NovelToon NovelToon

Gadis Perhatian Yang Terkadang Pemalu, Alisia

Prolog – Titik Tumbuh

SMA Serikat Bangsa

Merupakan sekolah yang ternama dan populer di kalangan mahasiswa. Sekolah yang bergengsi berisikan murid hebat dan berbakat. Bukan hanya dikenal sebagai sekolah dengan lulusan terbaik, tentu saja sangat sulit untuk bisa lolos seleksi pendaftaran.

Tidak heran banyak siswa yang ingin masuk ke sekolah tersebut. Tetapi dengan begitu, tidak heran banyak siswa bergengsi di dalamnya.

Alisia Manda adalah seorang siswi terkenal di angkatan kedua. Selain memiliki paras cantik dia juga ramah dengan orang lain. Tidak heran banyak murid laki-laki atau perempuan yang mengaguminya.

“Lihat, seperti biasa Putri Alisia selalu manis dan anggun.”

“Benar, rambut silvernya yang panjang juga rok yang di atas lutut memperlihatkan kaki putihnya yang mulus.

“Beruntung sekali aku satu sekolah dengan putri seperti dia.”

“Kecilkan suaramu!”

Selain cantik dia juga siswi yang teladan dan berbakat. Tidak heran setiap semester dia selalu menduduki peringkat tiga besar.

Teman sekelasnya pun sangat menyukainya. Banyak yang meminta ajaran darinya. Murid laki-laki yang hanya bisa mengagumi dari jauh terkadang merasa iri karena tidak dapat mendekat.

Bukan berarti dia tidak mau mengobrol dengan lawan jenis, tetapi mereka sadar jika berbicara dengannya akan menimbulkan tatapan yang mencekam dari murid lain.

“Dia selalu manis seperti biasa.”

“Bukan urusanku.”

“Hei...Apakah kamu tidak tertarik dengan putri ?”

“Tidak juga, lagi pula dia terlalu jauh untuk kita.”

“Kamu memang cuek seperti biasa.”

“Diam.”

Fadli Aryadi merupakan siswa tahun kedua yang cukup pandai. Meskipun belum pernah mendapat juara 1, tetapi dia selalu masuk jajaran sepuluh besar. Dia pun masuk melalui jalur beasiswa akademi karena prestasinya yang cukup baik di sekolahnya sebelumnya.

Meskipun demikian Arya tidak terlalu populer dibandingkan anak laki-laki lain. Bukan karena dia seorang penyendiri, hanya saja Arya tidak ingin melibatkan dirinya ke situasi yang rumit.

“Apa kamu sudah mengerjakan tugas matematika hari ini?”

“Tentu saja.”

“Pinjamkan aku tugasmu, Arya~”

Ghani menyatukan kedua tangannya, sambil memohon kepada Arya supaya dia mau meminjamkan buku tugasnya.

Arya yang tidak tahan dengan sikap temannya tersebut, mengeluarkan buku tugas dari dalam tasnya dengan sedikit terpaksa.

“Kamu pemalas seperti biasa.”

“Bukannya aku lupa, hanya kegiatan ku agak padat belakangan ini.”

“Bahkan jika kamu senggang kamu tetap tidak mengerjakan tugasmu.”

“Ayolah... akan ku traktir makan siang mu.”

“Kamu membuatku tidak bisa menolak permintaanmu.”

“Terima kasih Arya.”

Ghani Liandi merupakan murid angkatan kedua yang satu kelas dengan Arya. Mereka terlihat berlawan dimana Ghani merupakan siswa yang energik. Berbeda dengan Arya, Ghani mengikuti kegiatan klub di sekolahnya. Meskipun tampang mereka berdua bisa dibilang bagus. Ghani terlihat lebih hidup dibandingkan Arya.

Setelah jam keempat selesai, sekarang waktunya jam istirahat.

“Ayo segera ke kantin sebelum terlambat.”

“Kamu selalu semangat urusan makanan.”

“Karena butuh banyak bahan bakar untuk mengeluarkan tenaga lebih.”

