NovelToon NovelToon

JATUHNYA PANGERAN TIMUR

BAB 1. KEPUTUSAN SULIT

“Apa-apaan ini, Laura! Bisa kau jelaskan mengapa sampai terjadi kekacauan seperti ini?”

“Aku minta maaf, Bos. Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Hanya itu yang bisa aku jelaskan.”

“Jawaban apa itu!” dengus Bimo, kepala bagian divisi impor dengan nada kesal. Sebuah kertas putih dengan catatan di sana-sini dilemparkan begitu saja di meja kerjanya.

“Ya Tuhan! Kau kasar sekali.” Ucap Laura dengan ekspresi kecut dan senyum masam. “Aku sudah tahu kesalahanku ini hampir membuat perusahaan ini merugi, namun bukankah aku juga sudah menyelesaikannya secara intern dengan masing-masing kepala gudang dan juga pekerja lepas mereka? Pun, hal sama juga aku selesaikan dengan mandor dan para supir yang bertugas. Semuanya telah terkendali dan berjalan lancar seperti sebelumnya, bukan?”

Laura Kamila benar-benar beruntung kali ini. Ia mengakui bahwa kesalahan yang dilakukannya ini hampir saja membuat dirinya dipecat, dan mungkin tanpa pesangon. Sungguh hal yang sangat menegangkan sekaligus di luar dugaan. Bagaimana bisa kontainer yang berisi biji plastik tertukar dengan kontainer yang berisi tembakau? Itupun tanpa si supir dan juga orang lapangan memeriksanya terlebih dahulu sebelum mengirim truk kontainer itu ke gudang masing-masing di Gudang Legi dan Gudang Nggulang. Beruntung kedua rute itu tidaklah cukup jauh untuk bertukar alamat. Karena truk yang berisikan biji plastik itu seharusnya dikirim ke Midorekso. Sedangkan truk yang berisi tembakau itu di kirim ke Wudus.

“Sudah seharusnya, bukan? Kau yang bertanggung jawab atas pekerjaan semua bawahan mu. Sudah sepantasnya juga kau memonitor kedua jadwal pengiriman truk itu dari Rabu kemarin untuk dikirim Jumat, pagi ini.” Tukas Bimo dengan nada dingin. “Mungkin kali ini dampaknya tidak ada dan masih bisa ter selamatkan. Namun, tetap saja itu mempengaruhi penilaian dua klien terbesar kita. Bukan tidak mungkin lain kali kau melakukan kesalahan yang lebih daripada ini dan membuat mereka mengurung-kan niat mereka untuk terus bekerjasama dengan perusahaan ini dalam jangka waktu yang panjang.” Oceh lelaki paruh baya itu dengan nada jengkel yang tidak ditutupi nya.

“Ya Tuhan! Bisakah kau berhenti untuk terus mengomeliku dan mengingatkan aku hal yang sama berulang kali?” pekik Laura tak tahan dengan cara bos nya itu memojokkan dirinya terus-menerus. Wanita itu bangkit dari tempat duduknya dan berdiri, lalu berjalan mondar-mandir di ruangan nya. “Aku tahu, aku adalah Supervisor di bagian impor ini. Aku juga tahu, sudah kewajibanku untuk selalu memonitor setiap impor yang masuk dan semua jadwal truk, termasuk juga kontainer yang harus dikirimkan ke setiap gudang yang telah ditentukan. Aku juga tahu bahwa untuk sampai di posisi ini, aku telah mengorbankan banyak waktu dan tenagaku untuk lembur bahkan di hari liburku, juga melupakan mengambil cuti ku setiap tahun hanya agar mendapat penilaian baik dari semua atasan dan promosi yang memang aku nanti-nantikan sebagai perbaikan gaji demi sekolah bergengsi untuk adikku yang berotak jenius.”

“Kalau begitu, kenapa juga kau harus memaksakan dirimu untuk menyekolahkan adikmu di sekolah international jika kau begitu merasa kelelahan?”

“Karena aku tidak ingin bakat adikku yang luar biasa itu terbuang dengan sia-sia tanpa ada tempat baginya untuk berkembang lebih maju lagi.” Jawab Laura dengan nada penuh emosi. “Lagi pula, aku telah berjanji kepada orang tuaku akan menjaga dan memberikan apapun yang terbaik bagi pendidikan adikku.”

“Aku tahu. Tapi bukankah tidak perlu juga harus kau asrama kan dia.”

