Alira Zahir sosok wanita biasa yang hidup di kalangan biasa, ia yang masih duduk di sekolah menengah atas. Orang tua nya sebenarnya sudah berusaha meletakkan alira di tempat pendidikan yang beragama karena orang tua dari alira memiliki pemahaman agama yang minim. Gadis itu memang sejak dulu terlihat sangat bar-bar ia tak perduli di mana ia mengenyam pendidikannya.
Sepulang sekolah alira selalu bertemu dengan teman-temannya alias nongkrong. Ada tempat beskem yang mereka jadikan untuk bertemu. Orang tua nya sudah bingung caranya untuk menasehati Alira. Ia selalu pulang sore hari, padahal sekolah siang hari sudah pulang.
" Alira ayo kamu sama aku saja". Kennu teman alira mengajaknya ke tempat biasa.
" Tunggu sebentar, Nita masih di belakang". Ucap alira ia tak mau sendirian berada di sana, pasti ada Mira juga Amel. Keempat sahabat itu dalam pemikiran yang sama yaitu bersenang-senang mumpung masih muda.
" Ayo biar mereka menyusul". Alira di tarik oleh kennu agar ia segera naik.
" Sabar kennu tunggu Nita sebentar". Akhirnya kennu menunggu Nita.
" Mereka sudah berangkat duluan apa kita mau boncengan bertiga". Kennu garuk-garuk kepala motor cuma satu mereka bertiga sedangkan yang lain sudah berangkat.
" Lebih asyik kennu ayo kita bertiga." Ucap alira merasa lucu, Kennu berfikir keras akhirnya mereka bandrol dengan motor bebek milik kennu sudah tak perduli sekitar yang melihatnya.
Di jalan mereka asyiknya sembari tertawa. Alira duduk paling belakang ia tak mau di tengah dengan alasan kennu bau keringat. Nita jengah akhirnya ia menjadi korban duduk di bagian tengah tapi nita memberinya pembatas tas nya yang tak begitu tebal.
Pritttt...
Mampus.... Polisi lalu lintas sedang patroli.
" Gimana ini alira". Alira justru tertawa ia terkekeh baginya asyik di tangkap polisi ia bisa viral.
" Kalian tau kenapa saya berhenti kan".
" Tau pak, bapak ingin bikin kita viralkan". Nita dan kennu melongo mendengar ucapan alira.
" Ya itu benar". Alira tersenyum senang.
" Kalian melakukan pelanggaran dan kalian harus ikut kami ke kantor polisi" . Alira melongo.
" Kami sedang terburu-buru pak, tangkap yang lain saja". Polisi itu geleng-geleng kepala Alira absurd.
" Kalian salah jadi kami menangkap kalian, pertama kalian tidak memakai pelindung kepala, kedua kalian berboncengan bertiga, ketiga kalian tidak punya SIM itu pasti ".
" Kita pakai pelindung kepala pak, ini jilbab saya pelindung kepala saya, motornya kan cukup boncengan bertiga memangnya bapak mau ikut goncengan sama kami ya". Nita dan kennu garuk-garuk kepala alira benar-benar tak tau kewajiban pengemudi.
" Lalu SIM ada". Tanya aparat kepolisian.
Kennu nyengir nyatanya ia memang tak punya SIM karena umur mereka belum cukup 17 tahun. Alira dan Nita mendelik kepada kennu, kennu sejak tadi diam saja ia tak membela diri. Bagaimana tidak kennu tau ia memang salah wajar saja tak berkutik.
" Ikut kami ke kantor polisi". Polisi menggiring mereka.
" Gara-gara kamu ini Nita terlambat keluar kelas, kita jadi ketinggalan teman-teman." Kesal alira.
" Iya maaf aku salah ". Ucap Nita sembari berjalan mengikuti giringan polisi.
" Alira, itu ustadz Barra kita minta tolong dia ". Ucap Nita, alira mengerutkan keningnya ia merasa tidak mengenalnya.
" Kamu mengenalnya ia siapa". Tanya alira heran.
" Kamu ngga tau ia guru baru di sekolah kita, aku tadi telat karena ustadz Barra sedang mengisi kelas ku. Kami tak di izinkan keluar sebelum selesai."
" Oh pantas saja aku tak kenal." Ucap alira ia duduk menunggu polisi selesai patroli baru mereka akan di bawa ke kantor, karena mereka di bawah umur jadi harus ada wali yang bertanggung jawab.
