****
Alfiya Maharani, bagi seorang gadis berusia 22 tahun itu, dunianya terasa sangat indah saat ini. Perempuan muda dengan rambut lurus sepinggang itu sangat bersyukur dengan kebidupannya. Memiliki banyak teman-teman yang menyenangkan dan mimpi yang sama. Apalagi saat ini ia memiliki Joeshua Mahendrata, laki-laki berusia 23 tahun yang tak lain adalah kekasihnya yang kini telah menjalin hubungan dengannya selama hampir tujuh tahun ini. Seperti pasangan kekasih pada umumnya tentu pasangan ini memiliki mimpi untuk mengarungi bahtera rumah tangga nantinya.
Namun sayang, sepertinya jalan Alfiya untuk membangun keluarga impian bersama Joe tidak semulus yang ia pikirkan. Semua bermula oleh sebuah kejadian memilukan yang menimpa keluarganya.
Karena pada saat itu sang kakak tercinta, Anggita Maharani. Perempuan berusia 28 tahun yang sudah menikah dan memiliki seorang anak itu meninggalkan ia dan keluarganya oleh sebuah kecelakaan yang tidak pernah diduga.
Sedih, pilu dan kehilangan. Semua perasaan itu bercampur menjadi satu.
Yang lebih menyedihkan adalah, sang kakak meninggalkan suami dan juga anaknya yang masih berusia 2 tahun.
Karena sebuah alasan itulah, akhirnya sang ibu yang bernama Ernika, memutuskan untuk menikahkan ia dengan sang kakak ipar yang masih merasa dirundung duka Elvan Wirajaya.
Alfiya tentu saja dengan keras menolak hal tersebut. Ia merasa menerima permintaan ibu untuk menikah dengan Elvan itu bukanlah hal yang mudah. Bagaimana mungkin ia harus menikah dengan kakak iparnya sendiri? Dan, juga ia memiliki seorang kekasih yang sudah menjalin hubungan selama hampir tujuh tahun. Bagaimana mungkin ia akan meninggalkan kekasihnya untuk menikahi pria lain.
Tentunya permintaan itu membuat tertekan dan sangat terbebani.
Bagaimanakah Alfiya menghadapinya?
****
Elvan Wirajaya, laki-laki berusia 29 tahun yang sangat bahagia dengan keluarga kecilnya. Memiliki seorang istri yang cantik dan juga anak yang begitu menggemaskan.
Baginya Anggita adalah segala-galanya. Pengobat dikala dia menghadapi segala asa. Ibu dari Anggian Wirajaya, anak semata wayang mereka yang saat ini sedang lucu-lucunya. Wanita yang sudah empat tahun ia nikahi itu adalah seorang wanita yang lembut dan sangat perhatian.
Elvan sangat berharap kebahagiaan itu tidak segera sirna dan akan berjalan untuk selamanya. Namun apa daya takdir berkata lain. Kebahagian yang ia rasakan hilang dalam sekejap.
Wanita manis nan cantik, sang pelipur laranya itu kini telah tiada. Menggoreskan luka didalam hatinya. Rasanya ia tak percaya dan berharap semua ini adalah sebuah mimpi buruk belaka.
Elvan terus merasakan pilu yang luar biasa saat istri tercintanya itu meninggalkan ia dan putra mereka untuk selama-lamanya.
Belum juga kepedihan itu hilang, ia kembali harus dihadapkan oleh permintaan ibu mertuanya yang sama sekali tidak peenah ia duga. Pasalnya, ia diminta untuk menikahi Alfiya, adik kandung dari istrinya sendiri. Seorang wanita yang sudah ia anggap adik selama ini.
Kenyataan ibu Ernika yang beralasan Anggian butuh figur seorang ibu, membuat sudut hati kecil Elvan membenarkan hal itu.
Elvan tidak bisa berpikir dengan baik, namun ia tetap terdesak. Seperti tidak memberinya waktu, ibu dari mendiang istrinya itu terus mengharapkan ia untuk dengan segera menikahi sang adik ipar.
Akankah Elvan menyetujui permintaan ibu mertuanya?