Laura menggeleng-gelengkan kepalanya dan berdecak, “Sangat tidak mungkin. Karena itu adalah satu-satunya sekolah terbaik yang menggunakan sistem asrama. Dikarenakan jadwal yang padat, pihak sekolah tidak ingin pembelajaran yang disampaikan nanti terganggu oleh adanya murid yang terlambat masuk, atau bahkan ijin tidak

masuk.” Wanita itu menatap bos nya dengan pandangan tak berdaya, “Peraturan sekolah itu sangat ketat. Bahkan, ketika sakit sekalipun, ada dokter yang akan menangani hingga benar-benar dipastikan untuk istirahat. Itu pun dilakukan di asrama, kecuali jika siswa disana benar-benar rindu akan keluarganya.”

Bimo menghela napas dengan berat, lalu dia berkata, “Itu sebabnya aku selalu mengingatkan mu, Laura. Aku keras begini terhadapmu juga demi kebaikanmu.”

“Aku tahu, Bos. Aku memang salah. Konsentrasi ku agak terganggu waktu itu hingga tidak tahu jika truk yang harus dikirim di hari dan jam yang sama ter tukar. Aku minta maaf dan aku sungguh menyesal. Namun, apa gara-gara itu aku harus dipecat? Sedangkan masalahnya pun sudah teratasi dengan baik.”

“Nah, kau sendiri pun khawatir juga tentang hal itu, bukan?”

“Kalau begitu, jangan kau ungkit-ungkit lagi hal itu.” Laura kembali ke kursi nya. Ia merasa sedikit lebih lega karena telah mengeluarkan semua perasaan marah dan yang mengganjal hatinya selama ini. Seakan semua beban yang telah menindih pundaknya, masih belum cukup dan sekarang ditambah kejadian yang membuat heboh dan kalang kabut divisi impor.

Bimo Kumolo sedang memainkan kertas kosong yang ada di meja Laura. Lelaki itu sengaja melipat-lipat tak beraturan kertas itu seolah ada sesuatu yang tengah dipikirkan nya. Dengan rambut pendek, tipis setengah botak. Setelan jas biru muda rapi dengan kemeja putih di dalamnya dan dasi biru tua yang menghiasi lehernya. Tak lupa dengan sepatu hitam mengkilap, penampilannya memang pantas disebut sebagai kepala divisi karena memang terlihat sangat profesional.

“Aku harus mengatakan ini walau dengan berat hati kepadamu, Laura. Percayalah, ini semua demi kebaikanmu.”

Menatap dengan curiga bos nya yang tengah duduk dengan gelisah namun ditutupi nya dengan melipat-lipat kertas hingga lusuh membuat Laura menjadi semakin penasaran. “Kenapa aku merasa kebaikan yang keluar dari mulutmu justru berakhir dengan sebaliknya?”

Sang bos yang sedang ditatap hanya tersenyum di kulum sebelum menjawab, “Aku tahu ini terkesan sedikit memaksa dan manipulatif, tapi tetap saja hanya cara ini yang bisa menghentikan mu dari melakukan kecerobohan dan kesalahan bertubi-tubi nantinya.” Bimo beranjak dari tempat duduknya, lelaki itu membungkuk kan badannya ke depan, ke arah meja Laura seraya berkata, “Ambillah cuti saat ini juga.”

BAB 2. CUTI DAN KOMPENSASI

Laura tercengang meski sesaat ucapan dari sang bos yang baru saja didengarnya, “Boleh aku tahu kenapa?”

Bimo hanya menggerakkan kedua bahunya ke atas dan berkata, “Karena kau terlihat membutuhkannya.”

Wanita itu beranjak juga dari tempat duduknya dan menghela napas panjang sebelum menjawab, “Baiklah, aku akan menurutimu. Tapi tidak sekarang. Bulan ini begitu sangat padat dengan jadwal yang harus diselesaikan. Belum lagi jadwal pengantaran yang---“

“Itu sebabnya, kau harus cuti sekarang juga. Bulan ini.”

“Apa! T-Tapi kenapa?”

Bimo menegakkan tubuhnya dan memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. Lelaki paruh baya itu menunduk sebentar untuk langsung memandang Laura dengan keputusan bulat. “Karena aku tidak ingin kejadian yang sama terulang kembali. Dan karena aku tahu, bulan ini sangat padat. Membuatku semakin yakin  bahwa kau harus segera cuti.”

“Tapi tidak harus sekarang, Bos.”

“Harus.”

