"Saya terima nikah dan kawinnya Nafisa binti Amrullah dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai," ucap Abidzar dalam satu tarikan nafas.
"Bagaimana para saksi. Sah?" tanya seorang penghulu.
"Sah!"
"Sah!"
Seulas senyum merekah di bibir Nafisa. Wajahnya tersipu ketika mencium punggung tangan Abidzar yang kini resmi menjadi suaminya. Detak jantungnya berdetak kencang, terlebih saat Abidzar akan mencium keningnya. Dinikahi pria yang sangat dicintainya, siapa yang tidak bahagia?
Ya, itulah yang dirasakan Nafisa. Sedikit berbeda dengan Abidzar. Pria muda berparas rupawan, kaya dan mapan yang duduk di sebelahnya itu tidak menunjukkan banyak reaksi. Daripada disebut berbahagia, sepertinya kata dilema lebih pantas disematkan untuknya. Bagaimana tidak, karena pernikahan ini disaksikan langsung oleh Dzakiyya yang saat ini duduk beberapa syaf di belakangnya.
Dzakiyya, wanita yang berusaha tegar itu bukan hanya pemilik hati Abidzar, tapi juga istri pertama Abidzar. Istri pertama yang senyumnya belum muncul lagi semenjak Abidzar mengutarakan niatnya untuk menikahi Nafisa.
Abidzar menarik nafasnya dalam-dalam. Menyempatkan diri melirik ke arah Dzakiyya untuk melihat bagaimana reaksinya. Tatapan mereka bertemu. Abidzar tersenyum tipis, seolah berterimakasih atas restu yang Dzakiyya berikan. Berterimakasih karena Dzakiyya telah berbesar hati dan bersedia tinggal satu atap dengan madu pilihan ibunya.
Disisi lain, Dzakiyya membalas senyuman Abidzar meskipun dipaksakan. Sebuah senyum palsu seolah menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja.
"Abid," bisik Diana ketika Abidzar tak kunjung mencium kening Nafisa.
Wanita paruh baya yang tak lain ibu tiri Abidzar itu mulai jengkel. Jelas-jelas Nafisa duduk di samping Abidzar. Tapi mata Abidzar masih saja mencari sosok Dzakiyya. Diana menatap Abidzar tajam, memberikan sebuah kode lewat tatapan mata agar Abidzar segera melakukan apa yang harus dia lakukan.
Meskipun canggung, Abidzar tidak menolak. Dia langsung mencium Nafisa dan menyudahi prosesi akadnya. Doa-doa mulai dipanjatkan oleh tamu undangan. Pun dengan Dzakiyya yang langsung menunduk setelah melihat Abidzar mencium Nafisa. Tatapan matanya kosong, nyawanya seolah lepas dari tubuhnya. Tapi meskipun begitu mulutnya masih komat-kamit memberikan doa terbaik untuk suaminya.
Tentang Abidzar yang menikah lagi, sebenarnya Dzakiyya tidak rela. Wanita mana yang rela suaminya menikah lagi. Tapi apa yang bisa Dzakiyya lakukan. Bisakah dia egois dan menolak permintaan suaminya untuk menikah lagi sementara dirinya tidak bisa memberikan keturunan untuk Abidzar? Bolehkah Dzakiyya mengatakan jangan sementara jauh hari sebelumnya dokter sudah memberikannya hadiah dengan vonis kemandulan?
"Semoga istri keduamu bisa memberikan seorang anak yang tidak pernah bisa kuberikan padamu, Mas!" gumam Dzakiyya.
Dzakiyya menggigit bibirnya, air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah juga. Dzakiyya menghapus dengan satu tangannya, sementara tangan yang lain menyentuh perut yang selamanya tidak akan pernah membesar. Selanjutnya yang Dzakiyya lakukan adalah mengutuk dirinya sendiri sebagai penyebab utama adanya madu di rumah tangganya.
"Kenapa Tuhan. Kenapa Engkau tidak mengijinkan satu janin pun tumbuh rahimku?" jerit hati Dzakiyya.
