NovelToon NovelToon

Once We Get Divorce

Chapter 1

Suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring memecah keheningan yang terjadi di sebuah ruang makan. Sepasang anak muda berseragam SMA terlihat duduk berjarak sambil menikmati sarapan pagi mereka. Tidak ada sepatah kata pun sejak tadi. Sampai suara berat milik si lelaki pun terdengar dan menarik perhatian sang wanita.

"Kelulusan tinggal menghitung minggu, kita akan bercerai sesuai perjanjian." Kata si lelaki berparas tampan itu dengan nada dingin. Tentu saja ia bicara tanpa berniat melihat lawan bicaranya.

Kiano Atmaja, lelaki berusia delapan belas tahun yang terpaksa harus menjadi kepala keluarga diusia muda. Dijodohkan dengan anak dari sahabat sang Daddy, Raicha Mahalini. Gadis cantik yang biasa dipanggil dengan sebutan Caca.

Caca sendiri teman satu angkatan Kiano di sekolah. Hanya saja mereka jarang bertemu karena beda kelas. Dan keduanya harus terjebak dalam sebuah ikatan pernikahan yang tak pernah mereka inginkan. Hampir satu tahun usia pernikahan mereka, bahkan keduanya tinggal satu atap. Akan tetapi tak terlihat benih-benih cinta tumbuh di antara keduanya. Jangankan cinta, bicara saja mereka sangat jarang. Bahkan hubungan mereka semakin renggang seiring berjalannya waktu.

Kiano yang sejak awal memiliki kekasih yang sangat dicintainya pun sampai detik ini masih menjalin hubungan itu. Dan Caca sendiri tak pernah mengusiknya karena sejak awal pernikahan mereka hanya di atas kertas.

"Soal malam itu, aku tidak pernah menganggapnya terjadi. Aku tidak sadar melakukannya." Imbuh lelaki itu melirik Caca sekilas tanpa minat. Seolah melempar kesalahan malam itu pada Caca. Bahkan sejak menikah Kiano selalu bicara formal padanya.

Satu bulan lalu, keduanya memang pernah mengalami kejadian yang tak diinginkan. Yaitu terlibat one night stand saat merayakan pesta ulang tahun salah satu siswa ternama.

Caca menahan pergerakannya, lalu ditatap lelaki itu tanpa berniat menjawab. Kemudian ia pun melanjutkan sarapnnya lagi.

Merasa diabaikan, Kiano membanting sendok dan garpu hingga menimbulkan suara dentingan keras. Sontak Caca pun menoleh.

"Aku kenyang." Lelaki itu bangkit dan bergegas pergi dari sana. Caca yang melihat itu menarik napas berat. Lalu menghentikan sarapannya karena sejak tadi selera makannya sudah hilang. Setelah itu ia pun merapikan meja makan dan mencuci piring terlebih dahulu sebelum berangkat sekolah. Karena sejak menikah mereka hanya tinggal berdua di apartmen milik Kiano.

Menjadi seorang istri di usia muda seperti sekarang ini membuat Caca dipaksa dewasa. Apa lagi harus menghadapi sikap Kiano yang sudah jelas menolak dirinya sejak awal pernikahan.

Seperti biasa, Caca berangkat sekolah dengan taksi. Sedangkan Kiano hampir setiap hari menjemput kekasih hatinya. Tantu saja Caca tak mempermasalahkan hal itu, karena sejak awal tidak ada yang tahu soal pernikahan mereka. Kecuali keluarga besarnya dan Kiano. Juga kekasih Kiano tentunya.

Sesampainya di sekolah, Caca sempat melihat Kiano turun dari mobil bersama kekasihnya. Ia pun mengabaikannya dan berlalu begitu saja, memasuki kelasnya dengan lesu. Entah kenapa hari ini rasanya ia malas melakukan apa pun. Ia duduk di tempatnya, lalu menyandarkan kepalanya di atas meja.

"Woi... lemes banget lo! Masih pagi kali." Sapa Gladis, teman sebangku Caca.

Caca menoleh sekilas. "Lemes banget badan gue." Keluh Caca.

"Yaelah, kantin yuk." Ajak Gladis duduk di meja sambil menatap Caca. "Masih pagi nih, gue belum sempat sarapan tadi."

"Males. Gue udah makan di rumah."

Gladis berdecak sebal. "Gak asik lo. Ya udah, gue ke kantin dulu. Beneran gak mau nitip nih?"

