Siang hari ini tanpa mendung dan sang surya memancarkan sinarnya dengan sangat terik. Namun penghuni kota Bandar Lampung tetap tidak melupakan tanggung jawab buat memperbaiki nasib demi anak dan istri di rumah yang menantikan sesuap nasi dan sepotong ayam goreng yang belum tentu setahun dalam sekali mereka bisa nikmati bersama keluarga. Dan bagaikan di pacu oleh semangat membara dengan satu kata "Demi Keluarga" untuk memburu keberuntungan yang mungkin saja bukan milik setiap orang walau usaha sudah di lakukan dengan maksimal akan tetapi semua hanya sebagai sesuatu mimpi dalam harapan yang tidak pernah akan diraih.
Seperti hal nya seorang pemuda bernama Rangga masih di bawah terik sinar matahari yang panasnya menyengat sampai terasa membakar kulit, dia melangkah gontai mendekati halte bis yang terlihat ramai dengan sesak manusia yang menanti sesuatu yang tidak pasti adanya. Sebentar dia mengeluh panjang, sebentar pula dia menghusap jidatnya yang basah oleh keringat. Di tangan kanannya memegang map berwarna merah sembari memperhatikan kendaraan roda empat dan roda dua yang lalu lalang di depannya.
Sebuah mikrolet tua berjalan lirih di depannya bagai hidup segan mati pun tak mau. Dan Rangga tidak ingin menunggu lebih lama lagi di bawah halte bis itu. Karena itu dia segera menyetop mikrolet tua itu lalu menaikinya dan baru saja duduk di dalam mikrolet tua yang berjalan maju dan mundur karena sudah di makan usianya, dari sudut mata Rangga tampak seorang gadis manis nan jelita indah mempesona yang duduk di hadapannya. Di sudut mata Rangga jelas sekali gadis itu telah memberikan isyarat klasik untuk hati agar merespon di dalamnya. Dengan profil sang gadis sedikit berwajah lonjong namun menawan dengan hidung mancung berkesan. Rambut sang gadia terurai harum semerbak di hempaskan angin sepoi-sepoi penuh harap dan matanya bening yang indah bersanding alis yang lentik sungguh sangat-sangat menawan hati setiap orang yang melihatnya dan tidak terkecuali dengan hati Rangga.
Detik-detik selanjutnya tanpa disadari mata sang gadis itu tertumbuk arah pada mata Rangga yang masih menampakkan kekaguman yang sangat akan makhluk cintaan Sang Kuasa terlihat begitu sempurna. Sepintas gadis itu menepiskan muka kesamping, kantas dia tertunduk sebentar. Mata Rangga memandang orang-orang yang ramai berlalu lalang. Tapi sebenarnya, perasaannya hanya tertuju pada gadis di depannya tersebut karena dengan menggerakkan kepala dan menatap ke arah gadis itu, hati Rangga menjadi teramat sejuk bagai kemarau yang panjang menjadi sirna di hempaskan hujan sekali saja.
Matanya yang indah itu memancarkan serobu alasan menjadikan sebuah harapan untuk bisa mendekati atau berkenalan, apalagi di saat Rangga melihat gadis itu menjadi tersipu malu saat mata mereka saling bertemu. Pipinya yang merah jambu ranum membuai angan-angan Rangga ingin mencumbunya dan bibirnya yang senantiasa mengulum basah menggetarkan jantung Rangga menghujam sampai di dalamnya.
Setiap mata mereka saling bertemu, senyuman malu gadis itu menghiasi di wajahnya.
Lalu mata Rangga turun ke bawah untuk memandang betis gadis itu yang ditumbuhi bulu-bulu meremang hitam nan halus. Sepatu coklat tua berhak tinggi sungguh sangat benar-benar serasi dengan lekuk seksi dengan potongan tubuhnya yang indah.
Hanya duduk dalam lanunan dan angan-angan kosong yang bisa dan mampu di perbuat oleh Rangga terhadap gadis itu dan dalam hati Rangga mengharapkan mikrolet tua itu berjalan dengan santai agar agak lama masuk ke terminal dengan begitu Rangga bisa terus memandang kecantikan gadis itu dengan sedikit leluasa.
