Entah sudah berapa lama Vania menatap kalender yang tergantung di belakang pintu kamarnya. Hampir berulang kali ia menghitung bahwa kali ini ia tidak salah hitungan. Sudah satu minggu ia telat datang bulan. Vania pun mulai merasakan sesuatu yang berbeda dari tubuhnya.
Ia mengelus perutnya yang masih rata "apa kamu sudah hadir sayang ?" Ucapnya dengan pelan. Senyum di bibirnya langsung mengembang kemudian menoleh ke arah sang suami yang masih terlelap di atas ranjang tempat tidur.
"Sayang, sepertinya kali ini kita berhasil" Vania bergumam, raut kebahagiaan begitu terlihat di wajahnya.
"Tapi aku harus memastikan semua ini dulu, sebelum memberi tahu mas Devan"
Dengan senyum masih mengembang di bibirnya, Vania berjalan menuju kamar mandi untuk mandi. Seperti biasa hari ini ia akan kembali ke toko roti miliknya yang jaraknya lumayan dekat dengan tempat tinggalnya bersama Devan.
Pernikahan nya dengan Devan sudah berusia dua tahun, tapi sampai sekarang Vania belum juga mengandung. Padahal baik Vania maupun Devan tidak ingin menunda untuk mendapatkan momongan hanya saja takdir belum berpihak pada mereka.
Setelah mandi dan bersiap, Vania pamit pada sang suami yang juga sudah rapih dengan pakaian kerjanya.
"Hati-hati mas, kabarin kalau malam ini pulang terlambat" ucap Vania usai mencium punggung tangan sang suami.
"Iya sayang, kamu juga hati-hati !" Balas Devan sambil mendaratkan satu ciuman di kening istrinya.
Usai berpamitan Vania langsung pergi, hari ini Devan tidak bisa mengantar nya ke toko roti karena selain beda arah, Devan juga ada meeting pagi ini. Tidak masalah bagi Vania karena memang jarak rumah dengan toko rotinya tidak terlalu jauh.
Setiba di toko roti, seseorang sudah menunggu kedatangan Vania. Dia adalah dokter Karmila sahabat sekaligus dokter pribadi yang membantu Vania selama ini.
Memang tadi Vania yang meminta wanita itu untuk datang, ia ingin menjelaskan pada Karmila tentang haid nya yang sudah terlambat seminggu.
"Ada apa kau memintaku kesini Van ? Kenapa kita tidak bicara di klinik saja ?" Tanya Karmila setelah Vania duduk di hadapannya.
"Aku terlambat datang bulan, dan aku merasa ada yang berbeda pada tubuhku" jawab Vania langsung pada intinya.
Karmila terdiam sejenak, ia menatap wajah Vania dengan intens. Selama ini Karmila paham tentang kondisi Vania yang ingin segera hamil.
"Apa kamu sudah melakukan tes ?" Tanya Karmila lagi.
Vania langsung memalingkan wajahnya menatap ke arah lain "Apa aku harus melakukan itu Kar ? Bukankah tes kehamilan tidak begitu akurat" ucap Vania dengan raut wajah sedih.
"Tapi kamu harus tetap melakukan nya Van, itu adalah salah satu hal tercepat untuk mengetahui kalau kamu benar-benar hamil" Karmila memegang tangan Vania dengan lembut, ia paham kenap Vania tidak ingin melalukan testpack. Wanita itu pasti takut dengan hasilnya.
"Aku takut kalau hasilnya hanya garis satu"
Helaan napas panjang Karmila keluarkan, benar saja dugaan nya kalau Vania takut dengan hasil tes. Tapi apa salahnya untuk mencoba bukankah Vania mengatakan kalau ia sudah telat datang bulan.
"Tidak perlu takut Van ! Bukankah kamu sudah telat datang bulan dan kamu juga merasakan keanehan pada tubuhmu. Mungkin saja kali ini kamu benar-benar hamil"
"Aku tidak bisa Karmila, aku takut mas Devan melihat tes itu dan dia kembali kecewa"
"Aku mengerti kondisi kamu Van" Karmila menepuk lengan Vania dengan lembut "Tapi tidak ada yang perlu di khawatirkan, kamu dan Devan sudah memeriksakan kondisi kalian dan hasilnya semuanya bagus" sambungnya lagi, ia berharap kesedihan di mata Vania segera hilang.
