Rintik-rintik hujan mulai membasahi alam, seakan-akan ikut merayakan hari pernikahan. Terlihat seorang gadis cantik yang sedang duduk dibalik jendela kamarnya dengan raut wajah yang murung. Yoona Adelia, wanita berumur dua puluh enam tahun harus melepas masa lajangnya dengan sebuah pernikahan yang tidak pernah ia duga.
Gaun pernikahan putih yang sudah siap ia kenakan, namun dirinya enggan untuk beranjak pergi.
"Nak, ayo turun. Erlan dan keluarganya sudah tiba." Terdengar ajakan dari seorang wanita paruh baya yang selama ini ia panggil dengan sebutan Tante.
"Duluan aja, Tan. Nanti aku nyusul," sahut Yoona dengan rasa malas.
"Ya sudah. Jangan lama-lama, ya."
Langkahnya terasa berat, namun apa daya ia sudah bersumpah kepada mendiang kakaknya sebelum kecelakaan terjadi.
"Kak Fiona, andaikan hari itu aku tidak mengajakmu pergi, pasti sekarang kau yang akan memakai pakaian putih ini. Begitupun dengan Mama, mungkin sekarang dia tidak koma. Semuanya karena diriku," gumamnya.
Teringat dengan kenangan buruk yang sudah berlalu, di mana Yoona dengan sangat terpaksa harus menyetujui sebuah permintaan konyol dari kakaknya.
"Aku ingin kau juga memakai gaun putih bersamaku nanti, Yoona. Apalagi jika kita sama-sama menikah dalam waktu yang sama. Pasti sangat lucu," ucap Fiona dalam ingatan Yoona.
"Hei, jangan konyol, Kak. Aku masih harus menunggu kekasihku dulu. Duluan saja."
"Tidak-tidak, aku tidak mau begitu. Tapi, aku akan sangat senang jika kau dapat bersamaku setiap waktu."
"Kenapa bicara begitu, Kak? Bukankah selama ini kita selalu bersama? Anak kembar memang seharusnya begitu, kan?"
"Aku tahu, Yoona. Tapi, kau harus berjanji satu hal denganku. Lakukan semua jejak yang sudah aku mulai, meskipun kau belum menginginkannya."
"Baiklah, Kak. Aku berjanji karena aku adalah dirimu, kita kembar!"
Tawa lepas terdengar begitu ceria diikuti dengan senyuman dari ibunya. Namun, Yoona tidak pernah berpikir bahwa keceriaan itu adalah hari terakhir bersama dengan mereka.
Kecelakaan mobil yang Yoona sebabkan saat ia lalai dalam mengemudi, hingga membuat saudara kembarnya terpental jatuh dan sang mama terluka parah di belakang.
Ingatan buruk yang sama sekali tidak lepas dari benaknya, serasa menghantuinya setiap waktu. Terlebih ketika melihat cermin, ada mata Fiona yang seperti selalu menatapnya.
Menarik nafasnya dalam-dalam sembari menyakinkan diri bahwa ini jalan satu-satunya yang harus ia tempuh.
"Baiklah, Kak. Aku akan melakukan tugasku sesuai dengan janjiku. Menikahi Erlan adalah salah satunya," gumamnya.
Dengan rasa percaya diri yang tinggi, Yoona berjalan menuju altar pernikahan. Tangannya disambut oleh Erlan Christiano Agra, sang CEO dari perusahaan Agra Group, Manila.
"Sweetie, kau sangat cantik hari ini. Rasanya aku ingin segera menerkam dirimu," bisik Erlan dengan panggilan kesayangan khas darinya.
"Terima kasih banyak, Erlan," jawab Yoona sampai tersipu malu ketika melihat wajah tampan calon suaminya dengan begitu dekat. Selama ini ia hanya melihat dari layar ponsel kakaknya.
Tersentak kaget ketika mendengar sahutan dari calon istrinya. Bagaimana tidak, pria berumur tiga puluh tahun itu tidak pernah mendengar ucapan nama dari kekasihnya. Selalu panggilan kesayangan yang terucap.
Meskipun demikian, Erlan berusaha memahami karena berpikir jika mungkin saja sang mempelai wanita lupa karena kelelahan akan urusan pernikahan.