Rangga berharap mikrolet tua itu akan mogok atau pecah ban dan tidak ada satu pun kendaraan lainnya yang lewat sampai malam, sehingga dia dapat agak lama bersama dengan gadis itu. Bisa saling berbincang-bincang panjang kali lebar kali tinggi dan alangkah damai dan menyenangkan sekali bila hal tersebut bisa menjadi kenyataan. Panas teriknya sinar sang surya siang itu tidak lagi di rasakan Rangga karena setiap kali pandangan matanya bertemu dengan mata gadis itu suasana hati dan kepala menjadi berubah super-super sejuk dan nyaman.
Rangga ingin sekali duduk di sebelah gadis itu akan tetapi perasaan malu yang menahan hati dalam keinginannya.
Rangga mulai resah dan khawatir tanpa sebab yang jelas pikirannya tidak menentu, apa lagi di saat mikrolet tua berhenti dan menaikkan ke dalamnya seorang penumpang laki-laki berkumis tipis. Anehnya, perasaan Rangga seakan-akan di tikam belati yang sangat tajam menghujam jantungnya, bagaimana tidak? Lelaki yang berkumis tipis tersebut duduk di sebelah gadia itu lalu seakan mulai mencari-cari perhatiannya pada hal gadia itu sedang di inginkan oleh Rangga.
Rangga mulai terlihat resah dan gelisah, gadis itu sempat mencuri pandang dengan Rangga dan terlihat tersipu malu yang membuat Rangga menelan ludahnya terasa manis pada hal biasanya tak ada rasa.
Tapi mendadak kemanisan itu berubah menjadi kesulitan untuk melepaskan permasalahannya, saat melihat tangan lelaki berkumis tipis yang duduk di sebelah gadis itu dengan sengaja melingkar di belakang pundaknya. Rangga mendongkol atas sikap lelaki yang duduk di sebelah gadis itu terasa terusik dengan rasa cemburunya akan tetapi Rangga tidak punya kuasa untuk berbuat apa-apa. Dia tak punya hak untuk melarang lelaki itu untuk tidak berlaku demikian. Hanya Rangga memberanikan diri menatap mata gadis itu.
Sorotan mata Rangga tajam setajam silet yang menorehkan luka di kalbu, gadis itu tak kuasa untuk bersitatap lebih lama. Dia merasakan ada sesuatu yang tidak diinginkan dari sorot mata Rangga ya seakan sorotan mata itu di landa kecemburuan yang sangat. Oh...! gadis itu lantas berpura-pura tidak nyaman oleh tangan lelaki yang duduk di sebelahnya.
"Maaf...!" Kata gadis itu sambil menutup jendela dan lelaki berkumis tipis itu hanya tersenyum ramah namun ada sedikit banyak terlihat rasa kecewa.
Gadis itu selesai menutup jendela, melempar pandang ke mata Rangga yang sejak tadi mengawasi hampir tanpa berkedip. Bibir gadis itu mengambang senyuman yang ampuh tiada lawan dan Rangga membalas dengan senyuman penuh arti dalam penyampaiannya.
Lelaki yang duduk di sebelah gadis itu telah cukup lama turun. Meski pun demikian Rangga masih merasa malu untuk memberanikan diri duduk di sebelah gadis itu.
Lelaki apakah aku ini?
Bukankah dia telah memberikan kesempatan dan harapan buatku untuk mendekatinya?
Kenapa aku takut?
Rangga ingin bangkit dan berpindah tempat agar dapat duduk di sebelah gadis itu, namun pantatnya tidak mau juga untuk beranjak dari duduk. Hanya sorot matanya yang penuh bara pesona menghiasi makna tatapan Rangga.
Gadis itu kembali tersipu sambil mengulum senyum dan mata yang nakal sempat singgah pada tonjolan benda lunak yang membusung tertutup kaos biru berlengan pendek. Alangkah menantangnya dan rok bawahan yang panjangnya di bawah lutut berwarna hitam, masih sempat memperlihatkan kakinya yang ditumbuhi bulu-bulu halus yang meremang hitam menciptakan sebuah getaran yang bermasa cukup lama di dalam dada Rangga.