“Kau sungguh-sungguh?” Laura masih tidak percaya dengan keputusan atasannya itu. Ia hanya sekali melakukan kesalahan, memang cukup berat. Namun, ia juga sudah menyelesaikan semua masalah itu sampai tuntas. Lalu, mengapa bos nya masih bersikeras melanjutkan permasalahan ini? Apakah dia mendapat tekanan dari direksi? Apakah posisinya kini benar-benar terancam? Apakah atasannya ini tidak lagi percaya dengan kinerjanya?”

“Pilihanmu hanya dua, Laura. Kau ambil cuti ini secara sukarela dan tetap digaji? Atau kau memilih untuk aku rumahkan sementara selama sebulan ini tanpa gaji?

“Kau bercanda, Bos?”

“Apakah terlihat aku sedang bercanda saat ini, bagimu?” Bimo menatapnya dengan wajah yang serius dan tidak dapat dibantah. “Kau lelah. Kau capek, Laura. Konsentrasi mu sudah tidak setajam dulu ketika belum ada perceraian.”

Laura langsung bersikap defensif dan menatap sinis bosnya itu, “Kenapa kau bawa-bawa perceraianku dalam masalah ini? Ini tidak ada hubungannya dengan itu.”

“Justru sebaliknya. Semua kesalahan ini. Tindakan tidak bertanggung jawab ini. Semua buyarnya fokusmu itu terjadi sejak kau memutuskan untuk bercerai.”

Pukulan telak. Itu semua adalah awal dari kehancurannya yang tidak bisa lagi diperbaiki. Meski menyakitkan, ia harus mengakui semua kebenaran yang dilontarkan oleh atasannya itu. Tidak diragukan lagi, bos nya sangat mengenalnya. Dihadapkan pada dua pilihan sulit membuatnya mau tak mau harus mengambil sikap bijak, bukan?

Dalam perjalanan pulang selepas lembur dan membuat laporan akhir kepada atasannya, serta menyiapkan semua detail pekerjaan untuk diserah terimakan sementara kepada pihak yang ditunjuk perusahaan, ia melayangkan pandangan kosong di keramaian padatnya jalan. Gagasan untuk meliburkan diri atau tepatnya cuti yang dipaksakan ini membuatnya berpikir ulang, bahwa mungkin memang benar ini adalah keputusan yang benar dan tepat yang telah diputuskan untuknya.

Sampai di rumahnya yang dingin, sepi dan sunyi. Laura langsung menghempaskan dirinya di sofa ruang tamu. Dengan kaki dijulurkan ke depan dan kepala di sandarkan ke belakang punggung sofa, ia menatap ke langit-langit rumahnya. Sudah setahun ini tidak ada rasa nyaman dan bahagia yang dapat dirasakannya kembali. Ia merasa telah ditolak, di buang dan tersia-sia pengorbanannya selama delapan tahun ini. Ditinggalkan dan dicampakkan oleh seorang pria yang dipikirnya sangat dicintainya dan mencintainya sungguh meninggalkan luka yang teramat dalam di hatinya. Melukai harga diri dan juga egonya. Pernikahan yang diharapkannya dapat  berakhir selamanya, hingga ajal memisahkan, ternodai dengan sebuah perselingkuhan kejam yang dilakukan oleh mantan suaminya.

Secara hukum, ia sudah tidak lagi terikat oleh pernikahan. Namun, kurun waktu yang telah dilaluinya membawa trauma tersendiri bagi Laura Kamila. Harga dirinya berada di titik yang terendah kala itu. Sampai sekarang, perasaan itu masih terbawa hingga membuatnya menjadi pribadi yang sensitif. Kehidupan sendiri yang terpaksa dijalaninya ini, membuatnya merasa canggung dan rendah diri. Sejak dulu, ia bukan tipe wanita yang suka berpesta dan bergaul. Sejak menikah pun, alasan keluarga yang membuatnya sering menolak ajakan untuk pergi berpesta atau sekedar kumpul bersama. Itu adalah pilihannya. Ia merasa senang dan tidak merasa keberatan untuk melakukanya.

Sekarang, kehidupannya jauh berbeda. Kesendiriannya begitu sangat menyiksa. Kehidupan sosial, ia tidak memilikinya. Sepanjang pernikahan, keikutsertaannya dalam jamuan makan malam bersama mantan suaminya pun bisa dihitung dengan jari. Hal utama baginya hanyalah bekerja dan keluarga, itu saja. Kehidupan keluarganya telah hancur, kehidupan kerjanya pun tak kalah kacau.