Caca menggeleng pelan, lalu Gladis pun berlalu meninggalkan Caca.

"Ca," panggil seseorang yang berhasil menarik perhatian gadis itu. Ternyata yang memanggilnya itu Randy, teman sekelasnya yang sudah lama menyukai Caca. Lelaki itu menarik kursi, lalu duduk menghadap Caca. Caca pun duduk tegak, membalas tatapan lelaki itu dengan heran.

"Apaan?" Tanya Caca dengan malas. Karena sampai saat ini Caca tidak tahu mengenai perasaan lelaki itu padanya.

Randy tersenyum. "Weekend ini lo free gak?"

Caca tampak berpikir. "Kayaknya free, kenapa?"

Senyuman lelaki itu pun semakin mengembang. "Nobar yuk." Ajaknya dengan semangat.

Caca mengerut bingung. "Nobar apaan? Sepak bola? Ogah gue."

Randy tertawa kecil. "Film horor, berani gak?" Tantangnya.

Caca berdecih pelan. "Bukan Caca namanya kalau takut sama yang gituan. Ok, gue mau." Toh weekend ini ia tak memiliki janji apa pun.

Randy tersenyum senang. "Minggu siang gue jemput lo ya? Sebelum nonton kita jalan-jalan dulu. Gimana?"

Caca mengangguk. "Gue pengen ke toko es krim yang lagi viral itu, Ran. Lo mau kan bawa gue ke sana?" Menatap Randy penuh harap.

"Boleh, apa yang enggak buat elo."

Caca tersenyum senang. "Gak sabar nunggu hari minggu."

Randy ikut tersenyum. "Btw, gak ada yang marah kan gue ajak lo jalan?"

Caca langsung menggeleng. "Gue free."

Randy pun mengangguk sambil mengulas senyuman lega. "Kita harus nikmatin masa senggang, sebelum bertempur di meja belajar."

Caca mengangguk setuju. "Gak kerasa kita hampir lulus. Padahal kayaknya baru kemaren deh kita masuk, gue juga masih ingat dulu lo cupu banget. Mana dekil lagi, tapi sekarang lo berubah."

Randy tertawa geli. "Gue lakuin itu buat seseorang yang gue suka."

Mendengar itu wajah Caca berseri. "Wah, jadi cewek yang lo taksir ada di sekolah ini? Siapa?"

Randy terdiam sejenak. "Dia ada di dekat gue, tapi gue rasa dia gak tertarik tuh."

Caca tertawa renyah. "Perjuangin dong, Ran."

Randy tersenyum lagi. "Jadi lo mau gue perjuangin, Ca?"

"Hah?" Caca memasang wajah bingung. "Gue?" Tunjuknya pada diri sendiri.

Randy mengangguk. Sontak Caca pun tertawa geli karena ia menganggap perkataan Randy hanya candaan.

"Ca...."

"Udah ah, jangan buat gue kepedean." Potong Caca masih dengan sisa tawanya.

Randy hendak menyahut, tetapi suara bel masuk mendahuluinya. Alhasil ia pun tak jadi bicara. Randy pun pindah ke bangkunya. Tidak lama anak-anak yang lain pun masuk yang disusul dengan guru pengajar.

Caca pulang sekolah saat suasana sudah sepi. Karena tadi ia sempat mampir ke perpustakaan untuk meminjam beberapa buku. Saat keluar dari gerbang, Caca merasa heran karena Kiano ada di sana. Lelaki itu duduk di kap mobil dengan tatapan mengarah padanya.

Lah, tumben dia masih nangkring di situ. Pikir Caca. Caca melihat kesekeliling, dirasa aman ia pun menghampiri suaminya.

Kiano menatap Caca lekat. "Mommy mau kita makan siang bareng di rumah." Katanya dingin.

Oh, pantes masih di sini. Lagi butuh gue rupanya. Omel Caca dalam hati.

"Hm." Sahut Caca yang langsung masuk ke dalam mobil Kiano. Kemudian lelaki itu pun menyusulnya masuk. Mobil mewah itu pun melesat pergi meninggalkan lingkungan sekolah.

Kiano melirik istrinya sekilas. "Muka kamu dikondisiin."

Caca menoleh, tetapi seperti biasa ia tak menjawab. Kiano yang sudah terbiasa dengan hal itu pun kembali fokus mengemudi.

"Tolong mampir di toko kue." Akhirnya Caca pun bersuara.

"Gak perlu."