Sebelum mikrolet tua mendekati rambu lalu lintas perempatan lampu merah, gadis itu menyuruh sopir mikrolet tua itu menghentikan mobilnya. Setelah membayar ongkosnya gadis itu sempat melempar senyum manis kepada Rangga dan berlalu turun menuju tempat yang menjadi tujuannya. Rangga seperti merasa kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya sebab pertemuan itu hanya sekali dan sulit untuk bisa terulang lagi.
Bukankah di Bandar Lampung ini banyak manusia dengan segala macam kesibukannya?
Sulit bagi Rangga untuk mengulangi kenyataan yang sangat berkesan di hati itu kembali dan Rangga akan selalu mengingat bahwa hari ini dia berjumpa dengan seorang gadis yang cantik jelita yang sulit untuk dilupakan dalam ingatannya begitu saja.
Ketika mikrolet tua telah memasuki terminal Raja Basah Kota Bandar Lampung. Rangga turun dari mikrolet tua itu dengan bermalas-malasan. Rasa terik sinar sang surya kembali dia rasakan setelah gadis itu hilang dari pandangannya. Tapi kali ini Rangga tidak mau membuang waktu lagi, bergegas dia naik ke dalam bis kota jurusan Raden Intan pada niatnya semula.
Sepanjang perjalanan, Rangga selalu melamunkan wajah gadis itu.
Kapankah lagi perjumpaan itu bisa terjadi? demikian harap Rangga dalam kebimbangan di karenakan gadis itu telah mencabik-cabik hati dan membakar dengan api asmara akan perasaannya.
Rangga tidak bisa menghapus bayangan imajinasinya yang melayang-layang mengitari pikiran seakan-akan logikanya sirna tertutup perjumpaannya dengan seorang gadis yang telah meninggalkan kesan teramat manis, walau hanya dari sekilas berpandangan dan saling tersenyum.
Bagi Rangga kesan manis itu telah terukir di kalbunya tanpa mau perduli dengan kegelisahan yang selalu kembali dan kembali lagi mengganggu kedamaian hati dalam menjalani kehidupannya. Sehingga membuat pemuda ini jadi sosok seorang lelaki yang suka sekali melamun dan duduk menyendiri. Beberapa rekannya satu kampus merasa heran melihat sikap Rangga belakangan ini jauh berubah draktis dan dramatis sekali di bandingkan dengan hari-hari kemarin yang telah pernah terlalui dan dilaluinya.
Ucok mencoba untuk mendekati Rangga dan menegurnya.
"He!...ngapain melamun terus Ngga? Apa semalam kau bermimpi basah banyak sekali sampai-sampai kasurmu banjir?" Gurau Ucok.
Rangga tersentak dan mencoba menoleh ke arah Ucok yang tersenyum mengejek.
"Sialan," Gerutu Rangga setengah mendongkol.
"Lalu apa yang kau lamunkan?" Tanya Ucok.
"Kemarin aku berjumpa dengan bidadari yang turun dari langit Cok, seorang gadis yang cantiknya selangit luas nan biru." Ucok meledak tawanya.
"Di Lampung ini banyak gadis-gadis cantik yang sering bikin kepala pusing, Nggak. Kalau setiap kau berjumpa dengan gadis cantik lalu jatuh cinta, bisa-bisa jadi gila sendiri kau di buatnya!" Sambil berkata Ucok tertawa terpingkal-pingkal.
"Tapi yang kujumpai kemarin sangat luar biasa Cok." Tukas Rangga.
"Sekarang kau bilang luar biasa, nanti ketemu yang lebih cantik berubah lagi. Lalu apa? Super? Kau lelaki bermental oncom Rangga." Ucap Ucok mengejek.
"Diam!" Bentak Rangga keki.
"Hidup di Lampung jangan mudah jatuh cinta, Rangga. Aku kasih saran yang penting kepadamu. Cinta di sini mahal harganya." Ucok berkata seraya meninggalkan Rangga yang masih termangu di tempat duduknya.
Rangga kesal dan teramat mendongkol di tertawakan Ucok dan sangat mendongkol dikatakan Ucok sebagai lelaki bermental oncom. Untung saja tidak di katakan lelaki kacangan yang kampungan, jadi rasa mendongkolnya tidak terlalu sakit.
"Ah!, persetan dengan segala macam Ucok. Pokoknya aku telah berkata dengan jujur, bahwa gadis yang ku jumpai di mikrolet tua itu benar-benar sangat istimewa. Aku telah jatuh hati padanya."