Di atas altar pernikahan, kini mereka telah resmi menjadi pasangan suami dan istri setelah melakukan berbagai rangkaian acara. Sesi yang paling ditunggu-tunggu saat Erlan berusaha memberikan kecupan mesra di depan semua orang.
Mata Yoona terpejam sembari menerima sensasi manis dari sentuhan bibir Erlan. Entah mengapa, hatinya tiba-tiba mulai berdetak kencang. Ia merasakan gugup yang amat besar sampai keringat dingin mulai membahasi tubuhnya.
Erlan tersadar adanya perubahan dari istrinya. "Sweetie, kau baik-baik saja? Apa kau lelah?"
"Y-ya, aku sangat lelah, Erlan."
"Baiklah. Kalau begitu setelah ini kita akan langsung masuk ke dalam. Biarkan tamu undangan ini menjadi urusan keluargaku," sahut Erlan seraya membuat gerakan seperti ingin membopong tubuh istrinya.
"Eh ... tunggu dulu, Erlan. Kau mau apa?"
"Apalagi mauku, Sweetie? Tentu saja menggendong istriku."
"Ah jangan-jangan. Aku masih bisa jalan sendiri."
"Ada apa? Apa kau takut satu hal?" tanya Erlan seraya mencolek pipi istrinya dengan maksud tertentu.
"Sial! Dia semakin menggodaku. Aku takut jika malam ini ... ah ya ampun. Tak sanggup mengingat malam pertama. Cukup, Yoona. Jangan biarkan pikiranmu ternoda," batin Yoona sampai membuat dirinya tiba-tiba panik.
"Kenapa malah bengong? Lama deh kamu. Sini aku gendong," paksa Erlan.
"Erlan, turunin aku. Malu tahu!"
"Hei, ngapain malu? Nanti di kamar malah lebih dari ini, Sweetie."
Bergegas pergi dari tempat acara, meskipun para tamu undangan menunggu pengantin baru melempar bunga. Namun apa daya, mereka berusaha memahami saat melihat kemesraan dari pengantin baru yang sedang dimabuk cinta.
Mengalungkan kedua tangannya saat berada di dalam gendongan suaminya. Yoona merasa jika mungkin saja ia telah jatuh cinta, namun ia berjanji untuk harus menghilangkan perasaan ini.
"Erlan, andaikan saja kau tahu bahwa aku bukanlah orang yang tujuh tahun dulu menjadi kekasihmu. Entah seperti apa kau akan membenciku, tapi yang pasti aku tidak ingin melukai siapapun," batin Yoona yang terus menatap wajah pria itu.
Tatapan Yoona yang begitu dalam, mampu membuat Erlan tersenyum. Ia melepaskan gendongannya sembari bertanya. "Apa kau bahagia, Sweetie?"
Yoona menjawab dengan anggukan kecil, lalu berkata. "Ya, aku sangat bahagia, Erlan."
"Benarkah? Lalu kenapa sejak tadi kau terus memanggilku dengan namaku? Apa kau lupa nama kesayangan selama tujuh tahun yang lalu denganku?" tanya Erlan dengan sengaja.
Sontak membuat Yoona terdiam, dan tidak tahu harus menjawab apa. Terlebih selama ini, ia tidak pernah ingin tahu lebih dalam dari hubungan kakaknya dulu.
Berusaha mengalihkan perhatian, tiba-tiba saja Yoona memegang perutnya. "Aw, sakit! Sepertinya aku lapar. Mungkin karena sebelum pernikahan kita, aku harus diet demi terlihat cantik saat memakai gaunku."
"Kau lapar, Sweetie? Akan aku ambilkan makanan untukmu. Apalagi tadi aku memaksamu pergi dari sana. Tunggu sebentar, ya." Erlan sampai berlari demi seseorang yang ia sayangi.
Membuat hati Yoona merasa begitu lega ketika berhasil mengalihkan perhatian. Apalagi baru kali ini ia belajar berbohong yang begitu besar.
"Ya ampun. Jika setiap waktu seperti ini, bisa-bisanya aku mati berdiri. Huuf ... lelah sekali."