" Ustadz Barra, ustadz Barra ". Panggil Nita dengan pede nya.
Merasa di panggil Barra celingukan menoleh ke sana kemari, ia belum mengenal orang-orang di sekitar situ. Nita kemudian melambaikan tangannya agar barra melihatnya, barra mengenal seragam yang di pakai ya itu seragam tempat di mana barra kini mengajar. Akhirnya Barra berbelok setelah ia selesai di periksa polisi, ia bebas semua lengkap. Barra turun dari sepeda motor nya, ia menghampiri murid nya.
" Kalian kenapa". Tanya barra.
" Kami di minta ke kantor polisi ustadz". Barra mengernyit.
" Kalian kena tilang".
" Iya ustadz kami boncengan bertiga". Ucap kennu ia tau kesalahan nya.
" Astaghfirullah kalian ini melanggar wajar kena tilang ". Alira tak menghiraukan ia lebih asyik melihat pak polisi yang tampak gagah dengan seragamnya.
Akhirnya Barra menemui polisi yang menangkap mereka, barra menjamin anak muridnya namun STNK milik kennu harus di tahan. Polisi menasehati ketiga siswa tersebut agar tidak melakukan kesalahan-kesalahan lagi.
" Kalian bisa pulang, kalian naik motor berdua dan saya sama kamu". Ustadz Barra menunjuk kennu. Kedua gadis itu meringis ia sama-sama tak pandai mengendarai motor.
" Maaf ustadz kami tak ada yang bisa". Ustadz Barra juga bingung mereka bukan muhrim tapi bagaimana lagi ia bertanggung jawab dengan mereka, sudah menjadi kesepakatan dengan bapak polisi barra yang menjaminnya.
" Ya sudah Nita kamu sama dia langsung pulang jangan mampir" tegas ustadz Barra.
" Dan kamu ayo saya antar ". Nita kesal harusnya dia yang bersama ustadz namun justru Alira yang bersama barra karena mereka yang searah dan kennu searah dengan rumah Nita.
Bersambung......
Di perjalanan tak ada pembicaraan alira dan ustadz Barra karena mereka memang belum pernah bertemu baru kali ini. Ustadz Barra ternyata sudah tau di mana alira tinggal namun ustadz Barra tak memberitahu kan jika ia tau. Ustadz Barra tinggal di rumah saudaranya yaitu di rumah ustadz Yusuf tak jauh dari rumah orang tua alira.
Angin berhembus semilir meski cuaca panas jadi tak terasa panasnya. Ustadz Barra tadi meminta alira membatasi dengan sebuah tas, sungguh ustadz Barra jadi tak enak di lihat oleh tetangga.
" Ustadz tau rumah saya." Barra belok di gang rumah alira.
"Iya tau, " ucap barra singkat. Di belakang alira komat kamit baginya barra sombong, padahal bukan itu maksud barra ia tak ingin banyak bicara.
Sampai di rumah alira barra langsung menyuruh Alira untuk turun. Barra ingin langsung pulang saja namun barra ketauan oleh emak Ijah ibunya alira.
" Loh ustadz Barra pulang antar Alira MasyaAlloh"
" Iya Bu". Barra ingin segera pamit tapi emak langsung nyamber menarik tangan barra.
" Mampir dulu ustadz Barra emak bikinkan minum, tadi emak juga bikin onde-onde". Barra bingung ia tak bisa menolak emak langsung saja menarik tangan barra. Alira sudah berlalu masuk ke dalam rumah.
" Alira, bikinkan minum ustadz Barra nak". Emak keluar membawakan onde-onde. Alira jengah selalu emaknya begitu jika ada tamu merepotkan nya.
" Alira..." Teriak emak lagi.
" Iya emak sabar alira ganti baju".
" Tak perlu repot-repot bu, barra mau langsung pulang saja. Jangan panggil ustadz panggil saja nak Barra atau barra saja". Ucap barra ia baru saja mengajar dan sekali mengisi pengajian di desa itu tapi panggilan ustadz sudah melekat pada dirinya apalagi barra keponakan dari ustadz Yusuf. Ustadz Yusuf adalah ustadz ternama di desa itu, ia terkenal biasa mengisi ceramah.
" Tak apa-apa cuma air saja, nanti bawa onde-onde ya pulangnya". Sungguh barra ingin cepat pergi dari rumah itu, tak akan enak juga jika pamannya Yusuf tau apalagi di rumah itu ada seorang gadis.