*
*
*
*
Visual!! Ora sesuai ekspektasi yo wes, ngehalu sendiri-sendiri woke ges 🤪
1. Syfa Hadju : Alfiya Maharani
2. Rizky Alatas : Elvan Wirajaya
3. Jefri Nichol : Joeshua Mahendrata
Holaaaaaa!!
Ini novel teranyar setelah Diam-diam Menikah dengan Aktor.
Up-nya mungkin belum akan lancar. Secara ini novel baru dan juga masih dalam proses ceritanya.
Nantikan.... 😘
****
Saat itu pukul tiga sore, hari ini keluarga besar dari bapak Imran sedang merayakan ulang tahun, Anggian yang ketiga. Sekaligus juga ulang tahun pernikahan Anggita dan Elvan. Mereka mengundang kerabat juga tak lupa anak-anak yatim piatu dari panti asuhan, sahabat dan para tetangga.
Alfiya tampak mengelilingi halaman, menyapa anak-anak tetangga dan panti asuhan yang ada disana. Alfiya memang sangat suka anak-anak. Menurutnya anak-anak itu sangat lucu dan menggemaskan. Oleh sikapnya yang seperti inilah, aura keibuannya pun sudah terpancar.
"Fiya...." Terdengar suara memanggil dari kejauhan, dimana kerumunan ibu-ibu tetangga sebelah sedang berbincang-bincang.
"Iya buk...." Sahutnya kemudian. Anak kecil yang ada dalam gendongannya itu segera ia turunkan.
"Kamu turun dulu ya cantik, onty mau kesana dulu." Setelah menurunkan anak kecil itu ia pun bergegas menghampiri ibu Ernika.
"Ada apa buk?" Tanya Alfiya saat sampai didekat sanga ibu.
"Cariin Anggian gih. Kamu suapin dia makan dulu. Dari tadi dia belum makan, ibuk sama mbak kamu terlalu sibuk, jadi kelupaan buat kasih Gian makan." Perintah Ibu.
"Emang Anggian dimana?" Alfiya menautkan kedua alisnya.
Lantas ibu pun melotot. "Kalau ibu tau, ibu nggak akan menyuruh kamu buat cari!"
Melihat raut galak ibunya Alfiya pun mangut. "Iya deh buk, Alfiya akan cari." gadia itu lalu manyun. Ia lantas bergegas pergi mencari Anggian.
Berjalan menyusuri halaman dan melewati orang-orang untuk mencari sang keponakan lalu langkah kaki Alfiya pun terhenti. Penampakan sosok laki-laki berjaket hitam yang tengah memegang helm hitam mengkilap menarik perhatian Alfiya. Laki-laki jangkung yang tengah berdiri disisi pagar rumah diantara kerumunan orang yang baru datang itu terlihat melambaikan tangan
"Joe!" Seru gadis itu.
Itu pacarnya!
Alfiya menutup mulutnya kegirangan, maka dengan cepat ia pun melangkah berlari melewati orang-orang menuju sang pacar yang tengah tersenyum sumringah terhadapnya.
"Aaaa...." Alfiya terlihat menahan diri, karena sesungguhnya ia sangat ingin memeluk Joe, namun ia tahan karena ada banyak orang disana.
"Pergi sekarang yuk." Ajak joe meraih telapak tangan halus Alfiya sembari menuntunnya untuk keluar dari halaman rumahnya.
Alfiya menahan diri sejenak untuk mengikuti Joe. "Aku izin dulu ya sama ibuk." sorot matanya memohon.
Lalu Joe mendelik. "Emang bakalan diizinin?" ia melebarkan matanya dengan sorot mata tidak yakin.
Alfiya lalu terdiam. Seperti pengalaman yang lalu-lalu, ibu pasti akan melarang keras kalau ia pergi bersama Joe.
Gadis itu lalu menghela nafas. "Nggak sih kayaknya." Iya lalu menoleh kebelakang menatap ibu yang tengah sibuk menyapa ramah orang-orang.
"Soalnya lagi sibuk banget sekarang." suara Alfiya mengecil karena tidak yakin.
"Ya, udah. Kabur aja." Joe menautkan kedua alisnya tersenyum.