"Aku tahu itu Kar" balas Vania dengan suara tersedat, seperti biasa ia selalu menangis jika membahas masalah kehamilan. "Tapi kenapa sampai sekarang aku belum juga hamil, padahal aku dan mas Devan sudah menikah dua tahun. Ibu mertuaku selalu menanyakan kapan aku hamil dan aku tidak tahu harus menjawab apalagi, dia terus meminta cucu padaku dan mas Devan, hingga semua itu membuat mas Devan stres" sambung Vania lagi, ia menatap wajah Karmila.
"Mungkin sekarang sudah waktunya, dan dia benar-benar sudah ada di rahim kamu" ujar Karmila sambil memberikan senyum meyakinkan pada Vania.
"Aku sangat berharap kalau aku hamil sekarang Kar, mas Devan sangat menginginkan seorang bayi. Apa kamu tahu saat terakhir kali aku melakukan tes dan hasilnya negatif mas Devan begitu terpukul, dia tidak mau bicara padaku. Bahkan mas Devan mengurung diri di kamar sepanjang hari" jelas Vania dengan air mata yang semakin deras membasahi pipinya
Mendengar hal itu Karmila menghela napas panjang, ia pun kembali menjawab "aku tidak menyangka kalau Devan seperti ini, padahal seingatku dulu Devan adalah pria yang baik"
"Tapi sekarang dia berubah Kar" sekarang tangisan Vania semakin menjadi, wanita sampai terisak beruntung toko rotinya sedang sepi "Sepertinya memang ada yang salah padaku"
Karmila langsung berdiri, mengitari meja dan duduk di samping Vania, ia mengelus punggung Vania dengan gerakan lembut.
"Tidak ada yang salah pada dirimu Van, kamu jangan stres begini, bagaimana kalau sekarang kamu benar-benar hamil dan bayi di kandungan kamu juga akan ikut stres"
Vania menyeka air matanya "Aku sangat ingin hamil Kar, aku tidak ingin Mas Devan seperti itu lagi"
"Kamu dan Devan baru menikah dua tahun Vania, di luar sana banyak pasangan yang menunggu sampai enam tahun" balas Karmila berusaha tersenyum "Sabar ya ! Suatu hari nanti kamu pasti akan hamil seperti yang kamu inginkan"
Vania menatap kepingan cokelat yang akan ia gunakan untuk isian roti, pikirannya melayang jauh mengingat pertemuan pertamanya dengan Devan. Keduanya bertemu saat Vania masih berstatus mahasiswa di salah satu perguruan tinggi. Awalnya Vania menolak kehadiran Devan tapi pria itu terus meyakinkan Vania hingga akhirnya mereka berdua menjalin hubungan selama dua tahun sebelum melakukan pernikahan.
Saat menikah umur Vania masih berusia 19 tahun sementara Devan 21 tahun. Dan sekarang pernikahan mereka sudah berjalan dua tahun. Karena Vania sampai sekarang belum hamil membuat Devan mulai berubah.
"Sebaiknya kamu lakukan tes kehamilan sekarang untuk memastikan tebakan mu" usul Karmila setelah beberapa saat keduanya terdiam "Aku membawa dua alat tes, kamu bisa memakai semuanya" sambung Karmila lagi, sambil mengeluarkan alat tes kehamilan yang berjumlah dua biji dan di berikan pada Vania.
"Aku takut Karmila" ucap Vania, dengan ragu-ragu ia meraih alat tes kehamilan itu "Bagaimana kalau hasilnya negatif"
Karmila menatap Vania dengan senyuman "kalau begitu lakukan USG transvaginal untuk lebih memastikan nya lagi, pegang saja keyakinan kamu Vania ! Jika kamu yakin, insya Allah semua itu terjadi"
Vania menghela napas panjang "Terima kasih Karmila, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku jika kamu tidak ada di sampingku" ucapnya sembari memeluk tubuh Karmila erat-erat.
"Aku dan Mas Devan sudah mencoba berbagai cara untuk hamil selama dua tahun, aku tahu mungkin ini bukan waktu yang tepat, tapi aku takut dengan sikap mas Devan jika aku tak kunjung hamil" sambung Vania lagi.
