"Kapan kamu menikah?"
"Apa sih yang kamu cari? Jabatan sudah punya, harta juga sudah ada..."
"Tinggal kamu sendiri lho yang belum nikah di keluarga besar ini..."
"Kamu tuh jangan suka pilih-pilih..., nanti malah nggak dapat sama sekali!"
*Rea hanya menghela napas panjang setiap kali mendengar pertanyaan yang sama keluar dari keluarga besarnya. Kesepuluh jarinya sibuk memutar ke kiri dan ke kanan gelas kertas ukuran venti berisi Caramel Machiatto Frappucino* sambil menyenderkan tubuh mungilnya di salah satu Coffee Cafe yang cukup terkenal dengan lambang bintang lautnya. Rasanya baru kemarin ia menginjak usia ke tiga puluh satu tahun dan tak menyangka niat silahturahmi dengan menghadiri arisan keluarga besar di Yogyakarta berakhir seperti sidang terbuka menanyakan 'kapan menikah' seolah ia tersangka yang telah berbuat kejahatan besar.
*Sial! Tak adakah pertanyaan lain selain hal tersebut?! *Teriak Rea frustasi dalam hati. Ia sadar bahwa ia lemah akan hal tersebut. Jika dipikir-pikir ia cantik, cerdas, memiliki jabatan prestisius di salah satu Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan sejauh ini ia selalu berusaha menjadi orang yang baik dan bertanggung jawab. Tapi mau bagaimana lagi jika Yang Maha Kuasa belum memberi ridhonya untuk mempertemukan dirinya dengan jodohnya? Ia selalu berusaha membuka hati namun sampai detik ini belum ada satupun dari pria-pria tersebut melangkah maju untuk melamarnya. Yang ada berujung kekecewaan karena mereka mengaku merasa minder dan insecure berdampingan dengan dirinya bahkan overthinking menjelekkan dirinya hanya untuk menutupi ego maskulinnya yang terluka. Terserahlah, ia tidak perduli! Mungkin Yang Maha Kuasa tahu bahwa para pria tersebut bukan yang terbaik untuknya.
Bohong! Sebenarnya ia perduli, sangat perduli akan hal tersebut. Di dalam benaknya ia selalu bertanya kenapa? Kenapa selalu berakhir seperti ini? Apa yang salah dari dirinya sehingga membuat para lelaki tersebut minder dengan dirinya. Padahal ia merasa bahwa ia hanyalah wanita biasa yang hanya dititipi amanat oleh Yang Maha Kuasa memegang jabatan cukup penting di kantornya. Padahal masih banyak wanita lain yang jabatannya lebih tinggi darinya, padahal ia pun hidup dengan sederhana. Mereka saja yang selama ini salah menilai dirinya. Ah, dirinya sudah lelah untuk membela diri jika pada akhirnya selalu disalahpahami.
Tanpa ia sadari air matanya menetes di pipi kemerahan miliknya. Sepertinya pertanyaan itu semakin membuat hatinya kembali terluka setelah sekian lama ia berusaha sembuhkan. Tak mengertikah mereka bahwa urusan jodoh itu hak Sang Pencipta? Ia benci jika harus diingatkan dengan umurnya yang sudah masuk kepala tiga, ia benci jika dikatakan terlalu memilih, ia benci dibilang tidak berusaha sama sekali, ia benci! Rasanya ia ingin berteriak kepada mereka bahwa apa yang mereka pertanyakan dan ucapan itu menyakitinya dan ia ingin mereka berhenti bertanya hal tersebut karena ia pun tak mampu menjawabnya!
"Ya Tuhan, hanya kepada-Mu lah aku memohon pengampunan atas dosa-dosaku…,” Ujar Rea pelan sambil mengusap air matanya yang terus jatuh tak mau berhenti. Hanya emosi itulah yang dapat ia keluarkan saat ini, marah pun percuma karena tidak akan mengubah apapun. Yang ada justru perang dingin menyimpan luka jika dipaksakan mengutarakan isi hati yang sampai dengan saat ini hanya menjadi wacana tanpa realisasi nyata.