Selesai mengikuti kuliah, Rangga menunggu mikrolet tua jurusan kota. Kalau dahulu Rangga paling senang naik bis kota, sekarang dia beralih senang naik mikrolet tua. Tak lain dan tak bukan, dia hanya bisa berharap dapat berjumpa lagi dengan gadis pujaan hatinya itu. Tapi apa yang mau di kata, pertemuan yang di harapkan justru sulit di alami untuk hari ini dan untuk pertemuan yang berikutnya sulit di pastikan.
Hari-hari yang di lalui Rangga jadi berubah kelabu tanpa semangat untuk menghiasi dengan bunga-bunga harapan yang merekah di taman hati mengeluarkan harum yang membuat semua orang ingin memetinya. Setiap pulang dari kuliah pemuda itu tidak pernah berjumpa lagi dengan gadis itu. Rangga jadi putus asa untuk selalu mengharapkan bisa bertemu dengan gadis yang selalu di impi-impikannya itu.
Sekarang Rangga beranggapan pertemuan nya dengan gadis itu bagai ibarat impian yang indah dalam tidurnya yang saat terbangun semua hanya kosong dan tiada nyata adanya.
Bagaimana mungkin dia dapat berjumpa dengan gadis itu kembali jika tak tahu tempat tinggalnya?
Tak tahu di mana dia bekerja?
Dan tak tahu pula namanya?
Rangga jadi menempelak jidatnya. Kenapa aku ketika itu tidak berani bertanya di mana alamatnya dan siapa namanya?
Demikian keluhan yang terjadi di diri Rangga yang di sertai dengan penyesalan. Namun meski demikian Rangga tidak pernah lepas untuk melalui dan menunggu di tempat halte bis itu.
Kali ini kenyataan itu bukan lagi sekedar angan-angan belaka karena di saat Rangga menyetop mikrolet tua jurusan kota, di dalam oplet itu nampak seorang gadis yang selama ini meresahkan hatinya. Bergegas dia naik dengan jantung yang berdetak kencang dan menentu terus berdetak tanpa ada aturan yang jelas. Rangga memberanikan diri untuk menatap gadis yang duduk di depannya dan hatinya sedikit kecewa, kenapa tempat duduk yang kosong tadi bukan di sebelah gadis itu? Kenapa yang musti kosong di depannya? Aaaah! Keluh Rangga dengan perasaan bimbang yang berada di antara keberanian yang teruji.
Gadis yang duduk di depan Rangga hanya tertunduk malu, namun bibirnya mengulum senyum yang penuh arti. Mata mereka saling bentrok untuk beberapa detik dan hati Rangga benar-benar sangat-sangat super bahagia. Gadis itu sempat tersenyum pada Rangga, aduh haaii...! senyumnya yang sedikit tersipu itu sangat mempesona. Giginya yang berjejer rapi dan putih, bibirnya yang ranum merah merekah ibarat kelopak bunga mawar yang masih segar. Rangga membalas senyuman itu dengan arti ingin bersahabat, ingin dia segera memulai mengajak bicara gadis itu, namun di rasakan suasananya sangat-sangat tidak menguntungkan.
Dengan menahan gejolak perasaan yang tidak kunjung bersabar, Rangga menunggu sampai gadis itu turun di persimpangan dan ternyata apa yang di harapkan oleh Rangga meleset. Gadis itu masih tetap duduk sampai mikrolet tua itu memasuki terminal yang sangat-sangat ramai dengan pengunjung yang hilir mudik tak menentu arah tujuannya. Pada hal Rangga sudah bersiap-siap bila saja gadis itu turun dan akan mencoba mengikutinya. Dengan gesit Rangga membayar ongkosnya, sebelum gadis itu mendahului.
"Sudah ku bayar." Demikian kata Rangga sambil tersenyum ramah.
Gadis itu tidak bisa berbuat apa-apa, dengan perasaan yang canggung dia memasukkan kembali uangnya ke dalam dompet.
"Terimakasih." Sahutnya datar.
Setelah gadis itu turun dari oplet, Rangga mengikutinya dari belakang dan langkah Rangga semakin di percepat guna menyamai langkah gadis itu. Ketika langkah mereka sudah bersisian, Rangga memberanikan diri untuk menegurnya.