“Baik Baik ~”

Setelah membeli makanan di kantin mereka memakannya di kelas.

Meskipun biasanya mereka memakan di kantin. Hari ini terlalu ramai untuk makan di sana.

“Wah...si putri itu membuat suasana kantin begitu ramai.”

“Yah, semua akan tertarik dengannya.”

“Syukurlah kita mendapatkan makanan kita.”

“Ya, aku tidak terlalu suka hal-hal berisik.”

“Baik baik tuan penyendiri~”

“Berisik.”

Ghani mencoba untuk mengejek Arya, tetapi Arya tidak memperdulikan omongannya dan hanya fokus kepada makanannya.

Sepulang sekolah, Arya memutuskan untuk mampir ke supermarket untuk membeli sesuatu.

Karena jarak yang jauh dari rumahnya, Arya memutuskan untuk tinggal di apartemen.

Meskipun bukan apartemen mewah setidaknya cukup untuk siswa sekolah menengah.

Arya biasa memasak sendiri di rumah. Tetapi hari ini, dia memutuskan untuk membeli mie instan dengan telur dan sayur-sayuran untuk makan malamnya.

“(Malam ini sepertinya aku makan mie instan saja.)”

“(Berhubung sudah memasuki musim hujan akan sangat nikmat menyantap mie instan.)”

Setelah bergumam dan memutuskan apa yang akan dia beli. Kemudian Arya keluar dari supermarket dan berjalan pulang.

Jarak dari sekolah ke apartemennya tidak begitu jauh. Mungkin sekitar 45 menit jika dia berjalan kaki.

Saat perjalanan pulang, Arya melihat sosok yang familiar di matanya. Rambut putih berkilau yang terurai, senyum manis di wajahnya membuatnya seperti putri salju yang sedang menunggu kehadiran pangeran.

Dia sedang duduk di bangku tamam sambil memegang seekor kucing di pangkuannya.

Meskipun sekilas tidak ada yang aneh dia menyadari ada kejanggalan. Roknya yang kusut dan kotor serta bajunya yang terlihat berdebu tampak jelas di mata Arya.

“(Apakah aku harus menghampirinya?)”

Begitu Arya bergumam dan memastikan apakah dia harus melibatkannya atau tidak.

Dia pun memutuskan untuk menghampirinya.

“Apakah kamu baik-baik saja?”

“Eh Arya ada apa?”

“Aku sedang dalam perjalanan pulang dan melihatmu dalam masalah.”

“Apa maksudmu? Aku baik-baik saja kok.”

Meskipun dengan senyum polos yang dia berikan Arya bisa tahu kalau dia sedang kesakitan.

“Tunggu sebentar.”

Setelah membeli beberapa barang dia kembali ke tempat sebelumnya.

“Tolong bukalah sepatu dan kaos kakimu.”

“Hah?!”

“Aku hanya ingin membasuh luka di kakimu dengan es batu.”

Setelah melepas sepatu dan kaos kakinya dia pun memberikan pertolongan pertama.

Sepertinya kakinya terkilir dan ada sedikit luka lembab dikakinya.

Arya segera memberikan es batu ke pergelangan kakinya yang terkilir, kemudian melilitkan kain untuk meredakan nyeri. Dia juga memberikan perban di kakinya yang terluka.

“Kenapa kamu bisa tahu aku terluka?”

“Dengan kondisimu yang seperti itu tentu saja aku menyadarinya.”

Arya melihat seragam Alisia yang terlihat kotor dan berantakan

“Apa yang kamu lihat?”

“Tidak, aku hanya penasaran kenapa itu bisa terjadi?”

Gadis itu tersenyum dan tertawa kecil setelah ditanyai seperti itu

“Ini hanya kecelakaan. Aku menyelamatkan kucing yang hampir terlindas mobil.”

“Kemudian aku tersandung karena tidak bisa menyeimbangkan tubuhku sehingga kakiku bersentuhan dengan terotoar.”

“Kamu sangat peduli dengan binatang.”