***
Jepang…
Satu Negara yang entah sejak kapan selalu memenuhi pikiran Rea…
Hasrat yang begitu mendalam untuk pergi ke sana dengan alasan yang tidak pasti. Apakah karena obsesi mengejar lelaki Jepang bernama Daiki yang ia kenal ketika kuliah dulu? Atau ada obsesi lainnya? Yang pasti keinginan itu begitu menggebu di dalam hati Rea.
Ia ingin mencoba peruntungan mengikuti program beasiswa S2 ke sana, namun tiba-tiba harapannya musnah ketika Wahya, sang Mama, mengucapkan sebait kalimat yang membuatnya serasa ditampar keras dan bibirnya terkunci diam seribu bahasa untuk menyerah menggapai negeri itu…
“Kamu jangan marah ya Nak, bukannya Mama tidak setuju kamu mencoba mendaftar untuk mendapatkan beasiswa S2 ke Jepang. Namun entah mengapa perasaan Mama mengatakan kalau kamu tidak akan melanjutkan S2-mu ke sana…”
Setelah mendengar kata-kata sakti yang keluar dari bibir Widya sontak membuat Rea langsung menyerah. Ucapan Widya bak doa yang seolah akan langsung dikabulkan oleh pemilik semesta alam. Feeling seorang ibu yang tidak pernah meleset mengenai putrinya. Setiap kali ia melanggar ucapan dari sang mama dan terus memaksakan kehendaknya, yang didapat hanyalah kesengsaraan. Tidak hanya sekali atau dua kali, hal tersebut sudah berkali-kali hingga akhirnya saat ini ia belajar untuk tidak lagi melanggar ucapan mamanya. Namun entah mengapa ucapan terakhir mama kali ini terasa berat sekali? Salah dimanakah dirinya sehingga mamanya mengucapkan kata-kata tabu itu untuknya?
“Hah…,” Rea menghela napasnya dengan berat seolah ia begitu sulit untuk bernapas. Ditatapnya monitor LCD ukuran 21 inch komputer di ruang kerjanya. Tumpukan dokumen yang seharusnya diselesaikannya saat itu juga begitu enggan ia sentuh. Tangannya seolah kaku untuk menjamah mereka. Padahal biasanya, untuk urusan pekerjaan ia selalu bersemangat dan menomorsatukannya. Perasaan terpuruk yang teramat sangat bergelut keras di hatinya. Rencana-rencana yang ia susun sejak lama entah menguap hilang kemana. Semangat yang berkobar-kobar seperti orang kesurupan untuk mengejar beasiswa S2 ke Jepang dengan memaksakan diri belajar bahasa Jepang dan mencari bahan untuk proposal yang hendak diajukannya kepada profesor-profesor universitas di Jepang hilang tak berbekas. Ditambah kesibukan yang telah menyita waktunya sebagai Treasury Manager di tempat ia bekerja saat ini membuatnya semakin jauh dari harapan untuk menggapai niatnya itu. Entah mengapa keinginan untuk mengunjungi negara itu begitu besar. Ia sendiripun terkadang bingung dengan dirinya sendiri mengapa ia sangat ingin ke sana.
“Hayo…, sedang mikirin apa?” Sebuah tepukan mendarat cukup keras menyentuh pundak Rea membuyarkan pikirannya.
“Mas Rio?!” Sontak Rea langsung mendongak ke atas tepat kearah Rio,lelaki jangkung dengan tinggi 178 cm berkulit putih dan bermata sipit itu tersenyum kepadanya. “Bikin kaget saja…”
“Ada masalah?” Mas Rio menarik kursi kosong yang tepat berada di depan Rea dan duduk di kursi itu.
