Ketuk palu majelis hakim meluluh lantakan dunia Lavita Aurora, perempuan cantik dan mungil itu harus menerima kenyataan rumah tangganya harus berakhir dalam perceraian.
Setelah berjuang dan memendam segala rasa sakit sekian lama akibat suaminya doyan selingkuh, pada akhirnya Vita demikian ia dipanggil harus menyerah.
Pernikahan yang telah terbina hampir sepuluh tahun itu harus kandas karena tabiat Arya yang suka berselingkuh itu tak juga berubah meski Vita telah memaafkannya berulang kali.
Dengan langkah gontai Vita keluar dari ruang sidang, tujuannya hanya satu, rumah kontrakan sempit ditengah kampung yang ia sewa saat ini.
Tinggal di Jakarta seorang diri (awalnya bersama suami dan anaknya meninggal ketika berusia satu tahun) praktis tidak ada yang bisa menemani dan menghiburnya saat ini.
Bahkan perceraian dirinya dan Arya saja hanya Inez satu-satunya keponakannya yang ia beri tahu, dan juga Wulan sang sahabat, selain kedua orang itu tak ada satupun orang yang tahu.
Untung saja Vita punya karier yang bagus, walaupun jabatannya hanya seorang Supervisor, tapi gajinya cukup besar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seorang diri.
Awalnya Vita dan Arya memiliki rumah dan mobil, tapi lagi-lagi Vita harus mengalah merelakan semua itu untuk mewujudkan impian Arya yang kadang diluar logika itu.
Berulang kali gagal dalam usaha, tak mengurangi kadar cinta dan sayang Vita kepada Arya, bahkan terkadang Vita merelakan dirinya jadi tulang punggung agar kehidupan keluarganya layak.
Tapi apa nyatanya, bukan balasan setimpal yang ia terima, justru Arya semakin menjadi-jadi dan puncaknya mulai berselingkuh.
Sekali dua kali, Vita mencoba memahami dan memaafkan, tapi apa balasannya? Tak ada, yang ada justru kelakuan Arya semakin menjadi.
Puncak kesabaran Vita berakhir ketika Arya berani menikah lagi dibelakangnya, tanpa rasa bersalah, hanya mengatakan bahwa lelaki itu mencintai dirinya dan istri mudanya itu.
Jawaban apaan itu? Jawaban yang hanya menguntungkan dirinya, bahkan ketika Arya tahu Vita menggugat dirinya, lelaki itu tidak berusaha untuk menahan dan berjuang mempertahankan dirinya.
"Sudah sampai mbak," tegur driver taksi online yang ia tumpangi, membuyarkan lamunan Vita.
Tanpa terasa taksi online yang membawanya kembali ke rumah telah sampai ke ujung gang.
Lavita menyerahkan ongkos seperti yang tertera di aplikasi, setelah mengucapkan terima kasih, Vita lalu bergegas turun dan menutup mobil tersebut.
Bergegas memasuki gang sempit akses menuju rumah kontrakannya, sengaja menghindari pertanyaan tetangga yang kepo melihat dirinya pulang ke rumah ketika hari masih terang.
Vita buru-buru membuka kunci pagar kecil depan rumah, ketika sapaan bude Ningsih mengagetkannya.
"Lho nduk tumben jam segini udah nyampai rumah?"
Bude Ningsih adalah tetangga samping rumahnya yang terbilang paling dekat dengan dirinya, disamping orangnya memang baik, bude Ningsih tidak pernah kepo dengan urusan orang lain.
"Hari ini putusan bude," jawab Vita lirih.
Bude Ningsih terperanjat, tak menyangka bahwa proses perceraian Vita dengan Arya bisa secepat ini.
Jujur bude Ningsih merasa prihatin dan kasihan dengan Vita yang seakan hidup sendiri, sejak perempuan cantik itu pindah di kampung ini, hanya sesekali Arya datang mengunjungi, bahkan bude Ningsih tidak dekat dengan Arya.
"Yo wis sana masuk rumah, tenangin diri, kalo mau cerita ke bude jangan sungkan yo nduk," kata bude Ningsih dengan nada khawatir dan prihatin.
"Saya masuk dulu ya bude," pamit Vita, langsung menghambur ke dalam rumah lalu menutup pintu.
Vita berlari dan menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidurnya dan menangis dengan suara tertahan.
Semua sudah berakhir, hidupnya terpuruk.
Akhirnya Vita sampai juga ke tempat kerjanya, setelah berjibaku dengan padatnya jalanan ibu kota yang selalu jadi alasan klasik sebagian warganya dalam menjalankan aktivitasnya.
