NovelToon NovelToon

Belenggu Cinta Tuan Kejam

Prolog

Tiga tahun telah berlalu.

Malam yang cerah dengan berjuta bintang hari itu seakan mendukung ikatan bersatunya sepasang kekasih.

Seorang gadis tampak sangat rupawan dengan gaun panjang yang tergerai. Warna peach membuat kemurnian semakin terpancar dari senyuman indahnya.

Di depannya berdiri seorang pria dewasa yang memiliki paras tak kalah rupawan. Memakai tuksedo berwarna senada membuat pria itu terlihat dewasa dan manis di saat bersamaan.

"Oh, ya ampun. Mereka adalah pasangan yang sangat sempurna," bisik seorang tamu yang diangguki oleh orang yang berada di sebelahnya.

"Ya, seperti pasangan dari surga."

Para orangtua kedua tokoh utama pun saling melempar senyum, seakan bangga akan putra putri mereka.

Dan tibalah saat yang paling ditunggu. Yakni acara inti, pertukaran cincin.

Edric tersenyum hangat, perlahan tangannya terangkat untuk menyematkan sebuah cincin bertahtakan berlian yang indah berkilau.

Prok, prok, prok.

Para tamu undangan yang hadir pun memberikan tepuk tangan meriah kala Edric berhasil menyematkan cincin itu di jari manis Alice.

Kini giliran Alice, gadis itu tersenyum dengan sangat manis.

"Yey," teriak Darier dengan penuh semangat, pria itu bertepuk tangan dengan keras padahal Alice belum memasang cincin itu di jari tangan Edric.

Sontak Darier langsung dihadiahi tatapan tajam sang sepupu. "Eh, belum ya?" ujarnya kemudian dengan wajah tak berdosa. Kiara yang berdiri di sebelahnya pun langsung mencubit kesal perut pria itu.

"Bagaimana kalau kita juga bertunangan sekarang? Eh, tidak. Langsung menikah saja, bagaimana?" tanya Darier, bukannya berteriak sakit, pria itu malah kembali bertingkah dengan gaya absurdnya.

"Aku sudah tidak sabar mencubit balik kamu, kalau perlu aku cabik-cabik juga."

"Hah?"

Prok, prok, prok.

Kembali suara tepuk tangan menggema mengalun di indra pendengar setiap manusia di sana.

Alice dan Edric pun saling menatap dalam dan tersenyum bahagia. Namun itu hanya sesaat, saat Alice berkedip dan kembali membuka matanya, gadis itu hanya melihat kegelapan.

"Kak," gumamnya sembari meraba kesana kemari. Tadi Edric masih menggenggam tangannya dengan erat dan hangat. Namun sekarang semuanya gelap, tidak ada setitik pun cahaya. Begitu juga ballroom hotel yang tadinya ramai kini senyap seakan tidak pernah ada orang di sana.

"Kak, jangan main-main!" teriaknya dengan keras. Ia tidak suka keadaan seperti ini. Ia tidak ingin berpikir hal yang tidak-tidak.

"Kak," pekiknya lagi dengan tangan yang masih meraba kesana sini.

Gadis itu terus berjalan, pelan karena ia berada di atas panggung. Ia tidak ingin jatuh dan malah menjadi bahan tertawaan para tamu. Namun sejauh ia melangkah, sejauh itu jalan yang ia lalui datar dan tidak ada penghalang apapun.

"Ini bukan ballroom?" batinnya sembari menggeleng pelan. Ia terus berjalan, hingga diujung sana terlihat seberkas cahaya yang menyilaukan mata.

Refleks gadis itu menutup kedua kelopak matanya. "Apa ini kejutan mu lagi? Kali ini sangat menyebalkan Kak, aku tidak suka."

Tidak ada jawaban, perlahan Alice kembali membuka matanya. Seorang gadis dengan bunga dandelion di tangan sedang berdiri memunggunginya.

"Alice," gumamnya dengan suara bergetar.

Alice berbalik, gadis itu tersenyum hangat. "Lama tidak bertemu, Ayla. Sudah tiga tahun ya?"

"Ke-kenapa kamu ada di sini?"

"Cerita ini sudah usai, Ayla. Tugasmu juga sudah selesai. Aku disini karena ingin berterima kasih padamu. Berkat kedatangan mu, takdir ku yang buruk berakhir menjadi takdir yang sangat manis."

"Sudah usai?"

"Ya, sudah usai. Dan sekarang adalah saatnya kau kembali ke kehidupan nyata mu."