"Dari pulang kerja Non?" Tegur Rangga sedikit terasa canggung.
Gadis itu menoleh sekilas, lalu menggelengkan kepala sambil tersenyum. Rambutnya yang hitam legam terurai ditiup angin semilir siang itu, betapa anggunnya penampilannya.
Langkah-langkah kakinya berjalan yang demikian lunak dan semampai membuat keinginan Rangga semakin menggebu-gebu untuk selalu jalan di sisi gadis itu. Siang itu dia memakai kaos hijau muda dengan celana levis yang sedikit ketat membalut tubuhnya. Alangkah indahnya bentuk tubuh gadis itu dengan pinggangnya yang begitu tampak ramping, pinggul meliuk bagaikan gitar spanyol dengan bentuk paha ramping yang amat serasi membuat mata yang memandang akan menelan liurnya kembali saat melihatnya.
"Apa aku boleh tahu namamu?" Tanya Rangga lunak.
Gadis itu tidak langsung menjawab melainkan berjalan dengan tertunduk dan memandangi ujung sepatunya yang berwarna hitam berhak tinggi meruncing. Bukan sepatu yang kemarin dipakai gadis itu, mengingatkan pertama kali dengan semua di perhatikannya dari ujung kaki sampai ujung rambut sehingga Rangga paham benar seperti apa saat pertama berjumpa dengan gadis itu. Yah dia masih hafal betul dengan hari dan tanggal perjumpaan di hari kemarin dan dadanya yang gemuruh akan gejolak perasaan tak menentu, kini di rasa semakin bergelora menahan lerupan-letupan bak kawah yang ingin melepaskan diri dari perut bumi.
"Namaku Rangga. Dan bolehkah aku tahu namamu?" Desak Rangga penuh harap.
Gadis itu menoleh lagi sekilas dan jantung Rangga berdetak keras. "Mata gadis itu alangkah indahnya dan senyum gadis itu alangkah manisnya. Semua yang terdapat pada dirinya banyak menimbulkan daya tarik bagi setiap lelaki. Tetapi kenapa dia agaknya terlalu berat untuk memberi tahu namanya? Adakah sesuatu yang disembunyikan di balik kenyataan yang mempesona itu? Ataukah dia sombong? Ah! kurasa tidak dan nampak wajar-wajar saja!" Suara hati Rangga memberikan pertanyaan yang belum bisa terjawab dalam hati Rangga yang semakin gelisah.
Meski demikian Rangga masih saja mengikuti langkah gadis itu sampai di jembatan. "Apakah namamu terlalu mahal untuk ku ketahui Non?"
Gadis itu tersenyum di kulum mendengar pertanyaan Rangga.
"Tidak." Jawab gadis itu datar.
"Lantas kenapa?" Tanya Rangga lagi.
"Tidak apa-apa." Jawab gadis itu singkat.
Rangga mulai berdecap resah dan gadis itu terlihat meliriknya sepintas. Lalu mereka berdiri bersisian di persimpangan jalan sambil menunggu bis jurusan Raden Intan. Rangga berdiri tercenung sambil memegangi dagunya. Terik sinar mata hari yang menimpa ubun-ubunnya tidak dirasakan lagi karena yang di rasa baginya tidak lain hati dalam kebimbangan dalam pengharapan sesuatu hal yang sepertinya sangat sulit untuk terwujud.
"Kamu mau ke mana?" Tanya gadis itu hingga menyentakkan Rangga dari lamunannya.
"Nggg... ke Jalan Raden Intan!." Jawab Rangga tergagap. Gadis itu berdehem pelan.
"Kenapa?" Tanya Rangga ingin tahu.
"Kita satu tujuan" Sahut gadis itu tanpa menoleh ke arah Rangga berada.
"Apa ruginya sih memberi tahu namamu? Bukan kali aku telah memberi tahu namaku tanpa merasa dirugikan?" Celetuk Rangga.
"Siapa yang menyuruh kamu memberi tahu namamu?" ketus gadis itu.
Herman tidak dapat menyahut karena dia merasa terpojok. Sungguh tak disangka bila gadis itu pintar memutar balik kata dalam bicara yang membuat keadaan bisa berakhir menyedihkan. Maka Rangga hanya bisa garuk-garuk kepala yang sebetulnya tidak di rasa gatal pada saat itu. Itu hanya sekedar improvisasinya belaka untuk menutupi sesuatu kejadian yang tidak di harapkan terjadi atau perkataan yang tidak harus di ucapkan sebab akan membuat pembicara akan menyerah dalam sudut kekalahan.