“Tidak juga, aku hanya tidak tega mereka mati begitu saja.”

“Benar-benar Tuan Putri.”

Setelah dibilang begitu wajahnya menatap ke atas dengan senyum yang hampa. Matanya kosong seperti tidak ada harapan didalamnya.

“Alisa, apakah ada yang salah?”

“Tidak... tidak...”

Setelah beberapa saat, Arya selesai mengolesi obat di luka tersebut dan menuntupnya dengan kain.

“Baiklah sudah selesai.”

“Terima kasih. Ternyata kamu cukup pandai dalam hal seperti ini.”

“Itu hanya pertolongan pertama. Semua orang bisa melakukannya.”

Setelah selesai mengobati kakinya dia pun bersiap untuk lanjut pulang. Tetapi dia sedikit khawatir dengan kondisi kakinya.

“Apakah rumahmu masih jauh dari sini?”

“Ya aku masih harus ke stasiun terlebih dahulu.”

“Kalau begitu aku akan menggendongmu ke stasiun.”

“Hahh!?”

Meskipun penampilannya yang tidak begitu energik. Sebenarnya dia memiliki otot yang kuat karena dia juga sesekali berolah raga.

Dia mengeluarkan jaket dari tasnya dan memberikannya kepada Alisia.

“Ini ambillah.”

Alisia masih bingung dengan situasinya saat ini. Dengan gugup Alisia menerima tawaran dari Arya.

“Pakailah supaya tidak ada yang mengenalimu.”

“Baiklah.”

Arya berlutut membelakangi Alisia dan memberikan punggungnya agar dia bisa mudah menggendongnya.

“Kamu tidak akan mengeluh karena kamu sendiri yang menawarkan tumpangan kan?”

“Setidaknya aku masih kuat menggendong gadis SMA sepertimu.”

“Apakah kamu pikir aku tidak seperti gadis SMA lain?”

“Aku tidak mengatakannya.”

“Dasar bodoh.”

Setelah beberapa menit perjalanan, mereka sampai di stasiun.

“Baiklah, karena sudah sampai dan keretamu juga sudah datang, aku pamit dulu.”

“Tunggu!”

Alisia menarik lengan bajunya seakan mengharapkan sesuatu.

Arya pun menoleh kebelakang dan melihat Alisia dengan keadaan seperti sedang kesepian.

“Ada apa?”

“Tidak... itu, terima kasih karena telah menolongku dan memberikan tumpangan sampai sini.”

“Tidak apa, sudah sewajarnya.”

“Baiklah sampai besok Arya.”

Alisia berbalik masuk ke dalam kereta, sementara Arya melanjutkan perjalanan ke rumahnya.

Sambil berjalan Arya mengingat kejadian hari ini dan merasa lelah.

“Huh hari ini banyak hal yang sudah terjadi...”

Chapter 1 – Apa Salahnya Berteman?

Catatan :

(...) : bergumam dalam hati

[...] : gumaman Alisia

“(...)” : bisik - bisik

Di sebuah lorong kelas di pagi hari, terdapat suasana yang sedikit kacau.

Suasana bising dan kegaduhan dini hari membuat lingkungan semakin tak kondusif. Bukan terjadi perkelahian, melainkan sebuah pemandangan langka sedang berlangsung.

“Lihat! Mereka terlihat berwibawa seperti biasa.”

“Meskipun begitu, mereka tetap saling menyapa.”

Mereka merujuk kepada sekelompok siswa yang sangat diagungkan dan disanjung – sanjung namanya. Tidak hanya pintar mereka juga merupakan siswa kelas atas.

Memiliki penampilan berbeda dari yang lainnya sudah menjadi ciri khas sejak dulu. Ditambah tampang yang good looking membuat mereka semakin dikagumi. Mereka adalah anggota dari OSIS Serikat Bangsa.

OSIS di sana mempunyai kedudukan hampir setara dengan kepala sekolah. Mereka banyak memegang kendali atas segala acara di sekolah itu. Tidak heran anggotanya berisikan murid-murid pandai.