Selama Erlan pergi, Yoona berusaha membuka ponsel suaminya. Berharap bisa menemukan sesuatu yang dapat membuat sifatnya semakin mirip dengan kakaknya. Namun sayang, ponsel tersebut terkunci.
"Gawat! Aku harus pakai cara apalagi kalau misalkan Erlan ingin tahu tentang panggilan kesayangan untuknya."
Dalam kecemasan Yoona, Erlan pun datang seraya membawa sepiring makanan.
"Kamu belum ganti baju, Sweetie? Ya sudah, sekarang aku bantu ganti baju dulu, ya. Baru setelah itu aku akan menyuapi mu," pinta Erlan yang terlihat begitu tulus.
"Eh, jangan-jangan! Maksudku ... nanti saja, Erlan. Aku benar-benar lapar."
"Kau yakin ingin makan dengan gaun seberat itu? Tidak apa-apa, kita sudah berhubungan tujuh tahun, jadi apalagi yang harus kau tutupi dariku, Sweetie? Kenapa tiba-tiba begini?“
Ucapan Erlan seketika membuat hati Yoona merasa sedih. Entah mengapa, ia merasa tidak ingin mendengarnya, tetapi ia sadar bahwa dulu Erlan bukanlah miliknya.
"Ada apa denganku sekarang? Apakah mungkin cinta pandangan pertama itu benar-benar sebesar ini? Bahkan aku merasakan sakit yang lebih besar saat mendengar kalau Erlan dan kakakku berhubungan terlalu jauh. Mungkinkah mereka sudah melakukannya?" gerutu Yoona dalam batinnya dengan penuh kekecewaan.
Kecemburuan dan kekesalan bersamaan datang sampai membuat Yoona terus melamun. Erlan menepuk pundak istrinya seraya bergerak lebih dekat.
"Aku heran denganmu, Sweetie. Apa kau tidak bahagia menikah denganku?" tanya Erlan yang mulai semakin merasa adanya perubahan.
"Ti-tidak ada, Erlan, maksudku tentu saja sangat dan sangat bahagia." Terdengar suara Yoona sampai gelagapan. Bahkan ia berusaha untuk tidak menatap wajah suaminya.
Membuat Erlan terdiam sembari berjalan mundur dua langkah. Tiba-tiba ia mengambil sebuah kotak kecil, di dalamnya berisi patung merpati bersamaan dengan kedua nama panggilan mereka.
"Lagi-lagi kau terus memanggilku begitu, Sweetie. Sekarang aku ingin mendengar seperti kau memanjakan dirimu selama ini."
"Oh tidak, apa yang harus aku ucap sekarang?" batin Yoona yang mulai gelisah.
Untuk kedua kalinya, Erlan memaafkan istrinya yang sama sekali tidak dapat mengenali nama panggilan kesayangan mereka. Ia berusaha untuk tidak curiga karena sejak dulu sang kekasih tidak pernah berubah.
"Ya sudah kalau begitu ayo makan dulu, setelah itu baru kita tidur," ajaknya.
"Langsung tidur? Benarkah?"
"Memangnya kenapa? Jika kau tidak mau, aku masih bisa menjagamu sampai pagi, Sweetie."
"Ah tidak-tidak. Memang tidur yang paling tepat."
Dengan penuh ketulusan, Erlan menyuapi Yoona makan sampai tidak tersisa. Pria itu sangat antusias sampai memastikan agar istrinya tidak kekurangan apapun.
Bukannya memilih tidur seperti yang sudah terucap, namun dengan sengaja Erlan berjalan di belakang Yoona seraya membuka perlahan pengait yang menghalangi jalannya.
Malam yang diidamkan, membuat Erlan tersenyum manis. Yoona kembali terpesona saat pria itu mulai melepaskan pakaiannya sendiri. Sampai Yoona tidak menyadari bajunya telah berhasil terbuka.
"Sweetie, aku mencintaimu," bisik Erlan sampai membuat Yoona merasakan sensasi liar dari dekat telinganya.
"Aku juga mencintaimu, Erlan." Tanpa tersadar, Yoona telah mengucapkan isi hatinya yang paling dalam dengan mata terpejam.
