NovelToon NovelToon

Rumah Hantu

Bab 1 Aroma Bangkai

"Kok seperti bau bangkai, ya, Nduk?" tanya Budhe Narti saat melintas di depan rumah. Aku dan Ibu yang sedang duduk-duduk di teras sambil mengupas bawang menoleh ke sumber suara.

"Tidak tahu, Budhe. Sudah sejak pagi baunya sudah ada." jawabku.

"Iya, ya. Sudah dari kemarin malah baunya tercium sampai sini." Ibu turut menimpali. Budhe Narti ikut duduk di teras, bersandar pada tiang di ujung sebelah Utara. Sedangkan aku dan Ibu, duduk agak di tengah. Tepat di depan pintu utama.

"Sini, Mbakyu. Jangan disitu, suka banyak semut." ucap Ibu pada Budhe Narti.

Budhe Narti segera beranjak dan duduk mendekat ke arah kami. Seperti biasanya, Budhe Narti akan menghabiskan waktu siangnya untuk berkumpul bersama kami di rumah. Meskipun hanya untuk sekedar mengobrol, rebahan di teras maupun membuat rujak bersama.

"Tuh, baunya sangat kuat kalau ada angin kesini." Budhe Narti menutup hidungnya dengan kerah bajunya. Ibu juga terlihat sedikit risih dengan aroma yang menurutku ini sudah sangat kuat tercium sejak pagi tadi saat aku melintas di depan rumah Bu Nuri, rumah paling pojok di pertigaan arah jalan raya.

"Mungkin ada bangkai tikus atau ular, Mbakyu. Bisa jadi juga bangkai kucing. Akhir-akhir ini aku melihat ada kucing sakit jalan mondar-mandir di sekitar sini." ucap Ibu sambil mengamati sekitar. Sedangkan aku hanya fokus mengupas bawang.

Budhe Narti tak menjawab. Beliau malah sibuk menahan mual karena aroma bangkai yang tercium semakin kuat saat angin berhembus ke arah kami.

"Coba nanti Bapakmu suruh cari, Nduk. Siapa tahu ada bangkai binatang. Penyakit lo ini jika dibiarkan seperti ini." perintah Budhe Narti padaku. Budhe Narti merupakan kakak sepupu dari Bapak. Rumah Budhe Narti dengan rumahku hanya berjarak sekitar lima meter, dan hanya di batasi oleh sebuah kebun kosong milik Ibu.

"Iya. Budhe." jawabku singkat.

"Mbakyu, mau pisang goreng? Tadi pagi aku goreng pisang. Kalau mau ambil ke dalam." pinta Ibu pada Budhe Narti.

"Kamu itu gimana, Dik Tri. Orang lagi mual begini malah di tawari pisang goreng. Enggaklah, perutku rasanya jadi nggak karuan. Aku tak pulang saja, ya. Kalian masuk sana. Nggak sehat kalau menghirup aroma bangkai ini." perintah Budhe Narti. Beliau langsung saja beranjak pulang, terlihat Budhe terlihat sangat buru-buru saat memakai sandalnya. Bahkan sampai tertukar kanan dan kirinya.

Hoooeeekkk... hooeeekkk...

Spontan aku dan Ibu menoleh ke asal suara. Budhe Narti muntah-muntah di pinggir jalan. Aku dan Ibu segera menghampirinya.

"Ambilkan minyak angin, Nduk." perintah Ibu. Aku langsung berlari menuju rumah untuk mengambil minyak angin untuk Budhe Narti.

Ibu menggosok-gosok tengkuk leher Budhe Narti sambil sesekali menepuk-nepuk perlahan punggung Budhe Narti.

"Ini, Bu." ku serahkan botol minyak berwarna hijau itu pada Ibu. Secepat kilat, Ibu membalurkan minyak angin ke dahi maupun bawah hidung Budhe Narti. Budhe Narti tampak lemas. Meskipun sudah tak ada yang beliau keluarkan, namun Budhe Narti masih berusaha untuk memuntahkan lagi isi perutnya.

Ibu memapah tubuh Budhe Narti menuju rumahnya. Tubuh Budhe Narti tampak sangat lemas.

"Ayu, kamu masuk saja sana. Lanjutkan mengupas bawangnya di dalam." perintah Ibu. Aku bergegas pulang dan menutup pintu rapat-rapat. Aroma bangkai saat ini memang mampu membuat pusing kepalaku dan membuat isi perutku seperti di aduk-aduk.

