Sore ini begitu melelahkan bagi Nita. Dia bekerja sebagai guru di Sekolah Menengah Pertama, dia terkadang menambah 2 jam mengajarnya untuk les. Itu dia lakukan untuk menambah penghasilannya mengingat dia membutuhkan biaya yang banyak.
Suaminya juga bekerja, tapi dia yang mempunyai adik di kampung yang masih sekolah, membuatnya harus ekstra bekerja lebih keras. Ibunya seorang janda, Nita tidak tega melihat ibunya yang sudah menua banting tulang, apalagi sering sakit. Dia rela membagi setengah gajinya untuk di transfer ke kampung halaman.
Sesampainya dirumah, dia disuguhkan dengan rumah yang berantakan. Tercium aroma tidak sedap yang mengganggu Indra penciumannya, tapi karena sudah terbiasa, Nita sama sekali tidak menutup hidungnya.
"Astagfirullah…," ucap Nita lalu masuk ke dalam rumah yang tak terkunci, di dalam pasti sudah ada kedua anaknya yang telah pulang sekolah.
"Assalamu'alaikum…," ucap Nita, berharap anak-anaknya datang menyambutnya.
"Wa'alaikumsalam Mah, mamah ko lama pulangnya, itu nenek tadi marah-marah," ucap Riki.
Riki adalah anak Nita yang pertama, dia sudah kelas 1 SMA. Sepulang sekolah Nita menugaskan Riki dan Nabila menjaga ibu mertuanya yang sakit. Makanan selalu Nita sediakan sebelum berangkat mengajar dimeja makan. Ada buah-buahan juga di dalam lemari es, dan ada air hangat di termos.
Ibu mertuanya bernama Maryati memang sudah tua, berjalan dengan menggunakan tongkat, Maryati sakit struk dan sekarang keadaan lebih baik, tapi terkadang pikun, bersikap kekanak-kanakan dan mudah marah. Membuat tak ada perawat yang mampu bertahan lama, berhubung keuangan Nita juga pas-pasan maka dia mulai mengurus ibu mertuanya sendiri sudah hampir satu tahun ini.
Nita menghampiri ibunya yang berada di kamar, "ibu kenapa? Mau apa Bu?" Tanya Nita pelan. Dia masih berusaha sabar. Di kamar sudah tercium bau tak sedap, sepertinya Maryati pipis dikamar, entah itu di kasur atau di karpet. Maryati enggan dipakaikan pampers karena mengeluh gatal dan tidak nyaman. Itu tentu membuat Nita pusing bukan main, serasa serba salah dan merepotkan.
"Ibu mau makan, tapi mau disuapin sama Arman," ucap Maryati sambil cemberut seperti anak kecil.
"Mas Arman belum pulang Bu, biar Nita yang suapin ya, ibu mau makan sama apa?" Tanya Nita.
"Nggak, ibu mau makan sama Arman," protesnya, lalu dilemparkan lah bantal yang berada disampingnya itu ke sembarang arah.
"Yaudah, Nita telepon Mas Arman ya biar cepet pulang, tapi sekarang ibu ganti bajunya ya, biar wangi Bu…," bujuk Nita.
"Memangnya ibu bau? Gak mau, ibu gak mau ganti baju," Maryati menolak, matanya melotot ke arah Nita.
"Bu, nenek serem ya?" Ucap Nabila, dia berdiri bersembunyi dibelakang Nita sang ibu.
Nita yang lelah selepas bekerja, dia tidak bisa menahan emosinya lagi saat melihat ibu mertuanya yang ngeyel, keras kepala dan selalu marah-marah.
"Yasudah kalau tidak mau, ibu tunggu aja sampai mas Arman datang, padahal aku udah baik nawarin ibu, gak tahu apa kalau baju ibu itu bau ompol," ucap Nita sambil berjalan pergi dari kamar sang ibu mertua.