Mata gadis itu memandang Rangga dengan makna yang dalam, setengahnya menyelidik. Yang kemudian dia merasa bahwa lelaki yang ada di sampingnya ini kelihatan polos dan jujur. Lantas gadis itu memandang Rangga dengan seulas senyum yang ramah dan Herman merasa sedikit sangat-sangat terhibur dengan senyum gadis itu. Yang di rasa detik sebelumnya berlalu penuh kebimbangan berubah draktis 180 derajat seketika berubah dengan keramahan.
"Apakah benar yang dikatakan temanku, untuk berkenalan dengan gadis di Lampung ini harus mempunyai modal." Gumam Rangga setengah menyindir gadis itu.
"Modal apa?" Tanya gadis itu heran.
"Paling rendah mempunyai motor dan paling tinggi memiliki mobil, baru dapat berkenalan gadis Lampung dengan mudah sekali." Lanjut Rangga menjelaskan.
"Itu tidak benar." Ketus gadis itu.
"Sudah terbukti kau tidak mau menyebutkan namamu. Kalau saja aku mempunyai mobil kau pasti tidak sesulit ini untuk menyebutkan namamu. Ya kan?" Ucap Rangga. Gadis itu melengos. "Sudah terbukti kan" Desak Rangga.
"Aku bukan gadis semacam itu." Balas gadis itu.
"Kalau kau merasa bukan gadis semacam itu, sebutkanlah namamu. Aku baru merasa yakin dengan apa yang kau ucapkan." Tandas Rangga.
Gadis itu lantas mengeluh dan dari mulutnya tersebut sebutan sebuah nama yang di rasakan indah bagi pendengaran Rangga.
"Namaku Cindy." Ucap gadis itu.
"Sungguh indah nama mu. Coba ulangi sekali lagi, aku merasa senang mendengarnya." Gurau Rangga sambil memasang telinganya.
"Barangkali kamu ini orang senewen ya?" Celetuk Cindy rada di buat keki.
Rangga tertawa berderai, sedangkan wajah Cindy merah merona terlihat jelas. Dia merasa dipermainkan oleh Rangga. Tapi dia juga merasa senang dengan sikap Rangga yang senang bergurau.
"Kalau aku senewen dari sejak pertama aku berjumpa dengan mu sudah ku peluk habis-habisan. Sebabnya aku merasa amat tersiksa kala melihat mu. Mata, hidung dan bibir mu terlalu banyak magnetnya yang membuat daya tarik menarik semakin besar." Ucap Rangga.
"Eeee, sudah berani kurang ajar ya? Belum pernah ditempeleng orang?" Sergah Cindy marah.
"Duh... galaknya. Begitu saja marah nih?," bujuk Rangga.
Cindy tanpa menghiraukan Rangga lagi melangkah pergi dan Rangga pun mengejarnya. Tapi sial, gadis itu telah naik ke dalam taxi dan berlalu tanpa meninggalkan kesan lagi. Apa yang bisa diperbuat Rangga tidak lain hanya garuk-garuk kepala. Dia menyesal berlaku demikian terhadap seorang gadis yang baru saja dikenalnya. Maksudnya ingin bergurau, tetapi Cindy menganggap dirinya telah melampaui batas. Sambil menghela nafas berat lelaki itu menyetop bis kota yang kebetulan lewat di depannya.
Bergegas Rangga naik dan berlalu dari tempat itu. Di dalam perjalanan menuju ke tempat kostnya, lelaki itu menggerutu tanpa ada henti-hentinya. Kenapa sampai bisa begini? Itu saja yang senantiasa bercokol di benaknya.
Sesampainya di kamar kost, Rangga melemparkan map lusuh di atas meja dengan
perasaan kesal. Lantas dibantingnya tubuh lunglai itu ke pembaringan. Dengan nafasnya masih memburu seperti sehabis berlari jauh. Bayangan wajah Cindy masih belum mau lenyap di pelupuk matanya. Niatnya masih tetap membara untuk bisa mendapatkan gadis itu. Hanya kapan perjumpaan itu akan terjadi lagi?. Segalanya itu belum dapat menjadi kepastian, sebab kehadiran Cindy masih merupakan bayangan suram.