Tahap ini Dzakiyya sudah mencapai batasnya. Peluh di keningnya mulai membanjir. Penglihatannya kabur dan nafasnya tersengal. Mendengar Abidzar mengucapkan janji suci jelas mematahkan hatinya. Melihat Abidzar mencium Nafisa meremukkan tulang-tulangnya. Sebelum Dzakiyya tumbang, sebelum Dzakiyya menghancurkan pernikahan suaminya yang sakral. Dia pun memutuskan untuk kembali ke kamar untuk beristirahat.
Sementara itu, Diana. Ibu mertua kejam itu menoleh. Tidak ada yang dia lakukan selain memasang ekspresi tanpa arti. Tapi jujur saja, pemandangan seperti inilah yang selalu ingin dia lihat selama ini. Dzakiyya yang malang, Dzakiyya yang menyedihkan.
"Menantuku yang mandul, ini belum seberapa. Masih ada banyak kejutan yang sudah ku siapkan untukmu. Jangan salahkan aku berbuat kejam. Salahkan dirimu sendiri yang tidak berguna untukku. Dan salahkan dirimu kenapa harus lahir dari pria dan wanita sialan itu," gumam Diana sebelum kembali melihat kedepan dan menahan Abidzar agar tak lari mengejar Dzakiyya.
.
.
.
Dzakiyya masuk ke kamar dengan lesu. Melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengambil wudhu. Selanjutnya, Dzakiyya hanya menghabiskan waktu dengan beribadah dan membaca ayat suci.
Mengabaikan serangkaian acara pernikahan suaminya yang telah usai. Abidzar bahkan sudah masuk ke kamar dan menunggunya beberapa menit yang lalu. Hanya saja Abidzar tidak ingin mengganggu Dzakiyya. Memilih duduk di belakang dan menunggu Dzakiyya selesai dengan ibadahnya. Barulah ketika Dzakiyya menutup dan mencium kitabnya, Abidzar bangkit memeluknya.
"Mas Abid?" kata Dzakiyya ketika tahu siapa pelakunya. Dzakiyya berbalik arah. Mendapati suaminya yang memeluknya dengan wajah kusut.
"Maafkan Mas, Dza!" bisik Abidzar.
"Maaf untuk apa. Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak membahas ini lagi?" kata Dzakiyya.
Abidzar semakin merasa bersalah. Pernikahan ini bukanlah pernikahan yang Abidzar inginkan. Tapi belum lama ini mamanya sempat kritis dan satu-satunya permintaannya adalah menimang cucu darinya. Dzakiyya tidak bisa memberikannya anak. Jadi inilah yang terjadi.
Dengan terpaksa Abidzar menikahi wanita lain demi baktinya pada Diana. Ibu sambung yang merawat Abidzar sejak masih kecil. Menyenangkan ibunya tanpa tahu rencana busuk yang tertutup sempurna oleh sikap manis yang selalu ibunya tunjukkan di hadapan Abidzar.
"Mas janji akan bersikap adil. Mas janji pernikahan ini tidak akan merusak hubungan baik diantara kita. Jadi jangan seperti ini," bisik Abidzar.
Dzakiyya meresapi kalimat Abidzar lalu mengangguk tanda mengerti. Sementara Abidzar semakin mengeratkan pelukannya untuk menenangkan Dzakiyya.
"Abidzar, kamu di dalam?" teriak Diana dari balik pintu.
Suara lantang itu jelas di dengar Abidzar dan Dzakiyya. Baru saja Dzakiyya merasa baikan. Tapi hatinya kembali layu ketika mendengar mertuanya memanggil suaminya. Padahal Dzakiyya ingin sedikit lebih lama menghabiskan waktu bersama suaminya.
"Iya, Ma!" jawab Abidzar.
"Apa yang kamu lakukan. Nafisa sudah menunggumu," teriak Diana lagi.
Sekali lagi Abidzar harus canggung. Hampir menolak permintaan Diana dan memilih tinggal bersama Dzakiyya. Tapi Dzakiyya lagi-lagi berbesar hati dan memintanya pergi. "Pergilah, Mas!" kata Dzakiyya.