Nabila pun mengikuti sang ibu. Nabila yang memang tidak dekat dengan sang nenek, membuatnya enggan berdekatan apalagi saat ini neneknya suka marah-marah tak jelas. Ya… Maryati lebih membanggakan cucunya yang lain, cucu dari anak sulungnya yang berada diluar kota. Nabila yang masih kecil itu tetap saja merasakan luka hati yang membekas, dia sudah mengerti jika sang nenek pilih kasih dan tidak menyayanginya.
Flashback
Maryati mempersiapkan kue ulang tahun untuk Keysa, cucunya dari Firman anak sulungnya, ulang tahun yang ke 7 waktu itu. Ada kado boneka besar juga disana, kebetulan memang Kesya akan berkunjung ke rumah Maryati berhubung memang mereka tinggal diluar kota.
Nabila pun hadir, Kesya seumuran dengannya. Anak itu menatap kue dua tingkat. Kue yang terlihat enak, banyak balon yang menghiasi rumah neneknya hari ini. Dia memang ada disana, tapi neneknya seolah tak menganggapnya ada. Maryati membanggakan Kesya yang juara satu di kelasnya, memuji Kesya yang cantik dengan bajunya.
"Dek, ko melamun aja?" Tanya Riki yang baru datang. Dia baru pulang sekolah, memang Nabila pulang lebih awal, sekolah Nabila dekat dengan rumah, dia anak yang terbilang mandiri pulang dan pergi sendiri.
"Kenapa nenek lebih sayang sama Kesya kak? Aku belum pernah dapat kado dari nenek," ucapnya lirih, bahkan Nabila kini mulai menangis.
"Dek, kalau mau dirayain, nanti kakak bicara sama mamah ya? Kamu gak usah sedih lagi..! Kita beri selamat dulu sama Kesya, lalu kita pulang..!" Ajak Riki. Dia juga tidak tega melihat sang adik bersedih.
Mereka datang menghampiri sang nenek yang lagi berbahagia, memberi selamat pada Kesya yang sedang memeluk boneka beruang besar.
"Selamat ulang tahun ya Kesya," ucap Nabila. Sesekali dia melirik pada boneka itu, Nabila menginginkannya juga.
"Iya, Nabila kamu mau kuenya?" Tanya Kesya.
"Gak usah, Nabila tinggal minta sama Tante Nita. Nabila juga gak bawa kado kan? Udah biarin aja!" Ucap Maryati berbisik ditelinga Kesya tapi dapat didengar oleh kedua anak itu.
Riki yang tak kuasa melihat adiknya bersedih, dia segera mengajak adiknya pulang. Nabila menangis di rumah seharian, mengunci diri di dalam kamar.
Nabila merasa sang nenek itu tidak menyayanginya, sejak kejadian yang terus menyakitinya, dia tidak ingin menganggap Maryati itu neneknya. Dia hanya menganggap punya satu nenek, nenek dari ibunya saja.
Flashback off
***
Arman datang, dia marah melihat ibunya tidak diperhatikan dan tidak diurus oleh sang istri.
"Kenapa ibu kamu biarkan seperti ini? Masa jam segini belum mandi sih Mah?" Tanya Arman.
"Ibu maunya sama kamu Mas, aku bisa apa," jawab Nita.
"Kamu kan bisa membujuknya!" Jawab Arman.
"Susah Mas, kamu kaya yang gak tahu ibu aja, keras kepala dan suka marah-marah," ucap Nita membela diri.
"Kamu kenapa seolah gak mau, ngurusin ibu? Itu ibu aku, ibu kamu juga, nenek dai anak-anak, ibu sudah tua jadi wajar jika sikapnya begitu," Tanya Arman marah.
Sudah tua? dari dulu juga ibu memang begitu, batin Nita.
Nita menghela napas perlahan, dia merasa muak dengan semuanya. Nita memang keberatan merawat mertuanya yang sifatnya keras kepala sejak dulu. Nita sering dibuat sakit hati oleh mertuanya itu, tapi saat sakit dialah yang harus mengurus ibu mertuanya, sementara anak kandungnya seperti lepas tangan, bahkan tidak mau memberikan uang untuk pengobatan sang ibu saat Nita kekurangan uang.
