Sejak dulu aku memiliki sebuah impian.
"Ayah, game ini sangat luar biasa."
"Benar kan, ngomong-ngomong ayahmu lah yang membuatnya. Ayah memiliki rekan-rekan yang hebat dalam menciptakannya."
"Waah."
Sebagai anak kecil aku selalu mengagumi ayahku yang merupakan seorang pekerja keras, dia selalu menceritakan bagaimana hari-harinya saat bekerja walau terkadang menyusahkan ia selalu senang menjalaninya.
Namun beberapa tahun berikutnya saat aku menginjak SMP hal itu berubah, perusahaan ayah bangkrut karena seseorang menjual ide mereka ke perusahaan lain, ibuku meninggalkan kami karena kami jatuh miskin hingga pada akhirnya ayahku mengakhiri hidupnya dengan melompat dari gedung.
Ini adalah sebuah awalan yang mengerikan dari sebuah novel.
"Selamat pagi Tora, kau benar-benar terlihat mengantuk seperti biasa."
Di luar rumahku seorang pria dengan pakaian seragam putih abu serta blazer hitam menutupinya menyapaku dengan lambaian tangan.
"Kau ternyata Albert, tidak biasanya kau datang kemari."
"Apa tidak aneh jika teman masa kecil menjemputmu untuk pergi ke sekolah bersama."
"Yah itu tidak aneh, walaupun aku berharap kau seorang gadis cantik atau sebagainya."
"Aku akan memakai rok dan wig kalau begitu."
"Hentikan itu, aku mohon aku cuma bercanda."
Albert adalah teman kecilku saat masih di sekolah dasar, ketika SMP ia harus pergi ke luar kota mengikuti orang tuanya dan saat memasuki SMA dia kembali hingga kami bisa bersekolah di tempat yang sama.
Jika berbicara penampilannya ia tergolong pria cantik dengan rambut pirang serta mengenakan kacamata di wajahnya, aku pernah dengar bahwa dia memiliki seorang ibu dari Inggris sementara ayah dari Indonesia kurasa itu memang benar apa adanya.
"Membayangkan kita bisa bersekolah bersama lagi, membuat jantungku berdegup kencang.. aku terlalu senang untuk membayangkan hari-hari kita kedepannya."
"Hentikan itu menjijikan."
"Aku juga masih normal, di sekolahku aku tidak mengenal pria manapun kebanyakan mereka gadis-gadis itu yang membuatku tidak merasa nyaman berbicara dengan mereka."
Itu bukan mengejutkan saat SD aku bisa melihat banyak surat cinta di lokernya, jika itu di SMP seharusnya lebih banyak.
"Di cintai banyak gadis itu artinya kau dibenci seluruh pria."
"Tepat sekali, tapi sekarang berbeda aku kini punya teman pria kita bisa berbicara hal-hal erotis."
Sungguh laki-laki ini brengsek.
Kalau saja dia tidak memiliki sifat seperti ini aku yakin aku akan iri dengan kegantengannya.
Ia tiba-tiba menunjukkan ekspresi sedikit sedih.
"Aku sudah mendengar apa yang terjadi dengan keluargamu, aku benar-benar."
"Hal seperti itu jangan dipikirkan, aku sudah tidak masalah."
"Meski begitu aku tahu kau begitu dekat dengan ayahmu."
"Meski ia sudah tidak ada, aku masih punya impiannya.. aku akan membuat perusahaan game sepertinya dan akan jauh lebih baik... meski akan sulit aku tidak akan mengambil jalan sama seperti yang dia lakukan."
Albert memandangku dengan tatapan simpati, dia terlihat cantik karena itulah, kenapa kau malah jadi laki-laki? Gumamku dalam hati.
Kami berada di kelas yang sama di kelas 1-B dan duduk berdekatan, dia duduk di depanku sementara aku ada di belakang di dekat jendela.
Sebuah tempat yang bisa kau bilang sempurna untuk memperhatikan semua area sekolah, ngomong-ngomong kami bersekolah di SMA Harapan Nusa Bangsa yang merupakan sekolah negeri yang memiliki pelajar cukup ketat tidak aneh bahwa di sini juga ada guru-guru dari luar negeri yang dipekerjakan sebagai pengajar tambahan.
Ketika aku memikirkannya aku melirik ke sebelah bangkuku, di sana duduk seorang gadis yang tampak suram, ia memiliki rambut hitam panjang yang menutupi wajahnya. Tidak banyak orang yang tahu seperti apa penampilannya namun semua orang menjulukinya sebagai hantu kelas.
Dia sedikit melirik ke arahku lalu segera memalingkan wajah, ia selalu menempatkan tangannya di roknya seperti seorang yang kebelet ke kamar mandi.
"Apa kau menyukainya, sikat aja pak haji."
"Lu diam saja," balasku pada Albert.
