"Satria!"
Pemuda jangkung tipis yang dipanggil namanya itu seketika berdiri tegak menoleh ke arah suara lembut merdu seorang Dara.
Namun ternyata, Dara tidak datang sendiri. Ada seorang pria berdiri di samping Dara. Pria tampan yang berdandan rapi dan klimis. Sangat jauh berbeda dengan Satria yang berpenampilan urakan dengan rambut ikal gondrongnya yang terurai tak beraturan.
Sudah satu tahun Satria berpacaran dengan Dara. Teman satu kampus namun beda jurusan itulah yang selalu menjadi penyemangat Satria dikala hatinya penat dengan tugas-tugas kampus yang bejibun.
"Dar,..."
"Kenalin, ini Wildan. Dia, calon tunanganku, Sat!"
"Wha what? Apa gue ga salah dengar nih?"
Sontak saja netra Satria terbelalak. Ia berharap, semoga indera pendengarannya sedang kosleting.
Bola mata Dara menatap Satria serius. Kini anggukan kepala gadis itu menjadi penguat kalau telinganya tidak salah dengar.
"Dar..., maksudnya apa ini?" tanya Satria tergagap.
"Maaf, Satria. Seperti yang kamu ketahui,... Papa tidak menyukai hubungan kita ke arah yang lebih serius lagi karena... Minggu depan Aku akan bertunangan dengan Wildan."
"A_pa???"
Lemas lutut Satria.
Dara memberinya kabar yang buruk. Bahkan lebih buruk dari kabar Pak Toha dosen yang mengumumkan nilai IP-nya yang anjlok dan harus dikejar dengan menambah nilai satuan kredit semester di semester berikutnya.
Satria masih blank ketika Dara dan pria dikenalkan sebagai calon tunangannya itu beranjak pergi.
"Dara, tunggu!"
Satria baru tersadar dan mengejar Dara.
"Lalu, hubungan kita?"
"Ya otomatis putus lah, Satria!" jawaban yang membagongkan. Satria hanya cengo menatap Dara yang kembali lanjutkan langkah.
"Hahh? Putus? Jadi, kita... putus?"
Satria bergumam pada dirinya sendiri. Masih bingung meskipun tidak langsung oleng.
Setahun bersama Dara, adalah pengalaman berpacaran yang luar biasa baginya.
Berboncengan mesra di atas motor bebek butut hadiah kelulusannya sekolah menengah atas dan tertawa cekikikan dibawah derasnya hujan yang mengguyur kota.
Berbaris antri di restoran kekinian yang menunya sedang viral dan tranding topik di fyp aplikasi tuktuk hanya untuk kepo rasa mie gacoan yang pulang-pulang bikin BAB-nya moncor, juga menjadi bagian cerita cinta yang mengasyikkan.
Berc+uman mesra di tengah kebun teh daerah puncak yang dingin mengasyikkan juga merupakan kisah cinta luar biasa yang selalu membuat Satria bersyukur memiliki kekasih sehebat Dara.
Meskipun memang hubungan pacaran mereka di belakang layar karena kedua orang tua yang tak merestui. Satria berharap kata-katanya berubah menjadi 'belum' direstui. Sehingga suatu ketika nanti entah untuk berapa tahun lagi, kedua orang tua Dara akan menerimanya sebagai calon suami putri tunggal mereka. Harapannya semoga semua dimudahkan ketika dirinya sudah wisuda kelulusan menjadi seorang sarjana teknik.
Suatu hari nanti. Khayal Satria.
Namun ternyata...
"Bangk+e!!! Bajing++!!! Sia++an!!!"
Satria hanya bisa mengumpat dengan kata-kata kasar sebagai pelampiasan dari amarah yang meluap-luap setelah sadar, cintanya hanya dipandang sebelah mata oleh Dara.
Dara lebih memilih Wildan yang sudah mapan dengan pekerjaan tetapnya sebagai karyawan perusahaan penerbangan komersial bonafit.