Ayla menggeleng, ia tidak ingin kembali. Hatinya telah terpaut pada seorang pria bernama Edric. Ia tidak ingin kembali dan menjalani kehidupan semu nya lagi sebagai Ayla. Tidak ingin dan tidak mau.

"Kamu tidak bisa memilih, Ayla. Kamu tidak akan bisa menjadi Alice selamanya, karena ini bukanlah dunia aslimu. Kembalilah dan cari kebahagiaan mu sendiri!"

"Aku tidak ingin kembali, kembali menjadi Ayla Navara yang selalu kesepian dan tidak memiliki siapapun di sisinya."

"Baiklah, kalau begitu kembalilah dengan ingatan Alice Lawrence. Kembalilah dengan sifat Alice yang hangat dan ceria yang memiliki banyak teman. Jadilah Ayla Navara dengan ingatan Alice Lawrence yang tidak kesepian sejak mengenal teman-temannya."

"TIDAKKK..."

🌼🌼🌼

Halo semuanya, apa kabar? Semoga sehat-sehat semua ya. Disini aku kembali lagi setelah berbulan-bulan berhibernasi :)

Kembalinya aku membawa sebuah cerita baru yang merupakan lanjutan Fake Antagonist di dunia nyata Ayla. Yang belum baca kisah Alice dan teman-temannya, aku saranin baca dulu nih biar lebih paham ke cerita ini :)

Lalu kemana Edric?

Edric tidak akan muncul lagi ya, karena Ayla sudah kembali ke dunia nyatanya. Sementara Edric adalah seorang tokoh novel yang telah hidup bahagia bersama seorang gadis yang bernama Alice Lawrence.

Anggap saja mereka telah menikah, memiliki banyak anak, banyak cucu, cicit dan bahagia selama ^><^.

Oke, sekian dari aku. Semoga cerita yang jauh dari sempurna ini bisa menghibur teman-teman semua.

Jangan lupa tinggalkan like, komen + rate 5 bintangnya ya 😁

Salam hangat, Joey 🌼

Bab 1 ~ Wajah Sama, Tidak Dengan Watak

Di sebuah ruangan VIP rumah sakit ternama, terlihat seorang wanita tengah berbaring dengan berbagai alat yang terpasang di tangan dan tubuhnya.

Tubuh yang proporsional meski tidak sadar, kulit yang halus, putih dan mulus membuat setiap perawat yang menjaga selalu terkesima. Seperti perawat yang sedang menatapnya saat ini.

"Wanita ini sudah berumur 27 tahun tapi masih cantik sekali, aku yang lebih muda beberapa tahun saja tidak secantik ini," batin perawat itu.

Perlahan kedua kelopak mata Ayla mengerjap kecil. Jari-jari tangannya juga mulai bergerak. "Aku dimana?" batinnya ketika kesadarannya telah kembali utuh.

"Nona sudah sadar?" pekik perawat yang yang sedari tadi memperhatikan pergerakan Ayla.

Perawat itu pun berlari keluar saking senangnya. Lalu kembali setelah beberapa saat bersama seorang dokter.

"Ini sungguh keajaiban. Kondisinya sangat stabil. Nanti kita akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Apabila semuanya baik, setelah pemulihan beberapa hari ke depan dia sudah boleh pulang," ujar dokter tampan itu pada perawat yang berdiri di sampingnya.

Dokter itu pun keluar, meninggalkan Ayla yang mengerutkan keningnya. "Sejak kapan Haven menjadi seorang dokter?"

Wanita itu masih menatap pada pintu yang kini telah tertutup rapat. "Ada apa, Nona? Kamu menyukai dokter Austin?"

"Austin?" batin Ayla lagi, kerutan di dahinya semakin dalam. Pasalnya ia mengenal dokter itu sebagai teman dekatnya, Haven.

"Tidak perlu malu, Nona. Semua pasien, perawat bahkan sesama dokter memang selalu klepek-klepek sama dokter Austin," tambah perawat itu dengan wajah malu-malu. Dapat dipastikan bahwa ia juga termasuk salah satu jajaran gadis yang klepek-klepek pada pria itu.

.

.

.

"Dia sudah sadar?" ujar seorang pria sembari menyeringai. Kedua kaki jenjangnya mulai menapak lantai, tubuhnya jangkung, wajahnya rupawan dengan kumis tipis-tipis seksii. Tubuhnya gagah dan berjalan dengan wibawa. Namun sayang, kedua netra hazel miliknya memiliki sorot tajam yang akan membuat siapapun yang tidak sengaja bersitatap dengannya akan merinding seketika.