"Jika nanti masih negatif, kenapa kamu dan Devan tidak mencoba alternatif lain Van ? Coba kamu bicarakan ini sama Devan jika memang dia begitu menginginkan seorang bayi" usul Karmila melepaskan pelukan Vania, ia tatap wanita cantik itu dengan intens.
"Aku sudah memberi tahunya Kar, tapi mas Devan hanya ingin memiliki bayi dengan cara yang alami, bukan dengan program lain". Jelas Vania, ia ingat betul saat Devan menolak usulnya mentah-mentah. Saat dirinya memberi usul untuk program bayi tabung.
"Ya sudah nanti kita pikirkan cara lain, yang terpenting sekarang kamu tes dulu, berdoa saja semoga nanti hasilnya positif" Karmila meraih alat tes kehamilan itu lalu ia letakkan di atas telapak tangan Vania
"Kamu sudah tau kan cara memakainya ?" Tanya Karmila
"Iya aku tau, terima kasih atas bantuan nya Karmila, aku akan menelponmu jika sudah tau hasilnya nanti" jawab Vania .
"Sekarang kamu boleh kembali ke klinik, terima kasih karena menyempatkan waktu untuk datang kesini" sambung Vania lagi.
"Tidak apa-apa Van, aku akan selalu ada untukmu" Karmila berdiri dari duduknya, mengambil tas kecil yang ia bawa tadi. Setelah itu wanita cantik yang bergelar dokter kandungan itu pergi dari toko roti milik Vania.
Setelah Karmila pergi, Vania menatap alat tes kehamilan yang sejak tadi ada di genggaman nya.
"Kapan kamu akan menunjukan garis dua" gumam Vania seraya menahan air matanya supaya tidak tumpah.
Keesokan paginya tepat jam 04 pagi, Vania sudah bangun untuk melakukan tes secara diam-diam. Ia tahu seharusnya ia tidak menyembunyikan semua ini dari sang suami, hanya saja Vania tidak mau melihat Devan kecewa lagi seperti waktu itu.
Vania menghela napas, mengapa semua ini harus terjadi pada pernikahan mereka. Dengan pelan ia melangkah ke kamar mandi dengan testpack di tangannya, kemaren Karmila memintanya untuk menggunakan kedua testpack di hari yang berbeda untuk melihat perbandingan, tapi Vania ingin menggunakannya secara serempak sekarang. Ia sudah tidak sabar menunggu hasilnya.
Vania ingat bagaimana kecewanya sang suami saat hasil tes nya negatif beberapa bulan yang lalu, dan ia tidak ingin melihat kekecewaan itu lagi. Vania menutup matanya setelah memasukan benda persegi panjang itu pada sebuah wadah kecil yang telah berisi air kencingnya, ia sangat berharap tuhan mendengarkan doanya selama ini.
Setelah beberapa menit Vania membuka matanya dan melihat alat tes kehamilan itu. Seketika air matanya langsung menetes dengan deras saat melihat hasilnya.
"Maafkan aku Mas !"
"Kenapa kamu minta maaf ?"
Vania terlonjak kaget saat mendengar suara sang suami, ia pun segera berbalik dan melihat suaminya sedang berdiri di ambang pintu kamar mandi, mata pria itu masih setengah tertutup dengan rambut masih berantakan.
"Mas, ini masih pagi" ucap Vania yang langsung menyembunyikan testpack itu kebelakang tubuhnya "Sebaiknya mas lanjut tidur lagi aja !"
Kening Devan mengkerut saat menatap wajah istrinya "apa yang kamu sembunyikan Van ?" Tanya Devan dan langsung berjalan mendekati istrinya, dan tatapan mata Devan tertuju pada wastafel dimana terdapat bungkus alat tes kehamilan masih disana.
"Apa hasilnya negatif lagi ?"
"Mas" Vania langsung memeluk tubuh suaminya "Maafkan aku !"
Devan tak membalas pelukan istrinya "kenapa kamu yang minta maaf ? Seharusnya aku yang minta maaf karena aku tidak bisa memberi mu anak" bahunya bergetar dan Vania tau kalau suaminya sudah menangis.