Sore hari, aku dan Ibu lupa memberitahukan soal bau bangkai pada Bapak. Hingga malam tiba, tak ada satupun dari kami yang membahas soal aroma bangkai yang tercium sejak pagi. Apalagi di tambah aroma itu sudah tidak tercium saat sore hari.

Hingga pagi harinya, Budhe Narti kembali datang dan meributkan soal bau bangkai kepada Ibu. Kali ini Bapak masih di rumah, belum berangkat ke ladang untuk menyiangi tanaman.

"Apa kamu sudah bilang sama Anto soal bau bangkai kemarin, Dik Tri?" tanya Budhe Narti sesaat setelah menjatuhkan bobot tubuhnya di bangku belakang.

"Oh, iya. Aku lupa, Mbak. Semalam sudah tidak tercium aroma bangkainya lagi. Sejak sore malah. Soalnya aku sama Ayu sibuk di belakang. Jadi keterusan lupa sama bau bangkai kemarin itu." jawab Ibu sedikit merasa bersalah. Sedangkan aku hanya tertawa cekikikan mengingat kami berdua tak ada yang mengingat pesan dari Budhe Narti.

"Sekarang dimana Anto?" Budhe Narti bangkit dari kursi dan hendak mencari Bapak yang sedang berada di kamar mandi.

"Masih di kamar mandi, Budhe. Tunggu saja." pintaku. Kembali Budhe duduk di bangku belakang, menunggui Ibu yang sedang menyelesaikan memasak. Sedangkan aku dan Mira, adikku sudah bersiap-siap ke sekolah. Tak perlu menunggu masakan Ibu matang, kami berdua selalu makan pagi dengan lauk telur ceplok setiap hari.

"Memangnya masih bau, Budhe?" tanyaku penasaran. Karena memang sejak pagi aku belum keluar rumah melalui pintu depan. Budhe Narti mengangguk.

"Belum, Nduk. Malah sekarang baunya makin kuat. Apalagi banyak lalat hijau beterbangan di sana." tangan Budhe Narti menunjuk ke pertigaan, rumah Bu Nuri. Seorang wanita pensiunan yang hidup seorang diri di sebuah rumah mewah. Ya, beliau merupakan orang kaya di kampung. Bahkan rumahnya sangat besar, jauh lebih besar ketimbang rumah kami para tetangganya. Bahkan rumahnya di pagari dengan pagar tembok yang tinggi menjulang, dan masih di tambah dengan besi di atasnya. Seolah-olah si penghuni rumah sengaja memisahkan diri dari tetangga sekitar, menutup rapat rumahnya dengan pagar sehingga tidak ada satupun tetangga yang bisa melihatnya. Namun dari rumah ku yang berada di samping depan rumahnya, bisa sedikit melihat Bu Nuri saat beliau sedang berada di lantai dua rumahnya. Biasanya Bu Nuri berada di sana untuk menjemur pakaian. Selepas itu, tentu saja beliau akan kembali turun dan tak akan pernah terlihat di luar rumah jika tidak sangat di perlukan. Untuk berbelanja makanan saja Bu Nuri harus pergi ke pasar tengah kota atau bahkan di supermarket besar, berbeda dengan kami, yang lebih memilih untuk berbelanja di tukang sayur keliling.

"Bangkainya Bu Nuri mungkin, Budhe." tiba-tiba saja Mira menyeletuk saat melihat jari Budhe Narti menunjuk ke arah pertigaan. Aku yang sedang memakai sepatu di sebelahnya, sontak saja tangan ini reflek memukul kepalanya karena sudah sembarangan berbicara.

"Sakit, Mbak." Mira meringis sambil mengusap-usap belakang kepalanya.

"Rasain, siapa suruh bicara sembarangan." ucapku ketus. Budhe Narti tidak menjawab ucapan Mira. Yang ada wajah Budhe Narti tiba-tiba berubah pias, hingga terlihat pucat.

"Sudah-sudah, mau sampai kapan kalian ribut terus. Lihat, sudah jam berapa sekarang?" Ibu mengangkat gagang penggorengan ke arah kami. Aku langsung memilih untuk bangkit dan berpamitan pada Ibu. Mencium tangan beliau dengan takzim seraya meminta doa restu untuk ilmu yang akan ku cari hari ini. Begitu juga Mira, dengan sedikit berlarian karena belum selesai memakai sepatunya, ia berusaha mengejarku yang sudah berjalan lebih dulu di depannya.

