Hubungan Yang Tidak Berkembang
“Saliya, jujur sama aku, apa kamu serius mau balikan sama Zikri lagi?” Rizal bertanya padaku saat kami bertemu di makam ayah secara tidak sengaja.
Aku masih sibuk mencabuti rumput yang tumbuh subur di antara batu nisan. Sementara Rizal berjongkok tepat di hadapanku. Ah, dia selalu saja membuat aku salah fokus.
“Dari mana kamu tahu soal itu?”
Aku tidak tahu kenapa dia bisa berada di situ. Aku malu sekaligus kaget dengan kedatangannya, karena saat itu aku sedang menangis.
Aku juga tidak tahu kenapa Rizal selalu saja membuat kebetulan seperti ini terjadi. Dan, kenapa selalu dia yang memergoki kelakuan jelekku.
Aku pun segera menyusut sisa air mata yang ada di pipiku dengan cepat.
“Dia sendiri yang bilang, barusan aku ketemu di depan Masjid Jami!” Sahut pria itu sambil berjalan mendekat, dan aku mundur selangkah.
Setiap bulan aku selalu rutin mengunjungi kuburan ayah, yang sudah meninggal dua tahun yang lalu. Sejak saat itu aku hanya tinggal berdua dengan ibu, sedangkan Rizal adalah teman yang paling dekat denganku sejak kami masuk kuliah. Secara kebetulan pula kami mengambil jurusan yang sama.
Sudah lama Rizal menaruh hati padaku, bahkan pernah mengungkapkan perasaannya, tepat di saat aku memutuskan hubungan dengan Zikri. Namun Aku menolaknya, karena aku masih berusaha untuk move on akibat putus dengan laki-laki yang aku cintai.
Namun beberapa bulan setelah putus, Zikri kembali mengungkapkan isi hatinya ingin kembali padaku. Dia menyatakan penyesalannya dan memintaku untuk kembali.
Aku menjalin hubungan sebagai kekasih yang baik dengan Zikri, selama tiga tahun lamanya. Aku dan dia memulainya sejak kami masih kuliah.
Selama tiga tahun itu, hampir tidak pernah ada masalah yang serius, Zikri tidak macam-macam dan dia cukup baik menurutku. Aku merasa sepadan dengannya karena dia bukan laki-laki yang tampan dan terkenal seperti Rizal. Karena aku tahu diri aku juga bukan wanita yang cantik.
Hidungku pesek, kulitku hitam, badanku juga tidak tinggi, karena aku tergolong perempuan yang pendek dan kurus. Rambutku keriting dan tidak bagus kalau ditata dengan rapi, itu sangat sulit. Ada banyak tahi lalat di wajahku, yang membuat aku sering tidak percaya diri.
Oleh sebab itu, aku heran saat Rizal, kemudian menyatakan perasaannya bahwa, dia menyukaiku tidak lama setelah aku sudah putus dengan Zikri waktu itu. Dia pria yang cukup populer, postur tubuhnya proporsional kulitnya pun putih wajahnya juga tampan karena dia blasteran dari kedua orang tuanya yang berasal dari dua provinsi yang berbeda.
Setahuku Rizal juga tergolong orang kaya, karena setiap kali datang ke kampus, ia suka membawa motor besar ataupun mobil yang dikendarainya sendiri.
Berbeda dengan aku dan Zikri, kami sering bersama-sama berdesak-desakan dalam satu bus. Oleh karena itu aku merasa senasib dengannya, di situlah aku jatuh cinta padanya.
Setelah kami lulus kuliah, kemudian Zikri memutuskan untuk berpisah setelah dia menerima pekerjaan di tempat yang jauh.
Jadi begitulah, hubungan kami pun putus secara sepihak dan dia bilang tidak mungkin melakukan hubungan jarak jauh. Dia beralasan untuk memberiku kebebasan dan peluang untuk memiliki kekasih yang lain selain dirinya.
Namun aku tidak menjalin hubungan apa-apa lagi dengan pria mana pun, aku lebih fokus untuk bekerja dan juga membahagiakan diriku dan ibuku.