Namun sepertinya, itupun harus diubahnya. Meski terasa sulit, harus mulai ia biasakan. Kehidupan single nan bebas.  Tiba-tiba, Laura beranjak dari sofa dan bergegas mencari sesuatu di dalam laci dekat televisi. Diambilnya beberapa brosur yang sempat di dapatnya dari beberapa koleganya. Disimpannya brosur-brosur itu yang nantinya akan ia pakai untuk rencana perjalanan liburan bersama sang mantan kala itu, namun terlanjur rusak dan batal tanpa dimulainya pembicaraan ke arah itu.

Ia memandang kakinya yang telanjang, terbebas dari kungkungan sepatu sepanjang waktu. Lalu dengan asik dibacanya beberapa brosur itu dengan sungguh-sungguh. Ada salah satu brosur dari sekian banyak brosur yang membuatnya tertarik untuk lebih membacanya. Langit biru, bentangan pasir nan hangat. Hamparan air laut asin yang menggoda. Senja tropis dengan cakrawala putih memanjang. Bebas, menikmati makanan dan minuman enak tanpa perlu khawatir akan beban pekerjaan yang sudah menanti dan menumpuk pastinya. Alunan musik santai yang mengalun dengan indah seraya menikmati malam penuh dengan cahaya bulan purnama nan cantik. Sungguh

pikiran yang sangat menggoda dan merangsang. Seketika, diambilnya ponsel yang ada di tasnya. Lalu ditekannya tombol cepat yang ada di ponsel. Terdengar beberapa kali nada tunggu sebelum ada jawaban.

“Halo.”

“Halo, Lana.”

BAB 3. LIBURAN YANG DINANTIKAN

Lana berada di kamar asramanya, sedang mengerjakan tugas sekolahnya saat suara ponsel nya berdering. Ia beranjak dari tempat duduknya dan mengambil ponsel yang kebetulan sedang diisi dayanya di seberang kasur nya. Dilihatnya nama si penelpon yang ada di layar, senyuman tersungging di wajahnya ketika mengenal sosok yang menelpon nya.

“Halo, Kak! Aku senang kau menelpon ku. Aku baru saja selesai mengerjakan tugas sekolahku. Sungguh menyebalkan! Matematika membuatku tidak bisa turun hanya untuk sekedar makan. Untung, teman sekamar ku baik. Dia mau membawakan makanan ke kamar ku. Oh ya, Kak. Bagaimana kabar mu? Pekerjaanmu baik-baik saja?”

“Bagaimana mengatakannya, ya?”

“Ada apa? Apa kau dalam masalah?” terdengar nada khawatir dan cemas dari bibir Lana.

“Sedikit. Hanya saja, aku sudah melakukan kesalahan di kantor.”

“Apakah sangat fatal?”

“Tidak juga sih, untungnya aku bisa menyelesaikan tanpa ada satupun yang merasa dirugikan atau pun dipecat.”

“Memang apa masalahnya, Kak?”

“Aku salah tidak mengecek ulang jadwal pengiriman kontainer yang dilakukan di hari dan jam yang sama di dua gudang berbeda. Isi dalam kontainernya juga tertukar. Harusnya kontainer yang berisi biji plastik di kirim ke gudang yang tertera di list jadwal, tetapi malah di kirim ke gudang Legi di Wudus. Dan sebaliknya juga begitu.”

Lana yang mendengar sungguh-sungguh cerita kakaknya hanya bisa tertawa geli. Laura sangat senang mendengar suara tawa lepas adik satu-satunya itu.

“Jadi, Pak Bimo marah besar kak?”

“Seperti singa tua.”

“Dasar manusia perfeksionis.”

“Itu adalah haknya sebagai kepala divisi impor. Aku memang yang salah. Di tempat kerjaku, tidak boleh kehilangan fokus dan konsentrasi karena akibatnya sangat parah.”

“Karena uang?”

“Bukan sekedar uang biasa. Tapi puluhan hingga ratusan juta jika kau berbuat salah. Apalagi aku sedang mengincar promosi tahun ini.”

“Jangan takut, Kak. Kau pasti yang akan mendapatkan promosi itu.”