***
Hari minggu merupakan hari santai dan istirahat yang tidak kebagian lembur atau tugas bagi semua karyawan dan pelajar. Dalam hari libur begini, Rangga selalu menghabiskan di tempat yang ramai. Dia paling senang duduk pada sebuah bangku kecil di terminal Raja Basah. Di sisi kiri dan kanannya berderet pula orang-orang yang duduk berteduh untuk menghindarkan sengatan sinar matahari.
Tapi di belahan langit sebelah barat mendung berarak menuju ke timur. Tak lama lagi hujan akan turun dari langit. Kalau saja angin masih sering bertiup, ada kemungkinan hujan bakal urung jatuh membasahi bumi.
Tapi angin tidak bertiup, sehingga suasananya nampak begitu lenggang. Semua orang yang ada di terminal Raja Basah bagai dikejar-kejar hantu. Di sana-sini ketakutan bila mendung yang berarak di langit akan meluruhkan titik-titik air ke bumi. Layaknya dunia ini sudah mendekati sekarat. Lain yang dilakukan Rangga, dia masih tetap duduk dengan tenang sambil menikmati kesibukan orang yang berlalu-lalang. Baginya itu merupakan tontonan yang mengasyikkan.
Dari kesibukan itulah Rangga bisa menciptakan sebuah cerita yang nyata. Kehidupan anak manusia yang penuh liku-liku dan berdasarkan logika yang matang. Rangga seorang penulis muda yang telah berhasil menciptakan sebuah karangan tentang "Kehidupan Kota Bandar Lampung" yang unik dengan segala penstiwa kehidupan di dalamnya. Buku novel itu telah berhasil dicetak ulang kelimanya berdasarkan permintaan penggemarnya. Tapi baginya nama yang menjulang tinggi, belum tentu setaraf dengan apa yang dialami sekarang. Boleh orang lain membanggakan namanya, memuja namanya, tapi apalah artinya jika hidupnya masih tetap kekurangan.
Dia baru dapat merasakan, bahwa kehadiran Cindy menuntut banyak segi keberhasilannya dalam menunjang kehidupan. Kini Rangga melalui hariharinya dengan kemurungan, bukan kemurungan seperti anak-anak muda yang sulit mencari pekerjaan. Melainkan kemurungan yang berasal dari ingin memiliki gadis itu.
Bayangan wajah gadis itu dirasa tak mau lepas dari pelupuk matanya. Inikah yang dinamakan senandung rindu menikam kalbu? Yah... sebuah perumpamaan itu sangatlah tepat Dia merindukan saat berjumpa kembali dengan gadis idamannya itu.
Mendadak orang-orang saling berlarian guna mencari tempat untuk berteduh karena hujan mulai turun dari langit. Semula titik-titik air hujan itu jatuh rintik-rintik, akan tetapi kemudian bertambah deras. Mata Rangga menangkap sesosok tubuh indah berlari kearah peron. Dia hafal betul bahwa gadis itu tiada lain adalah Cindy. Ya, Cindy. Jantung Rangga bergelepar... ya Tuhan, gadis yang mengenakan rok merah tua dengan kembang-kembang putih dan kuning itu Cindy. Maka Rangga bergegas bangkit dan menghampiri Cindy yang baru saja menginjakkan kakinya di ubin peron.
"Cindy...!" Tegur Rangga parau.
Gadis itu terkesima menatap Rangga yang sudah berdiri di sampingnya. Cindy dapat menangkap melalui panca indranya, bahwa lelaki yang berdiri disampingnya itu menatap dengan pancaran mata rindu.
"Apa yang kau kerjakan di sini?" Tanya Cindy sambil melirik.
"Apa saja yang bisa membawa rejeki. Siapa tahu aku dapat menemukan dompet orang yang berisi uang jutaan." Ucap Rangga.
"Kamu memang benar-benar senewen," sergah Cindy.
"Barangkali anggapanmu itu benar." Ucap Rangga lagi.
"Hm!." Cindy berdehem.
"Lama tidak kelihatan kemana saja?" Tanya Rangga lembut.