Beberapa pekan yang lalu aku menerima kabar kalau Zikri pulang, karena dia keluar dari pekerjaan lamanya. Ya, memang sekarang dia sedang menganggur karena terkena imbas dari pemutusan hubungan kerja. Namun, itu tidak masalah bagiku, karena kami, kan belum menikah. Dalam hal pendapatan dan nafkah, itu menjadi tidak penting kalau masih dalam taraf pacaran saja.
Aku memang berniat menerimanya kembali, tapi saat mantan kekasihku itu mengatakan berita ini pada Rizal, entah kenapa aku jadi merasa riskan untuk kembali padanya.
“Memangnya dia bilang gimana?” Aku heran kenapa Zikri mengatakan hal itu pada orang lain, aku pikir urusan jawabanku akan menerimanya kembali atau tidak, adalah rahasia kami dan orang lain tidak perlu tahu.
“Dia cuma bilang kalau kalian mau balikan lagi! Kalau kamu memang bahagia pacaran sama dia, nggak masalah, tapi kalau kamu nggak bahagia, aku siap nerima kamu apa adanya, Sal! Gak perlu pacaran, kita langsung nikah!”
Aku terkejut mendengar ucapannya, sekaligus heran dengan keseriusannya saat bicara. Ada keraguan yang jelas mencuat dibenaku. Kenapa dia tidak kapok-kapoknya selalu mengejarku. Padahal sudah sering aku katakan padanya kalau dia tidak perlu peduli dengan kebahagiaanku.
“Zal, kamu nggak usah bercanda, deh! Kita itu beda jauh, kayaknya nggak mungkin kalau kita bisa hidup bareng satu atap!” kilahku
“Kamu masih mikirin soal itu?” tanyanya.
Aku dan Rizal bagaikan bumi dan langit, dia terlalu tampan buatku. Apalagi dia keturunan orang berada di kota kami, sedangkan aku hanya anak orang biasa yang sudah tidak punya orang tua lengkap. Aku harus hidup hemat dengan penghasilan ibuku yang pas-pasan, dari pekerjaannya sebagai seorang guru SD.
Namun, sejak aku lulus kuliah setahun yang lalu, Ibu mulai pensiun dan aku kebetulan diterima bekerja menjadi pegawai administrasi di kantor pemerintah daerah. Walaupun hanya pegawai honorer, aku sudah sangat senang karena artinya tidak perlu lagi meminta uang ibu, untuk semua keperluan pribadiku.
Tanpa aku tahu atau apalah itu istilahnya, entah kebetulan atau bukan, aku pun bekerja di kantor yang sama dengan Rizal. Hanya saja dia beda bagian. Meskipun begitu, kami masih sering bertemu. Bahkan pernah kami mendapatkan proyek yang harus kami kerjakan bersama dengan beberapa pegawai lainnya.
Semua terjadi tanpa bisa aku tolak, mau tidak mau, kebersamaan dengannya pun tidak bisa kuhindari. Aku pikir, kalau aku kembali menerima Rizki sekarang, aku bisa lebih tenang, sebab Rizal tidak mungkin menggangguku lagi.
❤️❤️❤️❤️
Putus Nyambung
“Aku sama Zikri itu saling mencintai sejak dulu, wajar kan, kalau kita bersama lagi?” kilahku beralasan, dengan maksud agar ia bosan dan menjauh.
“Saliya, kalau dia serius sama kamu, gak bakalan kalian itu putus nyambung melulu,” Rizal berkata sambil tersenyum tipis dan memalingkan pandangannya. Entah apa maksudnya bilang begitu. Bagiku dia itu usil. Kenapa tidak cari wanita lain yang jauh lebih baik dan lebih cantik, sih?
“Eh, kamu ini mantau perkembangan urusan pacaran orang saja, kamu berbakat jadi mata-mata, ganti pekerjaan saja sana!” Aku mengakui memang hubunganku dengan Zikri seolah berjalan di tempat, sudah dua kali aku putus nyambung dalam menjalin hubungan. Terhitung sejak kami saling menyukai saat kuliah menginjak semester tiga.
“Coba hitung udah berapa tahun hubungan kalian? Bukan berkembang itu namanya!” katanya lagi membuatku kesal.