Bab 2 Mati Membusuk

Siang hari, saat aku pulang dari sekolah, terlihat sekitar rumah Bu Nuri sudah ramai dengan warga sekitar. Dari kejauhan sudah terdengar suara ribut yang berasal dari warga yang saling bersahutan memanggil nama sang empunya rumah.

"Mungkin kosong, Pak." ucap Budhe Sumi, tetangga belakang rumah Bu Nuri. Rumah Budhe Sumi berada di belakang persis rumah Bu Nuri, hanya saja terhalang dinding tembok yang sangat tinggi milik rumah Bu Nuri.

"Tidak mungkin orangnya pergi, Budhe. Tiba-tiba Mira datang dan ikut memotong pembicaraan para orang tua tersebut.

"Sssttt... sini." aku menarik lengan baju adikku yang sok tahu itu. Namun Mira malah menepis tanganku dengan kasar.

"Pak, tidak mungkin Bu Nuri pergi. Lihat saja, lampunya tidak pernah menyala selama beberapa hari ini." ucap Mira lantang sambil telunjuknya menunjuk lampu yang tergantung di atas teras rumah Bu Nuri. Sedangkan aku lebih memilih untuk diam saja. Benar saja apa yang di katakan adikku itu. Biasanya Bu Nuri akan menyalakan lampu teras rumahnya jika akan di tinggal pergi. Tapi beberapa hari ini, keadaan rumah besar dan megah itu memang dalam keadaan gelap gulita selama beberapa hari. Itu artinya, Bu Nuri masih berada di dalam rumah dan tidak pergi kemana-mana.

"Nduk, pulang." Ibu melotot ke arahku dan Mira. Tentu saja Ibu tak ingin kami ikut campur masalah orang dewasa. Namun bukan Mira namanya jika ia akan langsung menurut apa kata Ibu. Benar saja, Mira malah semakin maju ke depan. Memukul-mukul pagar besi milik Bu Nuri dengan menggunakan batu hingga membuat kegaduhan.

Kasak kusuk terdengar suara dari kerumunan warga. Bukan karena melihat tingkah Mira yang sembrono, namun mereka membahas aroma bangkai yang semakin tercium kuat dari dalam rumah Bu Nuri.

"Coba Pak RT, bagaimana kalau ada yang menerobos masuk ke dalam." ucap Pakdhe Yoso, suami Budhe Sumi.

Akhirnya atas persetujuan dari Pak RT, Pakdhe Sumi dan Bapak memanjat pagar rumah milik Bu Nuri yang sangat tinggi. Dengan bantuan tangga dan juga bapak-bapak warga sekitar, akhirnya Pakdhe Yoso dan Bapak berhasil masuk ke dalam pagar. Terlihat Pakdhe Yoso menutup hidungnya dengan telapak tangan saat mendekati rumah Bu Nuri. Sedangkan Bapak membukakan gerendel pagar rumah Bu Nuri agar yang lainnya bisa ikut masuk tanpa perlu memanjat lagi.

Bu Nuri tak memiliki keluarga disini. Bahkan setahu kami, Bu Nuri juga tak memiliki anak. Untuk keluarganya, kemungkinan semua berada di luar pulau mengingat Bu Nuri dan almarhum suaminya merupakan pendatang di desa kami. Bu Nuri dan suaminya merupakan orang yang sangat tertutup. Jangankan untuk sekedar berbaur dengan tetangga, menyapa saat berpapasan saja mereka enggan. Makanya kami para tetangga tak begitu mengerti tentang kehidupannya.

"Bagaimana, Kang?" Bapak menghampiri Pakdhe Yoso yang terlihat sedang mengintip melalui jendela rumah Bu Nuri. Mira pun turut serta, memang dia selalu ingin tahu dengan apa yang dia lihat.

"Ada orang tiduran di lantai, Ton." terdengar jawaban dari Pakdhe Yoso, memang Pakdhe Yoso selalu berbicara dengan suara keras, sehingga siapa saja bisa mendengarnya.

Bergegas Pak RT dan beberapa pria termasuk Pakdhe Narto, suami Budhe Narti turut serta masuk ke halaman rumah Bu Nuri.

"Dobrak saja, Pak." seru Bapak pada Pak RT yang terlihat sedikit gelisah dengan apa yang beliau lihat.

