Aku sangat menyukai dance dari umurku berusia 10 tahun. Setiap mendengar musik, kakiku menghentak ke sana dan ke sini. Tanganku juga tidak mau tinggal diam dengan mengayunkannya ke kanan dan ke kiri.
Dari sejak itulah, aku menyukai musik sambil menggerakkan tubuhku. Dan, kesukaanku itu membuat Mamaku — Keyzia memasukkan aku ke dalam les dance.
Sejak itu, aku menyukai dance. Tapi, kali ini aku tidak sendiri, sebab ada teman-temanku yang juga menyukai dance, dan membentuknya menjadi sebuah geng.
Geng itu bernama LorezQ, beranggotakan lima orang cewek. Ada aku, Tara, Devi, Alya, dan Via. Aku dan teman-temanku bertemu sampai saling mengenal satu sama lain karena dipertemukan di kelas 2 IPA di SMA Garda.
Aku dan teman-teman geng LorezQ sangat suka dance. Tak jarang aku, dan mereka berempat menghabiskan waktu untuk dance, membuat gerakan baru serta unik secara serempak.
Terbukti dari sekarang. Aku dan mereka berempat sedang latihan dance di rumah Alya.
"1 ... 2 ... 3 ... Ayo geser ke kiri!" seruku yang menggerakan tubuh ke kiri, beriringan dengan kaki yang juga digerakkan ke kiri.
"Sekarang, ke kanan, lalu ke balik ke titik awal, tepuk tangan, katakan hore, dan loncat. 1 ... 2 ... 3 ...." Aku melakukkan gerakannya, mereka berempat pun juga begitu.
Gerakan terakhir adalah momen yang ditunggu-tunggu, dalam hitungan satu sampai tiga, aku, dan mereka berempat berteriak, "Hore!"
Dan, disusul dengan loncatan setinggi yang kita bisa. Aku tersenyum puas dengan hasil latihan dance hari ini.
"Gila Can, kali ini dance kita bakal bagus banget sih," ujar Tara yang menepuk pundakku, aku menoleh, dan hanya bisa mengangguk seraya tersenyum.
"Pecah parah sih, apalagi yang adegan terakhir," sahut Alya.
"Syukur deh kalau kalian suka, next time latihan dance bakal dihandle sama Devi, sesuai jadwal juga, kan, dan gue yakin bakal lebih bagus," tuturku yang diangguki mereka berempat.
Kegiatan dance bagi kita adalah sebuah keseruan, melepas penat, dan mengolah sesuatu yang sudah disukai sejak lama. Mungkin semacam hobi bagi kita atau kegiatan rutinan kita.
"Ya udah gue pamit dulu ya, bye." Aku menggendong tas, dan melambaikan tangan pada mereka semua.
Karena aku juga harus pulang dan belajar di setiap jam 7 malam. Seperti sudah menjadi habbit bagiku.
"Bye, Cantika," jawab mereka berempat serentak, aku tersenyum, dan melenggang pergi.
Memasuki mobil Kak Johan, dia adalah Kakak laki-laki pertamaku, "Tumben cepet, biasanya sedikit ngaret." Kak Johan melirik arloji silvernya yang menunjukkan jam 7 malam pas.
"Latihannya cepet dipahami, jadi pas jam pulangnya," jawabku yang ditanggapi anggukan, dan senyum tipis dari Kak Johan.
Tanpa basa-basi, Kak Johan melajukan mobilnya, membelah kota Bandung. Suasana di luar masih nampak banyak beberapa orang yang berkeliaran.
Aku menatap keluar kaca sepanjang jalan, hingga akhirnya sampai di depan rumah yang berukuran sederhana, berlantai dua dengan halaman tak seluas rumah tetangga lainnya, dan rumah ini dibuat seperti ala Jepang.
Rumah ini ditinggali oleh kita berenam. Ada Papa - Johar, Mama - Keyzia, Kakak Johan, Kak Agnes, Aku, dan terakhir Adek Boni.
Aku keluar dari mobil dengan menenteng tas, lalu memasuki rumah yang sangat nyaman ditinggali selama ini, "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," sahut semuanya yang sudah duduk di ruang tengah dengan tersedianya hidangan yang sederhana, tetapi terlihat begitu nikmat.
Aku melempar tas, dan segera ke wastafel untuk cuci tangan serta wajah. Baru setelah itu menyantap hidangan yang sudah disiapkan Mama di meja pendek yang luas.
Hari ini nampak begitu bahagia. Dari mulai latihan sampai pulang ke rumah yang diisi oleh keluarga harmonis.