Bukan bertahan dengan dirinya yang masih menyandang status mahasiswa semester lima. Dan kuliah pun masih dibiayai orang tua.
"Anjjjii++++innnngggg!!!"
Teriak Satria di halaman kampus membuat orang-orang sekitar akhirnya banyak merespon.
'Guk guk guk!!!'
'Miaaaouwww...'
"Ngen+++!!!" umpat Satria lagi.
'Wooi, bahasanya bray! Kondisikan! Ini kampus, bukan hutan belantara!!!'
'Hahaha...'
'Frustasi dia!!! Diputusin pacar hahaha...'
'Anjrit, kesian amat hidup Lo, Tot! Hahaha..., nongkrong noh di taman Lawang. Cari pelampiasan dulu lah, biarin jeruk makan jeruk juga!'
'Hahaha... Yang sabar ya Bro, cinta tak seindah itu kawan!'
'Hahaha, adeeek cinta tak selamanya indah, adeeek!!!'
"Shiiiit!!!" Satria menoleh ke kiri dan ke kanan.
Merah padam seketika wajahnya setelah tersadar kalau Ia telah jadi populer karena bertingkah menyedihkan yang diputus Dara tiba-tiba tanpa salah.
Ia segera berbelok ke arah parkiran. Mencari motor bebek bututnya yang penuh kenangan indah bersama Dara.
Seperti dalam drama yang mengiris hati, hujan turun tiba-tiba. Langsung deras hingga tubuh Satria lepek basah kuyup.
"Huaaa!!! Apes banget gue hari iniiii!!! Diputusin cinta sama Daraaa, diguyur hujan lebat pula! Huaaa, Tuhaaan!!! Tolong Satria, Tuhaaan!!!"
Siang yang redup ditengah derasnya hujan mengguyur, Satria yang mengendarai motor hujan-hujanan dengan mulut tak henti berteriak.
Untungnya hujan teramat deras dan jalanan sepi seperti sengaja memberi Satria jalan.
Cowok berumur 21 tahun bulan lalu itu tinggal tiga semester lagi jadi sarjana teknik kalau berjalan lancar, mengendarai motornya dengan kecepatan 80km/jam. Mengebut melesat secepat kilat.
Dan...
Gubrak!!!
Motornya oleng di tikungan. Jatuh tergelincir. Berguling hingga terseret beberapa puluh meter.
Helmet butut bergambar Hello Kitty yang dihadiahkan Dara ketika umurnya tepat kepala dua itu menjadi pahlawan. Menjaga kepalanya dari benturan keras yang bisa saja merenggut nyawa seketika.
Satria segera bangkit setelah sadar kalau lututnya berdarah tergerus aspal hitam yang basah air hujan. Beberapa orang di tikungan berusaha menolong mendorong motornya hingga menepi di pinggir jalan.
"Hik hik hiks..."
Ia menangis. Bukan karena kesakitan yang membuat kedua lututnya luka hingga celana jeans bagian dengkulnya bolong dibasahi darah.
Ia menangis karena terluka hati. Putus cinta dengan Dara. Speechless... Hopeless.
^^^TO BE CONTINUE^^^
Perkenalkan, namaku Satria. Usia 21 tahun. Mahasiswa jurusan teknik sipil semester lima.
Anak pertama dari tiga bersaudara dan dua adik perempuan semua.
Ini adalah cerita sedihku. Karena baru saja diputuskan cinta oleh Dara.
Sial betul nasib diri ini. Diputus cinta saat sedang sayang-sayangnya.
Tapi, apa mau dikata. Nasi sudah menjadi bubur. Dara lebih memilih Wildan untuk jadi tunangannya ketimbang Aku yang cuma mahasiswa belum berpenghasilan ini.
Memang betul pribahasa. Yang berjuang akan kalah dengan yang beruang.
Hhh...
Mengingat kesedihan ini kembali menorehkan luka di hati.
Aku gegana. Gelisah, galau merana.