"Keluar...keluar...keluar..." Bapak menghalau Mira yang mengikuti Bapak masuk ke dalam rumah Bu Nuri. Terlihat wajah Mira yang di tekuk karena tidak di perbolehkan ikut masuk oleh Bapak. Sedangkan di dalam sana, terdengar suara orang sedang muntah-muntah entah karena apa.

Aku menyusul Mira yang berjalan cepat pulang kerumah. Aku yang masih memakai seragam sekolah pun memutuskan untuk mengikuti Mira yang berjalan cepat dengan wajah kesal.

"Mbak, tahu nggak?" tiba-tiba Mira yang berjalan cepat langsung menghentikan langkahnya dan memutar badannya kebelakang membuatku terkejut dan hampir menabraknya.

Pllaaakkk

"Aduh, sakit, Mbak." ucapnya sambil mengusap-usap pundaknya yang terkena pukulanku.

"Lagian, ngapain berhenti tiba-tiba. Untung nggak ku tabrak kamu." jawabku sewot. Sedangkan Mira hanya terkekeh.

"Mbak, mau tahu nggak tadi apa yang ku lihat?" tanyanya dengan suara berbisik. Aku yang sebenarnya juga penasaran dengan apa yang terjadi di rumah Bu Nuri, akhirnya aku mendekatkan telingaku ke bibir Mira untuk mendengarkan apa yang ingin ia katakan.

"Bu Nuri meninggal. Mayatnya membusuk, belatungnya besar-besar memenuhi hampir seluruh tubuhnya." Mira bercerita sambil sesekali bergidik. Aku mual membayangkan kondisi Bu Nuri saat di temukan.

"Tapi aku nggak sempat lihat wajahnya. Padahal aku penasaran sekali, sayangnya tadi wajahnya tertutup rambut dan menghadap ke tembok." ucap Mira melanjutkan ceritanya.

"Terus, Mbak." belum sempat Mira melanjutkan ceritanya, aku langsung memberikan isyarat padanya untuk berhenti bercerita. Aku memilih untuk berlari pulang kerumah dan bergegas menuju kamar mandi. Ku muntahkan semua isi perutku karena mual membayangkan kondisi Bu Nuri. Sedangkan panggilan Ibu tak sedikit pun ku hiraukan.

"Mbak... Mbak Ayu." terdengar suara Mira memanggil namaku. Namun aku masih saja berusaha untuk mengeluarkan isi perutku karena rasa mual yang tak kunjung reda.

"Mbakmu kenapa itu, Nduk?" terdengar suara Ibu bertanya pada Mira.

"Ibu belum tahu?" ku lihat Mira duduk di dekat Ibu yang sedang memarut kelapa. Aku keluar dari kamar mandi dan segera meneguk habis air dingin dalam lemari es. Mira tertawa melihat tingkahku, dia tahu persis jika aku sangat penakut dan mudah jijik dengan segala sesuatu meskipun hanya melalui cerita. Beda dengannya yang tomboi dan pemberani, bahkan bisa di bilang Mira tak takut pada apapun.

"Ada apa, toh sebenarnya?" Ibu sepertinya juga penasaran.

"Tunggu, biarkan aku masuk kamar dulu. Baru kamu boleh bercerita sama Ibu." ucapku dengan wajah kesal. Mira malah semakin terbahak dengan tingkahku.

"Bu Nuri meninggal, Bu. Mayatnya busuk, banyak belatungnya besar-besar. Bahkan sampai merembet ke ruang tamu dan kamar." bukan Mira namanya kalau menuruti apa kata orang lain. Tak peduli aku yang masih berdiri di ambang pintu, dia malah bercerita dan menjelaskan secara detail kondisi jenazah Bu Nuri pada Ibu. Terlihat Ibu bergegas membereskan pekerjaannya dan berjalan cepat kedepan. Sudah bisa di tebak, Ibu pasti akan ke rumah Bu Nuri untuk melihat kondisi di sana.

"Mira, matikan kompornya. Kalian di rumah saja. Jangan ada yang kesana." perintah Ibu pada kami.

"Mbak, mau kemana?"

"Kekamarlah, tidur." jawabku ketus.

"Awas, Mbak. Nanti di temenin sama Bu Nuri." ucap Mira dengan suara lantang.

Buuuggg...

Ku lempar sepatu yang belum ku lepas dari tadi ke arahnya. Sayangnya tak berhasil mengenai sasaran. Sepatu yang seharusnya mengenai Mira, malah meleset dan mengenai panci milik Ibu.

