NovelToon NovelToon

Menikahi Pria Miskin

Menikahi Pria Miskin

Di sebuah rumah di sudut kota.

Terlihat satu keluarga sedang berkumpul bersama. Mereka terdiri dari ayah, ibu, dua anak perempuan, dua menantu laki-laki dan tiga cucu dari keduanya.

Orang tuanya bernama Pak Diki dan Bu Nura. Sedangkan anak perempuan mereka, anak pertama bernama Maira. Suaminya bernama Arvan seorang manajer di sebuah perusahaan besar. Mereka memiliki dua orang anak yang masih-masing berusia delapan dan enam tahun. Mesya berusia delapan tahun, dan Rey.

Sedangkan anak kedua Pak Diki dan Bu Nura bersama Vilia. Suaminya bernama Fahri dan anak semata wayang mereka yang berusia tujuh tahun bernama Vira.

"Buk, ini ada hadiah buah Ibuk," ucap Arvan sambil memberikan sebuah paper bag pada ibu mertuanya.

"Wah, apa ini, Nak?" tanya Nura sambil membuka paper bag yang ternyata berisi pakaian couple dan tas serta jam tangan mahal.

"Astaga, bagus sekali, Van. Kamu beli dimana? Pasti mahal, ya," ucap Nura dengan tatapan penuh takjub.

"Aku beli waktu kerja di luar kota, Buk. Aku lihat ada baju couple dan tas serta jam tangan buat Bapak, makanya aku beliin. Dipake buat kondangan kayaknya bagus, Buk," ucap Arvan sambil melihat baju yang sedang diberdirikan oleh Nura untuk mengukur tingginya.

"Wah, bagus banget, Van. Makasih, ya, kamu memang menantu Ibuk yang paling baik. Setiap kesini, pasti kamu selalu ngasih barang-barang mahal buat Ibuk." Nura tersenyum senang sambil melirik menantunya yang satunya. Fahri terlihat tersenyum meski dengan terpaksa. Dia tahu sang ibu mertua sedang menyindirnya. Karena, setiap mereka datang, tak pernah sekalipun Fahri memberikan barang-barang mahal.

Paling mahal adalah kerudung dengan harga seratus ribu, itupun hanya bisa diberikannya beberapa bulan sekali. Bekerja sebagai tukang ojek online membuat Fahri tak memiliki penghasilan tetap, bahkan untuk hidup saja harus pas-pasan.

"Maira, kamu beruntung banget ya dapat suami kayak Arvan. Udah kaya, baik, nggak pelit sama mertua, dan selalu perhatian. Aduh, nggak nyesel Ibuk merestui kalian." Nura mengusap pipi sang anak sulung hingga membuat sang anak bungsu merasa sedih.

Terlihat Fahri mengusap tangan Vilia agar sang istri bersabar. Karena pada kenyataannya, sikap ibunya yang seperti ini bukanlah yang pertama kali mereka lihat. Setiap kali mereka datang atau ada perkumpulan dengan keluarga besar, sang ibu pasti hanya membanggakan Maira dan Arvan saja. Sedangkan Vilia dan Fahri selalu dianggap sebagai beban karena ayah mereka sering memberi mereka sembako setiap habis gajian.

Tak hanya ibunya saja, saudara ibunya juga memandangnya rendah karena memilih suami tukang ojol. Padahal, yang dulu menyukainya rata-rata adalah pegawai kantoran. Namun, dia enggan menerimanya dan memantapkan hatinya pada Fahri. Seorang pria Soleh yang sering dilihatnya di masjid ketika waktu shalat wajib. Karena kebetulan tempat kerjanya dulu berada di depan masjid. Dia juga sering mendengar Fahri mengumandangkan adzan.

Namun, ketika Fahri melamarnya, ibunya menentang dan tak merestui. Apalagi, mahar yang diberikan sangat kecil. Tak sesuai dengan permintaan sang ibu. Namun, karena kebaikan ayahnya, mereka akhirnya berhasil menikah meski selama pernikahan mereka selalu direcoki sang ibu yang tak suka memiliki menantu miskin.

Sering menggosip dengan tetangga dan menceritakan kejelekan Fahri, dia juga sering mengatai mereka ketika datang ke rumahnya.

"Mau ngapain? Mau minta duit sama Bapak? Atau, mau minta beras?" Begitulah ucapan sang ibu ketika mereka datang.

Tak hanya kepada mereka, ibunya juga pilih kasih pada sang cucu. Anak Maira sangat dimanja dan disayang. Namun anak Vilia tidak pernah mendapatkan kasih sayang sedikitpun. Hanya karena harta? Sampai kapan dia akan menjujung tinggi harta melebihi apapun? Padahal harta tidak dibawa mati, kan?

Kakak yang Baik

"Buk, jangan gitu, dong, Vilia kan adik aku. Harusnya ibuk juga sayang sama dia," ucap Maira tak bosan-bosannya. Entah ke berapa kalinya dia selalu menasihati sang ibu bahwa membedakan anak menantu karena harta itu bukanlah hal yang baik.