"Tapi gue perlu." Sahut Caca merasa kesal. "Setidaknya pikirkan posisi gue saat ini. Gue gak mungkin bawa tangan kosong ke rumah lo." Imbuhnya yang berhasil membuat Kiano terdiam.

Akhirnya Kiano pun menuruti Caca, mampir ke sebuah toko kue yang cukup terkenal. Tidak perlu lama Caca pun sudah kembali dengan sebuah paper bag berukuran besar. Lalu menaruhnya di bangku belakang, dan kembali memasang seat belt. Kiano pun kembali melajukan mobilnya.

Setibanya di rumah besar keluarga Atmaja, Caca disambut hangat oleh sang ibu mertua. Wanita paruh baya itu memang sangat menyukai Caca. Bahkan Caca selalu diperlakukan layaknya anak sendiri. Maklum saja, anaknya hanya Kiano seorang. Sedangkan dirinya sejak lama menginginkan anak perempuan. Dan sekarang ia mempunyai menantu cantik seperti Caca, tentu saja ia merasa senang.

Caca memberikan bingkisan tadi pada sang mertua.

"Ya ampun, sayang. Ngapain repot-repot sih?" Ucap Ariana mengintip isi bingkisan dari menantu kesayangannya.

"Gak repot kok, Mom."

Ariana merengkuh tubuh ramping Caca, lalu membawa gadis itu masuk. "Gimana, Kiano tetep baik kan sama kamu sejauh ini?" Selalu saja pertanyaan itu yang Ariana lontarkan saat Caca mampir ke rumah.

Caca tersenyum. "Baik kok, Mom. Baik banget malah." Jawabnya.

Kiano yang mendengar percakapan keduanya seolah tak peduli. Ia pun berlalu meninggalkan keduanya menuju ruang makan.

Ariana menggelengkan kepala. "Lihat, dia gak pernah berubah. Masih aja dingin kayak ea. Sayang, Kiano beneran baik kan sama kamu?"

Caca mengangguk yakin.

"Syukurlah. Mommy senang dengarnya. Ya udah, kita langsung makan aja ya? Mommy tahu kamu pasti lapar kan?"

Lagi-lagi Caca mengangguk. Lalu keduanya pun bergegas menuju ruang makan. Di meja makan, Kiano tampak berbincang dengan sang Daddy. Caca pun menyalami Ayah mertuanya, lalu duduk di sebelah Kiano.

"Gimana kabar kamu, Ca?" Tanya Daddy Kiano, Regar.

"Baik, Dad." Jawab Caca dengan senyumannya yang khas.

"Syukurlah... Daddy senang mendengarnya." Regar ikut tersenyum. Begitu pun dengan Ariana. "Ya udah, jangan ngobrol lagi. Ayo makan, mereka pasti udah lapar banget."

Mereka pun menyantap hidangan dengan khidmat. Namun, di sela makan mereka. Regar kembali bersuara. "Berhubung kalian udah mau lulus, rencananya mau lanjut kuliah di mana?" Regar memandang keduanya bergantian.

Caca menjawab lebih dulu. "Caca lanjut di Indo aja kayaknya, Dad."

"Loh, kenapa gak ambil ke luar negeri aja? Kayaknya Kiano dulu pernah bilang mau kuliah di luar negeri deh." Timpal Ariana. Spontan Caca pun menoleh ke arah Kiano yang masih asik makan.

"No, kamu beneran mau ninggalin Caca di sini? Yakin mau LDR?" Imbuh Ariana.

Caca yang mendengar itu memilih lanjut makan.

"Aku gak bisa maksa Caca buat ikut." Sahut Kiano sekenanya.

Ariana dan Regar pun saling melempar pandangan. Sebenarnya mereka tahu hubungan keduanya tidak baik-baik saja sejak awal. Meski kadang Caca menutupi semua itu dan selalu memuji Kiano di depan mereka. Kiano putra mereka satu-satunya, tentu saja mereka tahu prilaku anaknya seperti apa.

Regar berdeham kecil. "Setidaknya beri kami cucu dulu sebelum kalian pisah. Supaya Caca juga gak kesepian pas kamu tinggal, No."

Uhuk!

Caca tersedak saat mendengar itu, cepat-cepat ia meneguk air minum. Matanya ikut berair karena menahan perih di kerongkongan.

Ariana menatap Caca dan Kiano bergantian. "Daddy kalian benar, udah saatnya kalian buat program bayi."

Kiano melirik Caca sekilas. "Aku pasti kasih kalian cucu, tapi bukan sekarang."