" Terima kasih Bu tak perlu repot-repot".
" Panggil saja emak jangan panggil ibu seperti resmi saja". Emak menyuguhkan giginya yang tidak rata itu.
" I iya Mak, saya permisi pulang ya".
" Tunggu dulu alira masih buatkan minum untuk mu, sayangkan kalau sudah di bikin tapi tak di minum." Alira keluar membawakan minuman teh untuk barra.
" Kalian tadi bisa bareng, jadi nak barra mengajar di sekolah alira".
" Tadi itu barra ketemu di jalan ra.."
" Kebetulan Mak tadi alira jalan kaki ada ustadz Barra, jadi alira nebeng. untung ustadz Barra masih baik hatinya jadi Alira tak jalan kaki". Alira memberi kode pelototan pada bara, ia tak mau emaknya tau jika ia tadi kena polisi. Ustad barra mendesah ia jadi ikut terseret dari adegan alira berbohong.
" Oh syukurlah alira, besok-besok nebeng saja ustadz Barra ini keponakannya ustadz Yusuf ia tinggal di rumah ustadz Yusuf". Terang emak.
" Di minum ustadz minumannya " ustadz Barra mengambil gelas yang di buatkan alira ia mengernyit bukan manis yang ustadz Barra rasakan tapi asin ia sampai terbatuk-batuk kaget.
" Pelan-pelan nak masih panas ya." Barra hanya mengangguk saja. Karena tak ingin mengecewakan emak di teguknya air itu tapi barra tak kuat ia hanya menghabiskan setengah gelas saja.
" Emak saya kenyang, saya permisi ya Mak terima kasih sudah menjamu barra dengan baik. Barra permisi nanti mau mengajar ngaji Mak sekali lagi barra terima kasih".
" Eleh..eleh.. nak barra emang ganteng pisan, sudah punya calon belum nak. Kalau sama alira saja mau ya, alira tak kalah cantik nya" alira terbelalak emaknya memang tak bisa kedip lihat cowok bening. Ternyata sikap absurd alira turun dari emaknya.
" Saya masih mengabdi Mak belum memikirkan pasangan, Alira masih sekolah juga. " Ucap barra tak ingin emak terus berbicara karena barra tak bisa menyela emak untuk bisa pulang.
" Ngga apa-apa di tunggu atuh alira lulus". Alira garuk-garuk kepala dengan sikap emaknya.
" insyaAlloh kalau jodoh pasti bertemu Mak". Ucap barra supaya tak mengecewakan emak.
" Emak ngomong apa Mak, malu-maluin saja".
" Ucapan itu kan doa alira, tanya saja sama ustadz ucapan ibu itu pasti di ijabah makanya emak katakan yang baik-baik untukmu". Emak merasa bahagia ia tersenyum sejak tadi.
Di masukkan nya onde-onde dalam plastik, emak memang membuat banyak di bawakan nya untuk barra.
" Barra pamit pulang ya Mak".
" Hati-hati nak barra lain kali mampir lagi". Ucap emak senang sekali.
" insyaAlloh, Terima kasih oleh-oleh nya Mak".
" Iya sama-sama nak Barra calon mantu emak." Alira menyenggol emaknya karena malu sama ustadz Barra. Barra hanya tersenyum ia jadi kangen ibunya, karena hidupnya yang di pondok ia jarang sekali bertemu ibunya.
" Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam" emak melambaikan tangan nya, sedangkan alira langsung masuk.
" Alira bersihin mejanya jangan kebiasaan, gadis mah harus rajin kalau nanti jadi istri ustadz Barra kamu tak boleh jorok". Alira memutar bola matanya emaknya antusias sekali dengan ustadz Barra padahal baru dikenalnya.
" Emak malu-maluin saja tak boleh begitu sama orang Mak, apalagi ustadz Barra orang baru di sini. Liat tadi Mak ustadz Barra tak nyaman kan".
" Siapa bilang. nak barra itu baik, Soleh, idaman menantu emak. Kamu jadi cewek yang bener alira biar dapet suami seperti ustadz Barra ". Ucap emak bersemangat.
" Haduh emak ngomongin jodoh lagi, alira masih sekolah Mak dan katanya jodoh itu sudah tertulis di lauhul Mahfudz ".
" Iya emak tau, tapi kamu juga harus ikhtiar alira. Yang baik dapet yang baik, nah sekarang kamu hijrah jadi baik biar dapet ustadz Barra yang ganteng tujuh turunan ".