Aku tidak membalas ucapannya dan hanya mengangkat kedua bahu.
“Pacaran itu tidak bagus untuk usia seperti kita lebih baik menikah saja, kan kalau sudah sah, enak mau ngapa-ngapain juga halal!” kata Rizal terkesan religius. Aku pikir memang pria itu sedikit berubah lebih agamis, saat zuhur dia sering terlihat pergi ke masjid di dekat kantor. Bahkan, dia memanjangkan jenggotnya sedikit tanpa disertai dengan kumis. Ucapannya lebih sopan dan lebih sering menundukkan pandangan.
Justru itu, aku merasa lebih tidak pantas kalau disukai orang seperti dia. Aku tidak tahu apa-apa soal agama, paling tahunya tentang salat, zakat dan puasa, berbakti pada orang tua, sedekah pada orang miskin, itu saja tidak lebih. Seperti sekarang saat ia masuk ke kuburan, ia melakukan hal yang tidak biasa dengan melepas sandalnya. Aku tidak tahu kenapa dia begitu.
Aku melangkah pergi meninggalkan makam ayah setelah selesai mencabuti rumput. Sejenak kumeliriknya dan ternyata dia masih melihatku. Seketika dia jadi salah tingkah dan memalingkan pandangannya lagi ke arah jalanan.
“Awas hati-hati jalannya!” katanya saat kami tiba di jalanan yang sedikit menurun, tidak ada tangga di sana dan aku hampir terpeleset.
“Aku bisa jalan sendiri!” Aku tepis tangannya yang berusaha memegangi tanganku. Jalanan sedikit licin karena semalam hujan. Aku harus berhati-hati agar adegan mesra yang Rizal inginkan tidak terjadi.
“Kamu naik apa ke sini?” tanyanya.
“Naik motor, kenapa?” aku melihat mobilnya terparkir dengan cantik, tak jauh dari tempat kami berdiri saat ini.
“Ya kalau kamu nggak bawa motor, aku mau nganterin kamu sampai rumah!”
Aku mencebik saat menunduk, sambil terus berjalan menuju motor matick kendaraan yang setia menemaniku. Lalu, menyalakan mesinnya. Anehnya Rizal mengikutiku, seperti hendak memastikan sesuatu atau tidak ada masalah.
Dia maksa banget, sih, mau nganterin aku?
Angin bertiup secara tiba-tiba, seperti sengaja menyibakkan selendang tipis yang aku gunakan untuk menutupi Rambutku setiap kali pergi ke makam ayah.
Rizal mengelurkan tangannya secara cepat dan mengenakan kembali kerudung itu di kepalaku.
“Makanya pakai kerudung itu yang benar!” katanya. Kulihat tatapannya lurus ke arah bola mataku dan pandangan kami pun bertemu.
Seketika jantungku berdegup lebih keras, aku sampai khawatir kalau dia mendengar detakannya. Wajah dan tatapan itu tidak pernah berubah sejak dia menyatakan perasaannya padaku. Aku benar-benar kaget waktu dia bicara begitu.
Kegugupanku seolah membuat lidahku tiba-tiba menjadi kelu.
“Lain kali kalau pakai kerudung itu yang benar, jangan seperti ini ... rambutmu masih kelihatan, kamu akan lebih cantik kalau memakai jilbab! Aku suka!” kata Rizal lagi.
“Jangan campuri urusanku, sudah pulang sana!”
“Kamu ngusir aku? Eh, ini kan bukan rumah, ini kuburan ... siapa saja boleh berada di sini! Aku, belum selesai berdoa di makam ayah, kamu sudah mau pergi.”
“Jadi tujuan kamu ke sini memang mau ke makam ayah?”
Rizal mengangguk.
“Yang bener? Kamu bukannya ke rumah dulu, tanya sama ibu aku ke mana, terus nyusul ke sini?”
“Nggak, aku dari rumahku langsung ke sini kok, kamu pikir gimana kita bisa ketemu?”
Tiba-tiba aku merasa tersanjung dengan ucapannya, kebetulan sekali, kan?
Sepertinya aku akan jadi tidak waras kalau terus berdekatan dengannya seperti ini. Segera kuarahkan stang motor ke jalanan dan pergi meninggalkan Rizal begitu saja.