Terlihat ragu sejenak sembari menatap wajah tampan sanga pacar, lalu Alfiya pun mengangguk setuju.Ia pun lantas pergi meninggalkan kesibukkan yang tengah terjadi dirumahnya. Ia sampai melupakan sesuatu, kalau tadi rupanya sang ibu menyuruh untuk mencari Anggian.
Akhirnya diiringi mesin motor yang menderu, setelah pengangan erat Alfiya pada Joe motor itu pun melaju.
****
Disatu sisi, Anggita juga tak kalah sibuk.
"Ah, iya. Terimakasih sudah datang." Begitulah senyuman ramah dari bibir Anggita menyambut tamu-tamu yang berdatangan.
Tak berapa lama Anggita mendengar dering telepon dari ponselnya. Maka segeralah dia jawab panggilan yang rupanya dari belahan jiwanya tersebut.
"Halo! Baru mau mulai, yah. Iya, aku tunggu. Hati-hati ya sayang." Begitulah ia menyapa sang suami melalui ponsel.
Anggita menutup panggilan tersebut dengan hati berbunga-bunga. Sebentar lagi suaminya akan pulang untuk bergabung dengan mereka. Suaminya sangat sibuk dan tentu saja Anggita memahami itu. Untungnya hari ini sang suami mau meluangkan waktu untuk sejenak.
"Gita...."
Terdengar ibu memanggil ditengah kebisingan itu.
"Iya buk." Anggita menyahuti ibu yang mendekat.
Perempuan satu anak itu masih menyambut tamu yang datang. "Terimakasih mbak udah datang."
"Gian mana?" Ibu mendekati Anggita. "Tadi ibu menyuruh Fiya buat nyariin Gian. Sekarang kemana anak itu?" ujar ibu sedikit kesal.
Anggita tersentak. "Eh, Gian nggak kelihatan ya buk?" Ia pun melotot khawatir.
"Coba deh, kamu cariin." Saran ibu khawatir. "Duh, si Fiya ini kemana sih. Orang lagi sibuk begini malah menghilang." Ibu ngedumel dengan nafas memburu.
****
Lalu, saat itu Anggian kecil tengah berjalan diantara kerumunan tubuh tinggi yang ia lewati. Anak menggemaskan itu tengah melangkah menyusuri jalanan sesuai arahnya.
Mungkin tidak ada yang menyadari bahwa Anggian kecil tengah bahagia atas kebebasannya. Dia yang biasanya hanya ada dalam pengawasan atau gendongan kini bisa bebas kemana saja melangkahkan kaki.
Suara mobil es krim tiba-tiba menarik perhatian Anggian. Sosok mungil itu melangkah dengan cepat, tertawa kegirangan mendengar suara yang begitu mengasikkan ditelingannya menuju luar pagar. Melewati gang menuju jalananan besar yang penuh hiruk pikuk lalu lalang kendaraan, yang semakin jauh dari rumah. Sepertinya orang-orang juga terlalu sibuk sehingga tidak menyadari langkah kecilnya yang semakin jauh.
****
"Duh, dimana sih?" Anggita mulai tidak tenang, Anggian tidak ditemukan didalam rumah atau pun dihalaman. Dia sudah mencari kemana pun.
"Gimana ketemu?" Tanya ibu.
Anggita ngos-ngosan. "Enggak ada buk." sahutnya menyentuh kepala semakin cemas. "Apa mungkin dibawa keluar sama Fiya, ya?" Terkanya.
"Itu dia, tadi ibu suruh si Fiya nyariin Gian." sahut ibu.
Tak berapa lama sosok remaja dengan seragam putih abu-abu menghampiri mereka. "Kenapa, mbak?" Begitulah pertanyaan Rian yang baru pulang sekolah saat melihat raut kegundahan kakak iparnya.
"Mbak lagi nyariin Gian, kamu lihat nggak?" tanya raut khwatir Anggita dengan wajah yang hampir memucat.
"Nggak sih, cuman tadi aku lihat mbak Fiya pergi sama Joe." jelas Rian lagi.
"Fiya pergi sama pacarnya!?" ibu bertanya penuh keterkejutan.
Lalu Anggita menyambar. "Dia nggak bawa Gian?"
"Enggak. Mereka cuma boncengan berdua." Sahut Rian.