Caca tertohok. Ia tahu betul ke mana arah pembicaraan Kiano. Tentu saja lelaki itu akan memberikan seorang anak, tetapi bukan bersama dirinya. Caca menghela napas pelan. Dan suasana pun mendadak canggung. Tidak ada lagi pembicaraan yang keluar dari mulut mereka sampai acara makan siang pun selesai dan keduanya berpamitan pulang.

Chapter 2

Sepanjang perjalanan pulang, Caca terus diam sambil melihat jalanan ibu kota. Sesekali terdengar helaan napas kasar. Tentu saja hal itu menarik perhatian Kiano yang tengah mengemudi.

"Jangan terlalu dianggap serius permintaan mereka. Kita udah sepakat buat pisah setelah lulus." Ujar Kiano menyadarkan Caca dari lamunannya.

Caca pun menoleh. "Gue gak lagi mikirin itu. Yang gue pikirin itu gimana perasaan mereka pas tahu kita bakal cerai? Huft... gak seharusnya dari awal kita bersikap seolah hubungan kita baik-baik aja. Akan lebih mudah kalau mereka tahu hubungan kita dari awal."

"Daddy sama Mommy tahu. Mereka cuma pura-pura gak tahu."

Caca terdiam.

"Mereka sengaja minta cucu supaya kita gak pisah. Karena mereka juga tahu rencana kita."

Caca memijat batang hidungnya karena kepalanya sangat pusing. Ia merasa berdosa karena mempermainkan perasaan orang tua. "Kenapa dari awal lo gak nolak aja perjodohan ini?"

Kiano melirik Caca lagi. "Aku udah sering bilang. Aku cuma mikirin kesehatan Daddy. Dulu kamu juga berhak nolak, tapi kamu diem aja."

Caca terdiam lagi.

"Kubur perasaan apa pun yang kamu miliki buatku. Karena aku gak bisa ngasih balasan apa pun." Imbuh Kiano.

Caca menarik napas panjang. "Gue gak pernah ngarep apa pun dari elo sejak awal. Jadi jangan khawatir. Habis ini kita jalan di jalur masing-masing."

"Hm."

Tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka. Sampai mobil yang mereka naiki tiba di rumah. Keduanya pun masuk ke kamar masing-masing tanpa sepatah kata pun.

****

Minggu siang, Randy benar-benar menjemput Caca seperti janjinya. Lelaki itu turun dari mobil sesampainya di gedung apartemen. Tidak lama Caca muncul. Seketika Randy terpaku melihat penampilan Caca saat ini.

Gadis itu memakai kaos kebesaran berwarna putih yang dipadukan dengan rok mini berwarna lilac. Tidak lupa tas selempang berwarna senada. Juga sebuah topi yang menutupi sebagian kepalanya. Wajah oriental dengan bibir yang tipis, mata lebar berbingkai alis tebal, berpadu dengan hidung yang lurus meruncing. Semua itu tak luput dari perhatian Randy. Bagaimana mungkin Randy tak tertarik padanya, Caca sangat mempesona dilihat dari sisi mana pun. Kecuali Kiano tentunya, lelaki itu tidak melihat semua itu dalam diri Caca. Lelaki itu terlalu mencintai kekasihnya. Mungkin.

"Yuk." Ajak Caca yang berhasil membuat Randy terhenyak.

"Eh, ayo." Randy yang salah tingkah pun terlihat lucu di mata Caca.

"Aneh banget lo, Ran." Caca menggeleng sebelum masuk ke dalam mobil lelaki itu. Lalu mereka pun beranjak pergi.

"Mau rasa apa?" Tanya Randy saat keduanya tiba di kedai es krim yang cukup terkenal. Bahkan saat ini kedai itu hampir dipenuhi para pengunjung. Beruntung mereka masih kebagian kursi meski agak pojokan.

"Vanilla aja." Jawab Caca, kemudian ia meneliti sekelilingnya. Sampai matanya tak sengaja menangkap sosok yang amat ia kenali. Tidak jauh dari tempat mereka duduk, terlihat Kiano dan Anya sedang bermesraan. Keduanya saling suap sambil sesekali tertawa kecil.

"Suka?" Tanya Randy lagi yang berhasil menarik atensi caca. Spontan Caca pun menoleh yang diiringi anggukan kecil.

"Udah lama pengen ke sini, baru hari ini kesampean. Thanks." Ucap Caca dengan tulus. Tentu saja ucapan sederhana itu berhasil membuat Randy merasa senang.