"Halah, udahlah, Maira, ngapain kamu belain adikmu yang bodoh ini. Dilamar sama PNS, pegawai kantoran, pengusaha restoran, eh, milihnya ojol. Emang matanya buta," gerutu Nura dengan tatapan sinisnya pada sang anak dan menantu dengan sinis.

"Ibuk, jangan gitu, nggak boleh," ucap Maira yang lagi-lagi harus kecewa melihat tingkah sang ibu yang tak bosan-bosannya membandingkan mereka. Apalagi, dia merasa tak enak pada adik dan iparnya itu.

"Bener, Buk, jangan gitu, dong. Vilia kan sudah menentukan laki-laki pilihannya. Ibuk nggak boleh menentang takdir Allah," ucap Arvan yang malah membuat sang mertua semakin bangga padanya.

"Ya ampun, Arvan, kamu itu jadi menantu kok sempurna banget sih. Ibuk jadi makin bangga sama kamu."

"Terima kasih, Buk, aku sama Maira mau keluar bentar. Kami boleh titip anak-anak, Bu? Soalnya tempat yang mau kami datengin nggak memperbolehkan anak-anak masuk," ucap Arvan dengan sopan.

"Ya, Nak, nggak papa, mau berapa hari pun mereka di sini Ibuk nggak keberatan. Mereka kan cucu-cucu Ibuk yang baik dan pintar, iya, kan, Sayang? Sini, cucu-cucu Nenek," ucap Nura sambil mengusap kepala kedua cucunya.

Sedangkan Vira, anak Vilia dan Fahri hanya bisa melihat pemandangan itu dengan tatapan sedih. Tak pernah dirasakannya kasih sayang seorang nenek. Jangankan memeluk atau memangku. Memanggil sayang saja tidak pernah.

"Buk, ini buat Ibuk, ya. Mana tau nanti anak-anak mau beli jajan." Arvan memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu. Mata Nura pun berbinar-binar menerima uang itu dari sang menantu.

"Terima kasih, ya, Van. Kamu baik banget. Ya udah, pergi, gih. Percayakan anak-anakmu sama Ibuk, ya."

Mereka memang tinggal di kabupaten, namun berbeda kecamatan saja. Jarak tempuh hanya setengah jam sehingga setiap minggunya mereka bisa datang untuk menjenguk sang Ibu.

Sedangkan rumah kontrakan Vilia dan Fahri berjarak sekitar sepuluh rumah dari orang tua mereka. Mereka hanya memerlukan waktu satu menit untuk sampai ke sana.

Arvan dan Maira pun langsung pergi dari rumah sang ibu. Mereka mengendarai mobil yang dibeli Arvan beberapa tahun yang lalu.

"Vilia, kamu nggak ada kerjaan, kan? Itu di belakang banyak banget piring kotor bekas kemarin. Cuci sana. Dan kamu Fahri, bersihin pekarangan belakang. Udah semak banget, nanti Ibuk kasih beras," ucap Nura tanpa ada senyum sedikitpun.

"Nggak papa, Buk, beras kami masih ada, kok. Biar kami kerjakan. Vira, kamu di sini dulu, ya," ucap Fahri pada sang putri.

"Iya, Yah," ucap Vira sambil mengangguk ragu. Sejujurnya dia ingin pulang saja. Karena di situasi seperti ini, pasti dirinya hanya akan menjadi bulan-bulanan kedua sepupunya yang nakal. Rey dan kakaknya sangat nakal dan suka memberantaki barang-barang di rumah. Dan ujung-ujungnya, dialah yang disalahkan dan disuruh membersihkan.

Apalagi kalau Rey menangis, pasti dia jugalah yang disalahkan. Tidak anak, tidak cucu, semua mendapatkan perlakuan yang sama dari Nura.

Andai saja kakeknya sudah pulang, pasti dia bisa bernafas lega karena hanya sang kakek yang sayang padanya.

Pilih kasih

"Ya ampun, kamu gimana sih, Vira!" Terdengar suara teriakan dari ruang tengah langsung membuat Vilia dan Fahri terkejut. Mereka gegas ke ruang tengah karena mendengar nama anaknya diteriaki seperti itu.

"Kenapa, Buk, Vira kenapa?" tanya Vilia sambil melihat anaknya yang sedang menangis. Bocah itu berlari ke arahnya dan memeluknya sambil menangis tersedu-sedu.

"Lihat anak kamu ini! Rey ketumpahan minuman gara-gara dia!" Nura menunjukkan baju Rey yang basah akibat ketumpahan minuman.

"Vira, kenapa mau numpahin minuman ke baju Bang Rey?" tanya Vilia mencoba menenangkan anaknya.