“Kurasa…,” Rea berkata pelan, sejenak ia menghentikan kalimatnya. Ia menelan air ludahnya berusaha menyelesaikan kata-kata yang akan diucapkannya. Ia sungguh putus asa dan tak tahu harus berbuat apa. “Aku harus membatalkan niatku untuk mengajukan beasiswa S2 ke Jepang…”
“Lho, kok bisa?” Rio menunjukkan keterkejutannya. Matanya yang sipit itu terbuka lebar. “Bukankah persiapanmu sudah berjalan 50% ? Kenapa tiba-tiba dibatalin?!”
“Gimana ya menjelaskannya?” Rea menggoyang-goyangkan kursinya dan menengadahkan kepalanya memandang ke langit-langit memikirkan kata-kata yang cocok untuk diutarakan ke partner kerja yang paling dekat dengannya di kantor. Rea yang memiliki seorang kakak lelaki yang bekerja di Jambi, sudah menganggap Rio sebagai pengganti kakaknya untuk dapat bertukar pikiran mengenai masalah apapun karena baginya Rio selalu bersikap bijak dan men-support langkah-langkah yang diambilnya.
“Gimana apanya?” Rio mengernyitkan alisnya.
“Mamaku Mas…,” Rea kembali menghentikan sejenak ucapannya. “Semalam Mama berkata bahwa beliau tidak setuju kalau aku melanjutkan S2 ke Jepang…”
“Hah?! Bukankah awalnya beliau sudah setuju?”
“Begitulah, awalnya saja setuju…, tapi ternyata didalam hati Mama, beliau tidak setuju sama sekali!” Rea menghela napas lagi. “Untuk kedua kalinya aku dengar kata-kata itu dari orang yang sama…, dulu beliau pernah berkata bahwa beliau tidak setuju aku melanjutkan S1-ku ke sana dan alhasil aku gagal di tes wawancara akhir, sekarang masih juga belum mendapatkan restu? Kenapa ya? Apa aku masih belum bisa dipercaya oleh Mama untuk dilepas sendirian? Kalau ingat umurku yang sudah tiga puluh satu tahun ini, rasanya julukan anak mami sudah tidak cocok lagi nempel di diriku Mas…”
“Sayang sekali ya, harus batal rencananya…,” Rio tersenyum sedikit kecewa. Ia sangat mengetahui bahwa ‘adik’-nya ini sangat ingin besekolah disana. Seolah dapat membaca pikiran Rea, Rio merasa ada dorongan kuat dari diri Rea untuk kekeuh ingin ke Jepang. Tapi bagaimanapun ia berusaha menerawang alasan kuat dibalik keinginan Rea itu, ia tak dapat menemukannya. Yang ia tahu Rea sangat menyukai hal-hal yang berhubungan dengan negara Matahari Terbit itu.
“Mau gimana lagi? Mas Rio tahu sendiri kan bahwa kata-kata seorang Ibu itu ibarat sebuah doa dan restu…, kalau Mamaku bilang enggak dan aku terus ngotot untuk menjalankan rencanaku pasti ujung-ujungnya gagal dan kecewa yang aku dapat. Daripada kecewa belakangan lebih baik aku pilih kecewa di depan!” Rea merutuk nasibnya. Ia menyandarkan punggung serta kepalanya ke kursi dan memijit pelan bagian pelipisnya yang berdenyut menahan stres yang ia rasakan.
“Terus rencanamu selanjutnya apa?”
“Paling aku akan melanjutkan S2 di sini saja, tapi nggak tahu kapan, nunggu mood-ku baik dulu kali,” Rea mengangkat kedua bahunya.
“Yah…, selamat berjuang ya! Balikin mood-nya jangan kelamaan, kasihan Pak Fajar kalo tahu anak buah andalannya mood-nya memburuk kemudian jatuh sakit lagi,” Rio bangkit dari duduknya. Ditepuk-tepuknya kepala Rea pelan memberikan semangat.