"Dza?" kata Abidzar.
Dzakiyya tidak menjawab apapun. Tapi menganggukkan kepala sebagai gantinya. Dengan langkah berat Abidzar akhirnya pergi ke kamar Nafisa. Meninggalkan Dzakiyya yang langsung di hampiri ibu mertuanya dengan wajah tidak ramah.
"Heh, mandul! Apa yang kamu lakukan barusan. Memohon Abidzar untuk tinggal?" bentak Diana sambil menarik telinga Dzakiyya.
"Enggak, Ma! Bukan seperti itu," jawab Dzakiyya.
Tapi jawaban Dzakiyya tidak membuat Diana puas. "Lain kali mama tidak mau melihat hal seperti ini lagi. Ingat, Dza! Tujuan mereka menikah adalah untuk melahirkan anak yang tak bisa kau lahirkan. Jadi jangan berani menahan Abidzar lagi!" bentak Diana memperingatkan.
"Ma?" ratap Dzakiyya.
"Sudahlah. Mama nggak mau tahu. Mama nggak mau melihat hal seperti ini lagi lain kali. Satu lagi, cepat siapkan barang yang akan mereka bawa untuk bulan madu besok!" potong Diana sambil berlalu.
***
Keesokan harinya.
"Ma, Dza berangkat!" pamit Dzakiyya.
Diana melirik Dzakiyya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Melengos sudah pasti. Tapi ada hal yang membuatnya lebih benci lagi. Baru kemarin Abidzar menikah dan baru subuh tadi berangkat bulan madu. Apa Dzakiyya tidak sakit hati. Lalu kemana Dzakiyya akan pergi pagi-pagi begini?
"Suamimu tidak di rumah dan kamu sudah mau kelayapan?" seloroh Diana. Diana membanting koran yang dia baca. Melipat tangan sembari menatap Dzakiyya penuh curiga.
"Ma, Dza mau pergi ke kantor. Bukan kelayapan," terang Dzakiyya.
Mendengar penjelasan menantunya, jangankan mengubah sikap. Diana malah semakin sensi dan menyembunyikan punggung tangannya yang hendak dicium Dzakiyya. "Berangkat sana!" usir Diana.
Diana langsung bangkit. Meninggalkan Dzakiyya yang hanya melihat kepergian mertuanya dengan tatapan tak mengerti. Memangnya apa yang membuat mertuanya marah sampai mengacuhkannya lagi kali ini?
"Sudahlah, mungkin mama terlalu lelah setelah mengurus pernikahan Mas Abid kemarin," gumam Dzakiyya.
Dzakiyya akhirnya pergi. Sementara Diana yang sudah berada di kamar mengintip Dzakiyya dari jendela. "Cepatlah berangkat. Karena sesuatu yang besar sudah menunggumu di perusahaan," batin Diana.
.
.
.
"Ayolah, Dza! Jangan menunjukkan wajah sedih begini. Apa kata mereka jika melihat istri Presdir mereka loyo begini?"
Dzakiyya menyemangati dirinya dengan menepuk pipi beberapa kali. Mencoba biasa saja saat menginjakkan kakinya di perusahaan dan langsung masuk ke ruangannya. Sesampainya di dalam Dzakiyya tidak menunda waktu. Memeriksa tumpukan berkas yang memenuhi meja tanpa menghiraukan tatapan iba dari karyawan yang sempat berpapasan dengannya. Setiap menit setiap jam dilewati Dzakiyya begitu saja. Matahari semakin meninggi, pekerjaannya juga nyaris rampung. Tapi ketenangan itu pecah saat seseorang mengetuk pintu.
"Masuk!" kata Dzakiyya mempersilahkan.
Pintu terbuka. Seorang pria masuk dengan wajah gelisah. Hanya sekali melihat, Dzakiyya mengerti hal buruk telah terjadi. "Joshua, ada apa?" tanya Dzakiyya begitu Joshua mendekat.