"Selama tujuh tahun hubungan kita, aku telah berhasil menjagamu hingga pernikahan ini tiba. Sweetie, kau milikku, dan hanya untukku."
"Jadi, mereka belum melakukan hubungan sejauh itu saat bersama? Itu artinya aku sudah berburuk sangka. Tapi sekarang tidak lagi, aku akan menyerahkan hakku sebagai istrimu, walaupun dari atas langit kakakku tahu jika aku bukanlah dirinya," batin Yoona yang mulai merasa sedikit lega setelah mengetahui kebenarannya.
"Erlan, argh ... aku menginginkanmu." Yoona mulai kehilangan kendali ketika tubuhnya sudah pasrah seraya mengusap perlahan rambut Erlan.
Merebahkan perlahan tubuh Yoona yang sudah lepas dari pakaian atasnya, kedua bola kelapa yang sudah siap untuk disantap. Terpampang dengan jelas di depan mata Erlan, namun dengan tiba-tiba pria itu terdiam.
"Tanda lahir ini? Tunanganku tidak memiliki tahi lalat ini di bawah dada kirinya. Itu artinya ... dia bukanlah Fiona," batin Erlan yang mulai tersadar.
Membuat Yoona merasa bingung saat Erlan mulai melepaskan sentuhannya. "Ada apa?"
Erlan menjauh sembari mengusap wajahnya dengan cepat. Ia mulai merasa kebingungan dan tak percaya dengan apa yang sedang ia lakukan.
Berbeda dengan Yoona yang perlahan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, ia berjalan mendekat sembari bertanya. "Mas Erlan, kau baik-baik saja?"
"Enyah dari hadapanku, penipu!" Tiba-tiba Erlan membentak setelah menepis tangan Yoona dengan kasar.
"Apa maksudmu? Aku ini sweetie—mu, Erlan." Berusaha untuk membuat pria itu luluh, Yoona tidak menyerah, ia memeluk Erlan dari belakang.
"Jangan sentuh aku, Yoona! Aku katakan pergi dari sini, maka pergilah sekarang!" bentak Erlan yang semakin berlebihan.
"Tidak, mungkinkah dia sudah tahu jika aku bukan kakakku?" batinnya.
Dengan sangat terburu-buru, Erlan mengambil ponselnya seraya menelan panggilan kepada kekasihnya—Fiona. Tanpa ia sadari wanita yang ia nantikan telah berbeda alam.
"Ayo angkat teleponku, Sweetie. Kenapa ponselmu tidak menyala? Astaga, ada apa denganmu?" Erlan begitu cemas hingga ia kembali berusaha walaupun sama sekali tidak ada hasilnya.
Melihat kesedihan yang sedang Erlan rasakan, membuat Yoona tidak dapat menahan tangisnya. Wanita itu terdiam dalam tangisan, namun tidak dengan Erlan yang kembali berjalan kearahnya.
Memegang kedua bahu Yoona dengan sangat kuat sembari bertanya. "Katakan di mana tunanganku? Kenapa kau gantikan dia? Aku tahu bahwa kau bukanlah Fiona, tapi Yoona."
Yoona berusaha menggelengkan kepala dalam tangisan yang semakin tidak bisa ia kendalikan. Ingin rasanya berkata jujur, tetapi mulutnya tak dapat terucap.
"Kenapa sekarang menjadi bisu?! Cepat jawab aku, wanita sialan!" Erlan terus membentak, namun ia sadar marah tidak akan menghasilkan apa-apa.
Membiarkan Yoona terus menangis, dan memilih berjalan pergi setelah mengambil jaket kulitnya. Yoona berusaha menghentikan suaminya di balik pintu.
"Jangan pergi, Erlan, aku mohon ...."
Menoleh ke belakang, lalu Erlan mencekal lengan Yoona dengan begitu kuat hingga wanita itu merasa kesakitan.
"Lalu apa yang harus aku lakukan di sini? Apa maksudmu, kau ingin kita tidur bersama, begitu? Jangan pernah bermimpi bahwa kau bisa menggantikan tunanganku meskipun wajah kalian sama, tapi bagiku, kau tidak ada harganya," geram Erlan dengan ucapan hinaan yang belum pernah Yoona dengar.