"Bukan Vira, Buk. Yang numpahin Mbak Mesya. Tadi Vira mau ngasih minuman ke Rey, tapi, Mbak Mesya dorong Vira." Vira berusaha menjelaskan di tengah isak tangisnya yang tak kunjung berhenti.

"Ya itu kan tetap salah dia karena dia nggak hati-hati. Mesya kan nggak sengaja. Kenapa dia malah nyalahin!"

Vilia seakan tak percaya pada sikap ibunya. Mungkin dia akan terima jika ibunya bersikap tidak adil padanya. Tapi, pada anaknya pun, ibunya masih juga bersikap tidak adil. Jika pada kedua anak Maira, pasti ibunya akan bersikap lembut dan seakan buta ketika kedua anak itu melakukan kesalahan.

Vilia ingat saat dulu, ketika Mesya tanpa sengaja menghilangkan cincin peninggalan orang tuanya, dia tidak marah sama sekali. Namun ketika Vira tanpa sengaja menjatuhkan piringnya hingga pecah, maka Nura akan marah besar, bahkan sampai memukulnya.

"Buk, sampai kapan Ibuk membeda-bedakan cucu-cucu Ibuk. Apa hanya karena kami miskin lantas Ibuk bersikap nggak adil kayak gini? Buk, aku nggak masalah kalau Ibuk nggak adil sama aku dan Mbak Maira. Tapi Vira? Dia masih anak-anak, Buk. Kenapa Ibuk tega!" Vilia menangis tersedu-sedu. Dia sungguh tak bisa membendung sakit hatinya pada sang Ibuk atas perlakuannya pada anaknya.

"Vilia, udah, kamu jangan marah sama Ibuk. Itu dosa, Vil. Dia orang tua kita," ucap Fahri yang berusaha menenangkan Vilia.

"Udahlah, punya anak dan menantu taunya nyusahin aja! Pulang aja kalian sana!"

"Ayok, Mas, kita pulang." Vilia pun pergi dari rumah sang ibu sambil menangis. Sedangkan sang suami hanya bisa menenangkan dan menyuruhnya untuk bersabar.

"Mas, kenapa, ya, ibuk bersikap kayak gitu? Aku juga anaknya, Mas. Tapi kenapa dia selalu bersikap nggak adil sama aku."

"Udahlah, Sayang, kita harus bersabar. Bagaimana pun juga, ibuk adalah orang tua kita. Maafin aku ya karena aku harus mengajakmu hidup seperti ini. Penuh dengan hinaan dan cacian karena kita miskin. Aku akan berusaha bekerja lebih giat lagi untuk memenuhi kebutuhan kamu. Aku pergi kerja dulu, ya. Masih siang juga, kan?"

"Tapi, Mas, bukannya kamu bilang hari ini libur?"

"Itu karena Mbak Maira dan Mas Arvan datang. Tapi sekarang kita kan udah pulang. Jadi, ngapain aku di rumah? Mending aku cari uang aja buat kamu dan Vira. Sekarang kamu temani dia dan istirahat, ya. Aku berangkat kerja dulu." Fahri mengecup kening Vilia dan berangkat kerja. Dia pergi ke pangkalan dimana biasanya dia dan rekannya yang lain mangkal.

***

"Lho, Buk, Vilia dan Fahri mana? Ini aku bawa oleh-oleh buat mereka," ucap Maira ketika dia dan suaminya sudah pulang.

"Udah Ibuk usir."

"Hah? Kenapa diusir, Buk?"

"Vira nyiram anakmu pakai air, dia nggak terima dan marah-marah, jadi Ibuk usir aja." Dengan tatapan tanpa rasa bersalah, Nura menceritakan hal yang tidak sepenuhnya benar.

"Apa? Mana mungkin Vilia marah gara-gara itu. Dan Vira bukanlah anak nakal. Pasti karena Mesya, kan, Buk? Dia sering banget isengin Vira. Ngaku kamu, Mbak? Kamu kan yang isengin dek Vira?" tanya Maira dengan tatapan penuh selidik ke Mesya.

Mesya tertunduk, namun sang nenek langsung membelanya.

"Kamu jangan menghakimi Mesya, dong, Mai. Dia nggak salah, yang salah itu Vira."

"Udah, Sayang, udah. Sekarang kita pulang aja, yuk. Soalnya aku ada kerjaan mendadak nih."

"Lho, mau pulang? Anak-anak di sini gimana? Ibuk masih kangen," ucap Nura sambil merangkul pundak kedua cucunya.

"Nggak, Buk, mereka nanti bakalan ngerepotin Ibuk. Biar kami bawa aja, ya. Lagian besok masih sekolah. Lain kali aja mereka nginap," ucap Arvan yang langsung mendapatkan anggukan dan senyuman dari sang ibu mertua.

Mereka pun segera pergi, dan tak lupa memberikan oleh-oleh makanan untuk Vilia sekeluarga pada ibunya. Tapi, sudah pasti makanan itu tidak akan sampai pada Vilia.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!