“Apapun pilihan yang kamu pilih aku akan selalu support deh…”
“Bisa saja kamu Mas,” Akhirnya sebuah tawa kecil tergurat di bibir mungil Rea. “Makasih ya sudah mendengarkan curhatanku, Mas Rio memang kakakku yang paling mengerti aku…”
“Ya…ya…ya…,” Rio melambaikan tangan kanannya tanpa membalikkan badannya. “Cepat selesain tuh laporan keuangan bulanannya, supaya aku juga cepat membuat laporan analisisnya, kita sedang proses pembuatan laporan akhir tahun lho…”
“Pasti gue selesain!” Rea berkata setengah berteriak.
Ya, aku nggak boleh sedih berlarut-larut! Masih banyak yang harus dikerjakan! Re, semangat!! Gumamnya dalam hati. Ia segera mengambil headset yang telah tersambung dengan komputer dan sejak tadi tergantung di leher untuk kemudian memasangnya dikedua telinganya. Diputarnya lagu-lagu favorit andalannya untuk membantu mengembalikan semangat dan kembali fokus dengan pekerjaan yang ada di hadapannya. Tanpa Rea sadari Pak Fajar sejak tadi memperhatikan anak buah kesayangannya itu. Ia pun mengelus dada tanda kelegaan. Ia memberikan kode ucapan terima kasih kepada Rio dengan mengacungkan jempol kanannya dan ditanggapi kembali oleh acungan jempol dari Rio. Kekhawatirannya akan mood buruk Rea ternyata tidak harus dideritanya terlalu lama. Ia sangat memaklumi tekanan yang dirasakan anak buahnya itu. Karena ia adalah satu-satunya Treasury Manager yang paling diandalkan olehnya sebagai Senior Manager Keuangan.
***
"Kalian tahu, si Daniel putus lagi sama pacarnya!" Ujar Benny sambil tertawa.
"Siapa?" Tanya Rea minta diperjelas.
"Daniel...," Benny memberikan penekanan. "Ternyata cowok mapan nggak selamanya beruntung dalam percintaan! Hahaha,” Terdengar nada suara Benny antara kagum bercampur dengan ledekan. Orang yang satu ini memang cukup unik karakternya. Diantara teman-teman kantornya, Benny adalah orang dengan julukan MASTER KEPO karena banyak memiliki jaringan untuk mendapatkan informasi mengenai hal apapun. Dari tentang pekerjaan hingga hal konyol seperti gosip yang baru saja diceritakannya.
"Ooo...," Rea manggut-manggut. Saat ini Rea dan tim kerja yang dipimpin olehnya sedang mengadakan makan siang bersama di luar kantor. Hanya tempat makan biasa yang menyediakan berbagai masakan rumahan dengan penataan makanan secara prasmanan. Sebuah tempat makan di sudut Utara Jakarta yang didirikan ditengah-tengah taman salah satu sudut komplek wahana bermain Taman Impian terbesar se-Asia Tenggara. Ditemani angin laut yang berhembus sepoi-sepoi di siang hari dan matahari yang kurang bersahabat seolah sangat berbahagia memancarkan sinarnya yang terik. Tempat makan ini sangat dekat dengan tempat kerjanya yang berada di lingkungan pelabuhan Tanjung Priok. Pelabuhan tersibuk di Indonesia yang selalu dipenuhioleh kapal-kapal yang melakukan aktifitas bongkar muat dari barang curah hingga kontainer.
Rea yang selalu diajarkan oleh kedua orang tuanya untuk berbagi dengan orang lain jika ia memiliki rezeki lebih, menggunakan sebagian uang hasil dinas dari luar kotanya untuk mengajak teman-temannya makan di luar kantor. Prinsipnya, siapa lagi yang bisa membahagiakan anak-anak buahnya atau lebih tepatnya partner kerjanya, disaat posisinya sekarang ini sebagai single mapan dibandingkan dengan teman-teman kantornya yang lain yang telah berkeluarga namun hidupnya masih dalam kekurangan.