Gadis itu diam saja. Matanya yang indah menatap langit mendung yang meluruhkan air hujan. Cindy merasa tidak perlu mengutarakan jalan hidupnya yang ditempuh selama ini. Mungkin hanya untuk mereka yang sudah tahu. baginya telah cukup. Sejauh itu langkahnya cukup membawa tekanan perasaan yang tak bisa diuraikan dengan kata-kata.
"Lama tak kelihatan," sambung Rangga lagi.
"Dua minggu telah berlalu." Tindih Cindy basa-basi.
"Sakit?" Tanya Rangga singakat.
"Yah." Sahut Cindy pendek. Dia hanya mengharap dengan berdusta tidak akan memperpanjang pertanyaan lelaki itu.
"Sekarang masih sakit?" Tanya Rangga kembali.
"Sudah agak mendingan." Jawab Cindy.
"Kalau begitu kuantar kau pulang." Lanjut Rangga.
Cindy diam.
"Mau kau?" Ucap Rangga.
Cindy masih diam.
"Aku sekalian ingin bermain ke rumahmu, tak apa-apa kan?" Lanjut Rangga.
Rangga seperti membujuk adiknya yang meminta kembang gula.
"Enggak keberatan kan?" Tanya Rangga.
Cindy baru kemudian menggelengkan kepala.
"Kenapa?" Tanya Rangga singkat.
"Kau tak akan mengerti kehidupanku." Jawab Cindy.
"Aku akan berusaha untuk mengerti kehidupanmu, Cindy. Percayalah." Lanjut Rangga.
"Jangan." Desah gadis itu.
Rangga jadi berubah demikian kecewa.
Curahan air hujan yang turun dan langit menjadi pelampiasa rasa kecewanya. Dia memandangnya dengan tatapan hampa. Kau tak boleh tahu rumahku. Siapa pun tak boleh tahu rumanku! Keluh Cindy tak bersuara, mulutnya terkatup rapat-rapat.
Cindy menatap mata lelaki yang berdiri di sampingnya, alangkah hampa dan kecewanya.
Tapi... oooh, semua itu tak boleh terjadi. Mata Cindy bertambah murung, sementara Rangga berdiri dengan bahu yang lesu.
"Baiklah, aku tidak akan memaksamu, jika kau merasa keberatan." Ucap Rangga melanjutkan.
Cindy menatap wajah Rangga sekali lagi. Kecewa, pasti dia amat kecewa atas penolakan itu. Walau pun sesungguhnya perasaan Cindy tidak jauh berbeda dengan lelaki itu. Selama ini dia menyekap rasa rindu ingin berjumpa dengan Rangga.
Sama-sama menelan makna cinta dan oh... mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Bibirnya bergerak, tapi ucapan tak jua keluar dari sela-sela bibir itu. Kandas di dalam tenggorokan tanpa bisa terucap dengan sempurna. Ketika Rangga menatap mata Cindy yang berkaca-kaca jadi terharu.
"Maafkanlah aku Cindy. Sungguh mati aku tidak memaksamu, janganlah kau menangis. Aku mohon maaf barangkali telah menyakiti hatimu." Cindy hanya tertunduk sambil menggigit bibirnya. Rangga semakin merasa tertekan oleh perasaan bersalah. Dia jadi bingung tak berketentuan.
"Apa yang bisa kulakukan untuk menebus kesalahanku Cindy? Katakanlah, aku musti berbuat apa?" Desah Rangga dalam keresahan.
"Kau tidak bersalah Rangga." Gumam Cindy lirih.
"Tapi agaknya kau tersinggung Cindy." Balas Rangga, Gadis itu menggelengkan kepala, Rangga mengeluh panjang. Untuk beberapa saat mereka sama-sama bungkam seribu basa. Di antara keheningan itu hanya terdengar suara hujan yang jatuh di genteng peron, di mana mereka berdua dan berpuluh-puluh orang berteduh di bawahnya. Cindy menengadahkan muka dan menatap Rangga yang sedari tadi tertunduk sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Dia berdiri lesu menatap curahan air hujan yang bagaikan tirai kabut menghalangi tegaknya gedung hotel Marcopolo. Bagai terkena aliran magnet Rangga menoleh ke wajah Cindy. Dan mereka saling bertatapan penuh arti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!