"Maafkan aku, Erlan. Tapi, sekarang aku adalah istrimu." Yoona berusaha tetap kekeh.
"Oh ya? Jadi, kau istriku, begitu? Baiklah akan aku tunjukkan bagaimana aku melihat seorang istri seperti dirimu ini," ketus Erlan dengan nada ancaman.
Yoona merasa ketakutan saat pria itu mulai kembali menutup pintu kamarnya, meskipun awalnya tidak ingin Erlan pergi, namun ia sadar keberadaannya sekarang merasa terancam.
"A-apa yang ingin kau lakukan?" tanya Yoona sembari berjalan mundur.
"Bukankah kau sebut dirimu sebagai istriku?"
"Aku bisa menjelaskannya, Erlan."
"Ya, kau harus jelaskan saat berada di bawah sana."
"Tidak, Erlan, jangan lakukan itu!" Yoona berusaha menghindar, namun sialnya selimutnya justru terjatuh.
Membuat Erlan berada di dalam amarah, namun justru hasrat yang terpendam. Merasa kesulitan untuk harus berpikir tenang, Erlan hanya melihat wajah yang sama dengan tunangannya, namun bayangan tanda lahir itu kembali membuat dirinya murka.
Malam itu membuat Yoona tidak dapat bergerak setelah kedua tangan dan kakinya terikat. Ia terus menangis sembari berharap agar Erlan dapat memaafkan dirinya.
"Tolong, lepaskan aku, Erlan."
"Kau kan istriku, Yoona—tersayang," sahut Erlan tanpa ada rasa peduli. Hanya ada kebencian yang mulai merasuki hati dan pikirannya.
"Jangan sakiti aku ... aku akan berjanji akan mematuhi semua aturanmu sebagai rasa bersalahku, Erlan."
Ucapan Yoona seketika membuat Erlan terdiam saat ingin menjalankan aksi pembalasan. Namun, pria itu berpikir jika yang sedang Yoona ucapkan hanyalah sebuah kebohongan demi lepas darinya.
"Ucapkan saja semau mu, tapi aku tidak akan peduli. Sekarang kau harus menerima hukuman dariku."
"Tidak, Erlan. Kali ini aku tidak berbohong."
"Benarkah? Maka berjanjilah untuk selalu mematuhi aturanku, dan kau hanya berhak untuk menerima hukuman di sepanjang pernikahan ini."
"Aku akan berjanji, tapi tolong lepaskan dulu ikatan ini, Erlan. Tangan dan kakiku merasa kesakitan."
"Bukankah kau istriku? Maka terima saja rasa sakit ini seperti kebohongan besar darimu, kau harus bersiap di malam pertama kita."
Tetesan air mata mulai semakin membanjiri mata Yoona saat pria itu berusaha menjadikan dirinya tawanan, bukan sebagai seorang istri pada umumnya.
"Aku rela jika harus menerima takdir pernikahan ini, tapi bagaimana mungkin aku akan rela kalau diperlakukan seperti wanita hina," batin Yoona yang mulai berusaha keras untuk bisa lepas, namun pergelangan tangannya mulai terluka.
Perlawanan keras yang sedang Yoona berikan, membuat Erlan semakin tidak menentu. Lalu dirinya meninggalkan Yoona dengan melepaskan satu ikatan tangannya.
Pria itu beranjak pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun, dan malam ini Yoona bersyukur bisa terlepas dari hukuman Erlan.
"Setidaknya aku bisa sedikit lega, tapi bagaimana dengan malam-malam yang lain?"
Pertanyaan yang terus membuat hati Yoona tidak menentu, membuat dirinya bergegas pergi meninggalkan rumah Erlan dari pintu belakang. Ia tidak tahu arah tujuan yang harus ia tempuh, tetapi tiba-tiba Yoona teringat dengan saudara kembarnya.
Memilih untuk berlindung diri di hadapan makam Yoona dengan hanya senter ponsel yang menyala.
Tanpa ada rasa takut, dan penyesalan yang membuat dirinya terluka. Menatap ke arah makam kakaknya dengan air mata yang penuh derita.