"Nona, rekan bisnis kita kabur dengan membawa uang yang sudah kita berikan!" lapor Joshua.
Dzakiyya mengingat sebentar soal rekan bisnis yang baru saja Joshua bicarakan. Ekspresi wajahnya langsung berubah ketika menyadari berapa banyak uang yang sudah dia gelontorkan untuk bisnis baru yang mereka sepakati beberapa waktu lalu.
"Kabur, apa kau sudah membentuk tim untuk mencari?" tanya Dzakiyya.
"Sudah, tapi masih belum bisa menemukan keberadaan mereka," jawab Joshua.
"Bagus. Beri tahu aku setiap perkembangannya," pinta Dzakiyya.
"Baik, Nona! Tapi masih ada kabar buruk lainnya," sahut Joshua.
"Lagi?" tanya Dzakiyya.
"Salah satu gedung di cabang perusahaan kita terbakar," lanjut Joshua.
"T-terbakar katamu?" ulang Dzakiyya.
"Saya membawa laporan kondisi terkini. Silahkan di cek," kata Joshua sembari menyerahkan sebuah map.
Mata Dzakiyya membulat sempurna. Sempat terjadi beberapa ledakan yang cukup keras. Beberapa rumah warga yang berada disekitar lokasi juga menerima dampaknya. Berita itu cukup membuat wajah Dzakiyya memutih. Tapi laporan yang dia baca selanjutnya membuatnya sepenuhnya hancur. 150 orang dinyatakan meninggal. Jumlahnya masih bisa bertambah karena masih banyak pekerja yang dinyatakan hilang.
"150 orang meninggal?" lirih Dzakiyya.
"Nona, Anda baik-baik saja?" tanya Joshua. Pria yang sudah bermandikan keringat itu semakin panik begitu melihat atasannya lemas.
Sekarang ini bagaimana bisa Dzakiyya baik-baik saja. Uang sejumlah triliunan raib, ratusan nyawa melayang. Bagaimana cara Dzakiyya menjelaskannya pada Abidzar nanti?
"Segera siapkan sopir. Aku ingin menuju lokasi sekarang juga!" titah Dzakiyya.
"Baik, Nona!" jawab Joshua.
Joshua segera undur diri. Keluar dari ruangan Dzakiyya dengan tatapan penuh sesal. Tapi beberapa detik setelah menutup pintu, raut wajahnya langsung berubah. Tidak ada lagi Joshua yang sedih. Tidak ada lagi Joshua yang terlihat prihatin. Karena semua sifat baik yang Joshua tunjukkan pada Dzakiyya barusan hanyalah akting atas permintaan seseorang.
Di balik pintu itu Joshua tersenyum lebar. Mengambil ponselnya sembari menyoraki awal kehancuran Dzakiyya dan menyumpahinya dengan sumpah serapah kasar. "Nyonya, apa yang kulakukan sudah kulakukan," kata Joshua lewat sambungan telepon.
"Bagus," jawab Diana yang tak lain adalah dalang di balik dua kekacauan besar yang menimpa Dzakiyya.
Diana mematikan ponselnya. Memainkan segelas anggur diselingi senyum mengerikan. Merampas harta Abidzar adalah tujuan utamanya. Tapi sebelum itu ada hal lain yang harus Diana lakukan. Yaitu membalas dendam. Balas dendam karena cintanya pernah ditolak oleh seorang pria yang tak lain adalah ayah Dzakiyya itu sendiri.
Sayangnya ayah Dzakiyya sudah mati. Jadi dia tidak memiliki kesempatan untuk merasakan bagaimana pembalasan dendam Diana. Tapi memangnya kenapa kalau ayah Dzakiyya sudah mati. Bukankah masih ada istri dan anaknya yang hidup?
"Untukmu yang sudah di alam baka, lihat saja bagaimana aku membuat dua wanita sialan itu hancur berkeping-keping sebelum mengirimnya ke neraka," gumam Diana.