Namaku Cantika Audya, anak kelas XI IPA 1, ketua geng LorezQ. Di mana semua anggotanya terdiri dari Tara, Devi, Alya, Via, dan aku.
Aku dan teman-teman geng LorezQ menyukai dance, kita punya masing-masing cerita satu sama lain, tentang di mana kami kenapa menyukai dance.
Aku menyukai dance sedari umur 10 tahun. Tara, dia menyukai dance sedari mengikuti pentas perpisahan di sekolah dasarnya. Devi, dia memiliki keluarga yang menyukai dance. Alya, dia menyukai dance karena melihat idol koreanya. Via, dia menyukai dance karena setiap gerakannya membuat dia tenang.
Aku dan mereka semua, memiliki cerita satu sama lain, bagaimana kami bisa menyukai dance. Dan, hal terunik dalam diri kita memiliki selera dance masing-masing juga.
Tapi, aku dan mereka menarik garis perbedaan dalam selera dance kita menjadi satu kesatuan. Itulah yang membuat geng kita selalu tembus sebagai juara di beberapa kontes dance.
Hari ini, tepat sekali. Kami akan tampil di panggung, karena kita selalu mengikuti setiap kontes dance.
“Gais, kita berdoa dulu!” teriakku yang membuat mereka mengerumuniku.
“Berdoa dimulai.” Aku menengadahkan tangan dan mulai berdoa.
Kami berdoa sesuai kepercayaan kita masing-masing, tak perlu spesifik tentang agama, karena kami memiliki privasi antar perbedaan agama diantara aku dan mereka semua.
“Berdoa selesai,” tuturku yang membuat mereka serentak mengatakan, “Aamiin.”
Aku mengulurkan tangan ke depan, diikuti dengan teman-temanku lainnya, “Geng LorezQ, hebat, bisa, juara! Huhah! Pedes kali!”
Yel-yel itu terdengar sampai semua peserta dance menoleh ke arah aku dan teman-teman. Tapi, bagiku itu semua tak penting.
“Can, Ya, Vi, Tar, semoga kita bisa menang. Gue yakin bisa menang sampe tembus final,” ujar Devi pada aku dan teman-teman lainnya.
Alya mengangguk dan menyahuti ucapan Devi, “Pasti bisa dan bakal menang, optimis semuanya!”
“Iya, kita pasti bisa kok, gais! Semangat!” pekikku yang membuat mereka ricuh dengan seruan mereka masing-masing.
Bagi aku dan teman-teman, setiap kompetisi adalah sesuatu hal yang menyenangkan, jadi hobi ini harus tetap diraih oleh aku dan mereka semua.
Aku dan teman-teman lainnya sedang menunggu giliran tampil ke panggung, hingga suara MC memanggil nama geng kita.
“Kita panggil geng hitz yang kece yang terdiri dari lima cewek cantik, geng LorezQ!” seru MC yang membuat penonton bertepuk tangan, bahkan sampai mengeluarkan kericuhan saking tidak sabarnya akan kedatangan kita.
Aku dan teman-teman naik ke panggung, menyapa sebentar ke semua penonton dan juri. Setelah itu, kita menampilkan dance terbaik yang menyatukan antara perbedaan kami.
Semua lagu yang kita suka dijadikan satu, perbedaan dance dijadikan satu, dan membentuk karakter kita masing-masing.
Semua penonton menatap kita berlima dengan kekagumannya. Aku dan teman-teman sampailah dipuncak di mana kami akan mengakhiri dance kami.
“Satu, dua, tiga, LorezQ ....” Aku menyuarakan teriakan yang disahuti oleh teman-temanku, “Hebat, bisa, juara! Huhah! Pedes kali!”
Seruan itu berakhir saat kami menghentikan dance dengan sempurna, membuat setiap pasang mata bertepuk tangan. Bahkan seluruh juri berdiri, memberikan sebuah tepukan yang membuat mereka terkesima dengan dance kami.
Aku tersenyum simpul, senang, bahagia, bercampur dalam diriku saat ini. Aku berhasil membuat geng kita menjadi sorotan semua penonton.
Geng aku dan teman-teman berhasil mencuri perhatian. Membuat sebuah gerakan yang menakjubkan dengan sempurna.
“Wah-wah ... Keren sekali ya, penampilan dari geng LorezQ, beri tepuk tangan sekali lagi!” seru MC yang datang dari balik panggung sembari berjalan ke arah aku dan teman-teman.
Aku dan teman-temanku kembali ke posisi semula, berdiri tegap di dekat MC, menunggu hasil penilaian juri, “Baik, sudah cukup tepuk tangannya, kita sekarang ke penilaian para juri.”