Banyak siswa yang mengagumi mereka. Bukan sekedar dari penampilan, tetapi prestasi yang telah mereka capai untuk sekolah membuat mereka semakin percaya kepada kepemimpinan OSIS di sekolah.

“Hei Arya, apakah kamu tahu keributan pagi ini?”

“Yah aku tidak terlalu memperhatikan.”

“Sepertinya para orang hebat itu sedang berkumpul.”

“....”

“Kamu tahu? Mereka sudah banyak membawa perubahan bagi sekolah kita.”

Setelah mendengar perkataan Ghani, Arya menatap ke luar jendela sambil memangkukan dagunya ke tangannya.

(Sepertinya, hariku juga mengalami banyak perubahan kemarin.)

Melihat perubahan suasana Arya, Ghani pun menegurnya dengan wajah yang penasaran dan sedikit mengejek.

“Ada apa?”

“Bukan urusanmu.”

“Jahat sekali ~ .”

“Omong – omong bukannya pacarmu dari anggota OSIS?”

“... Eh?”

Ghani tersentak dan merenung sebentar setelah ditanyai seperti itu. Sementara Arya menatapnya dengan penuh keteguhan. Dia sedikit heran dengan topik yang jarang dia bahas dengan Arya.

Melihat betapa antusias temannya, Ghani mulai membuka mulutnya. Dia membalas pertanyaan Arya dengan nada menggoda.

“Kenapa tiba – tiba?”

“Tidak jadi.”

“Hmm... Lelaki tsundere.”

“Diam.”

Dipikir berhasil menggodanya, Ghani tidak bisa menyimpan ekspresi tawanya. Berhubung membahas topik yang langka, Ghani berinisiatif menyambung berharap temannya mulai tertarik dengan urusan cinta.

“Hei Arya, menurutku sudah saatnya untuk mencari pasanganmu.”

“Aku tidak harus buru – buru sepertimu.”

“Akan lebih menyenangkan mempunyai seseorang yang bisa merawatmu.”

“Aku bisa menjaga diriku sendiri. Lagipula hanya membuang waktu dengan pasanganmu.”

“Kamu akan tahu setelah kamu memilikinya.”

Ghani sebenarnya tidak puas dengan jawaban masa bodoh temannya. Arya menghiraukannya dan entah ada apa dia melirik ke gadis yang kemarin dia tolong.

Entah kebetulan gadis itu juga sedang mengawasinya. Mata mereka bertemu di kejauhan dan sempat saling memandang. Mata yang Indah berwarna biru muda seperti salju musim dingin, ditambah pantulan sinar matahari memberi kesan kehangatan didalamnya.

Karena merasa tidak nyaman, Arya membuang muka dan matanya berkeliaran tidak karuan sambil menatap ke luar jendela memandang lautan langit yang tak berhujung. Kupingnya berubah menjadi kemerahan karena merasa malu, diiringi jantungnya yang berdebar semakin cepat membuatnya hampir didengar temannya.

Gadis itu memberikan senyum polosnya dan tertawa pelan. Pipinya mulai memerah karena sama – sama menahan rasa malu. Kemudian dia menghiraukan momen sesaat yang lalu dan melanjutkan kembali dengan teman - temannya.

“... Huh yang tadi itu hampir saja...”

Ghani yang menyaksikan kejadian itu merasa bingung dan mulai tertarik. Sepertinya, dia menyadari sesuatu yang menarik yang dia lewatkan.

“Apa kamu tertarik dengan putri kita?”

“Mana mungkin seseorang seperti ku serasi dengannya.”

“Kupikir itu mungkin. Lagipula penampilanmu tidak buruk.”

“Jika kamu terus menggodaku, kamu tidak akan mendapatkan salinan tugas.”

“Kumohon jangan lakukan itu...”

“Kamu tidak pernah berubah sejak pertama kita berteman.”

“Sulit untuk merubah kebiasaan yang sudah menjadi keyakinan dari dulu.”

“Tidak termasuk kebiasaan yang salah.”