"Aku capek Mas, aku juga kerja kan? Kamu cari perawat saja buat ibu, dan kamu bayar dari gajimu mas!" Ucap Nita berlalu pergi.
Bersambung …
Malam itu Nita dan Arman tidur saling membelakangi. Mereka sama-sama tidak mau mengalah, Arman sebenarnya tidak mampu mempekerjakan perawat. Dulu sempat mencoba, itu pun menggunakan gaji istrinya sebagian. Tapi perawat tidak ada yang betah, paling bertahan 3 hari dan paling lama satu minggu.
Nita yang belum tidur, dia hanya mengingat betapa egoisnya kakak iparnya. Mereka yang tergolong mampu, bahkan punya kendaraan roda empat, tapi tidak mau mengurus ibu mertua. Tidak mau membawanya tinggal bersama mereka. Sekedar mengirim uang untuk makan ibu pun mereka tidak ingat, jika Arman meminta lewat telepon, mereka akan mengeluarkan seribu alasan.
Pukul 3 pagi, Nita bangun. Dia mulai memasak dan membersihkan rumah. Saat adzan berkumandang dia bahkan sudah mengganti pakaian sang ibu mertua yang semalam terkena pipis. Dia bergegas mandi dan melaksanakan sholat.
"Sarapan dulu dong Riki..!" Ucap Arman pada anaknya yang pertama. Dia seperti sedang terburu-buru, hanya minum segelas susu hangat.
"Riki bagian piket di kelas Pah, Riki berangkat ya," ucap Riki mencium punggung tangan ayah dan ibunya. Tak lupa dia mengucapkan salam sebelum benar-benar pergi.
Nabila pun kini sudah berangkat, tinggal sepasang suami istri yang sedang saling diam yang sedang sarapan dimeja makan.
"Bagaimana Mas tentang perawat ibu?" Tanya Nita.
"Iya nanti mas carikan, semoga kali ini cocok dan tahan sama ibu. Mas juga akan mencoba menghubungi kak Dela untuk meminta bantuan biaya ibu," jawab Arman.
"Syukurlah kalau begitu," ucap Nita. Dia bersiap untuk pergi ke sekolah untuk mengajar.
Meski sebenarnya setiap pagi tubuh Nita sudah lelah karena dari dini hari dia sudah bekerja di rumah. Tapi ia harus tetap bekerja. Ketika waktu istirahat mengajar tiba, dia pun harus pulang dulu ke rumah untuk memastikan ibu mertuanya baik-baik saja, begitupun dengan suaminya, karena Arman mengkhawatirkan sang ibu.
***
Saat pukul 2 siang, Nita sudah sampai di rumah karena hari ini dia tidak ada jadwal mengajar tambahan. Nita langsung masuk dan membereskan rumah yang berantakan karena ulah mertuanya, dia harus memaklumi itu setiap hari.
Arman yang baru pulang dari pabrik. Dia tidak mendapatkan sambutan hangat dari sang istri, tapi terlihat makanan sudah tersaji di meja makan dia lebih memilih mengisi perutnya dulu.
"Sayang kamu kenapa lagi? Bukankah aku sudah menuruti apa yang kamu mau. Besok pengasuh ibu akan datang, aku juga sudah menelpon kak Dela dan kak Romi, mereka bersedia membantu," ucap Arman.
"Gapapa, aku hanya lelah. Bagus kalau gitu, biasanya mereka pelit,, apalagi kakak pertamamu kak Firman," jawab Nita. Dia berlalu pergi dan membaringkan tubuhnya yang terasa remuk.
Baru saja Nita masuk ke alam mimpi, dia sudah mendengar teriakan suami memanggil namanya. Dia bangkit lalu menuju sumber suara.
"Ada apa Mas?" Tanya Nita.
"Ibu buang air besar dicelana, kamu bersihin ya, gantiin celananya juga, kasian pasti gak nyaman..! Inget Dek, ini pahalanya besar loh..!" ucap Arman.