"Ohayo, para domba-domba kecil.. namaku Nanase, aku mulai sekarang jadi wali kelas 1-B.. tidak ada pergantian wali kelas karena itu, aku akan menemani kalian dari awal sampai lulus, apa kalian suka?"
Kami bertepuk tangan terhadap guru muda berambut pink tersebut yang dengan energik memperkenalkan dirinya.
Jika itu sekolah biasa semua muridnya pasti akan bersemangat menggodanya sayangnya semua orang di sini bisa dibilang jenius.
"Lalu sekarang aku ingin memperkenalkan masing-masing dari kalian, dimulai dari belakang."
Guru cantik itu menunjuk ke arahku.
"Kamu seperti panda, apa kamu mengantuk?"
"Wajahku memang seperti ini."
"Ah maafkan aku, tapi kamu terlihat imut koq."
Itu bukan sesuatu yang dikatakan oleh guru.
Aku tidak keberatan dengan guru ini dibandingkan ia aku dengar di sini juga banyak guru yang tegas, galak dan menyeramkan.
"Namaku Tora, tidak ada yang istimewa dariku aku hanya menyukai game, hanya itu."
"Owh, kamu Tora yang mendapatkan peringkat satu di ujian masuk... ibu sangat senang bahwa kamu ada di kelas ibu. Lalu silahkan di sebelahnya."
Aku duduk dan digantikan oleh gadis di kursi sebelah, ia mengeluarkan suara kecil tapi semua orang masih bisa mendengarnya.
"Na-namaku Ayaka Rin, panggil saja Rin."
"Rin-chan kah, kita sepertinya dari tempat yang sama. Ibu harap kamu juga senang bisa tinggal di sini."
"Um yah."
"Selanjutnya."
Aku melewatkan perkenalkan yang lainnya dan lalu melirik ke arah Albert selanjutnya.
"Namaku Albert, aku teman masa kecil Tora sekaligus sahabatnya, salam kenal."
"Kamu yakin kamu ini pria?"
Perkataan guru tersebut menjatuhkannya sekejap mata.
"Aku pria tulen."
"Begitu, maaf-maaf kamu terlihat cantik soalnya."
"Aku bukan bencong tolong jangan menatapku seperti ingin melemparkanku dari sekolah."
Apa mereka sebenci itu padanya? Aku tidak bisa membayangkan kehidupannya di sekolah sebelumnya.
Selamat berjuang untuk debut SMA kawan lama.
"Mari kita mulai pelajarannya, ngomong-ngomong ibu guru sains, kita akan belajar soal reproduksi."
Itu sesuatu yang lebih mengejutkan terlebih ia mengatakannya selagi berpose Vis.
Selepas jam istirahat aku dan Albert telah berjalan-jalan di koridor sekolah dengan minuman kaleng ditangan kami.
Dari kejauhan aku melirik ke arah Rin yang duduk sendirian dengan buku yang dia tulisnya.
Orang-orang jelas mengabaikannya.
"Dia hantu kelas, tidak aneh semua orang memperlakukannya seperti itu."
"Apa menurutmu kita bisa berteman dengannya?" tanyaku pada Albert.
"Aku tidak keberatan, aku juga cukup kesulitan jika diperlakukan seperti itu."
Kami memang mendekatinya namun dia segera bangkit lalu melarikan diri begitu saja.
"Sudah kuduga kau membuatnya takut Albert."
"Salahku?" teriaknya demikian.
Untuk saat ini aku maupun Albert memilih kembali ke kelas, sekolah sudah berjalan dua Minggu dan aku dipanggil ke ruang guru oleh Bu Nanase.
"Ya ampun, ini baru awal sekolah tapi Rin-chan malah tidak masuk. Nah Tora apa kamu mau mengantarkan ini padanya, ini surat peringatan.. sekolah kita sangat ketat dalam urusan kehadiran, jika kamu tidak memiliki alasan jelas kemungkinan kamu akan dikeluarkan sangat tinggi, ibu tidak ingin satu murid ibu berakhir seperti itu karenanya aku mohon."
"Kenapa ibu meminta aku?"
"Kamu berada di sebelahnya dan tidak takut padanya karena itulah ibu pikir itu ide bagus untuk mengirimmu... tolong kalahkan naga dan rebut kembali tuan putri."
Aku menghela nafas panjang.
"Ini bukan game RPG."
"Heh, kamu tahu banyak tentang itu."
"Aku menyukai game malah aku terkejut bahwa salah satu putri dari presdir game terkenal malah menjadi seorang guru."
"Kamu menyadarinya... bisnis ayah ibu di Jepang karena itu, sedikit mengejutkan bahwa ada seseorang yang mengetahuinya."
"Kalau begitu aku akan segera membawanya, lalu alamatnya?"
"Berikan ponselmu."
Aku melakukan apa yang Bu Nanase inginkan, ia mengetik nomornya sebelum kembali menyerahkan ponselnya kembali.
"Itu nomor ibu, tak apa untuk mengajak kencan ibu sesekali."
"Aku menantikannya kalau begitu."