Pasalnya, berpacaran dengan Dara bukanlah dalam waktu yang singkat. Setahun baru saja lewat. Bahkan baru sebulan kami merayakan anniversary hubungan yang tepat setahun itu di sebuah wahana taman hiburan.
Bibirnya..., hangat diku++m bibirku.
Dadanya, menempel k+nyal di dadaku.
Kenapa secepat itu cintanya berpaling dari cintaku.
Tragisnya. Dan Aku hanya bisa termenung memikirkan langkah yang dipilih Dara.
"Hei, bor! Bengong mulu luh! Kesambet setan baru nyaho Lo!"
Fajar, teman satu jurusan yang baru saja datang ke kamar kost-an ku langsung memberondong kalimat ngasal. Dan langsung kusambit dia dengan sendal swallow bututku karena telah mendoakan yang buruk secara tidak langsung.
Betewe Aku memang nge-kost hampir satu tahun belakangan ini di dekat kampus. Jadi cukup jalan kaki sehat tanpa harus menggunakan kendaraan meskipun Aku punya si bebek butut.
Itu kulakukan untuk menghemat waktu dan biaya hidup yang harus bolak-balik rumah ortu ke kampus yang butuh waktu hampir sekitar dua jam-an. Itu belum dihitung kemacetan yang kadang menghadang jika aku berangkat ngampus kesiangan.
Setelah adu argumen dengan Mama dan Papa, akhirnya mereka memberiku izin dengan note catatan : harus bisa menjaga nama baik harkat dan martabat keluarga. No drugs, no begadang. No free s+x dan no nongkrong di klub malam.
Uang saku dibatasi dan setiap minggunya harus pulang ke rumah mereka. Minimal setor wajah kalau anak gantengnya ini tidak membuat masalah.
Begitu peraturan mereka.
"Siap, Paduka! Perintah Paduka Yang Mulia Raja akan hamba laksanakan!" jawabku dengan candaan tempo hari setelah deal dengan kesepakatan yang dibuat Papa dan Mama.
Aku, anak pertama dan laki-laki pula. Dua adikku perempuan. Nayla 17 tahun dan Soraya 13 tahun. Sedangkan umurku sendiri 21 tahun.
"Sat, malmingan naik gunung yuk?"
Seketika mataku membulat. Ajakan Fajar yang menarik hati.
"Emang Lo ga ngapel si Lolita?"
"Ga. Dia lagi jalan sama nyokapnya. Mumpung gue free nih. Kita ke Pangrango atau Gunung Gede gitu. Si Iyus sama si Tio juga lagi kosong jadwal. Gimana?"
"Ayo, gue mau!"
"Oghey!"
Fajar segera mengontak kedua temannya yang juga suka mendaki gunung. Kami pernah mendaki bersama dibeberapa kesempatan, sehingga Aku juga mengenal Tio dan Yusman secara personal.
Kami memang beda jurusan walaupun satu kampus. Sedangkan dengan Fajar, mereka berdua adalah teman SMA.
...🌹🌹🌹🌹...
Seperti yang telah disepakati bersama, kami pergi berempat untuk naik gunung. Tetapi diperjalanan sebelum ke puncak, ternyata ada kejadian musibah bencana alam yang tidak disangka.
Bumi diguncang gempa yang lumayan besar meskipun hanya terjadi sekitar beberapa menit saja.
Tentu saja hal ini membuat penjaga pintu gerbang pendakian membuat larangan naik gunung. Keputusan mendadak ini dikeluarkan oleh pihak terkait untuk menjaga terjadinya gempa susulan yang dikhawatirkan akan ada longsoran tanah atau tebing di sekitar pendakian.
"Yaaa... kita gagal naik ke puncak, bor!"
Aku kecewa karena tidak bisa melanjutkan perjalanan sampai ke puncak.
Alhasil kami hanya bisa duduk-duduk rehat di sekitar kawasan kaki gunung gerbang pendakian sebelum kembali pulang ke kota.