"Ya, tuhaaan.... kemana kamu nak...." Anggita langsung berlari sembari mengarahkan pandangannya kesegala arah. Ia semakin was-was tak kala sang putra tidak ditemukan batang hidungnya.
Tak sebuah musik yang sedang diputar berhenti menyala, berganti dengan suara mic yang menggema. "Ada yang lihat Gian nggak, anaknya mbak Gita."
Mendadak suasana sunyi sejenak.
"Anak kecil yang ada digambar itu ada yang lihat nggak?" Tanya Rian lagi menunjuk gambar Gian yang terpampang dengan tulisan Happy Birthday Gian.
Semua tamu riuh. Mereka satu persatu mencoba mengenali anak laki-laki seumuran Gian. Sebagian lagi ada yang berusaha mencari disekitaran rumah.
"Ada nggak yang lihat?" Mic itu bersuara lagi.
Mereka menggeleng, melambaikan tangan tidak tahu, ada juga yang menjawab berteriak tidak melihat. Anggita semakin panik. Maka segera ia berlari menuju luar pagar. Lehernya terasa kering, rasa cemasnya semakin menjadi.
"Aduh Nak, kamu dimana sayang." Anggita terus menyusuri jalan dengan cepat. Berlari diantara lalu lalang orang-orang yang akan menuju rumahnya.
Lalu beberapa saat kemudian maka mata yang tadi meras cemas itu tiba-tiba tersenyum sumringah. Ia melihat Gian tengah menangis meronta digendong oleh ibu-ibu pemilik warung dipinggir gang itu.
Anggita pun berlari cepat. "Anak saya buk." ujarnya ngos-ngosan.
"Ya ampun buk, untung saya lihat. Tadi dia udah ditengah jalan situ. Untung aja disana lagi lampu merah." Ujar ibu-ibu berdaster itu. "Lain kali anaknya dijaga buk, giman kalau terjadi apa-apa."
Anggita tersenyum cemas karena merasa bersalah. Ini memang salahnya karena tidak memperhatikan sang anak. Ia pun kemudian mengucap terima kasih sebanyak-banyaknya.
"Mama cepatu, cepatu." Anggian merengek.
"Oh, sepatu kamu." Anggita memperhatikan sepatu Anggian yang memang terlepas berada disisi jalan. "Bentar ya, Mama ambilin. Buk titip bentar ya." Menurunkan Gian dan menitipkannya pada ibu tadi.
Anggita kemudian melangkah cepat menuju sepatu mungil berwarna putih yang tergolek diaspal. Dia tidak melihat kiri kanan. Hingga akhirnya suara teriakan kencang ibu-ibu pemilik warung pun menyentaknya bersamaan suara klakson mobil yang bersahut-sahutan.
Tiin.... tiin.... tiin....
"AWAS BUK!!" teriak pemilik warung.
Namun naas, tubuh itu pun terpental dengan kuat hingga terkapar, terkulai lemas dan tidak sadarkan diri. Darah pun mulai mengalir deras membuat semua yang melihat mendekat dan berkerumun histeris.
*
*
*
*
Happy Reading!
****
Alfiya masih berada di boncengan Joe saat itu. Motor yang menderu itu melaju kencang membelah jalanan ibu kota. Langit sudah sangat gelap. Sementara Alfiya memeluk Joe dari belakang dengan begitu eratnya. Menyenderkan kepala dipunggung hangat laki-laki itu.
Alfiya meraih ponsel dari dalam tasnya saat ia merasakan dering berkali-kali dari benda itu.
"Joe...." Alfiya menepuk-nepuk bahu sang pacar yang masih menyetir.
Merasakan tangan Alfiya menepuk punggungnya pelan, Joe menoleh sebentar kebelakang. "Kenapa?"
"Joe, berhenti sebentar." Teriak Alfiya kemudian.
Menyadari hal itu kemudian Joe pun meminggirkan motor tipe sportbike miliknya ditempat yang lumayan sepi.