"Masalahnya ada pada aku Van, aku tahu itu"
"Tidak mas, jangan katakan itu lagi" ucap Vania sambil mengeratkan pelukan suaminya. "Aku yakin suatu hari nanti kita akan memiliki anak, kita hanya perlu bersabar sedikit lagi"
Devan memegang bahu sang istri dan menarik tubuh Vania menjauh dari tubuhnya "Apa kamu ingat hasil tes lab kita terakhir kali ? Kamu baik-baik saja Van" pria itu menundukkan kepalanya "Sedangkan aku, aku tidak bisa menghasilkan ****** yang sehat" sambungnya lagi.
Vania menangkup wajah suaminya "itu tidak benar mas, jangan terlalu percaya pada hasil tes itu. Aku yakin kamu bisa menghasilkan ****** yang sehat"
Devan menjauhkan diri dari Vania, seolah sedang membangun tembok di antara mereka.
"Jika memang aku baik-baik saja, kamu pasti sudah hamil Vania, dan hasil tes nya tidak mungkin akan negatif terus" ucap Devan sambil merebut testpack itu di tangan Vania "Kamu lihat ini kan ? Dan kamu berusaha menyembunyikan ini dariku"
"Mas...." Vania mulai menangis "Kita bisa melewati ujian ini sama-sama"
"Ujian ?" Ulang Devan, dapat Vania lihat rasa sakit di wajah suaminya itu "jadi sekarang kamu pikir ini adalah ujian"
"Sayang" Vania ingin meraih tangan suaminya, tapi Devan langsung menepisnya "masih ada waktu dan kita bisa mencobanya lagi, mas jangan kehilangan harapan menurut Karmila..."
"Jadi kamu memberi tahu Karmila ? Aku kan sudah bilang padamu untuk menjaga rahasia ini, aku tidak ingin ada yanga tau tentang masalah kita kalau aku tidak bisa membuatmu hamil" Devan memulul tembok dengan keras "Ini sangat memalukan bagiku sebagai suami"
"Mas, tapi Karmila adalah dokter kandungan ku dan dia juga teman kita" jelas Vania "Dia bisa memahami kasus yang kita alami, karena memang itu keahliannya"
"Karmila pasti hanya kasihan padaku" ucap Devan dengan nada kecewa "mungkin dia akan mengatakan kalau kamu tidak beruntung karena menikah dengan pria tidak berguna-"
"Mas itu tidak benar" potong Vania dengan cepat, ia memegang lengan suaminya "aku menikahimu karena aku mencintaimu, dan tidak ada yang akan menguba perasaan itu"
Devan menatap mata istrinya dengan dalam "apa kamu akan tetap berada di sampingku ? Meskipun aku tidak bisa memberi kan keluarga yang kamu impikan ?"
"Mas, kita pasti akan memiliki anak" balas Vania ragu-ragu.
*******
Hari itu juga Vania langsung pergi ke klinik tempat Karmila bekerja, sesuai janjinya kemaren kalau ia akan memberi tahu Karmila apapun hasilnya.
"Negatif" ucap Vania seraya meletakkan testpack itu ke hadapan Karmila.
"Bagaimana dengan tes yang lain ?" Tanya Karmila, namun matanya tetap menatap testpack yang menampakkan satu garis itu.
"Aku belum menggunakan nya"
Karmila mengalihkan pandangannya dan menatap Vania "Kenapa ? Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk menggunakan kedua testpack itu"
"Mas Devan melihatku saat aku mencoba testpack yang pertama"
"Apa dia marah lagi ?"
Vania menunduk dan mengangguk pelan, air matanya sudah menetes membasahi pipinya "dia selalu marah dan mengatakan kalau dirinya tidak berguna sebagai seorang suami, bahkan mas Devan berpikir kalau aku akan meninggalkan nya"
"Itu normal jika Devan merasa hancur dan kecewa, tapi seharusnya sikap Devan jangan terlalu berlebihan seperti ini"
Vania menyeka air matanya "Sekarang mas Devan sering membentakku dan dia sudah mulai menggunakan alkohol" ucapnya sembari menatap Karmila "aku tidak ingin melihatnya seperti ini, karena ini lebih menyakitkan bagiku saat melihat suamiku menderita seorang diri, padahal masalah ini bisa kami hadapi bersama"
Karmila menyandarkan tubuhnya di kursi "Sebaiknya kamu bawa Devan ke psikolog" ucapnya dengan nada rendah.