Sampai di jalanan dan membelah angin, air mataku kembali menetes.
“Maaf Riz, bukannya aku cuek dengan kebaikan kamu selama ini, aku hanya ingin menjaga hatiku sendiri ... aku nggak mau kecewa kalau ternyata kamu hanya mempermainkan perasaanku saja. Aku ini nggak secantik perempuan lain di luar sana, Aku nggak tahu kamu tulus atau tidak, aku khawatir kalau kamu cuma mau mainin aku saja!”
Aku menepuk dada sejenak dengan tangan kiri, sementara tangan kanan tetap memegang stang motor, mungkin bisa menenangkan debug jantung yang terasa sesak.
“Maaf, sekali lagi Riz, aku sudah berpikir buruk kalau kamu sengaja menyatakan cinta itu karena ingin mengejekku atau mungkin matamu salah lihat sudah menyukai orang seperti aku, teman kantor juga banyak yang lebih cantik dan seksi, kok! Kamu bisa memilih salah satu di antaranya dan mereka pasti akan menyukaimu. Sungguh orang seperti kamu itu sulit untuk tidak membuat wanita jatuh cinta!”
Sesampainya di rumah Aku mengucapkan salam karena ibu sedang duduk di ruang tengah, sambil menonton televisi. Aku langsung pergi ke kamar dan menangis di tempat tidur dengan memeluk bantal. Hatiku dalam dilema, apakah akan menerima perasaan Zikri kembali atau tidak.
❤️❤️❤️❤️
Hai, hai! Jumpa lagi di novel baru saya, cerita ini berdasarkan kisah nyata loh, baca terus ya? Semoga saja suka dan bisa menghibur.
Baca juga karyaku yang lainnya! 😊
Pria Yang Perhatian
Sudah beberapa kali Zikri meneleponku, sejak kepulangannya ke kota. Dari mulutnya sendirilah aku tahu kalau dia sekarang sedang tidak bekerja dan berada di rumah orang tuanya. Kami kebetulan tinggal masih dalam satu kecamatan. Aku dan Zikri berbincang layaknya teman biasa, hingga kemarin dia menyatakan kembali perasaannya kalau dia masih mencintaiku, dan ingin menjalin hubungan kembali sebagai kekasih.
Aku pun berjanji akan memberikan jawabannya hari ini. Namun, ucapan Rizal membuatku sedikit ragu dalam mengambil keputusan apa yang harus kujalani sekarang dan apa yang harus ku-jawab nanti kalau Zikri datang.
Selama ini setiap kali bertemu di tempat kerja, Rizal tidak pernah membahas masalah pribadi. Walaupun, dia cukup perhatian seperti biasanya, aku senang karena dia seperti tahu diri kalau pernah di tolak Jadi, dia cukup bijak dengan tidak mengungkit masa lalu kami. Bahkan, dia bersikap lebih lembut, membuat teman-teman yang lain bisa menilai kalau Rizal memiliki perasaan padaku.
Salah satu kejadiannya, saat aku bersama Tina sedang menikmati segelas minuman khas tanah air, di warung yang menjual es kelapa muda. Aku dan Rizal masih bekerja sama dalam sebuah proyek dan tentu saja kami sering bertemu.
“Sal, kayaknya Rizal suka deh sama kamu!” kata Tina, saat itu dan aku masih sangat jelas mengingatnya.
Tina menilai hal itu karena begitu seringnya Rizal menunjukkan perhatian tulusnya, di hadapan semua orang.
“Siapa bilang, itu cuman penilaian kamu saja, dia tuh, nggak bilang kalau suka sama aku. Aku ini bukan siapa-siapa buat dia!” saat itu aku berbohong.
Tina hanya menatapku dalam diam sambil menikmati es kelapanya.
“Dia juga kan baik sama kamu, sama semua teman-teman kita, bukan cuman aku yang dibaikin sama dia, jadi buat apa punya perasaan lebih sama dia, gitu loh!” aku mengelak agar terkesan semuanya baik-baik saja.
“Iya juga sih, ya ... tapi aku pengen loh kalau memang benar dia suka sama kamu, kayaknya dia orangnya tulus!” sahut Tina sambil mengangkat kedua bahunya.