“Kenapa Re manggut-manggut?" Celetuk Rio dengan nada jahil. "Elo masih ada rasa sama orang itu?"
"Sialan! Dikasih juga gue nggak mau!" Rea menyikut perut Rio yang duduk disebelahnya. Dan hal itu membuat Rio meringis menahan sakit. "Masa lalu itu, masa lalu.”
“Maksud Rio itu apa ya Re?" Tanya Tari, Marsya dan Ersa teman kantornya yang tidak tahu apa-apa menjadi penasaran.
“Bukan apa-apa,” Rea mengibas-ngibaskan tangannya untuk mengalihkan topik pembicaraan. "Hanya omongan sampah yang keluar dari mulut Mas Rio."
"Iya gosip yang beredar katanya lo suka sama Daniel," Celetuk Ersa.
"Capek deh,” Rea menepuk jidatnya sendiri. Ia sudah malas menanggapi hal-hal yangterkait dengan Daniel. Cukup sudah waktu satu tahun baginya merasakan telinganya berdenging setiap hari akibat gosip itu.
"Berterima kasih banget ya lo Re," Rio tersenyum memberikan kode yang hanya diketahui oleh Rea.
"Begitulah,” Rea tertawa menanggapi ucapan Rio. "Orang yang satu itu tidak ada dewasanya sama sekali! Malas banget gue berurusan sama dia kalau nggak kepepet!"
Ya, mereka memang tidak tahu hubungan apa yang terjadi antara Rea dan Daniel. Karena Rea menutup rapat kisahnya kepada siapapun di kantor, kecuali pada Rio.
*Nama lelaki yang disebut oleh Benny dan Rio itu adalah orang yang pernah membuat Rea jatuh cinta untuk kedua kalinya setelah seseorang yang sedang berada jauh di sana. Bukan sebuah kisah yang indah untuk diingat namun torehan lukanya membutuhkan waktu yang cukup lama menyembuhkannya. Daniel Putranto, sosok tinggi besar bak pemain basket dengan perawakan 188 cm ini adalah seniornya di kantor. Rambutnya yang selalu dipotong model spike mengingatkan Rea dengan sosok salah satu tokoh favoritnya di sebuah komik bertema basket karangan Takehiko Inoue yang berjudul Slamdunk *bernama Akira Sendoh. Tidak hanya penampilan fisiknya yang mirip, karakternya pun sama, dari hobi bangun siangnya hingga cara memimpin timnya di kantor.
Awal perkenalan mereka dilalui dengan tidak menyenangkan. Rea sangat membenci Daniel bahkan membencinya setengah mati. Karena semua orang yang ada di Divisi keuangan sangat tunduk padanya. Sikapnya yang sangat egois dan otoriter namun kekanak-kanakan seolah menunjukkan bahwa dia adalah orang yang paling tahu urusan tentang keuangan. Padahal pada saat itu dari segi posisi dan kelas jabatan, ia sama dengan Rea sebagai pelaksana senior walaupun dalam kurun dua tahun ini ia berganti posisi sebagai Managet Akuntansi dan tak lama kemudian Rea berhasil menyusulnya menduduki posisi yang sejajar dengan Daniel sebagai Managet. Hampir setiap hari mereka bertengkar hanya karena masalah sepele seperti urusan keputusan Daniel yang seenaknya diambil tanpa mempertimbangkan tim nya.
Namun benar kata orang, jangan terlalu membenci seseorang karena kebencian itu akan berbalik menjadi cinta. Hanya sebuah statement dari Daniel membuat Rea yang benci setengah mati dengannya tiba-tiba berbalik mendadak jatuh cinta kepadanya.