“Silahkan beri nilai para juri untuk geng LorezQ ini,” ujar MC yang mempersilahkan para juri memberikan penilaian.
Ada tiga juri yang duduk di depan kami, mereka semua berbarengan untuk mengeluarkan satu papan angka ke atas, dan saat mereka menghitung bersama-sama sampai angka ketiga, semua juri menunjukkan papan angkanya.
Dan, betapa terkejutnya geng kita mendapatkan nilai sempurna, “Wow, semua juri memberikan diangka 9 dan 10, luar biasa!”
Semua penonton, juri, dan MC memberikan tepuk tangan yang meriah. Aku dan teman-teman ikut bertepuk tangan dengan penuh keterkejutan kami, meski kami sering memenangkan lomba.
Tapi, kali ini adalah sesuatu yang berbeda. Sebab, kita mendapatkan nilai hampir sempurna bahkan sudah sempurna bagi aku dan teman-temanku.
Aku dan teman-temanku dipersilahkan turun panggung oleh MC. Aku yang masih tak percaya, hanya bisa terduduk lemas di kursi tunggu sebelumnya.
“GILAKK! HAMPIR SEMPURNA GAIS!” histeris Alya yang masih terkejut dengan penilaian juri tadi.
“Parah sih, gue pikir tadinya dikasih 8 atau 9, biasanya juga gitu, tapi kali ini anjir banget, kita dapet 9 dan 10,” sahut Tara yang tak kalah hebohnya.
“Keren sih kita,” timpal Via yang ikut mendudukkan diri di sebelahku.
“Good luck buat kita semua, gue seneng banget sama penilaian tadi,” ujar Devi yang menampakkan ekspresi bahagianya dengan senyuman tipis di bibir.
“Penontonnya juga pada kagum sama kita,” ujar Via yang ternyata sepemikiran denganku.
“Sama Vi, gue juga mikir gitu,” sahutku yang diangguki semua teman-temanku.
“Pecah parah! Gue berasa kayak idol korea coba! OMG! Bisa-bisa gue dilirik agensi dong, aaaa!” heboh Alya dengan teriakan dan ocehannya.
Aku dan tiga temanku lainnya, hanya bisa tersenyum melihat kelakuan Alya. Hingga aku sudah gatal mulutnya untuk menyahutinya, “Ya, please tobat!”
“Iri mulu lo, Can!” seru Alya padaku.
“Cantika kagak iri, Memun! Cantika lagi kasih tahu kenyataan sama elu!” ujar Tara pada Alya yang membuat Alya cemberut.
Devi tertawa, lalu menimpali kata-kata Tara, “Nah betul tuh apa yang dikatain Tara, udahlah Ya, lo agensinya ikut kita-kita doang, realistis ya, Memunnya kita.”
Aku tertawa saat mendengar panggilan Memun yang diberikan kepada Alya, sebab dia seperti salah satu tetangganya yang bernama Memun. Suka sekali berteriak dengan kehebohannya.
Saat aku dan teman-teman sedang bercanda ria, tiba-tiba pengumuman diumumkan oleh MC, secepat itu telah berlalu begitu saja.
“Kita panggil juara tiga yang dimenangkan oleh ....” Suara MC itu menggantung.
“Forxi Dancer! Berikan tepuk tangannya!” seru MC diiringi dengan tepuk tangan yang diberikan penonton oleh kelompok dance tersebut.
“Oke, kita ke juara dua kita yang dimenangkan oleh ....”
“Powpow V! Berikan tepuk tangannya!” seru MC itu membuat kita semakin tegang.
Juara tiga dan juara dua sudah diumumkan, kini tinggal giliran juara satu yang akan diumumkan. Dan, saat kami tengah berdoa, MC mulai mengumumkan kembali siapa juara satu.
“Nah-nah, pasti kalian sudah bisa tebak juara satu nya siapa? Ada yang bisa tebak?” tanya MC itu pada semua penonton.
Sebagian ada yang berteriak geng aku dan teman-teman, dan sebagiannya lagi meneriaki geng Cyv Skyber.
Mereka geng yang cukup sering mengikuti kontes juga, seperti kami. Dan, mungkin saja kali ini dimenangkan oleh mereka. Tapi, aku harus optimis bahwa geng kita yang akan memenangkannya.
“Juara satu dimenangkan oleh ....” Suara MC Itu selalu digantungkan agar semuanya penasaran dengan siapa si sang juara 1 dancer kali ini.
“LorezQ!” seruan itu membuat aku berteriak, disusul dengan teriakan temna-temanku.