Vita membenahi riasan wajahnya dan setelahnya langsung menuju ke dapur, seperti biasa dia perlu secangkir kopi pekat untuk memulai harinya, ya semacam mood booster drink buatnya.
Vita sengaja berdiri di depan pintu pantry yang tertutup rapat itu sambil mendengar bisik-bisik orang di dalamnya yang lagi asyik berghibah.
Penasaran, akhirnya Vita mendorong pelan pintu yang tertutup rapat itu, lalu melongokan kepala ke dalam ruangan sempit berukuran kurang dari empat meter persegi itu.
Ketiga temannya sontak memalingkan wajahnya ke pintu yang terkuak, menatap Vita malu, seolah-olah kaya orang yang ketahuan lagi melakukan kejahatan saja.
"Eh mbak Vita, mau bikin kopi mbak?" Sapa Iroh, office girl yang biasanya melayani karyawan di tempatnya bekerja.
Vita lalu ikut masuk ke dalam pantry sempit itu. "Pada ngomongin apa sih bisik-bisik gitu?" tanya Vita penasaran.
"Emang mbak Vita belum tahu berita yang lagi heboh kemarin?" tanya Sari, staff dari departemen Keuangan.
Vita menggelengkan kepala, ya emang dia beneran tidak tahu apa-apa sih.
"Kemarin kan mbak Vita cuti, pasti nggak denger kabar yang sekarang lagi heboh dan menggemparkan seisi kantor ini," bisik Iroh takut ada yang mendengar perkataannya.
"Oh pantes aja," sahut Sari
"Apaan sih? Jadi tambah kepo!" ujar Vita gemes, ngomong pada muter-muter.
"HRD lagi open PD mbak," jawab Tyas yang dari tadi cuman menyimak.
"PD? Maksud lo pensiun dini Yas?" tanya Vita terkejut, dan langsung berubah exciting mendengar informasi tersebut.
"He eh, siapa aja boleh ngajuin, tapi nggak ada yang mau." jelas Tyas lagi.
"Jadi bukan ditunjuk?" Vita menegaskan lagi.
Tyas, Sari dan Iroh serentak menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Vita.
"Betewe itungan berapa? Pada tahu nggak?" tanya Vita semakin tertarik.
"Enam puluh kali gaji mbak!" jawab Iroh cepat.
"What?!" pekik Vita tertahan.
"Beneran mbak segitu menurut info yang beredar."
"Itungan segitu nggak ada yang tertarik?" gumam Vita bingung.
"Ya iyalah mbak, enam puluh kali gaji kan cuman setara lima tahun kerja, nggak dapet bonus, nggak dapet THR, siapa coba yang tertarik ninggalin perusahaan yang sehat sentosa kayak gini," terang Sari di dukung oleh temen yang lain.
"Tapi kan ini enam puluh kali gaji guys, bikin ngiler banget," kata Vita semakin bersemangat.
Tahu dong lagi banyak masalah, lagi pengen melarikan diri, eh ada tawaran kayak gini, siapa yang tidak tergiur coba.
"Mbak Vita tertarik?" tanya Tyas bingung dengan antusiasme Vita.
"Iya mbak Vita tertarik mbak?" tanya Iroh setelah Vita tak menjawab pertanyaan Tyas.
Tak menjawab, Vita bergegas keluar dari pantry dan menuju ke ruangan managernya.
"Mbak Vita.... kopinya!" panggil Iroh menatap kopi yang sudah diseduh oleh Vita tadi ditinggalkan begitu saja.
Tyas, Sari dan Iroh saling tatap, otak mereka langsung loading, nggak mungkin kan Vita yang notabene karyawan berprestasi itu berminat mengajukan diri.
Tapi bisa saja kan, namanya dunia kerja, yang tak mungkin bisa menjadi mungkin, sesuatu penawaran yang menurut orang lain tak menarik bisa aja menurut yang lain menarik.
So.... lihat aja ke depannya ada berita apa lagi.
Vita bergegas menuju ke ruangan managernya, mengintip ke dalam ruangan melalui kaca kecil di samping pintu.
Setelah memastikan pak Hans ada di dalam ruangannya, Vita lalu mengetuk pintu di depannya, tak dipersilakan masuk Vita langsung nyelonong begitu saja.
Pak Hans menatap padanya, seperti biasa Vita langsung duduk di kursi yang tersedia terhalang meja kerja pak Hans.