*Rumit, terlalu banyak intrik dan ego yang mewarnai hubungan antara Rea dan Daniel. Satu hari mereka bisa akrab sekali namun besoknya mereka bertengkar. Hubungan mereka baik pribadi dan pekerjaan sangat tidak sehat. Dan itu semua karena ulah dari asisten tercintanya Daniel, Dena. Semua kata-kata yang keluar dari mulut Dena selalu ditelan Daniel mentah-mentah tanpa disaring terlebih dahulu dengan meminta pendapat yang lain. Mudah ditebak, sejak awal masuknya Rea sebagai pegawai di kantor, sosok seorang Rea yang anggun dan manis, dengan postur tubuh langsing setinggi 158 cm, rambut hitam halus lurus sepunggung dengan sedikit layer, kulit putih kuning langsat yang terawat, wajah bulat telur berpipi semu merah alam dan mata bulat tidak terlalu besar namun berkelopak yang selalu diinginkan para gadis di Korea dengan melakukan operasi plastik, goresan eyeliner hitam yang membentuk sudut tajam mempertegas tatapan matanya, alis yang tertata membentuk sudut simetris dengan kelopak matanya yang selalu tersapu eyeshadow soft pink, hidung mancung sedikit ada tulang menonjol dipangkalnya, bibir yang tidak terlalu tebal dengan usapan lipstick* warna nude natural, bibir yang selalu tersenyum serta sikapnya yang ramah pada siapapun menarik perhatian hampir seluruh lelaki di kantor untuk menyukainya tak terkecuali Daniel.
Dena yang sangat mencintai Daniel merasa posisinya terancam dan tak rela Daniel bersama Rea. Intrik pun berhasil dijalankan. Emosi Rea yang selama ini berusaha dikontrol olehnya akhirnya memuncak dan pecah karena permintaan Dena yang sok perintah kepada Rea dengan mengatasnamakan Daniel. Padahal posisi Rea lebih tinggi daripada Dena. Ditambah Dena yang selalu berlindung dibelakang Daniel, mengadu pada Daniel yang sudah tentu dengan memutarbalikkan fakta yang ada. Alhasil Daniel yang termakan hasutan Dena datang memaki-maki Rea. Rea yang tidak terima balas memaki Daniel. Terjadilah perdebatan seru diantara keduanya.
"Elo juga gak bisa nyalahin Rea gitu aja Niel!" Lily, senior Rea sebagai pengganti Pak Fajar yang sedang mengambil cuti panjang berusaha membela Rea. "Jangan cuma bisa nyalahin anak-anak gue aja! Harusnya lo dengerin juga pendapat dari Rea tidak sepihak dari Dena!"
"Elo gak usah ikut campur urusan gue sama Rea!" Daniel tidak mau kalah.
"Terus mau Mas Daniel apa?!" Tanya Rea masih dengan nada tingginya. Tatapan mata Rea begitu tajam menusuk kearah Daniel. Ia begitu marah pada Daniel merasa tidak dianggap dalam pengambilan keputusan mengenai pekerjaan yang melibatkan antara pihak Treasury dan Akuntansi.
"Gue maunya tetap seperti yang gue bilang, penutupan akhir bulan tergantung dari Akuntansi bukan dari Treasury!"
"Terserah!" Rea mengucapkannya di depan Daniel dengan jarak yang hanya 15 cm. Untuk meredakan emosinya, ia memilih keluar ruangan mencari udara segar dengan lari ke Ruang Gudang Persediaan. Ruangan yang berisi kebutuhan pokok penyuplai kegiatan di kantor termasuk urusan ATK. Disana memang tempat paling bagus untuk menenangkan diri karena letaknya agak jauh dari gedung pusat.
"Kenapa lagi Mbak Re?" Tanya Indro sang penjaga Gudang Persediaan.
"Biasa Mas..., si orang sok bossy itu lagi nyebelin banget!!!" Teriak Rea sekencang-kencangnya sambil mendecakkan kedua kakinya ke lantai.
"Sabar Mbak, sabar, dia memang orangnya seperti itu," Indro menyiapkan secangkir teh hangat untuk Rea. "Minum dulu untuk menenangkan perasaan Mbak Re.”