" Ustadz Barra bukan level Alira Mak, alira tak mau."
" Kamu emang alira tak bisa liat yang bening, kayak emak inih meski tua tapi masih bisa bedain mana yang bening atau ngga". Alira justru tertawa lebar, emaknya terlalu tinggi menghayal mana ada ustadz seperti barra mau dengannya yang jelas masih ingusan dan sedikit urakan. Hanya sedikit sih, tapi jelas alira bukan tipe Barra.
" Terserah emak saja yang jelas alira masih sekolah tak mau mikirin jodoh, bikin ribet Mak".
" Eh bocah di bilangin orang tua tak ngerti, kalau kamu tak mau doa biar emak yang doain supaya nak barra jadi suami kamu". Alira berlalu masuk ke kamarnya setelah ia selesai membereskan meja nya.
Bersambung
Barra sampai di rumah ustadz Yusuf ia menenteng plastik isi onde-onde dari emak. Enak rasanya barra suka, barra keturunan orang Yogya jadi dia lebih suka yang manis-manis. Di letakkannya kantong plastik bawaannya tadi di meja makan lalu ia tutupi dengan tudung saji.
Suasana sepi karena orang semua beristirahat, pintu samping tak pernah di kunci barra lewat pintu samping untuk masuk. Barra langsung berlalu ke kamar nya ia cukup lelah, di sore hari Barra harus mengulang anak-anak mengaji di surau.
Ustadz Yusuf juga ternyata baru pulang dari mengajar, ustadz mengajar di pondok pesantren milik kiyai Husin. Ia melihat bungkusan plastik di meja makan di bukanya lalu ia makan.
" Dari mana makanan ini enak sekali ". Gumam ustadz Yusuf.
Istrinya umi Siti keluar dari kamar ia melihat ustadz Yusuf sedang memakan onde-onde, umi Salim terlebih dahulu kemudian ia ikut makan.
" Enak sekali ini Abi, dari mana Abi beli". Ustadz Yusuf langsung berhenti makan di tolehnya sang istri yang sedang asyik mengunyah.
" Bukannya ini umi yang beli, Abi cuma tinggal makan aja". Umi Siti juga langsung berhenti makan.
" Umi tidak tau Abi, ini makanan dari mana". Keduanya saling pandang.
" Astaghfirullah ". Ucap ustadz Yusuf ia ingin memuntahkan isi perutnya.
Terdengar suara berisik Barra lalu keluar dengan mata yang masih mengernyit. Umi Siti dan ustadz Yusuf berusaha mengeluarkan isi perut takut makanan itu ada pemiliknya dan tidak halal mereka konsumsi.
" Ada apa paman". Tanya barra heran, keduanya masih berusaha memuntahkan isi perutnya tapi tak bisa.
" Barra apa kamu yang bawa onde-onde itu". Tanya ustadz Yusuf.
" Iya paman tadi di beri sama mak Ijah". Keduanya lega tak jadi mereka muntahkan lalu balik makan.
" Kamu dari sana ".
" Iya paman".
" Ngapain". Paman curiga dengan keponakan nya itu. Lalu Barra menceritakan kejadian yang terjadi sejujurnya ia tak mau pamannya salah sangka.
" Oh kirain kamu pedekate sama Alira anaknya emak Ijah. Tapi memang cantik sih cuman tingkahnya anak itu, padahal dulu ngajinya pinter bacaan Al Quran nya bagus. Tapi sayang keluarga nya minim dengan agama jadi kurang dalam membimbing anak-anak nya." Barra hanya terdiam mendengar ucapan pamannya, untuk nya itu tak penting dan bukan urusan nya.
"Barra ke dalam dulu paman, masih mengantuk " paman memeprsilahkan nya.
" Enak ya Abi onde-onde nya, Mak Ijah itu pandai sekali bebikinan". Abi Yusuf mengangguk saja ia tak mau panjang lebar berbicara karena umi Siti itu suka cemburu.
Sore itu Alira berjalan ke rumah Amel ia di rumah saja, rumah Amel dekat surau. Amel teman alira yang sering ia tebengi saat sekolah merupakan sahabat nya dari kecil. Alira melihat ustadz Barra berjalan menuju surau, ia diam saja menyapa pun tidak. Kemarin ia tau jika ustadz Barra sangat menjaga pandangannya. Namun saat itu Barra melirik alira sedikit sebelum masuk ke dalam surau.