"P-psikolog ?" Vania mengernyitkan keningnya dalam.
Karmila menganggukan kepalanya "Karena menurutku Devan sekarang terkena depresi"
"Apa kamu sekarang dalam perjalanan ke klinik ?" Tanya Karmila di sambungan telepon "Bagaimana dengan Devan ? Apa kamu sudah memberi tahunya ?"
"A-ku belum memberi tahu nya" balas Vania dengan suara pelan.
"Kenapa ?" Kembali Karmila bertanya, dan Vania dapat merasakan alis wanita itu mengkerut saat mendengar jawaban darinya.
"Terus kamu dimana sekarang ? Hari ini kamu benar akan konsultasi kan ?" Sambung Karmila lagi.
"Aku sedang dalam perjalanan Kar" jawab Vania sambil menghentikan taksi yang sedang ia tumpangi di sebuah taman bermain yang tak jauh dari lokasi tempat dokter psikolog itu berada. "Aku menyuruh mas Devan untuk menemui ku taman bermain"
"Vania, kamu seharusnya memberi tahu Devan terlebih dahulu" ucap Karmila di ujung telepon seraya menarik napas panjang "bagaimana jika Devan tidak setuju dengan rencana ini ?, Aku tidak ingin Devan marah padamu, seseorang yang pikirannya terganggu cenderung melakukan kekerasan"
"Mas Devan, tidak akan menyakiti ku secara fisik Karmila" Vania berusaha meyakinkan sahabatnya "Aku yakin mas Devan masih mencintaiku, jadi dia tidak akan melakukan kekerasan fisik padaku"
"Begitu ya ?" Karmila bertanya dengan nada sinis "Devan bukan lagi pria yang kau cintai Vania, bukankah kau bilang kalau Devan berubah saat kau belum bisa hamil ?"
Vania terdiam sejenak, sementara kakinya terus melangkah memasuki area taman bermain. Apa yang di katakan Karmila benar adanya, kalau Devan bukan lagi pria yang dulu ia cintai. Perubahan sikap Devan begitu besar.
"Dia berubah seperti ini karena aku Karmila, mas Devan berubah karena aku tidak bisa hamil" balas Vania
"Tolong jangan bicara begitu Van ! Kamu harus kuat, aku yakin suatu hari nanti kamu bisa hamil" ucap Karmila lagi.
Air mata Vania meleleh begitu saja, sementara tangan nya menurunkan benda persegi empat itu dari daun telinganya. Ia tidak tahu apa lagi yang harus ia lakukan untuk mengembalikan Devan seperti dulu lagi, Vania tidak ingin melihat suaminya menderita seperti ini hanya karena ia belum hamil.
Saat Vania hendak berbelok menuju taman bermain, tiba-tiba seorang pria yang berjalan cepat menabrak tubuhnya, membuat ponsel yang ada di tangan Vania jatuh ke tanah. Pria itu dengan cepat mengambil ponsel itu dan memberi Vania tatapan minta maaf.
"Maaf !, Nona saya sedang buru-buru jadi tidak melihat anda mau kesini" ucap pria itu dan menatap Vania dengan cemas "apakah anda baik-baik saja ?"
Vania menyeka air matanya, kemudian mengambil ponsel nya dari tangan pria itu "ya saya baik-baik saja" jawabnya sembari menampilkan senyum palsu "dan terima kasih telah mengambilkan ponselku"
Setelah mengatakan itu Vania kembali berjalan melewati pria itu, namun langkahnya langsung terhenti saat mendengar pria itu berbicara.
"Apa anda sedang butuh seseorang untuk di ajak bicara ? Saya pendengar yang baik jika anda mau berbagi" pria itu menawarkan sambil tersenyum.
Vania menghela napas sebelum kembali menjawab "terima kasih tawarannya, tapi aku tidak membutuhkan itu" balas Vania dan langsung pergi begitu saja.
*****
Vania duduk di salah satu kursi taman bermain tersebut, matanya membaca balasan pesan sang suami yang begitu singkat. Hanya ada pesan 'Ok' dan 'OTW' yang di kirimkan Devan, tapi entah sudah berapa kali Vania membacanya.