"Ada apa Vit, tumben kamu belum sama panggil udah setor muka," ledek pak Hans lalu kembali menatap layar laptop.
"Nyindir nih pak?" celetuk Vita cengengesan, see.... sebenarnya hubungan atasan dan anak buah ini tidak sekaku hubungan kerja orang lain, meskipun Vita masih menjaga jarak tak mau masuk ke ranah pribadi mereka.
"Emang bener kan? Kamu saya panggil aja masih suka ntar sok ntar sok mulu, jadi nggak salah dong kalo saya heran kamu ngadep tanpa saya panggil."
Vita mengerucutkan bibirnya, mau menyanggah tapi ada hal lain yang lebih penting yang mesti ia sampaikan, mudah-mudahan nih bapak nggak ngereok ngedenger ucapan Vita.
"Iya deh pak saya minta maaf, tapi saya mau bicarain hal lain," kata Vita menghentikan debat kusir mereka.
"Serius amat sih Vit, saya jadi khawatir nih," kata Pak Hans menatap intens Vita.
Vita mengangguk. "Bapak udah denger tentang PD belum?" tanya Vita kembali ke mode serius.
"Kenapa emang?" pak Hans menatapnya tak suka.
"Dih bapak ditanya balik nanya ih!" ketus Vita pelan.
"Kamu nggak berniat ambil kan?" tanya pak Hans dengan tatapan menyelidik.
"Sayangnya saya tertarik pak," jawab Vita seraya menundukkan kepala dalam, tak berani menatap bosnya.
"Kenapa? Kamu nggak suka jadi anak buah saya? Gaji kamu kurang?" Cecar pak Hans dengan suara datar cenderung malas.
Gimana nggak shock, anak buah yang berdedikasi, loyal terhadapnya, pinter pula, mau resign, yang bener aja kan? Padahal selama ini bisa dikatakan Vita dan Hans adalah soulmate dalam pekerjaan, ama yang dimau dan diminta Hans pasti Vita bisa mengerjakan, tanpa banyak tanya pula.
"Bukan itu pak," sahut Vita cepat.
"Lalu?"
Vita menghela nafas dalam, lidahnya sebenarnya kelu kalo harus menceritakan masalah pribadinya, karena memang selama ini hubungannya dengan atasannya ini murni hubungan kerja, tak pernah masuk ke ranah pribadi, apalagi curhat-curhatan, nggak pernah sama sekali.
"Saya pengen pergi dari Jakarta pak," sahut Vita akhirnya mengungkapkan kenyataan yang ada daripada dia ditahan oleh pak Hans.
Hans mengeryitkan keningnya bingung, Vita ngomongnya muter-muter kayak gasing. "Coba ngomong yang jelas Vit, saya nggak paham maksud kamu!"
Sekali lagi Vita mengambil udara untuk memenuhi paru-paru nya, terus terang dia butuh pasokan oksigen untuk memenuhi otaknya agar bisa berbicara bener dihadapkan atasannya.
"Sebenarnya saya sudah divorce pak.. " kata Vita lirih, malu, aseli dirinya malu harus jujur seperti ini tentang rumah tangganya yang berantakan.
"Jadi selama ini...." Perkataan Hans mengambang di udara, dia menatap Vita yang menundukkan kepala seolah malu dengan aib ini.
"Iya, saya sering cuti karena ngurusin perceraian saya pak, dan jujur saya kepengen pergi dari Jakarta, melupakan semua yang telah terjadi."
"Lalu kamu mau kemana dan ngapain?" tanya Hans tegas, lebih ke peduli sih suaranya.
"Saya kepengen pindah ke kota lain pak, nah mumpung ada program ini, makanya saya ambil, boleh ya pak?" Vita menatap Hans dengan tatapan memohon.
"Sudah kamu pikirin masak-masak? Memulai dari nol itu nggak gampang lho Vit, terus terang saya sudah cocok kerja sama kamu."
"Saya mohon pak."
Kini giliran Hans menarik nafas berat. "Oke saya kasih waktu seminggu buat kamu mikir, toh program ini dibuka akhir bulan, jadi kamu pikirin dulu, dan kalo kamu sudah mantap, saya tidak bisa menolaknya."
"Terima kasih ya pak, you are the best pokoknya." Pekik Vita kesenengan.
"Udah sana keluar, kamu pagi-pagi bikin mood saya jelek! Laporan yang saya minta kemarin cepet bawa sini, mau saya pakai meeting nanti siang!" ketus Hans.
Vita mengangkat tangannya membentuk tanda hormat lalu pergi dari hadapan Hans.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!