Bab 3 Jenazah Tak Di Sucikan

Jenazah Bu Nuri di periksa oleh tim medis dari Rumah Sakit terdekat. Karena tidak ada kerabat mau pun ahli waris, jenazah Bu Nuri tidak di bawa untuk di autopsi. Apalagi tidak terlihat adanya tanda-tanda kekerasan pada tubuh jenazah. Jenazah Bu Nuri di masukan ke dalam kantong jenazah setelah di siram sekedarnya untung membuang belatung-belatung yang menempel pada tubuhnya, dan daging-daging yang sudah mulai hancur berserakan di kumpulkan menjadi satu serta ikut di masukkan ke dalam kantong jenazah juga. Belatung-belatung yang masih bergerombol, di siram menggunakan minyak tanah dan bensin supaya cepat mati. Setelah semua mati, para tenaga medis di bantu oleh beberapa warga laki-laki membersihkan tumpukan belatung itu dengan menggunakan sekop besar dan memasukkannya ke dalam wadah. Setelah itu, semua ruangan di semprot dengan obat semprot serangga guna menghalau lalat-lalat hijau yang beterbangan dan hinggap di mana-mana.

Sore hari, suasana desa sudah terlihat sepi. Budhe Narti tak terdengar suaranya sejak tadi. Sejak jenazah Bu Nuri di semayamkan di pemakaman umum desa kami, warga desa lebih memilih untuk berdiam diri di dalam rumahnya masing-masing.

"Pak, apa tadi jenazah Bu Nuri sudah di sucikan dengan benar?" tanya Ibu mengingat tadi Bapak ikut menguburkan jenazah Bu Nuri.

"Bagaimana bisa di sucikan, Bu. Orang jenazahnya sudah hampir hancur begitu.

Hening, tak ada lagi obrolan antara Ibu dan Bapak. Hanya ada denting sendok yang beradu dengan gelas kopi milik Bapak. Mira entah kemana, biasanya sore-sore begini dia berkumpul dengan teman-temannya untuk bermain.

Brruuuggg

"Pak. Kata Lik Sum, kemarin lihat Bu Nuri berjalan dari jalan depan sendirian." tiba-tiba Mira masuk dan membanting pintu membuat kami yang di dalam di buat terkejut olehnya.

"Ini apa sih? baru pulang langsung heboh begini. Dari mana kamu?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan karena aku tahu persis kemana pembicaraan ini akan berlanjut.

"Ih, apa sih, Mbak." Ayu duduk di sebelah Bapak. Menyeruput kopi Bapak yang masih panas lalu meletakkan begitu saja setelah bibirnya terasa terbakar. Aku tertawa melihat tingkah konyol adikku yang memang sudah menjadi kebiasaannya setiap hari itu.

"Pak, Lik Sum bilang, kemarin dia papasan sama Bu Nuri di jalan depan sana." kembali Ayu mengulangi ucapannya. Kali ini aku lebih memilih untuk diam, menunggu kelanjutan cerita yang akan di sampaikan oleh adikku itu.

"Ngapain?" tanya Bapak biasa saja.

"Kata Lik Sum, Bu Nuri jalan begitu saja. Rambutnya tidak di ikat, tergerai begitu saja. Seperti biasanya yang kalau kita lihat itu." ucap Mira.

Bu Nuri memang sudah tak muda lagi, namun karena tidak memiliki anak, maka beliau selalu berdandan seolah dirinya masih muda. Memakai riasan wajah dan rambut di gerai memanjang begitu saja. Apalagi suaminya sudah meninggal, jadi Bu Nuri hidup menjanda sudah cukup lama. Namun sayangnya, Bu Nuri tidak pernah mau bersosialisasi. Makanya kemungkinan tak ada laki-laki yang mendekatinya karena hidupnya amatlah sangat tertutup.

"Kata Lik Sum, Bu Nuri juga menjawab saat di sapa. Tidak seperti biasanya yang hanya akan berdehem jika ada yang menyapanya." ucap Mira lagi.

"Lalu kamu itu dari mana?" tanya Bapak pada Mira.

"Mira dari rumah Siti, Pak. Disana banyak yang bercerita tentang Bu Nuri." jawab Mira sambil tertawa.