Diana tersenyum puas. Lalu segera menjalankan rencana selanjutnya. Yaitu menghubungi Abidzar dan melaporkan semua yang terjadi. Tentu saja dengan menambah bumbu-bumbu kebencian agar Abidzar membenci Dzakiyya.
Sementara itu, Abidzar yang mendengar laporan ibunya sudah sampai di rumah beberapa jam kemudian. Sepanjang hari disibukkan dengan berbagai urusan akibat kelalaian Dzakiyya. Selebihnya berdiam diri di ruangan pribadinya. Memeriksa laporan demi laporan yang di kirim Joshua.
Uang yang raib serta kebakaran kemarin memang terjadi atas ulah Diana. Hanya saja Diana terlalu licik. Secara pribadi meminta Joshua mengganti apa yang perlu diganti dan merubah apa yang perlu dirubah. Sehingga apapun yang masuk ke Abidzar hanyalah sebuah pernyataan bahwa Dzakiyya lah satu-satunya pihak yang pantas disalahkan dan harus bertanggungjawab.
"Aku salah, Mas!"
Kalimat itu akhirnya meluncur dari bibir Dzakiyya. Memecah kesunyian diantara dirinya dan Abidzar. Abidzar memijit keningnya yang pusing. Selama ini Dzakiyya tidak pernah teledor. Tapi dengan bukti-bukti yang ada ditangannya tidak ada pilihan lain bagi Abidzar selain memberikan sebuah pembelajaran untuk Dzakiyya.
"Mulai hari ini jangan menginjakkan kaki di perusahaan!" kata Abidzar tegas.
"Kenapa?" protes Dzakiyya.
"Membuat perusahaan rugi sebesar itu. Merubah kebijakan prosedur produksi tanpa memberitahuku sehingga gedung meledak dan memakan banyak korban. Apa kau masih belum sadar apa kesalahanmu?" tanya Abidzar.
"Merubah kebijakan prosedur? Apa yang sedang kamu bicarakan, Mas?" tanya Dzakiyya tak mengerti.
"Masih pura-pura tidak mengerti. Bukankah kau sendiri sudah melihatnya. Kau bahkan sudah menandatanganinya di surat pernyataan!" jawab Abidzar.
Abidzar menyerahkan map yang dia pegang kepada Dzakiyya. Mata Dzakiyya terbelalak ketika melihat isinya. Ini bukan laporan yang kemarin dia tanda tangani. "Kenapa isinya berbeda?" batin Dzakiyya.
"Mas Abid, ini salah. Aku tidak,-" bela Dzakiyya. Tapi pembelaannya tidak selesai karena Abidzar sudah lebih dulu memotong pembicaraannya.
"Cukup Dza! Jika aku tidak segera turun tangan kau sudah berakhir di penjara sekarang," potong Abidzar.
"Tapi aku tidak sepenuhnya salah, Mas! Ini fitnah!" bela Dzakiyya
Tapi pembelaan Dzakiyya membuat Abidzar sedikit kesal. "Dza, aku lelah. Jadi tolong jangan katakan apapun lagi. Cepat masuk ke kamarmu dan renungi kesalahanmu. Ini bukan karena aku membencimu tapi semua demi kebaikanmu. Jadi mengertilah," kata Abidzar.
"Aku mengerti, Mas!" kata Dzakiyya.
Dzakiyya pergi ke kamar dengan langkah gontai. Menerka-nerka siapa yang tega memfitnahnya sampai seperti ini. Tapi apa yang Abidzar katakan ada benarnya. Lebih baik dia mundur sampai semuanya reda.
.
.
.
Pagi ini Dzakiyya merasa ada yang aneh dengan penghuni rumah. Biasanya beberapa maid tersebar disana-sini. Tapi hari ini sangat sepi. Jangankan menjumpai salah satunya. Di dapur yang seharusnya ada maid pun terlihat kosong.
"Kemana perginya mereka?" gumam Dzakiyya.
Dzakiyya mengintip ke jendela. Berharap melihat mereka sedang merapikan bunga. Tapi yang dia lihat hanyalah bunga-bunga yang bergoyang ditiup angin. Dan di tengah kebingungannya, Diana tiba-tiba muncul.