"Senang bisa jadi orang pertama yang bawa elo ke sini." Ucapnya.

Tidak butuh menunggu lama pesanan mereka pun datang. Caca terlihat begitu antusias saat melihat es krim pesanannya. "Wah, beneran bikin air liur gue meleleh ini mah."

Randy yang mendengar itu tersenyum senang. "Seneng liat lo sebahagia ini."

Caca tertawa kecil. "Gue itu tipe orang yang mudah bahagia tahu."

"Oh ya?" Caca mengangguk. Lalu menyendok dan melahap es krim vanilla miliknya dengan semangat.

Randy kagum dengan cara Caca makan, sama sekali tidak ada kesan jaim.

Merasa terus diperhatikan, Caca pun menoleh. "Kok gak makan?"

Randy tersenyum. "Liat lo makan aja gue udah kenyang."

Mendengar itu Caca tertawa geli. "Ya udah, liatin gue aja terus biar lo kenyang. Lumayan kan hemat." Guraunya.

"Pengennya sih gitu."

"Dasar." Caca pun kembali menyantap es krim kesukaannya. Rasanya benar-benar senang karena keinginannya bisa terpenuhi. Keduanya pun mengobrol kecil sambil sesekali bergurau. Setelah puas, keduanya pun bergerak ke bioskop. Dan di sana lagi-lagi Caca bertemu dengan suaminya, tetapi mereka sama-sama tak peduli dan tak saling kenal.

****

Tidak terasa, hari kelulusan pun tiba. Kini semua sisiwa yang lulus berada di ruang aula yang sudah didekorasi sedemikian rupa. Pembawa acara pun mulai mengumumkan para siswa berprestasi. Dan Kiano menjadi salah satunya. Lelaki itu pun diminta untuk naik ke atas podium mewakili teman-temannya.

Semua siswa dan siswi pun bertepuk tangan begitu meriah, bahkan ada yang bersorak saat Kiano menaiki podium. Kiano terlihat begitu tampan dengan stelan jas yang mencetak tubuh atletisnya. Kemudian lelaki itu menyampaikan susunan kata yang dipersembahkan untuk para guru dan teman-temannya. Tentu saja hal itu disambut sorakan dan pujian dari para penggemarnya.

Sedangkan di bangku agak pojokan, Caca terlihat duduk manis dengan tatapan lurus ke depan. Menyimak kata demi kata yang keluar dari mulut suaminya. Caca juga tak kalah cantik dengan balutan kebaya berwarna mocca. Sangat kontras dengan kulitnya yang putih susu.

"Cih, di depan umum aja dia bisa ngomong manis." Gumamnya yang kemudian mengalihkan perhatian ke tempat lain. Lalu matanya tak sengaja bertemu dengan tatapan Anya, kekasih suaminya.

Wanita itu tersenyum miring, entah apa maksudnya? Caca sendiri bingung. Namun, ia tak ingin memikirkannya dan kembali memusatkan perhatian ke atas podium. Sesekali Caca menguap karena bosan. Kiano cukup panjang berpidato di depan sana.

Dan acara pun ditutup dengan sesi foto bersama. Semua siswa kelas dua belas naik ke atas podium dan mencari tempat masing-masing.

Randy berinisiatif mengulurkan tangannya saat Caca hendak naik ke atas panggung. Tentu saja gadis itu tersenyum dan menerima uluran tangannya. Dan tanpa mereka sadari semua itu tak luput dari pengawasan Kiano.

Sang fotografer pun mulai mengatur posisi mereka. Dan tanpa diduga Caca diminta berdiri di sebelah Kiano.

Eh?

Caca maupun Kiano sama-sama kaget karena tak menyangka mereka berdampingan sekarang. Namun keduanya bersikap seolah tak mengenal satu sama lain. Caca pun tersenyum saat sang fotografer memberikan aba-aba. Sedangkan Anya terlihat sebal karena harus berjauhan dengan Kiano.

Setelah sesi foto, Anya langsung menggeser posisi Caca dan menatapnya sengit. Tentu saja Caca tak peduli dan bergegas turun dari sana.

Saat sedang asik mengobrol dengan teman-teman sekelasnya, Caca mendapat sebuah pesan dari Kiano.

Ke mobil sekarang.

Begitulah isi pesan singkat dari Kiano. Caca pun hanya membacanya dan langsung berpamitan pada teman-temannya yang lain dengan alasan ingin ke toilet.