"Maafkan aku," lirih Yoona dengan perlahan. "Mungkin aku tidak akan mengerti dengan rasa sakit yang aku alami sekarang, tapi yang pasti aku sangat percaya kau lebih menderita, Kak."
Layaknya gadis bodoh dengan berbicara seorang diri, hingga Yoona tidak sadar matanya ikut terpejam.
Dalam mimpinya, ia melihat saudara kembarnya datang dengan raut wajah yang penuh senyum. Berusaha mengusap rambut Yoona sembari berkata. "Pulanglah, adikku. Suamimu sedang menunggu."
"Tidak, Kak. Aku ingin tetap di sini menemani dirimu. Aku takut dengan pria kejam itu."
"Yoona, kau sudah berjanji padaku, bukan? Maka pulanglah, dia rumahmu sekarang."
Ucapan terakhir tersebut membuat Yoona tiba-tiba terbangun dari tidurnya setelah hujan deras mulai membasahi tubuhnya. Ia baru menyadari bahwa akal sehatnya telah kembali.
"Astaga, kenapa aku bisa tidur di makam kakak? Lalu tadi, rasanya aku seperti bertemu denganmu, Kak. Mimpi itu sangat nyata," gumam Yoona yang mulai merasakan takut saat kegelapan mengelilingi dirinya. Terlebih layar ponselnya yang sudah padam.
Berlari dengan cepat karena ia begitu takut untuk harus melihat ke arah pemakaman. Hingga akhirnya Yoona memilih berjalan kaki seorang diri.
Terlihat sebuah cahaya lampu mobil yang mulai mendekat kearahnya, bersamaan dengan kaca jendela yang terbuka. Yoona menyadari bahwa di dalam sana adalah suaminya.
"Itukan ... Mas Erlan, apa mungkin dia ingin menjemput ku?" tanya Yoona dengan dirinya dengan penuh harap. Namun, pria itu sama sekali tidak peduli mobil tersebut melewati dirinya.
"Dasar gadis bodoh." Erlan berdesih tanpa menghiraukan istrinya yang sudah basah kuyup. Ia segera bergegas pergi dengan santai.
"Mana mungkin dia mau menjemput seorang wanita pengkhianat seperti diriku," gumamnya. Berjalan pergi dengan rasa putus asa.
Malam itu, Erlan menuju ke suatu tempat setelah janjian dengan temannya untuk menenangkan hati.
Terduduk dengan penuh gelisah sembari memegang segelas anggur, Erlan sedang memikirkan tentang tunangannya, namun tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.
"Hai, brother ... pengantin baru nih!" celetuk Jerrol dengan sengaja sekaligus teman dan tangan kanannya.
Membuat Erlan sedikit terkejut, ia melirik tanpa ada semangat.
"Loh kenapa? Erlan, kita tidak sedang di kantor, jadi tolong wajahmu bermanis sekali lah denganku. Masa iya sih pengantin baru cemberut begitu?" Jerrol terus meledek sampai ia menyadari perubahan sikap dari Erlan yang tiba-tiba menghabiskan banyak botol minuman.
"Hei, santai dong, Bro. Udah cukup minumannya. Aku tidak mau kau merepotkan diriku saat pulang nanti, jadi sekarang ceritakan apa yang sedang terjadi?" tanya Jerrol yang mulai merasa cemas.
"Bingung, Bro. Enggak tahu harus cerita darimana. Tapi, ngomong-ngomong apa kau tahu di mana keberadaan tunanganku? Sejak kemarin aku tidak bisa menghubunginya sama sekali."
"Sebentar, Erlan. Maksudnya ini gimana? Tunangan? Bukannya kalian baru saja menikah hari ini?" Membuat Jerrol begitu tidak mengerti.
"Ya, awalnya aku pun mengira begitu, tapi ternyata tidak. Justru yang sekarang aku nikahi adalah saudara kembarnya."
"Berarti ... ya ampun. Apa mungkin sudah terjadi sesuatu dengan tunanganmu, Erlan?"
Membuat Erlan semakin merasa gelisah, namun ia sama sekali tidak suka dengan ucapan tersebut. Menarik kerah baju Jerrol dengan kasar. Hingga membuat temannya paham untuk menjaga setiap lisan dalam keadaan yang tidak tepat.