"Lima belas menit lagi Abidzar berangkat ke kantor. Dan kau belum menyiapkan sarapan?" tegur Diana.
"Kenapa aku harus menyiapkan sarapan, Ma?" tanya Dzakiyya.
"Kudengar Abidzar memintamu tinggal dirumah. Daripada mengeluarkan begitu banyak uang hanya untuk membayar jasa maid, bukankah lebih baik kau yang melakukan semuanya?" jawab Diana.
Satu bibir Diana terangkat keatas. Lalu berbalik setelah mengingatkan apa yang harus Dzakiyya lakukan sekarang. "Ingat, kau bukan hanya menyiapkan sarapan untuk Abidzar. Tapi juga untukku dan Nafisa," kata Diana sambil melenggang keluar.
...***...
Hari terus berganti. Banyak hal telah berubah. Dzakiyya yang biasanya terima beres kini harus mengerjakan tugas rumah sendiri. Tidak ada lagi Dzakiyya yang berdandan rapi dan pergi ke kantor karena semua rutinitas itu telah digantikan oleh Nafisa. Tapi itu tidak membuat Dzakiyya marah karena dia tahu tujuan Abidzar melarangnya ke kantor adalah untuk melindunginya.
Dalam kurun waktu itu, Dzakiyya membiasakan diri tinggal seatap dengan madunya. Tapi sepertinya Dzakiyya harus membiasakan diri lagi karena ibu mertuanya memutuskan untuk tinggal selamanya di rumah yang sama.
"Ini apa, Ma?" tanya Abidzar ketika melihat Diana berdiri di depan pintu dengan membawa banyak barang.
Dzakiyya yang berdiri di belakang Abidzar langsung mencubit pinggang suaminya. Melarang suaminya menanyakan pertanyaan tak sopan seperti itu. "Mari masuk, Ma!" kata Dzakiyya mengalihkan pembicaraan.
Abidzar yang mendapatkan cubitan di pinggang hanya bisa meringis. Lalu segera mengikuti istrinya dengan membawa barang-barang milik Diana. Setelah mempersilahkan Diana duduk, Dzakiyya pergi ke dapur. Sementara Abidzar mulai membuka obrolan.
"Banyak banget barangnya, Ma!" kata Abidzar basa basi.
Diana melihat barang-barangnya sekilas. Lalu kembali melihat Abidzar. "Bid, mama boleh tinggal disini?" tanya Diana meminta ijin.
Abidzar batuk tanpa alasan. Ingin menolak tapi Diana adalah ibunya. Meskipun hanya ibu tiri tapi tetap saja orang inilah yang membesarkannya.
"Mama sudah semakin tua. Mama juga tidak sehat lagi. Jadi mama pikir ingin tinggal disini. Ingin melihat anak dan menantu mama lebih lama sebelum mama mati," lanjut Diana.
"Ma, jangan ngomong seperti itu!" kata Abidzar.
Abidzar menghela nafas panjang. Galau harus memberikan keputusan seperti apa. Satu sisi ingin menolak tapi takut dianggap sebagai anak durhaka. Abidzar semakin bimbang mengingat kondisi Diana yang kurang sehat. Itu membuat Abidzar sedih. Lebih sedih lagi karena bukan hanya Diana saja yang sakit. Tapi Santi, ibu Dzakiyya juga sakit. Wanita itu bahkan sudah beberapa kali keluar masuk rumah sakit. Dan demi kesehatannya, Abidzar dan Dzakiyya masih merahasiakan soal pernikahan kedua Abidzar.
"Boleh kan, Bid?" tanya Diana dengan memasang wajah memelas.
"Boleh kok, Ma!" jawab Dzakiyya yang tiba-tiba muncul dengan membawa nampan berisikan dua gelas teh.
"Dza?" kata Abidzar. Sedikit kaget karena istrinya memutuskan sesuatu tanpa berdiskusi dengannya dulu.
"Mas, apa yang harus dipikirkan. Bukannya rumah kita rumah mama juga?" tanya Dzakiyya.