Dengan tidak sabaran pria itu keluar dari ruangannya. Bahkan ia tak peduli lagi pada panggilan ponselnya yang masih terhubung dengan Austin.

"Tuan," sapa seorang pria yang merupakan asisten pribadinya.

"Ke Rumah Sakit Mitra Medistra," ucapnya tanpa menjawab sapaan asistennya itu. Ia melempar kunci mobil yang tadi ia genggam.

"Untuk apa kita kesana? Apa kau sedang tidak enak badan? Bukankah tinggal meminta Austin datang dan memeriksa?" tanya asistennya itu sembari berlari kecil mengikuti langkah sang tuan yang lebar. Ia mulai berbicara tidak formal karena mode temannya mulai aktif.

"Apa kau mau aku sobek mulutmu itu? Kenapa kau banyak tanya sekali?" ketus pria itu membuat sang asisten terdiam, tiba-tiba hawa disekitarnya berubah menjadi dingin.

"Ck, seharusnya aku tidak perlu banyak bicara. Kalau begini aku bisa mati membeku."

"Wanita itu sudah sadar." Sebuah kalimat membuat sang asisten membulatkan kedua matanya. Tubuhnya yang mulai dingin kembali menghangat seketika.

"Benarkah? Bagus sekali, dengan begitu kau akan segera bertemu dengan kekasih kecilmu."

Pria yang tadi sempat memasang wajah dingin itu mendadak menghangat. Senyum tipis terbit kala mengingat sosok Lala kecilnya yang imut.

Deg, deg, deg.

Lihatlah, dengan memikirkan senyum manis bocah kecil berusia 7 tahun itu saja sudah berhasil membuat pria dengan nama lengkap Marvelio Prado itu berdebar.

"Sebentar lagi, Lala. Aku akan bertemu denganmu."

.

.

.

15 menit, waktu yang terbilang singkat bagai 1 tahun bagi Marvel. Pria itu merasakan gemuruh di hatinya, walau wajahnya tetap datar dan dingin seperti biasa.

"Tuan, kita sudah sampai," ujar sang asisten yang bernama Willy Wilson, pria berusia 28 tahun itu telah kembali pada mode bawahan yang patuh dan sopan pada sang tuan.

"Kau mengemudi seperti kura-kura," ketus Marvel sembari keluar dari dalam mobil, membuat Willy menatap tak percaya. Perjalanan yang normalnya 35 menit itu telah ia tempuh dalam 15 menit. Dan itu masih terlalu lama? Rasanya ingin sekali ia menjambak rambut pria yang lebih tua dua tahun darinya itu.

"Sabar, maklumlah padanya. Dia sedang senang, jadilah asisten yang baik hati dan selalu mengerti. Ingatlah! Tuhan menyayangi orang yang penyabar." Selalu itu yang ia ucapkan kala merasa kesal pada Marvel.

Tuk, tuk, tuk.

Bunyi suara sepasang sepatu saling bersahutan, di lorong rumah sakit yang sepi Marvel berlari menuju kamar wanita yang hampir ia bunuh satu tahun yang lalu. Di dunia nyatanya, Ayla memang sudah koma selama satu tahun. Dengan tak sabaran Marvel membuka pintu ruang rawat bertuliskan VIP itu.

BRAK.

Pintu terbuka dengan sedikit bantingan. Dua orang wanita yang berada di dalam langsung menatap ke arah pintu.

Marvel menatap Ayla dengan tatapan entah. Sementara Ayla membalas tatapan itu dengan mata yang berkaca-kaca.

"Kau keluarlah!" titah Marvel pada sang perawat.

"Baik, Tuan." Perawat itu pun berlalu dari sana, meski tampan tapi aura Marvel selalu membuat orang disekitarnya merasa dingin dan tidak tenang.

"Hiih, seram sekali dia. Meski sama-sama tampan, tapi dia sangat jauh berbeda dengan dokter Austin yang murah senyum, ramah dan hangat," gumamnya setelah berhasil keluar dari ruangan itu dengan selamat, tak lupa ia telah menutup pintu dengan pelan sebelumnya.

"Kau sudah sadar?" tanya Marvel setelah hening sesaat. Ia pandangi dengan lekat wanita yang kini duduk dengan bersandar di kepala ranjang yang super nyaman itu.