Setelah menunggu hampir dua puluh menit, akhirnya Vania melihat sang suami sedang berjalan ke arahnya. Jantungnya tiba-tiba berdetak dengan kencang saat melihat sosok Devan. Melihat Devan dari jauh membuat ingatan Vania kembali saat awal-awal mereka bertemu dan jatuh cinta.
Mungkin Devan jauh dari pria yang Vania kagumi sebelumnya, mata cerah dan senyum hangat dari wajah Devan telah menghilang. Karena sekarang pria itu bukanlah Devan yang dulu, yang selalu mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Tapi walau bagaimana pun sikap Devan, tetap saja pria itu adalah orang yang selalu ada di hati Vania.
"Maaf kalau lama menunggu, aku terjebak macet" ucap Devan setelah ia berdiri di dekat Vania.
Vania menatap pria yang di cintainya dengan senyuman hangat, "tidak apa-apa, selama yang ku tunggu adalah kamu aku rela"
Devan membalas senyuman sang istri "ada apa dengan mu Van ?"
Vania menggelengkan kepalanya, kemudian bangkit dari duduknya "aku hanya merindukan mu, mas", ucapnya sambil menahan air matanya, ia pun langsung memeluk tubuh Devan dengan erat "Aku sangat merindukanmu"
Devan membalas pelukan istrinya "Ada apa sayang ? Apa terjadi sesuatu ?"
Vania kembali menggelengkan kepalanya, ia semakin menempelkan wajahnya di dada sang suami "tidak apa-apa mas, aku hanya rindu memelukmu seperti ini"
Devan membelai rambut Vania dengan lembut "Apa kamu mau es cream ? Mungkin kamu rindu makan es cream berdua dengan ku" ucap Devan sembari melepaskan pelukan sang istri.
"Kita akan pergi ke suatu tempat mas "
"Kemana ?"
"Ayo ikut saja, nanti kamu akan tahu"
********
Klinik psikolog yang letaknya tidak terlalu jauh dari taman itu, begitu Devan melihat tanda yang tergantung di pintu planel kaca klinik dengan cepat Devan menarik tangannya yang sejak tadi di genggam sang istri.
"Apa yang kita lakukan disini ?" Tanya Devan mulai cemas.
Vania kembali menarik tangan suaminya "Mas, kita membutuhkan ini, aku tidak ingin kita menjauh karena masalah yang sedang kita hadapi"
"Kita tidak membutuhkan semua ini Vania" balas Devan dengan tegas "Dan kenapa kamu tidak meminta pendapatku dahulu ? Apa aku tidak penting lagi bagimu ?"
"Mas...." Air mata Vania menetes begitu saja "Tolong sekali ini aja kamu dengarkan aku !"
"Aku tidak membutuhkan ini Vania, dan karena keputusan mu ini, kamu membuatku merasa pendapatku tidak lagi penting bagimu" balas Devan kemudian memunggungi Vania, namun dengan cepat Vania memegang lengan Devan.
"Mas, tolong !. Lakukan ini untukku !" Ujar Vania memohon "aku berjanji ini pertama dan terakhir kalinya kita datang kesini"
Devan membalikkan tubuhnya dan menatap mata sang istri, dapat ia lihat kesedihan yang terpancar disana "Ok, tapi kamu harus menepati janjimu" balas Devan yang akhirnya menuruti keinginan sang istri.
"Aku janji mas" ucap Vania dan langsung menarik tangan sang suami, memasuki klinik tersebut.
Vania menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengetok pintu tersebut, beberapa detik kemudian pintu terbuka dan seseorang keluar yang membuat Vania terlonjak kaget.
"Hai" sapa pria yang baru saja membuka pintu dengan senyum ramahnya.
"Hemm, kami ingin bertemu dengan dokter, Rangga Wilson" ucap Vania yang tiba-tiba merasa canggung, karena pria di hadapannya itu adalah pria yang menabraknya di taman tadi.
"Oh, anda pasti Nona Vania Marsela" tanya pria itu dengan senyum lebar di wajahnya "Dan Anda pasti Tuan Devan Abimanyu ?"
Vania mengerutkan keningnya "Ya, dan kami ingin bertemu dengan dokter Rangga"
"Silahkan masuk !" Ucap pria itu mempersilahkan "saya dokter Rangga yang kalian cari"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!