Se-cup kopi panas dan pisang goreng menjadi pengobat kekecewaan hati yang gagal mendaki.
Hingga tiba-tiba, mataku melihat sebuah lubang bening sangat besar menuju jalan hutan Pinus yang tak jauh dari warung kopi sederhana.
"Apaan tuh?"
Semua menoleh melihat ke arah jari telunjukku.
"Hahh? Apaan sih?"
"Lu ngagetin, deh! Ga ada apa-apa juga! Gue kira ada big foot!"
Aku kaget ternyata hanya Aku saja bisa melihat bundaran besar bening seperti cermin tembus pandang. Sementara yang lain justru tidak melihatnya. Bahkan ketika temanku justru meledek penglihatanku yang buram gara-gara putus cinta dari Dara.
Hhh... Mungkin juga. Keluhku dalam hati.
Jujur kesal, karena mereka malah mengatakan satu nama yang sedang berusaha kulupakan.
Dara. Dara lagi, dan semua karena Dara.
Hm. Kuteguk kopi yang mulai dingin sambil tersenyum miris.
Kopi pahit, tapi lebih pahit lagi perjalanan cintaku bersama gadis cantik bernama Dara. Kukira Dara akan berbeda dengan perempuan lainnya yang suka harta, tahta dan perhiasan dunia. Nyatanya..., sama saja.
Mataku lagi-lagi menoleh ke arah bundaran yang bak pusaran lubang dunia lain itu.
Du_dunia lain? Apa iya? Betulkah itu pusaran dunia lain?
Aku kembali melengos.
Mencoba berfikir realita. Mana ada lubang dunia lain kecuali emang fikiran lagi kurang beres dan mata ikutan sekongkol dengan fikiran. Begitu gumamku dalam hati.
Hingga tiba-tiba Fajar dan Yusman berlari ke arah pusaran itu sambil berteriak senang.
"Jar, Jar... Lo cegat disana! Jangan sampe lolos, Jar!"
"Ayo cepetan! Tar keburu kabur, Man!"
Aku menoleh pada Tio.
"Apaan sih?"
"Kayak kelinci Anggora! Warnanya langka!"
Aku tahu, Yusman adalah pecinta hewan. Rumahnya punya kebun binatang mini, sehingga tidak aneh jika Ia semangat mengejar kelinci hutan yang berada di sekitar sana.
Tapi,
Ehh?
Mereka..., mereka melewati lubang besar yang tembus pandang itu!!!
Sontak Aku berdiri.
"Fajar! Yusman!" pekikku kaget.
Mereka menghilang dari pandangan.
"Tio, mereka hilang!"
"Entar juga mereka balik. Orang masih kawasan gerbang pendakian koq! Ga mungkin hilang!"
Tapi Aku was-was, Fajar dan Yusman masuk hutan dan kesasar.
"Pak, disana itu hutan kah?" tanyaku pada bapak pemilik warung kopi yang sudah cukup tua.
"Iya, Den! Hutan Hitam, orang menamakannya. Sebenarnya itu hutan konservasi. Jadi memang dirawat dan dijaga kelestariannya juga hewan-hewan yang tinggal di dalamnya."
"Nah tuh denger sendiri! Kelinci itu punya hutan Hitam. Hutan konservasi pemerintah."
Aku bergegas berdiri. Hendak beranjak menuju lubang besar yang terus berputar-putar pinggirannya.
"Sat!"
"Gue mau susul mereka!"
"Ikut! Pak, titip ransel ya, Pak?!" Tio bercengkrama sebentar dengan Bapak pemilik warung kopi yang mengangguk lengkap dengan senyuman.
"Yo! Beneran Lo gak liat lubang besar itu?" tanyaku penasaran dan mencoba bertanya sekali lagi serius pada Tio. Siapa tahu tadi dia dan Fajar serta Yusman sekongkol mengerjai ku.
"Lubang apaan, Sat? Lubang an+s?"