"Iya aku tahu. Coba deh Mas bujuk ibu biar mau pake pampers, biar gak kerepotan gini, baunya juga memenuhi isi rumah, belum lagi kalau BAB nya disembarang tempat," protes Nita.
"Tapi ibunya gak mau, ibu susah dibujuk, kamu kayak gak tahu ibu aja," jawab Arman.
Nita meninggalkan Arman begitu saja, dia bergegas menghampiri ibu mertuanya untuk melakukan apa yang diperintahkan sang suami.
"Bu, lain kali kalau ibu sakit perut, ibu bilang sama Nita ya..! Nanti Nita anter ke kamar mandi," ucap Nita pelan.
"Ibu gak bisa, ibu gak tahan," jawabnya.
"Yaudah, besok ibu pake pampers aja ya, biar enak gak usah bersihkan semuanya. Ini lihat Bu..! kena baju juga kan," ucap Nita. Dia sama sekali tidak menutup hidungnya mesti sangat bau, dia sudah terbiasa.
"Gak, ibu bukan bayi," jawab Bu Maryati.
Nita mengalah, dia membersihkan tubuh mertuanya dengan air hangat mengingat ibunya itu sudah mandi sore. Ini tak seberapa, kalau dia sedang tidak dirumah, maka pipis Bu Maryati ini akan berceceran, kadang di depan televisi, di dapur, di sofa, di karpet. Kalau pipis, kalau BAB? Itu membuat Nita ingin marah tapi tak bisa, dia hanya bisa menghembuskan nafasnya perlahan, mencoba sabar.
Lama-lama aku bisa kurus kering dan punya penyakit dalam karena sering menahan emosi, batin Nita.
***
Keesokan harinya semua anggota keluarga libur karena ini hari Minggu. Tapi untuk Nita tidak ada kata libur, dia masih sibuk dengan pekerjaan rumah yang tak ada habisnya.
Padahal aku tidak punya bayi, tapi rumah selalu berantakan dan bau, batin Nita.
"Mas, perawat yang kamu janjikan mana?" Tanya Nita.
"Belum ada Dek, mungkin bulan depan. Kak Dela dan kak Romi bilang bulan depan mereka akan mengirim uangnya, dan kak Farhan juga belum membalas pesanku," jawab Arman dengan entengnya.
"Apa? Mas bener-bener keterlaluan ya, selalu memaklumi kakak-kakakmu itu, tapi padaku? Kamu selalu menuntut agar semua beres dan bersih," ucap Nita berlalu pergi.
Untung saja Riki dan Nabila sedang bermain dihalaman sehingga mereka tidak mendengar pertengkaran orang tua mereka.
"Tunggu dulu Dek, maksud aku bukan begitu. Apa selama ini kamu terpaksa mengurus ibu? Pahalanya besar loh," Tanya Arman sambil berlari menyusul Nita.
Nita menoleh, lalu dia membalikkan badannya. "Aku lelah Mas, sudah berapa kali aku bilang. Aku ini lelah Mas, bukan masalah pahalanya tapi aku kewalahan Mas," ucap Nita penuh penekanan.
"Aku juga sama lelah, aku juga sama kerja kayak kamu Dek. Aku gak pernah ngelarang kamu kerja dan memberikan sebagian uang kamu ke kampung untuk ibu dan adikmu. Kalau kamu lelah, kamu bisa berhenti bekerja dan dirumah ngurusin ibu..! Bagaimana?" Ucap Arman.
Nita diam, dia kemudian pergi. Percuma saja berbicara pada Arman. Lelaki itu tidak akan mengerti apa yang Nita mau, lelaki itu seakan merasa paling lelah dan mewajibkan Nita untuk mengurus sang ibu dengan baik. Seharusnya Arman juga membantu pekerjaan rumah, karena dalam rumah tangga itu perlu gotong royong, saling membantu.
Nita juga tidak mungkin berhenti bekerja karena gaji suaminya itu tidak cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya. Nita juga punya tanggungan ibu yang sudah tua di kampung dan tak mampu bekerja.