“AAAAAA!” teriak Alya heboh.
Aku dan teman-teman menuju panggung, menerima hadiah yang diberikan para juri pada kami.
“Beri tepuk tangannya untuk semua juara!” seru MC itu yang membuat kita semua yang berada di panggung merasa speechless.
Hari ini, LorezQ kembali tercatat sebagai geng dance yang memenangkan kembali gelar juara satu kami. Aku bangga memiliki geng yang punya solidaritas, kemampuan, dan semangat yang tinggi seperti teman-temanku ini.
Aku berlari menyusuri jalanan besar di tepiannya, sambil sesekali melirik jam tangan, “Astaghfirullah udah mau masuk.”
Aku mempercepat laju lari, napas tersengal-sengal pun tak kupikirkan, kaki rasanya kram. Tapi, waktu tak bisa dibantah, dan semakin bertambah tiap detik dan menitnya.
Tepat pukul 7 pagi, aku berhenti di depan gerbang SMA Garda. Aku bernapas sejenak sambil meremas pupuku yang nyerinya tak karuan.
Pak Satpam mendekat dan berkata, “Langsung masuk, gerbang mau ditutup!” Aku mengangguk dan masuk ke dalam.
Kembali berjalan dengan langkah lunglai, saat sampai di kelas XI IPA 1, aku langsung mendudukkan diri di kursi legend yang bersebelahan dengan Via.
“Nggak dianter lagi sama Kak Johan?” tanya Via yang menatapku dengan tatapan redup.
Aku mengangguk, “Biasalah, dia begitu kalau udah ditelepon sama doinya.”
Via mengangguk tanpa ekspresi, “Gitu sih emang rata-rata cowok, nggak mau kehilangan.”
“Ya tapi, gue adeknya, lagian gue juga mau ke sekolah,” ocehku yang mengundang Tara dan Alya merapat di mejaku.
“Coba-coba cerita, Can,” tutur Alya yang kepo setengah mati, sampai-sampai rela menarik kursinya mendekat ke arahku.
“Iya cerita dong, Can, kepo nih!” timpal Tara yang juga kepo.
Aku menghela napas berat, menatap satu per satu mereka, dan mulai menceritakannya, “Jadi gue tadi mau berangkat sekolah, tapi ... Kak Johan tiba-tiba dapet telepon dari Kak Tina buat jemput dia secepatnya, jadi ya udah gue ditinggal. Mana gue prepare sekolah tuh harus berulang-ulang, lo tahu sendiri gue kek gimana.”
Tara, Alya, dan Via mengangguk, serentak memberikan elusan di pundakku. Hingga Alya berkata, “Sabar ye, nasib anak kedua biasanya emang selalu apes.”
“Gue anak kedua, tapi nggak apes,” timpal Devi yang langsung duduk di pangkuan Alya sambil memakan snack ringan.
“Sianjir, dateng-dateng malah duduk di pangkuan gue, badan lo berat, Dev!” pekik Alya yang mendorong tubuh Devi.
“Ck, badan lo lebih berat kali Alya!” cibir Devi yang membuat Alya memalingkan wajah.
“Udah ah, ribut mulu kerjaan kalian, capek nih gue! Lari-lari kayak orang marathon!” seruku yang meluruskan kaki sambil memijatnya perlahan-lahan.
Kaki ini rasanya seperti mau lepas dari tubuh, sakit sekali. Belum lagi napas masih harus diatur agar kembali normal.
Tak lama setelahnya Bu Farah datang, membawa setumpuk buku yang berada digenggaman tangannya.
Alya, Tara, dan Devi pun langsung kembali ke tempat duduknya masing-masing. Teman-teman sekelasku yang lainnya pun begitu.
Kita memberikan salam dan kembali diam mendengarkan apa yang dikatakan Bu Farah. Dia adalah guru Matematika kita semua, dan dia orangnya sedikit baik, tapi tak berekspresi.
Mungkin beban rumus Matematika membuatnya kehilangan ekspresi dihidupnya atau mungkin memang sudah begitu sedari lahir.
Aku menepis teori konspirasi ekspresi Bu Farah yang memang tidak ada sama sekali, hingga tiba-tiba namaku disebut oleh Bu Farah secara mendadak, “Cantika Audya, maju.”
“Hah? Saya Bu?” tanyaku pada Bu Farah.
“Iya kamu,” jawabnya yang membuat diriku meneguk saliva.
Aku bangkit dari duduk, berjalan mendekat ke arahnya. Dia pun menyerahkan buku yang bersampul cokelat, “Nilaimu meningkat, rajin belajar ya.” Aku mengangguk, dan kembali duduk dibangku.