Ayla terlalu senang sampai tak bisa berkata-kata. Wanita itu hanya mengangguk dan tersenyum sangat manis. Ia mengira sudah tidak ada yang mau peduli padanya. Karena dari pagi sama sekali tidak ada yang berkunjung, baik itu sang tunangan maupun teman-temannya.

"Kenapa tersenyum seperti itu? Apa aku memintamu tersenyum?" ujar Marvel dengan ketus, entah kenapa Ayla merasa ada yang aneh dengan sang tunangan.

"Kenapa Kak Edric membentak ku?" tanya Ayla bingung, senyumnya yang manis menghilang seketika.

Wajah pria dihadapannya ini memang sangat mirip dengan sang tunangan, tapi sikapnya berbeda 180 derajat.

"Siapa Edric? Jangan berdrama! Sekarang katakan dimana gadis pemilik kalung ini berada?"

Marvel mengeluarkan kalung yang setahun terakhir selalu terikat di lehernya. Ayla pun memperhatikan dengan seksama, keningnya berkerut kala sama sekali asing dengan benda itu.

"Itu kalung siapa? Aku tidak pernah melihatnya," ungkap wanita itu dengan polos.

"Kau!" Kilatan amarah terlihat jelas dari kedua mata pria itu. Pria itu mengangkat tangan kanannya dan mencekik Ayla.

"Ugh." Kedua tangan Ayla memegang sebelah tangan Marvel. Tubuhnya yang masih lemah membuatnya tidak memiliki kekuatan untuk melawan.

"Jangan berpura-pura lagi! Aku sudah membiarkan kau hidup selama satu tahun terakhir hanya untuk hal ini. Jika kau tidak bisa memberi jawaban untuk apa kau hidup lagi, hah?"

Kedua mata Ayla yang awalnya berkaca-kaca kini telah melelehkan air matanya. Wanita itu masih menatap wajah sang tunangan dengan tatapan tak percaya.

Deg.

Sebersit rasa tak tega muncul di relung terdalam hati pria itu. Marvel hanyut dalam kedua netra coklat yang terlihat penuh luka. "Tidak, tidak boleh lengah. Mungkin hanya kebetulan sama," batinnya.

Tanpa sadar cekikannya mengencang dan membuat Ayla semakin sulit untuk bernapas.

"Tuan," pekik Willy. Alangkah terkejutnya pria itu ketika baru saja melangkahkan kaki masuk ke ruangan ini, sudah disuguhi oleh kekejaman Marvel yang telah mendarah daging.

"Uhuk, uhuk." Ayla terbatuk-batuk kala Willy berhasil menarik tangan Marvel menjauh dari lehernya, wanita itu meraup udara sebanyak-banyaknya demi menormalkan kembali pasokan udara yang tadi sempat terhenti.

"Apa kau sudah gila? Kau bisa membunuhnya," marah Willy, tidak menyadari bahwa tatapan Marvel sudah seperti akan menelannya hidup-hidup.

"Ehm, ma-maksudku jika dia mati, kau tidak akan memiliki sumber lain lagi untuk menemukan dia."

Marvel pun menarik napasnya dengan berat. "Panggilkan Austin sekarang!"

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Tbc.

🌼🌼🌼🌼🌼

Bab 2 ~ Seringai di Sebelah Kiri

Dengan tergesa-gesa dua orang pria berjalan menuju ruangan teratas rumah sakit itu. "Apa dia sudah gila? Wanita itu baru sadar," gerutu Austin namun tidak menghentikan langkahnya.

Willy mengangkat kedua bahunya. "Seperti tidak tahu bagaimana sifat teman mu yang satu itu saja."

Keduanya pun semakin mempercepat langkah, naik melalui lift agar lebih cepat.

Sementara di dalam ruang rawat, Ayla masih menatap Marvel dengan bingung. Bagaimana bisa pria itu sangat berubah seperti ini. Padahal baru semalam mereka saling mengikat melalui pertunangan.

Tapi jika dilihat-lihat tubuh pria ini memang sedikit berbeda dari Edric. Marvel memiliki tubuh yang lebih besar dan sedikit lebih tinggi. Sementara pria yang tengah ditelisik itu semakin menunjukkan tatapan tak bersahabat, membuat Ayla sedikit menunduk karena gugup.

Deg.

Hati wanita itu mencelos kala tidak lagi melihat cincin yang semalam disematkan oleh pria itu di jari manisnya. "Apa dia yang membuangnya?" batinnya merasa sesak di dada. Terlebih hal yang sama juga terjadi pada sang tunangan, pria itu pun tak mengenakan cincin pertunangan mereka.