Laura mengetuk-ngetukkan jarinya di belakang ponsel nya, seolah ia sedang memikirkan sesuatu sebelum berkata, “Lana, bagaimana menurut mu kalau aku ambil cuti selama seminggu ini?” sebelum sempat dijawab oleh adiknya yang berada di seberang telepon. Laura segera menjelaskan duduk persoalannya, sehingga terkesan bahwa ia yang meminta izin ke adiknya. Ia butuh pertimbangan Lana dan minta didengarkan, sebelum Lana mempertanyakan apakah ia sudah kehilangan akal.

“Menurutku itu

adalah ide yang sangat bagus, Kak.”

“Jadi, maksudmu aku tetap sesuai rencana atau batalkan saja dulu?”

“Sesuai rencana dong, Kak. Aku berdoa agar kau bertemu dengan lelaki keren di sana. Pasti akan

banyak sekali lelaki dari segala penjuru dunia yang sesuai dengan tipe kakak. Berbadan atletis, kulit kecokelatan, dan hmm…apalagi resor-resor pribadi itu.”

“Ah, jangan terlalu percaya hal-hal semacam itu. Itu hanya sebuah iklan untuk menarik banyak pelancong,” tukas Laura sambil tersenyum. “Jadi, kau setuju?”

“Setuju sekali. Pergilah dan bersenang-senang sepuas nya.”

“Tapi, kau harus menghabiskan akhir pekan mu di asrama.”

“Jangan cemaskan aku, Kak. Aku akan mencari orang yang mau mengundang ku untuk berakhir pekan bersama. Sudahlah. Tak perlu dirisaukan. Pergilah. Manja kan dirimu sepuas hatimu. Sudah sepantasnya kau melakukannya.”

“Tapi jika aku melakukannya, maka tabungan kita ditambah dengan uang kompensasi itu akan banyak berkurang. Bagaimana?”

“Jangan terlalu dipikirkan uang kompensasi itu, Kak. Gunakan saja semua selama kau berlibur. Kau berhak menggunakannya dan juga layak menghabiskannya. Aku yakin tabungan kita akan bertambah, setelah kau mendapatkan promosi yang kau incar itu.”

Laura berusaha menahan napasnya, memejamkan matanya, lalu menggenggam erat-erat ponsel nya. “Baiklah

kalau begitu. Aku pergi.” tutup nya sebelum pikirannya berubah kembali.

“Selamat bersenang-senang, Kak.”

“Sampai ketemu lagi.”

Ketika ponsel sudah mulai menjauh dari telinga, Laura masih sempat mendengar sang adik berucap, “Jangan lupa cari lelaki yang tampan. Yang wajahnya mirip antara George Clooney dan Brad Pitt, tapi punya selera humor seperti Adam Sandler.

Mendengar hal itu, Laura mendekatkan ponsel nya kembali ke telinga dan menjawab, “Akan aku usahakan.” Benarkah? Apa salahnya? Kalau sudah berniat untuk mengepakkan sayap,kenapa tidak terbang yang tinggi sekalian. Kalau bisa, sampai ke bulan. Tentu saja ia tidak akan dengan sengaja mendatangi setiap bar atau pun kafe seperti yang dilakukan orang-orang yang single dan bebas. Hanya jika ada kesempatan…

“Aku akan menghubungi mu lagi begitu akan berangkat. Aku juga akan memberitahu mu dimana

aku akan menginap. Berjaga-jaga jika kau---“

“Oh, tenanglah, Kak. Sudah hentikan semua kekhawatiranmu itu, untuk sekali ini saja. Pikirkan

saja dirimu sendiri dan jangan mencemaskan apapun.”

Laura sengaja tidak meletakkan ponsel nya, tapi langsung menekan tombol sebelum nomor lain berikutnya. Ia takut jika dilakukannya nanti, ia semakin berubah pikiran. Mungkin ada seribu alasan yang membuatnya tidak jadi pergi. Namun, hanya ada satu alasan yang kenapa ia mesti pergi. Yaitu, menyelamatkan hidupnya.

Jika seorang wanita dihadapkan pada kenyataan pahit seperti yang dialami Laura selama setahun ini---ditinggalkan suami karena suami menginginkan perempuan lain---maka ia hanya mempunyai dua pilihan. Larut dalam depresi nya dan kalah, atau meneruskan kehidupannya dengan tegar.

Laura telah mengambil keputusannya malam itu. Ia memilih yang kedua. Sambil membaca nomor yang tertera di brosur, ia memencet tombol itu. Ia menghitung hingga tiga, setelahnya, terdengar sapaan dari ujung telepon.

“Halo,” sahut Laura dengan suara sedikit ragu, “Saya ingin memesan tiket ke Motorai.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!