"Kamu berani pulang sendiri? Nanti kalau di cegat sama Bu Nuri baru tahu rasa." ucapku kesal. Apalagi rumah Siti memang melewati samping rumah Bu Nuri. Hanya saja tidak akan tampak halaman rumah Bu Nuri dari jalanan karena memang terhalang pagar tembok yang tinggi.

"Nggak, ya, Mbak. Buktinya aku sudah pulang sampai rumah dengan selamat." ucapnya sambil berlalu. Ibu menjewer telinganya karena terus-terusan menceritakan tentang Bu Nuri dan tak pergi untuk mandi meskipun hari sudah hampir gelap. Aku tertawa puas melihatnya meringis kesakitan.

"Sebenarnya apa yang terjadi dengan Bu Nuri, Pak?" terdengar suara Ibu bertanya pada Bapak. Aku yang sedang berada di kamar masih mampu mendengar Bapak dan Ibu mengobrol di ruang tengah. Mira sepertinya masih menonton televisi, terdengar suara televisi sedang menyiarkan acara kesukaan adikku itu.

"Kata orang Rumah Sakit tadi, kemungkinan besar Bu Nuri sakit jantung. Lidahnya keluar, bibirnya juga membiru. Namun tidak ada bekas luka cekikan di leher, jadinya bisa langsung di makamkan karena tidak ada tanda-tanda kekerasan pada tubuhnya." ucap Bapak. Syukurlah Bapak dan Ibu tidak menceritakan sesuatu yang menyeramkan soal Bu Nuri. Bisa-bisa aku begadang semalaman karena menahan rasa takut karena mendengar cerita seram malam-malam.

Detik jarum jam terdengar jelas. Mataku mengerjap, memperjelas penglihatan menatap jarum jam yang tergantung di atas pintu kamar, masih pukul satu malam rupanya. Kembali aku menari selimut, berniat untuk melanjutkan tidur. Namun usahaku tak berhasil, selimut yang berada di bawah kakiku sangat sulit ku tarik. Seperti tersangkut sesuatu. Aku menarik lebih kuat lagi, berharap kali ini bisa di tarik.

"Ih, nyangkut apaan sih?" aku bangun dan berniat mengambil selimut.

"Loh?" selimut dengan gampangnya ku ambil. Bahkan tidak tersangkut apapun. Apalagi memang di bawah ranjang tidak ada apapun selain lantai kamar.

Ku tutup rapat-rapat selimut hingga ke atas kepala, berbaring menghadap ke tembok dan mencoba menetralisir rasa takut.

Deg

Detak jantungku berpacu semakin cepat. Bahkan tubuhku kini di banjiri oleh keringat dingin yang mengalir deras membanjiri seluruh tubuh. Bunyi krieeett pada ranjang terdengar di bawah kaki. Ranjang bergerak perlahan, seperti ada seseorang sedang bergerak perlahan menaiki tempat tidur. Aku menangis, namun mulut ku tahan dengan telapak tangan untuk menghindari suara terdengar hingga luar selimut.

Astaghfirullahaladzim." berkali-kali ku ucap istighfar untuk mengurangi debar jantung.

Hembusan nafas terasa dingin di tengkuk leher. Aku semakin mempererat selimut agar tetap menutupi seluruh tubuh. Terasa dari bawah sana seseorang sedang berusaha menarik selimut ke bawah. Namun sekuat tenaga juga aku mempertahankannya.

Lampu kamar tiba-tiba padam. Aku berteriak memanggil Ibu dan Bapak. Secepat kilat pintu di buka dari luar. Ibu memeluk tubuhku dan aku menangis sesenggukan di pelukannya.

"Sudah, sudah. Tidak apa-apa, Nduk." Ibu masih memelukku. Sedangkan Bapak datang membawa segelas air. Segera ku teguk air di gelas hingga tandas. Mira masuk ke kamar sambil mengucek-ngucek mata. Sepertinya dia juga terbangun saat mendengar teriakanku.

"Bu, Bu Nuri datang kesini." ucapku di antara sela-sela isak tangisku. Ibu tak menjawab, beliau hanya mengusap-usap punggungku.

"Sudah, sudah. Nanti kamu tidur sama Mira, ya?" ucap Ibu setelah aku sedikit lebih tenang.

"Di kelonin sama Bu Nuri, Mbak?" tanya Mira tanpa di pikir lebih dulu sebelum mengucap. Ibu melotot ke arahnya, sedangkan yang di pelototi hanya tersenyum sambil garuk-garuk kepala.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!