Setelah melihat situasi aman, Caca bergegas masuk ke mobil suaminya.

"Ada apa?" Tanyanya menatap Kiano lekat.

Lelaki itu menoleh sekilas. Lalu memberikan sebuah amplop coklat padanya.

Dengan ragu Caca menerimanya.

"Aku udah tanda tangan, tinggal kamu yang tanda tangan." Katanya.

Caca membuka dan melihat isinya yang tarnyata itu surat perceraian.

"Pulpen?" Caca menengadahkan tangannya ke arah Kiano, sedangkan matanya masih setia membaca surat itu.

Dengan malas Kiano mengambil pulpen dari dasboard mobilnya dan memberikan itu pada Caca.

Tanpa banyak bicara Caca pun langsung menandatanginya. Lalu mengembalikan surat itu pada suaminya.

"Udah kan? Gak ada lagi yang perlu gue tanda tangan?"

"Hm." Sahut Kiano. Lalu Caca pun hendak turun tetapi Kiano menahan lengannya. Spontan Caca pun menoleh.

"Kenapa lagi?"

"Sore ini Mommy ngajak kita buat rayain kelulusan, Mama sama Papa kamu juga ikut." Ujarnya. Tentu saja Caca paham maksud suaminya itu.

"Iya, nanti gue ke sana. Kirim aja alamatnya." Sahut Caca yang langsung turun dari mobil. Bahkan ia terlihat buru-buru menjauh dari mobil suaminya itu karena takut ada yang melihat.

Kiano melempar surat perceraiannya itu ke kursi penumpang yang tadi Caca duduki. Lalu menancap gas untuk meninggalkan pekarangan sekolah karena ingin menyerahkan surat itu secepatnya.

Chapter 3

"Selamat buat kelulusan kalian berdua ya?" Ucap Ariana menatap putra dan menantunya dengan tatapan berbinar.

Caca tersenyum ramah. "Makasih, Mom." Ucapnya kemudian.

"Terus gimana soal cucu? Udah bisa dong direncanain?" Celetuk Tias, Mama Caca.

"Ma." Caca memelototi Mamanya itu lalu melirik Kiano sekilas. Seperti biasa lelaki itu terlihat tenang dan mengabaikan pertanyaan. Dan ujung-ujungnya Caca yang harus menanggapi.

"Mommy juga setuju. Udah saatnya kalian rencanain punya anak. Apa lagi kalian bakal ldr-an." Timpal Ariana.

Spontan Tias dan Ferry pun menatap Caca dan Kiano bergantian.

"Maksudnya gimana ya?" Tanya Tias yang memang belum tahu soal rencana Kiano yang akan melanjutkan kuliah di luar negeri.

Caca menggigit ujung bibirnya, berharap Kiano segera mengatakan soal perceraian mereka supaya tidak lagi memberikan harapan palsu pada mereka.

Kiano meraih gelas jusnya, lalu menyesap sedikit dan kembali menaruhnya di meja. "Mom, Dad, Ma, Pa." Akhirnya pemuda itu pun bicara.

Spontan semua pandangan pun tertuju padanya.

Kiano menatap mereka semua bergantian lalu mengutarakan tujuannya. "Aku sama Caca sepakat buat cerai."

"Apa?" Kaget keempatnya kompak. Seketika suasana pun hening.

"No, apa-apaan ini?" Tanya Regar menatap Kiano tajam. Beruntung penyakitnya tidak kambuh karena kaget mendengar pernyataan anaknya barusan.

Dengan tenang Kiano membalas tatapan Daddy-nya itu. "Aku sama Caca emang gak cocok sedari awal. Jadi kita mutusin buat cerai setelah lulus."

"Caca?" Ariana menatap menantunya itu penuh harap.

"Maaf semunya. Caca juga gak bisa jalanin pernikahan yang kayak gini terus. Kita berdua lebih baik pisah dari pada nyakitin perasaan satu sama lain." Jelasnya dengan raut wajah sedih. Sebenarnya Caca sakit saat melihat kekecewaan di wajah orang tua dan mertuanya saat ini. Apa lagi kedua orang tuanya diam tanpa memberikan komentar apa pun. Itu artinya mereka benar-benar kecewa.

Cukup lama suasana pun hening. Sampai Regar pun kembali angkat bicara.

"Kalau emang itu keputusan kalian, Daddy harus bilang apa? Mungkin sedari awal Daddy yang salah karena maksa kalian berdua. Kami semua gak akan paksa kalian lagi." Putusnya. Sontak Ariana pun merengek karena tak terima dengan keputusan suaminya.