"Aku akan bertanya sekali lagi," ujar Marvel membuat lamunan Ayla buyar. Pria duduk di sofa sembari melayangkan tatapan tajamnya.

"Katakan dengan jujur, dimana keberadaan Lala!"

"Lala?" gumam Ayla sembari mengingat-ingat dimana ia pernah mendengar nama ini.

"Aku tahu. Sudah ku duga Kakak pasti tidak akan melupakan ku," jawab Ayla kembali tersenyum.

"Ck, katakan saja! Tidak perlu berbasa-basi lagi!"

"Lala ... Lala ada disini."

Refleks saja Marvel mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan.

"Kau mempermainkan ku?" ketus pria itu kembali, pasalnya di ruangan itu sama sekali tidak ada orang lain selain mereka berdua.

"Tidak, Lala memang ada di sini. Aku adalah Lala." Ayla tersenyum hangat.

"Hah. Kau benar-benar menguji kesabaran ku," geram pria itu sambil bangun dari duduknya. Akan ia bunuh wanita ini sekarang juga.

"Marvel," panggil Austin menghentikan langkah pria itu.

"Dia baru sadar. Kau tidak boleh terlalu keras dengannya."

"Huft." Kembali Marvel menarik napasnya dengan kasar. Pria itu akhirnya duduk kembali dan memberi kesempatan Austin untuk memeriksa Ayla.

"Halo, aku Austin. Dokter yang selama ini menangani kamu," sapa Austin dengan senyuman hangat. Jika Ayla tidak mencintai Edric, wanita itu pasti akan langsung terhipnotis.

Namun nyatanya Ayla hanya tersenyum tipis, tanpa menjawab atau menanggapi sapaan itu. Ia sudah sangat mengenal pria ini, jadi untuk apa berkenalan lagi?

Tapi tunggu? Namanya Austin?

"Bukankah nama kamu Haven Hall?"

Austin mengerutkan kening. Haven? Ia bahkan belum pernah mendengar nama itu sebelumnya.

"Maaf, sepertinya kamu salah orang. Namaku adalah Austin Lincoln."

"Sekarang, apa kamu mengingat nama lengkap mu?" tanya Austin setelah melihat Ayla tampak bingung.

"Alice Lawrence," jawab Ayla yang membuat Marvel membelalakkan matanya.

"Berapa usiamu?"

"21 tahun," sahut Ayla kembali sembari melirik pada Marvel.

What the ****?

Marvel sontak kembali berdiri dengan tatapan tajamnya. Ayla yang melihat itu merasa terintimidasi. Wanita itu dengan cepat kembali mengalihkan pandangannya pada Austin.

"Lalu tadi kamu bilang aku adalah Haven Hall? Apa aku adalah temanmu?"

Ayla mengangguk. "Bukan hanya kamu, Malvin juga temanku," balas Ayla sembari menoleh pada Willy yang berdiri di sisi Marvel.

"Malvin?"

"Hmm, dia adalah Malvin. Dan yang di sebelahnya adalah Edric Nelson, tunanganku."

"Kau!"

"Tuan, lebih baik kita keluar terlebih dahulu. Biarkan dokter Austin yang menanganinya," bujuk Willy sembari menarik lengan berotot Marvel. Keduanya pun keluar dengan wajah Marvel yang seperti akan memakan orang.

Setelah beberapa saat Austin keluar. "Dia itu berbohong," tegas Marvel sebelum Austin membuka mulutnya.

"Dengarkan aku dulu! Setelah mengobrol beberapa saat dengannya. Wanita itu sama sekali tidak mengingat tentang dirinya sendiri. Untuk sementara aku menyimpulkan bahwa ia mengalami trauma sehingga membuang ingatan aslinya yang menyakitkan dan menggantinya dengan ingatan baru yang berupa fantasinya sendiri."

"Tidak, dia hanya berpura-pura. Aku akan membawanya pergi sekarang. Kita lihat apa dia masih bisa berpura-pura atau tidak." Marvel menyeringai. Sementara Willy bergidik, apabila senyum psiko itu muncul, hanya satu hal yang akan terjadi.

Menyiksa tanpa jeda sampai mau membuka mulut.

"Tuan, bukankah bagus kalau nona Ayla hilang ingatan? Dengan begitu dia tidak akan membuka kedok Tuan di hadapan nyonya besar. Terlebih jika nona Ayla mati, maka nyonya akan kembali meminta Tuan untuk menikahi nona Sierra," ujar Willy dengan cepat, hanya dengan mencuci otak Marvel lah, ia bisa menghentikan sikap gila sang tuan.