Nita menjatuhkan dirinya diatas ranjang, kemudian menangis dibalik selimut. Dadanya terasa sesak mengingat perjalanan rumah tangganya yang terasa pahit.
Dulu, ibu selalu menghinaku, tak pernah menganggapku menantunya, tak pernah menganggap anakku itu cucunya. Tapi kenapa saat sakit ibu malah bergantung padaku?, Pikir Nita.
"Astagfirullah…, Nita kamu gak boleh berpikir begitu..!" Gumamnya pelan.
Bersambung…
Karena memang hari libur. Nita berusaha mengistirahatkan badannya setelah dirasa pekerjaannya sudah selesai. Seminggu sekali dia bisa bersantai, itu sudah terasa kado terindah untuknya, meski hanya menikmati tidur siang atau bermain bersama anak-anaknya. Sehari saja, aku ingin diperlakukan bak ratu, hmm… itu hanya akan menjadi sebatas khayalanku saja, batin Nita tersenyum miris.
"Mah…," panggil Nabila.
"Iya sayang, ada apa?" Tanya Nita kemudian bangkit dari tempat tidurnya.
"Kita bakar sosis yu Mah, dibelakang rumah..!" Ajak Nabila.
Tentu Nita menyetujuinya, dia tidak boleh egois saat merasa matanya yang amat berat ingin tidur. Dia juga harus meluangkan waktunya agar bisa dekat dengan anak-anaknya.
Siang itu mereka menikmati waktu bersama begitupun dengan Arman sang suami. Saat itu Nita bisa melupakan perseteruannya dengan suaminya, dia hanya ingin memanfaatkan waktu dengan baik, memperlihatkan keharmonisan mereka di depan Riki dan Nabila.
Sosis, jagung dan ayam. Semuanya mereka bakar sampai tercium wanginya. Perut Riki bahkan sudah berontak, dia mencicipi satu sosis itu, menyuapkan makanan yang terlihat lezat kemulutnya.
"Kakak, jangan dimakan terus, nanti malah abis sama Kakak!" protes Nabila sambil cemberut. Dia tidak rela jika dia lelah membakar makanan sementara sang kakak yang menghabiskannya.
"Ini masih banyak dek, kamu ini lebay banget deh. Satu lagi ya?" Ucap Riki kemudian memasukan satu sosis lagi ke mulutnya. Dia berlari sekencang-kencangnya karena tahu kalau adiknya pasti akan mengejarnya.
Benar saja Nabila yang tidak rela, dia mengejar sang kakak, rasanya ingin sekali dia mengeluarkan sosis yang sudah masuk ke dalam perut kakaknya itu.
"Kakak…!" Teriak Nabila sambil terus mengejar Riki.
Nita dan Arman hanya tertawa melihat mereka berlarian. Sejenak Nita bisa melupakan beban pikirannya saat ini. Saat semuanya selesai, Nita mengajak ibu mertua untuk ikut bergabung makan sore di halaman belakang. Disana sudah disediakan meja makan dan juga kursi, tadinya Nita ingin memberi alas tikar direrumputan seperti sedang piknik, tapi mengingat ibunya yang sulit menekukkan kakinya. Dia lebih memilih memindahkan meja makan kayu ke halaman belakang.
"Mah, kenapa nenek diajak kesini juga?" Tanya Nabila berbisik di telinga ibunya.
"Sayang, jangan gitu ah. Nenek juga mau makan sama kita. Nabila harus baik sama semua orang, karena apa yang kita tanam itu yang kita tuai..!" Bisik ibunya lagi.
"Kalian ngapain sih bisik-bisik begitu?" Tanya Arman.
"Gapapa Mas, ini Nabila pengen ayam bakar, geser sini dong Mas..! Hehe…," jawab Nita.
Nita tidak mau membahas ibu mertuanya pada suaminya, karena itu hanya akan membuat mereka bertengkar lagi dan lagi. Jelas saja Arman akan membela ibu kandungnya, itu terjadi sudah sejak dulu meski yang salah adalah ibunya.