Satu per satu siswa dan siswi dia panggil, ditambah wejangan untuk meningkatkan belajarnya. Kupikir tadi dia bisa membaca pikiranku.
“Can, nilai lo berapa?” tanya Via padaku.
“Nggak tahu, nggak lihat, males,” jawabanku membuat Via menggelengkan kepalanya.
“Aneh banget temen gue,” cicitnya yang langsung diam, dan membuka buku.
Pelajaran pun dimulai, saat pembagian buku masing-masing siswa dan siswi sudah. Materi yang disampaikan Bu Farah memang masuk, tapi saat diberikan soal, semua materi itu seakan lenyap dari otak ini.
Aku hanya bisa mengetuk-ngetuk meja, berharap waktu cepat berlalu, dan berganti pelajaran olahraga.
Mungkin doa dari siswi yang terzolimi sepertiku cepat terkabul, bel berbunyi nyaring. Pergantian jam pelajaran pun membuat senyum mekar di seluruh siswa dan siswi terpancar.
Bu Farah mengakhiri pelajarannya, dan bergegas keluar. Benar-benar guru ajaib yang tanpa ekspresi sedikit pun.
Aku mengambil baju olahraga dari dalam tas, dan menuju kamar mandi bersama Via, Tara, Alya, dan Devi.
Kita berganti baju secara bergantian. Setelah semuanya siap, kita kembali ke kelas menaruh baju seragam hari Kamis kita di loker masing-masing, dan kembali bergegas menuju lapangan untuk melakukan pemanasan.
Hari ini materinya bermain basket secara berkelompok, tentu saja kelompokku adalah mereka teman geng LorezQ. Kita mendapatkan lawan main dari kelompoknya Sabilla.
“Gais, kita harus menang,” tuturku saat kita dipersilahkan untuk memulai permainan.
“Harus dong ...,” ujar Devi yang bersemangat, diangguki oleh aku dan teman-teman.
“Ayok Alya, Devi, Tara, Via, Cantika. Jangan ngerumpi terus!” pekik Pak Bondo yang membuat aku dan teman-teman membeo, “Iya, Pak.”
Aku dan teman-teman berkumpul, berdiri di tempatnya masing-masing. Mempersiapkan ancang-ancang dari lawan main.
Saat bola basket di lempar oleh wasit yang tak lain adalah Pak Bondo sendiri, aku langsung merebut bolanya. Men-dribble dan mengopernya ke Via yang kemudian di oper lagi ke Tara dan terakhir dioper ke Devi yabg berada dekat di area keranjang.
Dan, Devi menerima bola, lalu memasukkannya dengan lemparan indah. Bola itu masuk sempurna ke dalam keranjang.
“Poin satu untuk tim Cantika Audya!” teriak Pak Bondo, ditambah seruan-seruan dari beberapa teman sekelasku yang menyorakkan semangat.
Kini, kita berebut bola dengan tim lawan. Tapi, lagi-lagi tim aku bisa merebut, dan mencetak poin.
Poin-poin diantara tim aku dan tim Sabilla terus bertambah, hingga pada akhirnya tim aku yang berhasil merebut poin terakhir. Di mana poin itu yang membuat kami menang.
Kemenangan ini membuat tim aku bersorak-sorai, sedangkan tim lawan kecewa. Tapi, ini hanya pelajaran jadi mereka tidak mempermasalahkannya.
“Gais, menang dong!” seruku yang membuat mereka tersenyum.
“Mantap,” sahut Tara yang menampakkan kebahagiannya.
“Geng LorezQ ... Hebat, bisa, juara! Huhah! Pedes kali!” Sorak aku dan teman-teman dengan suara rendah, diakhiri dengan tawa renyah kita.
Kemenangan adalah milik Geng LorezQ, kita harus bisa merebut kemenangan itu agar menjadi milik kita. Tentunya dengan usaha, bukan karena memampangkan nama saja.
Aku, Alya, Tara, Via, dan Devi. Kita semua memiliki ambisi masing-masing untuk mencapai target dan goals kita. Dan, kebetulan kita memiliki goals dan target yang sama. Membuat kita menjadi tim kesatuan yang utuh.
Aku bahagia bertemu dengan mereka yang memiliki ambisi sama denganku, jadi aku bisa berjuang bersama tanpa harus berjuang dengan sebuah kesendirian.
Bagiku ... tim adalah teman seperjuangan, sahabat, dan keluarga yang harus solidaritas tanpa batas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!