"Kiano, kamu udah mikirin matang-matang kan, Nak?" Akhirnya Papa Caca pun angkat bicara.

Kiano mengangguk yakin. "Kami berdua udah sepakat buat pisah, Pa."

Tias menatap putrinya iba. Ada rasa penyesalan mendalam karena ikut menjodohkan putrinya dengan Kiano dulu. Karena keegoisannya itu Caca harus menjadi janda diusia yang masih belia.

Caca meraih tangan Tias dan menggenggamnya erat, lalu tersenyum seolah mengisyaratkan jika dirinya baik-baik saja.

Hari yang harusnya penuh kebahagiaan itu pun berubah menjadi hari penuh kekecewaan dan kesedihan. Namun itu tak berlaku bagi Kiano, karena pemuda itu terlihat santai seolah tak terjadi apa pun.

****

Sidang perceraian pun berjalan dengan lancar. Keduanya resmi bercerai secara hukum maupun agama. Keluarga Kiano memberikan sebuah rumah mewah dan uang yang cukup besar sebagai harta goni gini. Meski Caca tak pernah memintanya.

Ariana memeluk Caca erat usai persidangan. "Sampai kapan pun Mommy akan terus anggap kamu satu-satunya menantu, Ca."

Caca memeluk mantan mertuanya itu dengan hangat. "Makasih, Mom. Caca juga bakal anggap kalian seperti orang tua sendiri sampai kapan pun."

Regar mengusap kepala Caca lembut. Bagaimana pun mereka sudah terlanjur mencintai Caca seperti putrinya sendiri. Sedangkan Kiano tampak diam sejak tadi. Sepertinya pemuda itu merasa lega karena akhirnya terlepas dari ikatan pernikahan yang membelenggunya.

Dan mereka pun harus berpisah di sana. Kiano pulang ke rumah orang tuanya dan Caca dibawa pulang oleh orang tuanya juga.

Sepanjang perjalana pulang Caca tampak diam sambil menatap ke luar jendela. Tias yang melihat itu pun semakin merasa bersalah.

"Papa minta maaf, Ca. Gak seharusnya Papa jodohin kalian. Papa merasa jahat sama kamu, diusia semuda ini status kamu udah janda. Papa pikir pernikahan kalian bakal berhasil." Lirih Papa melirik putrinya dari cermin.

Caca yang mendengar itu pun menatap Papanya dengan senyuman. "Ck, Papa santai aja. Caca gak papa kok, lagian gak ada yang tahu soal pernikahan kami."

Tias menatap putrinya iba. "Tapi calon suami kamu nanti pasti tahu, Caca."

Caca tersenyum lagi. "Mama sama Papa tenang aja, aku juga gak ada niat buat nikah lagi dalam waktu dekat. Aku mau kejar cita-cita dulu. Mau jadi orang sukses. Baru deh mikirin soal pasangan."

Ferry tersenyum kecil. "Papa harap kamu bahagia selalu, Ca. Kedepannya Papa gak akan maksa kamu lagi buat lakuin hal yang gak kamu suka. Terus gimana soal study kamu?"

"Aku ambil kedokteran, Pa. Alhamdulillah lulus." Jawabnya. Sontak kedua orang tuanya pun terlihat bahagia.

"Alhamdulillah, Papa seneng dengernya."

"Mama juga. Anak kita emang pinter, Pa. Cocok jadi dokter. Dokter Caca." Ujar Mama yang berhasil mengundang tawa keduanya. Dan perjalanan pulang mereka pun dipenuhi canda tawa.

Berbeda dengan Kiano, sejak tadi kedua orang tuanya sama sekali tak bicara. Bahkan sampai rumah pun mereka mengabaikannya begitu saja. Kiano tidak terpengaruh sama sekali karena semua ini memang sudah menjadi keputusannya.

Dua bulan setelah perceraian, Caca benar-benar menjalani kehidupannya dengan bebas. Ia juga tinggal sendirian di apartmenenya. Dan selama itu pula dirinya disibukkan oleh segala macam urusan untuk masuk perguruan tinggi.

Namun, beberapa bulan ini Caca selalu merasa aneh dengan tubuhnya. Ia sangat mudah lelah dan mengantuk. Bahkan kadang Caca juga mual dipagi hari. Bukan hanya itu, ia juga sering tidak bisa tidur si malam hari. Dan itu cukup menganggunya.