Arman tidak curiga, dia menggeser ayam bakar yang berada didekatnya agar lebih dekat dengan Nabila. Anak perempuan itu pun berakting mengikuti apa yang diinginkan sang ibu. Nabila sudah berumur 9 tahun sekarang, dia sudah mengerti posisi ibunya di rumah ini. Terkadang anak perempuan itu juga merasa sedih dengan keadaan sang ibu, sesekali saat Nabila tidak sibuk belajar, dia akan membantu ibunya membereskan rumah.
Maryati, ibu mertua Nita memang sakit dan sudah berusia lanjut usia. Tapi tingkahnya semakin kekanak-kanakkan, makanan yang dimakan pun terkadang pilih-pilih. Jika suatu hari makanan yang ingin dimakan tidak dibeli, maka bisa mogok makan seharian.
Tapi sore itu Maryati seperti bahagia, dia makan sambil tersenyum bahkan senyum pada Nabila dan Riki. Anak-anak Nita merasa aneh tapi Nita berhasil membuat anak-anaknya itu memperlakukan neneknya selayaknya nenek mereka.
***
Malam pun tiba, terdengar suara teriakan Maryati yang lumayan keras. Bahkan kini terdengar suara menangis, Arman langsung memeriksa ke semua bagian rumah karena ibunya tidak ada di kamar. Ternyata Maryati tak sengaja jatuh didapur.
Arman menggendong ibunya ke kamar lagi, Nita juga mengikuti sang suami. "Ibu kok bisa jatuh?" Tanya Nita.
"Ibu mau sosis bakar lagi, ibu mau ngambil lagi karena lapar, sosisnya enak," ucap Maryati sambil menunduk. Seperti anak kecil yang ketahuan mencuri makanan di dapur.
"Oh, tapi habis Bu. Biar Nita panggangin lagi ya? Tapi kaki ibu sakit gak?" Tanya Nita.
"Sepertinya bengkak Dek," jawab Arman.
"Sakit… kaki ibu sakit Man, tapi ibu mau sosis aja. Besok baru ibu mau dipijat..!" Jawab Maryati.
Nita menggelengkan kepalanya, dia pun menuruti apa yang diinginkan mertuanya karena dia tidak bisa mengatur Bu Maryati sesuai keinginannya. Sikap keras kepala dan kekanak-kanakkan itu membuat Nita selalu mengalah.
***
Saat pagi datang ibu Maryati berubah pikiran. Dia tidak mau dipijat dan mau pergi ke dokter, membuat Arman mengambil cuti hari ini sementara Nita berangkat bekerja seperti biasanya.
Saat istirahat, Nita mendapatkan telepon dari suaminya. "Assalamu'alaikum … ada apa Mas?" Tanya Nita.
"Waalaikumsalam … ini Dek, ibu gak mau pulang dari rumah sakit. Katanya mau nginep sampai kakinya sembuh. Susah dibujuk dek, gimana dong?" Tanya Arman.
Nita tiba-tiba kehilangan nafsu makannya, padahal didepan matanya sudah ada bakso pedas kesukaannya. Menginap di rumah sakit itu memerlukan uang yang banyak, itu membuat kepala Nita tiba-tiba berdenyut nyeri.
"Memangnya kata dokter gimana Mas, apa perlu menginap?" Tanya Nita.
"Gak sih dek, dokter ngasih obat sama salep. Tapi ibu gak mau pulang," jawab Arman.
"Yaudah bujuk aja Mas sampai mau pulang..! Maaf mas aku mau ngajar dulu, Assalamualaikum…," ucap Nita.
Nita kembali mengajar dan melupakan makan siangnya, sementara Arman masih kebingungan di Rumah Sakit mengatasi masalah ibunya.
Bersambung…
(Disini Arman memang memanggil Nita kadang dengan sebutan Mah saat ada anak-anak mereka, dan memanggil Adek saat berbicara berdua atau serius. Jadilah Arman memanggil sesuka hatinya sekarang. 😁 Kalian jangan bingung ya..!)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!