"Baiklah, maaf. Hanya saja ... aku masih begitu tidak paham, Erlan. Tapi, begini saja. Apa yang harus aku lakukan untukmu?"
"Cari dan temukan tunanganku secepatnya, Jerrol. Aku tidak ingin kehilangannya."
"Tentu, aku akan berusaha mencari Fiona. Namun sebelum itu, apa kau tidak bertanya dulu kepada saudara kembarnya itu? Maksudku, mungkin kita bisa tahu informasi yang lainnya," saran Jerrol.
"Tidak ada gunanya bertanya kepada wanita bodoh itu. Dia hanya beban untukku."
Sikap arogan yang Erlan miliki, begitu dipahami oleh Jerrol. Hingga temannya tidak lagi bertanya banyak hal. Berusaha untuk mengalihkan perhatian sembari membuka ponselnya. Tiba-tiba, Jerrol baru teringat dengan sebuah pengumuman di dalam ponselnya.
"Hampir saja aku lupa. Hari ulangtahun perusahaan Agra Group tidak lama lagi, dan kau harus memperkenalkan istrimu kepada semua karyawan seperti yang dilakukan oleh pemimpin sebelumnya. Apa kau tidak ingin melakukan itu juga, Erlan? Jika ya, aku bisa mengundurkan jadwalmu nanti."
"Tidak perlu, dan mulai besok pagi aku akan langsung masuk kerja," tegas Erlan dengan keputusannya.
"Oh, baiklah."
Perbincangan mereka tiba-tiba terhenti saat Erlan mengambil berdiri dengan segelas minuman di tangannya. Ia menari seorang diri sampai membuat kesadarannya mulai tak terkendali.
Berjalan sempoyongan, dan membuat Jerrol merasa kelelahan. Terlebih ia sadar tidak bisa membiarkan temannya pulang seorang diri dalam keadaan seperti ini.
Jerrol segera mengantarkan Erlan pulang, dan meninggalkan mobilnya demi teman. Tiba di rumah, berkali-kali Jerrol mengetuk pintu, tapi tak yang membukanya.
Yoona yang sedang terlelap di atas sofa tiba-tiba terkejut saat mendengar suara teriakan dari arah luar. Ia yang sedang menunggu Erlan pulang sampai ketiduran.
"Ya, sebentar!" Bergegas cepat menuju pintu, tetapi tidak menyangka jika Erlan pulang dalam keadaan setengah sadar.
"Mas Erlan? Apa yang terjadi dengannya?" tanya Yoona dengan sangat gelisah.
"Dia banyak sekali minum. Aku terpaksa membawanya pulang. Kalau begitu aku pulang dulu."
"Baiklah, terima kasih banyak."
Belum sempat Yoona menutup pintu depan, Jerrol masih menatap ke arah Yoona.
"Mirip sekali, tapi kenapa Erlan tidak bisa mencintai wanita yang sama persis dengan Fiona? Ada-ada saja," gumam Jerrol sembari menggelengkan kepalanya dengan rasa heran.
Menemani dengan penuh rasa cemas, Yoona memilih duduk di samping suaminya sembari sesekali menyentuh kening Erlan.
"Suhu badannya juga panas, apa mungkin dia juga demam?"
Ingin segera melangkah pergi untuk mengambil kompres pendingin, tiba-tiba saja tangan Yoona digenggam erat oleh Erlan dalam keadaan mata terpejam.
"Jangan pergi," lirih Erlan dengan perlahan.
Antara rasa heran sekaligus bahagia ketika Erlan memintanya untuk menetap. Sedetik kemudian, Erlan menarik tubuh Yoona dengan begitu kuat hingga terjatuh ke atas dadanya yang bidang.
"Temani aku di sini," pinta Erlan dengan terus memeluk yang begitu erat. "Aku ingin dirimu sampai pagi."
Tidak tahu harus berkata apa, tetapi rasanya malam ini paling membahagiakan untuk Yoona hingga menampilkan senyuman ceria di kedua pipinya.
"Katakan, kau ingin apa dariku, Mas Erlan?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!