“Dia tulus ya ...? Iya juga, sih, soalnya aku jelek, mana mungkin orang setampan dia suka sama aku!”
“Kamu ngaku juga, kan, kalau dia ganteng?” kata Tina lagi.
Aku tertawa dan Tina hanya tersenyum masam.
“Kamu nggak boleh merendahkan diri kamu sendiri, kan, kita nggak tahu kedalaman hati orang!” katanya.
“Kamu benar!” kataku sambil mengguncangkan sendok kecil di tanganku, saat itu kami sedang menikmati es kelapa di pinggir jalan.
Tiba-tiba Rizal mendekat, dia muncul entah dari mana dan memesan es kelapa juga. Namun ia membeli untuk dibawa pulang.
“Bang! Dua, ya, dibungkus!” katanya. Entah dia memesan dua bungkus untuk siapa aku tidak peduli, apalagi aku dengar dia memesan dua rasa yang berbeda, siapa tahu buat kekasihnya.
“Siap!” kata tukang es kelapa sambil mengerjakan pesanan pembelinya.
Rizal duduk di dekat kami sambil menunggu pesanannya selesai.
“Kalian belum mau pulang?” tanyanya basa-basi, sambil melirikku dengan rasa yang berbeda saat secara tidak sengaja pandangan kami bertemu.
Aku dan Tina hanya mengangguk perlahan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, sebab kami baru saja membicarakan dirinya. Jadi, kami seperti tertangkap basah karena mencuri.
Saat akan membayar pesanan yang sudah selesai, dia menoleh ke arah kami dan Tina tersenyum manis padanya, sedangkan aku hanya menatapnya biasa saja.
Aku berusaha menekan perasaanku yang selalu bergejolak setiap kali bertemu dengannya. Apa ini wajar atau memang aku mencintainya?
“Kalian sudah membayar?” katanya
“Belum!” jawab Tina.
“Bang kalau begitu ini sekalian dengan dua orang itu ya!” katanya sambil mengeluarkan uang 50 ribu.
“Oke!” sahut tukang es kelapa, tentu saja tidak masalah baginya siapa pun yang membayar, karena yang penting dagangannya laku keras.
“Dasar Tina!” kataku dalam hati sambil mencubit tangannya dan dia tiba-tiba berteriak.
Aih, berlebihan!
“Saliya, apa-apaan sih kamu, emang salah aku apa, kok nyubit?”
“Itu tadi ada nyamuk di tanganmu!”
“Kalau nyamuk itu bukan dicubit, tapi ditepak kayak gini, nih!”
Plak!
Tiba-tiba Tina mengeluarkan tangannya dan memukul lenganku dengan keras, panas juga rasanya dan aku hanya tersenyum miris, dia bermaksud membalas cubitan dariku.
Setelah mendapatkan kembalian dari tukang es kelapa, Rizal pun kembali menaiki motor besarnya, lalu pergi. Sebelum mengarahkan stang ke jalanan, dia sempat melirikku dengan tatapan yang rumit, aku tidak bisa mengartikan arti tatapan matanya itu.
Tina kemudian berteriak, “Riz, makasih ya! Harus sering-sering bayarin, biar cepat kaya!” sambil mengangkat gelas es kelapanya.
“Dih, modus!” kataku sambil menyeruput habis es kelapa, lumayan juga sih, aku tidak harus mengeluarkan uang. Benar juga kata Tina, enak juga dibayarin kayak gini terus sama dia.
Aku menghentikan kenangan tentang kejadian beberapa waktu lalu, dan tangisanku pun berhenti karena terdengar suara telepon genggam dalam tas kecilku yang tergeletak di atas kasur, tiba-tiba berbunyi. Saat aku melihatnya, nama Zikri tertulis di sana.
“Halo ... assalamualaikum!” sapaku dengan suara yang sengaja aku buat lebih halus, karena menutupi sisa tangisanku.
“Waalaikumsalam! Sal, gimana jawaban kamu?”
❤️❤️❤️❤️
Bersambung dulu, ya? silahkan like, dan komen kalau suka ceritanya🤭
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!