"Njiirr!"
Plak.
Kugeplak kepala Tio yang terkekeh.
"Sakit, gila!" tukasnya sambil mendorong tubuhku hingga masuk ke area lubang besar bening seperti kaca yang tembus.
Jeleggerrr...
Petir tiba-tiba menyambar dan hujan turun langsung deras tanpa tanda-tanda sebelumnya. Tio segera berlari ke arah saung warung kopi sementara Aku kebingungan sendirian. Tio paling takut petir, sehingga Ia dengan cepat cari aman.
"Yo, Fajar sama Yusman!" teriakku disela-sela suara gemuruh hujan dan petir yang bersahutan.
"Ntar juga mereka balik!" jawab Tio juga dengan teriakan.
"Hadeuh!"
Tapi Aku yang berada di perbatasan lubang besar itu menggalau sebentar.
Fajar dan Yusman masuk ke dalam hutan Hitam. Meskipun kami sudah pernah beberapa kali mendaki gunung ini, namun hutan Hitam kurang familiar dan kurang populer di telinga kami.
Kuputuskan untuk melanjutkan langkah, masuk ke dalam.
"Hei! Tunggu! Dilarang masuk ke dalam hutan!"
Aku terkejut. Seorang penjaga kawasan hutan konservasi itu mencegahku masuk.
Wajahnya sangar dan tingkahnya rada arogan.
"Teman saya dua orang ada di dalam, Pak!"
"Tidak boleh! Berbahaya apalagi baru saja gempa! Silahkan pergi dari sini!"
"Pak, saya ga bohong, beneran dua orang temen saya itu ada di dalam!"
"Hujan deras. Silahkan tunggu di warung kopi. Biar saya dan polisi kehutanan setempat yang mencari teman-teman adik!"
Aku kecewa, mereka menghalauku yang kadung basah terguyur hujan lebat.
Tapi tetap saja, mereka yang berbadan tinggi besar dan berwajah garang itu mendorong tubuhku agak kuat ke arah warung kopi. Mencegahku masuk mencari dua temanku yang terperangkap di dalam hutan.
^^^TO BE CONTINUED^^^
Mohon dukungannya 🙏🙏🙏
Like, subscribe dan komentar 🙏🙏🙏
Andaikan berkenan, vote sama gift boleh lah 🫣🤭😁😁😁
Salam sukses buat semuanya 💪💪💪
Satria dan Tio masih menunggu Fajar serta Yusman keluar dari gerbang hutan Hitam.
Keduanya masih duduk menunggu di saung warung kopi yang jaraknya hanya sekitar seratus meteran dari lubang besar bening yang Satria lihat.
Sementara hujan mulai mereda meskipun masih agak gerimis turun dari atas langit. Namun petir sudah tak ada lagi.
"Yo, si Fajar sama si Yusman masih juga belum keluar. Gue takut mereka kesasar!"
"Iya juga sih. Ini udah lewat dari seperempat jam!"
Satria menoleh kiri dan kanan. Tampak lengang, sepi dari pengawasan.
"Lo tunggu di sini! Gue jemput mereka dulu. Oke?"
Tio menatap Satria dengan wajah tegang.
"Keluar bawa mereka ya?!" pintanya dengan suara cemas.
Satria mengangguk sambil menyodorkan kepalan tangannya. Mereka menyatukan kepalan itu khas ala-ala anak gaul jaman sekarang.
Mereka cemas sekaligus gemas karena dua temannya belum juga kembali. Sedangkan pihak kepolisian hutan dengan santuinya seperti cuek menunggu hujan reda baru akan lanjutkan pencarian.
Satria dengan wajah tegang kembali memasuki gerbang hutan Hitam.
Matanya menatap lekat tulisan yang terpampang di samping pohon Cemara besar.
...DILARANG MASUK, BERBAHAYA DAN TIDAK DIBUKA UNTUK UMUM...