"Makasih ya Mas...," Rea membalas Indro dengan senyuman khasnya. Berdasarkan survey dari para lelaki yang kerja di kantor itu, Rea memiliki senyum yang sangat maut! Membuat orang yang melihatnya langsung jatuh hati. Namun menurut si empunya senyum, senyumannya itu komersil untuk merayu customer membayar hutangnya! Sungguh pemikiran yang sangat aneh.
Kejadian itu berulang terus-menerus. Hubungan naik-turun Rea dan Daniel membuat batin Rea tersiksa. Ia merasa digantung oleh Daniel. Karena terlalu sakit dan sesak Rea pun mengungkapkannya kepada Wahya. Wahya yang selalu memperhatikan tingkah laku Rea yang tidak dapat mengontrol emosinya setiap kali menceritakan tentang sosok Daniel kepadanya akhirnya pun berkomentar.
"Sebenarnya Mama tidak suka pakai cara ini karena menurut Mama tindakan ini sangat merendahkan harga diri perempuan," Wahya menatap lurus kearah Rea. Bak hakim yang sedang menyidang seorang di kursi pesakitan ia berkata, "Tapi daripada kamu terus tersiksa dengan perasaanmu pada Daniel, lebih baik kamu utarakan perasaanmu padanya!"
"Hah?! Mama serius bicara seperti itu?" Rea terkaget-kaget dengan pernyataan yang keluar dari Mamanya. Mamanya yang sangat konvensional dan begitu menjunjung tinggi martabatnya itu dengan mudahmemberikan saran yang tak pernah terpikirkan sedikitpun olehnya akan terucap dari mulut sang Mama.
"Mau bagaimana lagi? Mama tidak mau anak Mama dipermainkan dan digantung tidak jelas seperti ini. Telepon dia sekarang! Aji mumpung hari ini hari Minggu..."
Apa hubungannya juga dengan hari minggu? Batin Rea. Ia langsung mengambil Blackberry-nya dan mencari nomor handphone Daniel.
"Jangan lupa speakernya dinyalakan supaya Mama dapat mendengarkan pembicaraan kalian."
"Iya...iya...," Rea berusaha mengatur napasnya. Ia tak mau kegugupannya mempengaruhi suaranya sehingga terdengar terbata-bata karena grogi dan deg-degan.
"Halo," Terdengar suara Daniel.
"Halo Mas Daniel, ini aku Rea...," Dasar jiwa profesional tinggi! Rea berkata tanpa ada kegugupan sama sekali. "Boleh diganggu nggak Mas waktunya?"
"Boleh, kenapa?"
"Sebenarnya selama ini aku suka sama kamu Mas..."
"Hah? Kok bisa?!" Dari nadanya Daniel tidak percaya dengan ucapan Rea.
"Begitulah..., kalau Mas Daniel sendiri menganggapku apa?"
"Teman."
"Ooo...gitu ya..., ya sudah deh...," Rea mengangguk pelan. Rea agak kecewa dengan jawaban yang diterimanya dari Daniel. Ia tak menyangka kalau selama ini ia hanya dianggap Daniel sebagai teman. Perhatian-perhatian kecil yang dilakukan Daniel untuknya hanya sebagai teman?! Perhatian yang menurut Rea tidak diberikan kepada cewek-cewek lain. Malu? Pasti! Merasa bodoh? Pasti! Bukan karena ia telah menyatakan perasaannya pada Daniel yang notabennya orang yang juga dibencinya. Tapi ia malu bahwa selama setahun ini ia salah menginterprestasikan sikap Daniel kepadanya. Sikap yang menurut Daniel biasa saja namun ditanggapi luar biasa oleh Rea. Intinya ia ge-er sendiri. Ingin rasanya ia kabur untuk bersembunyi beberapa saat dan tidak bertemu dengan Daniel. Tetapi hal itu sangat amat tidak mungkin karena mereka rekan satu Divisi di keuangan. Yang harus ia lakukan adalah bagaimana ia bisa men-settle dirinya sendiri untuk dapat bersikap biasa saja kepada Daniel. Bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Telepon terputus. Rea mengakhirinya dengan helaan napas panjang. Ia menoleh kearah Wahya dan sesuai dugaan Ra, ekspresi Wahya menunjukkan ketidaksukaan.
