap seorang pria muda dengan tampilan acak-acakan namun justru terlihat sangat tampan.
"Kenapa lagi, Al? Berantem lagi kamu?" tanya wanita yang berusia hampir empat puluh tahun. Namun terlihat seperti wanita berusia dua puluh tahunan. Terlihat sangat muda sekali.
"Enggak, Mi. Aku nggak berantem lagi, kok!" balas cowok tampan itu.
"Lalu?" wanita yang bernama Rinda itu menatap putranya dengan alis terangkat.
Sedangkan yang di tatap seperti itu oleh Rinda, mencoba mengalihkan tatapannya ke arah lain. Takut jika kebohongannya diketahui dengan cepat oleh mami nya.
"Ya bosen aja, Mi. Ceweknya di sekolah sekarang itu genit-genit. Al nggak suka," ujar Al yang sebagian jujur.
Selain siswi di sekolahnya yang genit-genit dan sering kali kecentilan di depannya, ada alasan lain yang Al tidak bisa ungkapkan kepada mami nya.
"Nggak usah pindah kalau alasannya cuma itu," tolak Rinda yang kembali fokus dengan pekerjaannya. "Lagian wajar saja mereka ngejar kamu. Orang emang kamu dari bibit unggul."
Al memutar bola matanya di kala mami nya mau menyombongkan diri. Sebab, tidak sedikit orang yang menganggap mereka sebagai kakak adik, jika Al keluar berdua dengan mami nya. Pun begitu dengan papinya.
"Tapi ini penting untuk hidup, Al, Mi," bujuk Al yang tak akan berhenti sebelum kemauannya dituruti oleh wanita yang sudah melahirkan dirinya tersebut.
Rinda semakin curiga dengan kemauan putranya ini. Karena tidak biasanya Al meminta untuk pindah sekolah, jika bukan karena kasus perkelahian yang sering kali Al lakukan. Belum lagi balap liar yang selama ini Al lakukan tanpa sepengetahuan dirinya dan sang suami. Orang kepercayaan mereka lah yang mengadu kepadanya.
Rinda menutup laptopnya dan mengalihkan pandangannya ke arah Alther Davindra Bagaskara. Putra semata wayangnya dengan Arghani Natakara Bagaskara.
"Kalau kamu tidak mau terbuka sama Mami, Mami tidak ada alasan juga untuk mengabulkan permintaanmu, Al," ucap Rinda yang tidak selalu menuruti kemauan putranya jika itu tidak penting atau bermanfaat baginya.
Helaan napas terdengar dari mulut Al. 'Masa gue harus cerita bagian itu ke Mami, sih? Yang ada malah kena omel dan nggak akan dikasih pindah. Apa gue musti buat onar dulu baru diijinkan?' batin Al yang kemudian menyusun rencana agar bisa segera pindah ke SMA incarannya saat ini.
Bukan SMA incarannya sebenarnya. Tetapi ada alasan lain yang membuat Al ingin sekali untuk pindah ke SMA Mahardika.
Tidak mendapati persetujuan dari mami nya, Al memutuskan beranjak dari tempatnya.
"Mau ke mana kamu? Seenaknya main pergi setelah mengganggu Mami kerja," semprot Rinda menatap geram ke arah putranya.
"Al capek, Mi. Mau pulang aja kalau gitu," jawab Al menoleh malas ke arah mami nya.
"Nggak bisa!" cegah Rinda. "Karen a kamu udah jauh-jauh datang ke studio Mami, jadi sekalian aja kamu melakukan pemotretan hari ini. Mumpung bajunya udah jadi," usul Rinda.
"Mi! Ini pemerasan anak bukan sih namanya?" protes Al pada Rinda. "Mami sama aja jual Al, loh! Al laporin ke Kak Satya biar kena pasal ..."
"No no no!" potong Rinda cepat. "Sama sekali Mami tidak memerasmu. Tetapi karena kamu dan Papi kamu memiliki kelebihan pada wajah dan fisik kalian, jadi Mami hanya memanfaatkan apa yang sudah Tuhan anugerahkan kepada suami dan anak Mami. So, jangan protes. Oke!" tekan Rinda lalu berjalan begitu santai menuju ruang tempat penyimpan produk baru di butiknya.
"Ck! Bilang aja kalau Mami mau dapat untung yang lebih lagi. Karena nggak perlu keluar uang untuk bayar modelnya," sindir Al menatap kesal ke arah perginya Rinda.
Rupanya, ucapan Al terdengar oleh wanita pemilik tatapan yang begitu tajam. Bahkan papinya sendiri saja tidak bisa menolak keinginan wanita yang satu ini.
"Tepat sekali!" jawab Rinda enteng tanpa merasa bersalah sedikit pun kepada putranya. Al pun juga tidak bisa menolak keinginan wanita itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!