Caca menaruh buku yang baru selesai ia baca di tempat semula. Lalu tidak sengaja ia melihat kalender siklus haidnya, seketika ia baru sadar sudah tiga bulan dirinya tidak haid. Sangking sibuknya ia sampai lupa akan hal itu.

Diambilnya kalender itu dengan cepat, lalu dilihatnya hari terakhir ia haid. Benar saja, sudah tiga bulan ia tidak haid dan itu membuat jantungnya berdebar cepat.

"Gak, gak mungkin." Caca kembali mengingat kejadian malam itu. Di mana ia dan Kiano tidak sengaja menghabiskan malam bersama. Ia tersenyum getir. "Gak mungkin, Ca. Kalian cuma lakuin itu sekali. Mana bisa elo hamil?"

Ia terus berusaha meyakinkan dirinya. Digenggamnya erat kalender itu hingga ujung jarinya memutih. Caca benar-benar takut sekarang. Bagaimana jika dirinya benar-benar hamil?

Caca berjalan cepat ke arah cermin, lalu menyingkap kaos yang ia kenakan. Lagi-lagi Caca baru sadar jika perutnya sedikit membuncit. Dan hal itu membuatnya semakin yakin jika dirinya tengah hamil.

"Gue beneran hamil? Dan ini anak si brengsek itu?" Tanyanya pada diri sendiri lalu tersenyum getir. "Hah, kayaknya gue gila sekarang."

Caca kembali menurunkan kaosnya, lalu menyambar tas dan kunci mobilnya. Dari pada terus menerka-nerka tanpa ada kepastian, lebih baik ia memastikannya sendiri ke dokter.

"Gimana, dok?" Tanya Caca setelah dokter memeriksanya.

Dokter itu menatap Caca dan kertas-kertas di depannya bergantian. "Umur kamu berapa?"

"Delapan belas, dok."

"Kamu udah nikah?" Tanyanya lagi. Caca terhenyak karena mendapat pertanyaan itu. "Em... dua bulan lalu baru cerai, dok."

Dokter itu pun tampak kaget. "Jadi masih dalam masa iddah ya?"

Caca hanya mengangguk seraya meremat jemarinya karena gugup. Pasalnya ia tidak ada masa iddah karena Kiano tak mengakui jika mereka pernah tidur saat dipersidangan.

Dokter wanita itu menghela napas panjang. "Kalau boleh tahu, kapan hari pertama haid terakhirnya?"

Caca menggigit bibirnya. "Tiga bulan lalu, dok."

Alis sang dokter saling tertaut. "Lho, kamu baru sadar sekaranng?"

Caca mengangguk lagi seraya menatap dokter itu lekat. "Saya hamil ya, dok?" Tanyanya takut-takut.

Kini dokter gantian yang mengangguk. Sontak Caca pun memejamkan matanya sejenak sebelum kembali menatap sang dokter. "Tapi kami melakukannya cuma sekali, Dok. Karena itu saya pikir gak akan jadi masalah dan setuju buat cerai."

Dokter itu kembali menghela napas. "Itu bisa aja terjadi. Mungkin saat kalian melakukan itu, kamu sedang dalam masa subur. Umur kamu masih muda banget, emang mantan suami kamu umur berapa?"

"Seumuran, dok. Saya sama dia dijodohin. Kita nikah pas masih SMA."

Sekarang dokter itu pun paham permasalahannya. "Oke, tapi hal ini gak boleh kamu sembunyiin dari dia ya? Berhubung masih dalam masa iddah. Kalian bisa pikir-pikir lagi buat rujuk. Kasian kan anaknya kalau kalian pisah."

Caca tampak berpikir. "Kayaknya itu gak mungkin, dok. Dia benci banget sama saya. Lagian dia udah punya pacar dan sekarang lagi di luar negeri. Kayaknya saya bakal besarin anak ini sendiri."

Dokter terdiam lumayan lama. "Mau usg? Tawarnya kemudian.

Caca menganguk karena ia juga penasaran dengan kondisi janinnya. Tanpa sadar Caca mengelus perutnya. Ada sedikit rasa takut dan bahagia dihatinya. Caca harap ia bisa melewati semuanya dengan baik meski Kiano tak tahu soal anaknya itu. Lagipula Caca tidak yakin lelaki itu akan menerima anak dalam perutnya. Kata-kata lelaki itu masih ia ingat jelas karena itu Caca ragu untuk memberi tahunya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!