Dan ya, berhasil. Perlahan senyum smirk pria itu menghilang, wajah itu kembali mendatar seperti biasanya.

Namun sedetik kemudian smirk itu kembali muncul. "Ini adalah senyuman licik," batin Willy.

Ya, Willy sudah hapal dua jenis seringai sang tuan. Apabila seringai di sudut bibir sebelah kanan maka itu adalah senyuman psiko, pria itu akan berlaku to the point, kejam dan langsung mengeksekusi.

Sementara jika smirk itu di sudut bibir sebelah kiri maka itu adalah senyuman licik. Pria itu akan menjadi benalu yang menggerogoti inangnya hingga inang itu tak sanggup menahan lagi dan berakhir mati.

"Seharusnya aku sadar, bagaimana pun aku membujuk hasilnya akan tetap sama walau dengan cara yang berbeda."

Willy menghela napasnya dengan kasar, ia menatap Austin agar membantunya berbicara.

"Aku akan tetap membawanya kembali," ujar Marvel singkat. Menurutnya semakin banyak ia berbicara maka akan semakin banyak bantahan yang ia terima.

"Dia belum boleh pulang, aku masih harus melakukan pemeriksaan menyeluruh hingga yakin bahwa keadaannya telah baik-baik saja. Baru akan ku beri izin untuk dipulangkan."

"Dengan atau tanpa izinmu. Aku bisa membawanya keluar masuk dari sini sesuka hati."

"Tapi ...."

"Apa kau mau dipecat?" tanya Marvel dengan tatapan mengancam.

"Baiklah-baiklah. Aku memang selalu kalah."

"Bagus, dengan begitu posisi mu akan selalu aman." Marvel mengacak rambut Austin asal, membuat pria itu kesal setengah mati.

Siang itu juga Ayla dibawa pulang oleh Marvel.

"Jangan gegabah, aku tidak mau melihat penyesalan mu nanti," pesan Austin sebelum Marvel beranjak pergi. Sementara Ayla duduk di sebuah kursi roda yang didorong oleh Willy.

.

.

.

Menempuh perjalanan selama 20 menit, akhirnya mereka sampai di sebuah rumah sederhana yang pemandangan yang masih asri. Walau kecil namun tampak nyaman.

"Kau pulanglah!" titah Marvel pada sang asisten.

"Tapi, Tuan." Willy langsung menelan ludahnya susah payah kala diberi tatapan elang oleh sang tuan. Tanpa menjawab lagi, pria itu berjalan pergi tanpa membawa mobil Marvel.

Sementara Marvel langsung beranjak tanpa mempedulikan Ayla. "Ikuti aku!"

Wanita yang tangannya masih terpasang infus itu pun hanya bisa memutar kursi rodanya dengan susah payah karena harus memegang tiang yang menggantung cairan infusnya.

"Ck, lambat sekali. Seperti kura-kura."

Pria itu kembali dan mendorong kursi roda Ayla dengan kencang tanpa peduli infus di tangan wanita itu tertarik dan terlepas dengan paksa. "Auuw," pekik Ayla kemudian meringis kesakitan. Seketika darah segar mengalir di punggung tangannya.

"Sakit?" Ayla mengangguk. Pria itu lalu menerbitkan seringai kirinya.

"Jika masih tidak mau mengaku, kau akan terus ku perlakukan seperti ini."

"A-aku sama sekali tidak tahu tentang kalung itu," lirih Ayla dengan mata berkaca-kaca.

"Haha, baiklah. Kau tidak tahu apapun kan?" Ayla mengangguk.

"Maka aku akan membuatmu tahu apapun itu. Sekarang bangunlah! Jangan malas dan duduk di sana seperti seorang ratu. Aku rasa hanya otak mu saja yang rusak kan? Atau kau juga lumpuh?"

Mendengar itu Ayla merasa tidak terima, wanita itu perlahan bangkit dari kursi rodanya dengan bertumpu pada kedua tangannya. "Sstt." Ayla meringis kala merasakan perih luar biasa pada punggung tangannya, namun itu tak membuatnya goyah.

Dan berhasil, wanita itu berhasil berdiri. Ia tersenyum penuh kemenangan, namun sedetik kemudian ia harus tersungkur karena kakinya masih terlalu lemah untuk menopang berat tubuhnya.

"Ck, ck, ck. Lemah, tak berguna," sarkas Marvel sembari tertawa sinis.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Tbc.

🌼🌼🌼🌼🌼

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!