"Kamu sudah tahu kan jawaban darinya?"
Rea hanya mengangguk pasrah.
"Kalau Mama boleh jujur sejak awal kamu cerita tentang Daniel Mama kurang suka sama orang itu. Dia tidak gentle, kekanak-kanakan, keras kepala, pengatur, dan egonya sangat tinggi. Kamu yang sama keras kepalanya dan suka seenaknya nggak mau diatur sangat bertolak belakang dengannya yang maunya mengatur meskipun dengan cara paksa. Namun karena kamu bilang kamu suka sama dia Mama bisa melarang apa?" Wahya berceramah panjang lebar. "Sekarang kamu tahu kan jawabannya langsung dari Daniel. Sudah nggak perlu sedih! Kamu terlalu berharga untuk orang seperti dia. Nanti juga kamu pasti akan menemukan orang yang jauh lebih baik dari Daniel."
Entah kenapa tiba-tiba terbesit nama seseorang dari masa lalu Rea. Sosok yang sempat terlupakan dalam hidupnya karena terlalu sibuk dengan perasaannya pada Daniel. Memang tidak mudah melupakan Daniel. Terkadang batinnya tersiksa jika harus bertemu dengan Daniel setiap hari. Akan tetapi hal itu sudah menjadi sebuah resiko yang harus ditanggung Rea. Perlahan ia mulai menata hatinya kembali. Tak sedikit beberapa orang sempat mampir dekat dengannya. Namun lagi-lagi kandas karena jauh di dalam hati Rea ia belum siap untuk membuka hati lagi. Cukup sudah dua kali ia gagal dan jatuh cinta dengan orang yang salah. Untuk berikutnya, ia berharap akan jatuh cinta dengan orang yang tepat dan melabuhkan hatinya untuk yang terakhir kalinya. Itu tekadnya.
"Jadi, kapan nih kita makan bareng keluar kayak gini lagi?" Celetuk Benny membuyarkan lamunan Rea.
"Eh, apa?" Rea mengerjap-ngerjapkan matanya seolah berusaha menyadarkan diri dari pikirannya sendiri.
"Yah, ini anak malah bengong! Hati-hati, bisa kesambet lho...," Ledek Benny.
"Sembarangan!" Rea cemberut mengerucutkan bibir dan menggembungkan pipinya yang cubby membuat siapapun gemas melihatnya dan ingin mencubitnya.
"Lagi ngelamunin gimana pedekate lagi sama Daniel kali," Kejahilan Rio membuat Rea jadi kesal.
"Mas Rio!" Rea melirik tajam kearah Rio. Tak pelak sebuah cubitan kecil namun cukup mematikan mendarat di pinggang Rio. Teriakan kesakitan pun membahana ditempat itu. "Aku sudah punya yang lain!"
Yang lain? Rea sendiri terheran-heran dengan ucapannya. Siapa maksudnya dengan yang lain? Boro-boro dia punya gebetan lain. Melirik cowok lain saja saat ini ia sangat malas. Tidak ada waktu tepatnya seiring dengan kesibukannya yang semakin menumpuk. Bohong! Sebenarnya sudah beberapa kali ia dekat dengan lelaki namun berujung bubar. Padahal ia sudah melupakan perasaannya kepada Daniel, namun entah mengapa setiap kali ia dekat dengan lelaki seolah ada rantai tak kasat mata yang membelenggu erat hatinya untuk tidak membukanya kepada lelaki lain.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!