Ia menghela nafas panjang. Tulisan itu terlihat sangat besar, tapi kenapa baru sekarang nampak jelas terbaca. Sedangkan tadi tidak tampak tulisan yang terdiri dari huruf kapital itu.
Gue yakin, si Fajar kayaknya gak baca tulisan ini pas masuk barusan! Gumamnya dalam hati.
Satria percepat langkahnya karena hari mulai beranjak sore.
Matanya terpukau melihat keindahan panorama alam yang tersaji di depan.
"Indahnya..."
Kakinya telah melewati bundaran besar bening yang bagaikan cermin tembus pandang itu.
Benar-benar pemandangan yang berbeda dari sebelumnya meskipun pepohonan tinggi besar tetap menjadi ciri khas. Namun warna batang dan daunnya berbeda sekali dengannya yang di luar hutan Hitam.
Seperti ada biasan cahaya indah matahari yang lain memantul sehingga membuat batang-batang pohon serta dedaunannya tampak berwarna-warni seperti pelangi.
"Ah, ya... ini kan habis hujan!" gumam Satria pada dirinya sendiri.
Seketika Ia tersadar kalau niatnya masuk menerobos hutan Hitam adalah untuk mencari dua temannya.
"Fajaaaar! Yusmaaan!!!"
Dia mulai berteriak memanggil nama kedua temannya yang menghilang setelah masuk lubang raksasa di hutan Hitam.
Koak koak koaaak!!!
Koakkk!!!
Satria terperanjat. Suara pekikan yang sangat besar. Dan Ia yakin kalau itu adalah suara burung hutan yang hinggap di atas pepohonan tinggi mahoni yang banyak tumbuh di sekitar hutan konservasi ini.
Bulu tengkuknya meninggi. Seketika Ia menatap ke arah atas pepohonan.
Krosak krosak
Blueeerrr
Kepak klepak klepak
Benar saja.
Seekor burung hutan besar terbang tak lama bahkan nyaris turun menukik menuju arah Satria yang tercekat sendirian.
Ia baru merasa lega setelah burung itu terbang menjauh melintasi pepohonan mahoni yang tingginya sudah sekitar 40 meteran itu.
"Uffhh... Hhh..."
Satria kembali lanhkahkan kaki dan berteriak memanggil nama kedua temannya.
"Fajaaaar, Yusmaaan!!! Dimana kalian???"
Semakin masuk area kawasan hutan, suhu lembab semakin menerpa kulitnya dan suara Satria juga menjadi menggema bertambah besar serta ber-echo.
"Fajar jar jar jar!!! Yusman man man man!!!"
"Fajar jar jar jar!!! Dimana kalian an an an???"
Satria tersenyum sendiri. Seperti lucu rasanya mendengar suara sendiri.
Tapi setelah itu Ia tersadar, kalau saat ini hanya dirinya saja seorang di dalam hutan Hitam.
Satria berdiam sejenak.
Ia mengamati keadaan sekitar.
Tetesan air hujan yang menggelayut di dahan-dahan pepohonan sesekali jatuh menetes membuat siluet indah karena tersorot sinar matahari yang keemasan di balik awan.
Hujan telah benar-benar reda kini.
Mata Satria menatap ke arah depan hutan. Nampak terlihat semakin gelap dan pepohonan kian rindang jika Ia lanjut masuk ke dalam. Bahkan kemungkinan sinar matahari susah tembus karena pepohonan tumbuh semakin rapat dan rindang.
"Fajaaaar!!! Yusmaaan!!! Auoooo...!!! Kalian dimana??? Ayo kita pulaaaang!!! Wooiii!!!"
Keplek keplek keplek
"Koaaakkkk!!! Koaaaarrrkkk!!!"
Satria lompat dan terjatuh di jalan setapak.
Seekor kelelawar besar tiba-tiba mengepakkan sayapnya yang lebar dan...
Wusss...
"Woaaa!!!"
Satria lari terbirit-birit masuk hutan Hitam semakin jauh ke dalam.
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!