Gadis itu pun kemudian turun dari motor perlahan. Bergegas merogoh ponselnya dari dalam mini slang bag itu. Alfiya lalu memperhatikan layar ponselnya. Ia membelalak lebih 20 kali panggilan tidak terjawab dari Rian. Melihat hal itu tiba-tiba perasaan Alfiya menjadi tidak enak, jarang sekali adik iparnya itu menghunginya berkali-kali seperti ini.
"Kenapa?" tanya Joe dengan tatapan penasaran.
"Rian telepon dari tadi. Kayaknya asa hal penting." sahut Alfiya cemas dengan tangan gemetar.
Joe mendesah santai. "Paling kamu disuruh pulang."
Alfiya berdecak, tidak menggubris sahutan sang pacar. Ingin menelepon Rian balik, namun setika itu juga ponselnya kembali berdering. Alfiya lantas bergegas menggeser layar ponselnya dan Alfiya pun langsung menjawab.
"Ha-halo...." Ucapnya gugup, entah kenapa jantungnya tiba-tiba berdegup semakin kencang.
"Mbak, lo dimana?" Suara diseberang tak kalah cemasnya.
"Masih diluar sama Joe. Kenapa?" sahut Alfiya dengan mata mengerling kesana-kemari, mulai menerka-nerka ada apakah gerangan Rian meneleponnya.
"Mbak kesini sekarang! Kita semua lagi dirumah sakit."
Deg! Jantung Alfiya semakin berdegup-degup tidak karuan mendengar kabar itu. "Si-siapa yang sakit, yan?"
"Cepetan mbak. Mbak Gita ketabrak mobil dan sekarang keadaannya lagi kristis."
Ya, tuhan. Bagai disambar petir. Bibir Alfiya langsung gemetar. Hatinya mencelos dan tubuhnya langsung merosot saat itu juga.
Melihat hal itu Joe langsung cepat menangkap tubuh melemas Alfiya. "Kenapa? Siapa yang telpon? Ada apa fi?" Tanya Joe cemas.
Alfiya menengadakah kepalanya sejenak, berharap sang kakak akan baik-baik saja. Ia lalu menatap Joe.
"Joe, anterin aku ke rumah sakit sekarang. Mbak Gita.... mbak Gita ketabrak mobil." Isaknya kemudian tiba-tiba.
Mendengar hal tersebut Joe pun mengangguk cepat.
****
Beberapa saat kemudian sesampainya mereka dirumah sakit. Alfiya langsung terburu-buru berlari dengan cepat sementara Joe yang baru saja memarkirkan motor mengikutinya dari belakang.
Cemas, Alfiya benar-benar cemas saat ini. Sedari diperjalanan tadi air matanya tak henti-henti mengalir. Setelah mengetahui ruangan tempat kakaknya dirawat Alfiya dengan cepat menuju ke ruangan itu.
Ia terus mencari ruanganan sang kakak dengan cemas dan khawatir. Sesampainya dia ke ruangan yang dituju. Langkah yang tadinya sangat cepat langsung melemah saat itu juga. Semua keluarga berkumpul disana. Ia melihat ibunya yang menangis lemah dengan mata terpejam dipelukan sang ayah yang terlihat tak kalah pilunya. Sementara Elvan, suami kakaknya tengah menangis dengan tubuh menghadap dinding.
Rian yang melihat kedatangan Alfiya bangkit dari duduknya dan bergegas menghampiri.
Dengan air mata yang masih merembes, Alfiya mengikuti langkah Rian yang mendekat. Sorot mata sembab penuh tanya itu sudah cukup untuk seorang Rian memulai untuk menceritakan semua rangkaian kejadian yang menyebabkan sang kakak akhirnya menjadi kecelakaan.
Alfiya semakin meraung mendengar itu. Ia menutup mulutnya agar suara tangis itu tertahan. Tubuhnya merosot sembari bersender pada dinding hingga ia terduduk di lantai. Ini salahnya. Kakaknya seperti ini karena salahnya. Andaikan dia menolak saat Joe mengajak pergi saat keluarganya sedang sibuk oleh acara yang berlangsung tadi. Andaikan ia langsung menuruti permintaan ibunya untuk segera mencari Anggian.
Andaikan, terlalu banyak andaikan di kepalanya saat ini....
"Ini salah mbak Rian.... mbak yang salah." Ucapnya pilu.