" Amel ngapain kamu di sini".
" Lagi liat keindahan alira, awas jangan ganggu". Amel mendorong Alira yang saat itu sedang duduk di teras.
" Jalan yuk Mel, aku tunggu sejak tadi kamu ngga ke rumah. Ku kira kamu sakit". Amel tak menjawab ucapan alira ia masih fokus melihat ustadz Barra yang begitu tampan.
" Amel..." Bentak Alira.
" Apa sih alira kamu ganggu kesenangan ku saja. Awas Alira ". Amel menarik Alira.
" Astaghfirullah Amel ". Alira baru tau jika Amel sedang melihat ke arah ustadz Barra.
" Kenapa kamu ke sini alira". Alira kaget tak biasanya sahabat nya begitu.
" Kamu kutunggu tak datang-datang makanya aku ke sini. Keluar yuk".
" Aku lagi males alira ".
." Kenapa kamu liatin Ustadz itu".
" Namanya ustadz Barra , "
" Iya aku tau." Amel melihat ke arah alira.
" Kamu tau dari mana".
" Dia mengajar disekolah kita Amel." Amel terbelalak justru ia yang tidak tau jika ustadz Barra mengajar di sekolah nya.
" Benarkah kamu tidak berbohong kan, aku tak melihat tadi di sekolah".
" Kenapa aku harus bohong, Nita yang mengatakannya ia sudah mengajar di kelasnya Nita".
" Ya ampun alira ustadz itu tampan sekali". Alira jengah temannya satu ini tak pernah absen dengan laki-laki tampan. Bahkan di sekolah nya sudah ia masukkan ke buku birunya siapa saja cowok yang menurut nya tampan .
" Ayo keluar Amel". Alira menarik Amel agar ia ikut keluar.
' kita mau ke mana".
" Seperti biasalah Amel, kamu seperti orang amnesia saja.". Amel cekikikan ia juga pikirnya, gara-gara ustadz Barra ia jadi lupa ingatan.
Keduanya menaiki motor yang Amel kendarai sembari tertawa bercerita hal yang lucu, apalagi tadi siang ia di tangkap polisi namun alira tak berbicara tentang ustadz Barra yang menolong mereka.
Berhenti di rumah Nita, Alira mengajak Nita keluar tapi ia tak bisa ayahnya tak mengizinkan nya keluar gara-gara kejadian tadi siang.
" Jadi kamu cerita sama ayahmu Nita."
" Iya mau gimana lagi, ayah tau aku sama kennu pulang ayahku marah besar". Alira menutup mulutnya.
" Kamu tak cerita Al, apalagi kamu di antar pulang ustadz Barra ". Amel mendelik melebarkan telinganya apakah ia salah dengar ataupun tidak.
" Tidak emak tak marah".
" Pasti emak malah mengelu-elukan ustadz Barra". Alira meringis itu benar. Teman-temannya sudah hafal dengan tingkah absurd emak, lebih parah dari alira. Nita tertawa.
" Terus gimana apa yang emak lakukan Al, ayo cerita". Amel menodongkan tangan nya menyuruh agar alira bercerita.
" Biasalah emak ajakin ustadz Barra masuk di buatkan minum kemudian di bawain onde-onde waktu pulang ".
" Aku tak kebayang bagaimana emak mengagumi ustadz Barra ".
" Emak ku tak seperti apa yang kalian pikirkan ia hanya kagum saja, emak lebih dulu tau dari pada aku. Kata emak ustadz Barra sudah pernah mengisi pengajian di surau."
" Emak emang masih tajam pikirannya ya Al, tapi asyik punya emak kayak Mak Ijah. Pasti tiap hari enak di ajak curhat tapi aku...". Alira dan Amel mengusap punggung Nita, ia tahu Nita sudah lama tak punya ibu. Ibunya meninggal karena sakit, kini ia tinggal bersama kakaknya dan ayahnya. Ayahnya yang sekarang berperan sebagai seorang ibu juga.
" Jangan sedih nit, emak juga emak kamu "
" Kamu ngga keberatan aku anggap emak sebagai ibuku".
" Tidak lah nit, Kitakan sahabat. emak ku emak mu juga tapi ingat dia istri bapakku bukan istri ayahmu".
" Buahaahaaa..." Akhirnya tawa itu pecah mereeka saling berpelukan. Persahabatan mereka sangat lekat sejak duduk di bangku SMP, akhirnya mereka juga memasuki SMA yang sama.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!