Abidzar mengelus kepala Dzakiyya. Abidzar tahu rumah mereka bisa ditinggali anggota keluarga mereka. Tapi untuk tinggal selamanya sebenarnya Abidzar masih ragu. Terlebih mengingat hubungan antara Dzakiyya dan Diana yang kurang baik.
Selain itu sekarang kondisinya tidak sama. Ada Nafisa di rumah ini. Ada banyak hal yang harus diatur ulang. Misalnya pembagian kamar dan bagaimana solusinya.
"Mas?" panggil Dzakiyya ketika Abidzar tak kunjung memberi jawaban.
"Baiklah, mulai sekarang mama tinggal disini. Tapi untuk sementara mama tidur dengan Nafisa, ya?" kata Abidzar.
"Tidak mau!" tolak Diana.
"Ma, kamar tamu terlalu kecil. Abid akan menyewa tukang untuk renovasi. Setelah itu mama bisa pindah ke kamar yang baru," jelas Abidzar.
Tapi yang di bujuk tidak tahu diri. Jangankan menerima, dia malah meminta tinggal di kamar Dzakiyya. "Kan ada kamar Dzakiyya," ketus Diana.
Abidzar melirik Dzakiyya. Di rumah ini sebenarnya Diana sempat memiliki kamar sendiri. Tapi sekarang kamar itu ditempati Nafisa. Karena Diana meminta tinggal di kamar Dzakiyya, bukankah itu berarti Dzakiyya harus terusir ke kamar tamu. Membiarkan istri tersayangnya tersisih di rumahnya sendiri, siapa juga yang rela.
"Ma, Dzakiyya suka kamar itu. Mama mengalah ya?" pinta Abidzar.
Tapi permintaan Abidzar membuat raut wajah Diana berubah. Tentu ini membuat Abidzar serba salah. Dzakiyya yang mengerti situasi suaminya akhirnya mengalah. Tidak ingin hubungan suami dan mertuanya renggang hanya karena sebuah kamar.
"Mas, Dzakiyya bisa pindah!" kata Dzakiyya.
"Tapi, Dza,-" kata Abidzar.
"Sudahlah, Mas! Sekarang lebih baik Mas bantu Dza menyiapkan kamar agar mama bisa segera istirahat. Mama pasti lelah," potong Dzakiyya.
"Oke!" Abidzar mengikuti Dzakiyya dengan malas. Meninggalkan Diana yang merasa menang karena berhasil mengusir Dzakiyya dari kamarnya sendiri.
"Sayang, bukannya kamu terlalu cepat mengiyakan permintaan mama barusan?" protes Abidzar.
"Enggak kok," jawab Dzakiyya.
"Tapi,-"
Abidzar tidak sanggup lagi melanjutkan kalimatnya. Mulai pusing setelah mengingat bagaimana susahnya mendapatkan waktu untuk dihabiskan berdua dengan Dzakiyya jika ibunya ada. Sementara Dzakiyya yang tahu apa yang dipikirkan Abidzar hanya tersenyum.
"Kenapa?" tanya Dzakiyya.
"Bukan apa-apa," jawab Abidzar lesu.
Abidzar dengan cekatan membantu Dzakiyya mengganti sprei. Melirik istrinya sekilas. Lalu menghela nafas setelah memutuskan sesuatu. "Mas akan tetap menyiapkan kamar baru untukmu," kata Abidzar sedikit kesal.
"Iya," kata Dzakiyya menanggapi ocehan Abidzar.
"Sayang, maaf selalu membuatmu begini!" kata Abidzar lagi.
"Tidak apa-apa," jawab Dzakiyya.
Dzakiyya memegang pipi Abidzar untuk memperbaiki moodnya. Selanjutnya mengingatkan Abidzar bahwa malam ini dia harus ke rumah sakit karena besok mamanya akan operasi.
"Mas, malam ini Dza ingin menemani Mama Santi dirumah sakit. Mas Abid tolong ngomong ke Mama Diana ya?" pinta Dzakiyya.