"Mbak, jangan nyalahin diri sendiri. Kita doain agar mbak Gita selamat." Ucap Rian mencoba menenangkan.
Alfiya menggeleng tangisnya semakin pilu, biar bagaimana pun ia tetap merasa bersalah.
Melihat hal itu Rian langsung memeluk erat. "Sabar mbak, yakin.... mbak Gita pasti selamat."
Setelah pelukan itu terlepas, Alfiya mengusap air matanya kemudian beranjak hendak menghampiri ibunya. Namun, langkahnya kembali terhenti saat tiba-tiba seorang dokter yang sudah berumur keluar dari ruangan itu.
Kemudian Elvan yang tengah dilanda cemas dan kesedihan dengan langkah berat langsung menghampiri sang dokter yang menatapnya dengan raut wajah yang tak terbaca.
Sejenak dokter itu pun menunduk sebelum akhirnya ia siap mengatakan sesuatu pada sosok pria yang sedang mengharap itu.
Dokter mengangkat tangannya untuk menyentuh bahu Alvian. Ia menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya berat. "Maafkan kami. Kami semua sudah mengusahakan segalanya."
Elvan masih menunggu lanjutan ucapan itu dengan jantung yang berdegub semakin kencang. Tidak jauh beda dengan ibu dan ayah serta semua orang yang ada diruangan itu menunggu dengan harap-harap cemas.
Elvan masih rancu dengan ucapan itu. "Maksud dokter? Jadi istri saya bagaimana?" tanyanya kemudian dengan bibir gemetar.
Dokter itu menatap Elvan dalam-dalam, ia menunduk sejenak dengan tarikan nafas kuat. "Istri anda tidak bisa kami selamatkan. Kami mohon maaf."
Elvan seketika langsung merosot saat itu juga. Dada sesak, rasanya tak percaya jikalau sang istri telah pergi untuk selama-lamanya. Ia tertunduk lunglai tak berdaya.
Ini tidak benar, kan? Ini cuma mimpi bukan? Elvan menggeleng. "Tidak mungkin! Tidak mungkin, dokter. Istri saya...." Elvan mendadak kehabisan kata-kata. Tidak, istrinya tidak mungkin meninggalkannya.
Tuhan, kenapa? Kenapa harus terjadi? Kenapa tidak dia saja, kenapa harus istrinya? Kenapa ini harus terjadi padanya. Bagaimana dia akan hidup, bagaimana dengan anak mereka? Bagaimana dengan dirinya? Rasanya ia tidak sanggup menghadapi ini.
Maka tak lama air mata itu langsung menetes membasahi pipinya. Mulutnya terbuka untuk sebuah tangisan pilu. "Anggita...."
Sementara itu seketika itu juga ibu Ernika ikut menjerit pilu. "Tidak mungkin!! Tidak mungkin!! Anggitaaaaaa.... anakku, putriku...." ibu meraung-raung menjerit dan menangis histeris. Sementara itu sang suami yang sedari tadi memang sudah merasa lemas, lunglai seketika. "Putriku...." ibu terus meraung-raung menangisi putrinya.
Saat itu seketika dunia terasa kosong bagi semuanya. Bumi serasa tidak bisa mereka pijaki. Gelap, menyelimuti hati mereka saat itu juga.
Anggita, dia adalah seorang anak yang sangat menghormati kedua orang tuanya, seorang istri yang begitu mencintai suaminya, seorang kakak yang selalu mengayomi adiknya dan juga ibuk dari seorang anak masih berusia tiga tahun yang masih sangat membutuhkannya itu, kini telah pergi untuk selama-lamanya.
Alfiya pun langsung roboh saat itu juga, Joe yang sedari tadi ada dibelakangnya ingin menangkap, namun sayang ia kalah cepat dari Rian.
"Riaann, mbak Gita.... nggak mungkin pergi. Riaann.... ini salah aku...." Mata sembab itu pun mulai menggelap, hatinya sakit serasa tertarik keluar. "Salah aku Riaan...." Hingga akhirnya Alfiya benar-benar pingsan dipelukan Rian.
Anggita telah meninggalkan mereka selamanya.
*
*
*
*
Like, Vote, Komen ges!
Happy Reading!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!