Aku membalas candaannya dengan candaan.
Selepas sekolah aku mengunjungi sebuah kediaman tak jauh dari sekolah. Itu sebuah kawasan perumahan yang banyak dihuni oleh orang-orang kaya pada umumnya.
Selagi memperhatikan ponsel di tanganku, aku sekali lagi memeriksa alamat yang diberikan oleh Bu Nanase sebelumnya.
Untuk Albert aku memintanya untuk pulang lebih dulu, aku tidak ingin melibatkannya juga.
"Di sini kah."
Aku memencet bel hingga seseorang muncul, ia terlihat mirip seperti Rin dengan postur dewasa.
"Selamat sore tante. Apa Rin ada? Aku Tora."
"Seorang laki-laki, Rin punya pacar," katanya demikian.
Dari dalam rumah pria berotot menerobos keluar selagi berteriak.
"Apa? Aku tidak akan menyerahkan putriku begitu saja."
"Kalian salah paham aku hanya teman sekelasnya, aku hanya datang untuk memberikan ini."
Kedua orang tuanya segera mencengkeram bahuku.
"Tidak sopan jika berkunjung tidak mampir, tolong masuk dulu."
"Baik."
Karena tekanannya terlalu kuat aku tidak bisa melarikan diri.
"Namaku Ayaka Miya, dan ini suamiku Nicolas."
"Hum hum."
"Kami penasaran dengan putri kami yang bersekolah apa yang sering dia lakukan di sana?"
"Hanya bersekolah."
"Tolong lebih spesifik lagi?"
"Ia kebanyakan menulis sesuatu di buku dan jarang bicara."
"Gadis itu, padahal aku sudah bilang bahwa di sekolah tidak perlu bekerja."
"Bekerja?"
Aku memiringkan kepalaku dengan bingung.
"Rin sebenarnya seorang penulis cerita, ia sebenarnya tidak ingin sekolah dan kami berdualah yang memaksanya."
"Yang dikatakan istriku benar, kami sedikit khawatir kehidupannya di sekolah," kata si ayah sebelum melanjutkan.
"Dia tiba-tiba tidak ingin sekolah lagi kemungkinan ia tidak akan melanjutkannya kembali."
"Bukannya itu terlalu.."
"Di zaman sekarang pendidikan sangat penting karena itulah aku sedikit khawatir dengannya, bahkan ayahnya mengambil cuti beberapa hari untuk mencoba bicara dengannya... kami akan senang jika kamu mau menemuinya dan menyerahkannya seorang diri."
Aku tidak menyangka akan terlibat hal seperti ini. Mereka ingin aku yang berbicara.
Aku menaiki tangga untuk sampai ke lantai dua, kamarnya sendiri berada di ujung koridor dengan gantungan kucing hitam di pintunya.
Ketika aku mengetuk pintu dan mengatakan mamaku, Rin terdengar menjerit.
"Apa yang kamu lakukan di rumahku?"
"Boleh aku masuk."
"Tidak, tidak, aku belum merapikan kamarku."
Karena tidak dikunci aku mengintip sedikit dan melihat bagaimana Rin tampak berjongkok selagi membereskan tumpukan kertas, aku pikir dia gadis yang membiarkan makanan dan baju kotor begitu saja namun yang terlihat sekarang hanyalah tumpukan kertas dan buku.
"Memalukan sekali," katanya menutupi wajahnya walaupun jelas tanpa melakukan itu pun aku tidak benar-benar melihatnya.
Aku mengambil sebuah buku novel yang tergeletak di dekat kakiku, itu buku tentang kehidupan fantasy.
Jika melihatnya sekilas ini sebuah genre yang mirip dengan Harry Potter dan juga the Lord of the Ring.
"Ah, buku itu tolong kembalikan."
"Rin apa kamu yang menulis ini?"
Rin tampak malu-malu.
"Aku yang menulisnya, apa tulisanku jelek."
Dia menggunakan nama Mermaid sebagai nama pena.
"Ini sangat bagus.. kamu benar-benar pandai melakukannya."
"Penjualannya tidak terlalu laku keras, jadi hanya satu buku yang bisa aku tulis."
Aku mengerti apa yang coba ia katakan, di dalam kamarnya lebih banyak genre anak muda, horor serta rumah tangga.
"Genre fantasi memang kurang baik diterima di Indonesia, namun jika itu sebuah game aku yakin banyak orang yang menyukainya."
"Kamu memintaku untuk pindah?"
"Tidak, aku tidak ingin melakukan itu... hanya saja karya seperti ini sangat luar biasa, sesungguhnya aku sangat menyukai genre-genre seperti ini."
"Kamu mengatakan bahwa kamu menyukai game waktu itu."
"Benar, tapi sebenarnya ada satu hal yang ingin kulakukan."
Aku mengambil jeda beberapa saat untuk kembali membuka mulutku.
"Aku ingin bisa membuat perusahaan game sendiri."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!