Abidzar mengangguk. Mencium pipi Dzakiyya dan menjawab, "Mas juga mau menemani Mama Shanti malam ini."
Malam harinya.
Abidzar dan Dzakiyya siap pergi. Sudah naik ke mobil untuk berangkat. Tapi rencana mereka menemani Santi harus gagal karena Nafisa keluar dan mengatakan bahwa Diana sakit.
"Mas, mama pingsan!" teriak Nafisa panik.
Dzakiyya dan Abidzar saling pandang kemudian bergegas turun melihat keadaan Diana. Di dalam kamar, Abidzar mendapati Diana menggigil. Entah Dzakiyya, Abidzar ataupun Nafisa sekalipun. Ketiganya tidak tahu bahwa Diana hanya berpura-pura agar Abidzar tidak pergi.
"Bagaimana ini, Mas?" tanya Nafisa.
"Mau bagaimana lagi. Cepat bawa mama ke rumah sakit!" jawab Abidzar.
Abidzar segera mengangkat ibunya diikuti Nafisa dari belakang. Sementara Dzakiyya melenggang lebih dulu untuk membuka pintu. "Sayang, kita antar Mama Diana ke rumah sakit dulu. Setelah itu baru menemani Mama Santi ya?" kata Abidzar.
Rumah sakit tujuan mereka berbeda. Tidak ada pilihan lain bagi Abidzar selain mengantar Diana terlebih dulu. Toh ibunda Dzakiyya sudah ditangani dokter dan kondisinya stabil. Sementara ibunya sendiri belum mendapatkan penanganan. Tapi karena hari sudah semakin malam Dzakiyya memilih pergi sendiri dan membiarkan Abidzar mengantar Diana bersama Nafisa.
"Mas, Dza bisa pergi sendiri. Mas Abid cepat antar mama ke rumah sakit!" kata Dzakiyya.
"Tapi Dza?" tolak Abidzar.
Dzakiyya tidak memikirkan banyak hal. Karena yang penting adalah membawa mertuanya ke rumah sakit. Dzakiyya melihat Nafisa, menarik dan mendorongnya naik ke mobil. "Nafisa akan pergi denganmu, Mas!"
Begitulah akhirnya. Abidzar pergi mengantar Diana sementara Dzakiyya pergi menemui ibunya.
.
.
.
"Ma?" panggil Dzakiyya ketika sampai di ruangan ibunya.
Santi, wanita paruh baya yang terbaring lemah langsung menoleh. Tubuh ringkihnya bangkit untuk menyambut Dzakiyya.
"Sayang, kamu datang?" sambut Santi dengan senyum hangat.
"Ma, jangan terlalu banyak gerak!" larang Dzakiyya.
Dzakiyya membantu ibunya berbaring kembali. Sementara Santi yang mendapatkan omelan hanya bisa tersenyum. Dia tahu Dzakiyya akan mengomelinya. Tapi mau bagaimana lagi, Santi tidak bisa menahan diri untuk segera memeluk anak semata wayang kesayangannya ini. "Mama baik-baik saja. Jangan cemas!" kata Santi.
"Oh, iya. Mana Abidzar?" tanya Santi sembari melirik ke pintu.
"Mama Diana pingsan. Jadi Mas Abid membawanya ke dokter," jawab Dzakiyya.
Dahi Santi mengkerut. Lalu memegang tangan Dzakiyya untuk menasehatinya. "Mertuamu sakit. Bukannya merawatnya, kamu malah kesini?" protes Santi.
"Ma, mama juga sakit. Lagipula,-"
Dzakiyya tidak melanjutkan kalimatnya. Hampir saja dia keceplosan perihal Nafisa yang masih Dzakiyya rahasiakan.
"Lagipula apa?" tanya Santi penasaran.
"Lagipula sudah ada Mas Abid," jawab Dzakiyya.
"Ya sudah. Tapi besok cepat lihat mertuamu!" kata Santi.
"Besok kan mama operasi," kilah Dzakiyya.
"Kalau begitu setelah mama operasi," kata Santi tak mau kalah.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!