“Hehe... Maafkan aku.”

Meskipun diceramahi beberapa kali pun Ghani memang orang yang seperti itu sejak dulu. Tetapi hal tersebut tidak masalah bagi Arya. Menurutnya kehadirannya selama ini sudah cukup mengisi slot yang selama ini kosong.

Arya tersenyum polos di hadapan Ghani membuatnya merasa tidak nyaman karena sikap Arya yang tiba – tiba aneh.

“Apa kamu mulai menyukai sesama?”

“Tidak juga.”

Karena merasa tidak nyaman Ghani meninggalkan Arya dan pergi ke tempat duduknya. Jam pelajaran pertama juga segera dimulai.

...♢♢♢♢...

[Saat istirahat di kantin]

Di tengah suasana bising di kantin, Arya dan Ghani memakan makan siang yang baru saja mereka beli. Mereka duduk di bangku pojok kanan dengan porsi dua orang saja.

Arya memesan satu porsi nasi dengan lauk ayam dada dengan tambahan saus sambal super pedas. Ditambah dengan lalapan hijau sebagai pelengkap.

Berbalik dengan Ghani yang memesan satu porsi nasi dengan lauk dua kali lipat lebih banyak. Dengan lauk daging steak, ayam goreng dan seporsi salad. Ditambah kentang goreng dan lalapan sayur yang membuat tidak ada tempat di meja mereka.

Mereka memesan minum yang sama yaitu susu coklat dingin ditambah krim vanila di atasnya.

“Kamu tidak khawatir dengan tubuhmu?”

“Aku mengambil kegiatan klub setiap hari dan cukup berolah raga.”

“Bukannya lebih sehat jika mengurangi porsinya?”

“... Yah kamu sama seperti dia mempermasalahkan hal kecil.”

“Bahkan kekasihmu tidak bisa menghentikanmu.”

“Mungkin sudah terlalu sering aku diceramahi sehingga tidak begitu berdampak.”

Arya yang berpikir tidak ada kemajuan membiarkannya begitu saja. Mereka memutuskan perdebatan dan lanjut ke makanan mereka.

Di tengah kekosongan sesaat, muncul gadis cantik di hadapan mereka. Kulit putih dan mulus dengan rambut hitam kecoklatan dengan sedikit aksesoris didalamnya. Tinggi badan rata – rata gadis seumuran. Senyumnya yang bersemangat menggambarkan sosok yang ceria.

Gadis itu dengan bersemangat memulai topik diantara kami. Dia membuka mulutnya perlahan dengan mata yang berbinar.

“Nee... Al, nanti kita pulang bersama kan?”

“... Eh Lyn, kenapa kamu disini?”

Begitulah panggilan kedua pasangan bucin yang sedang kasmaran.

Lynskia Hanayuna merupakan nama asli dari sang pacar. Namanya merupakan hasil perkawinan dengan Ibunya yang berkewarganegaraan Inggris. Mereka menikah ketika Ayahnya sedang bisnis di luar kota.

Meskipun dikenal sebagai Hana oleh teman – temannya, Ghani memanggilnya dengan sebutan Lyn. Sebaliknya Hana memanggil pacarnya dengan sebutan Al.

Meski begitu, pasangan itu sudah seperti pasutri yang sangat melekat. Ghani sangat baik kepada Hana begitu pula sebaliknya. Hana memberikan perhatian lebih kepada pacarnya yang membuat orang lain iri dibuatnya.

“Aku mencarimu sepanjang hari dan kamu tidak membalas panggilanku.”

Melihat ekspresi kecewa pacarnya dia tidak berani berkomentar apapun.

“Maaf, aku menghabiskan waktu seharian disini dengan Arya.”

Dia tahu biasanya Ghani bersama dengan Arya, tetapi dia marah karena tidak memberi kabar.

Karena merasa bersalah, dia menggenggam tangan pacarnya dan membuat ekspresi menghibur agar tidak timbul kecurigaan berlanjut.

“Aku akan memperhatikannya lain kali.”

“Baiklah... karena itu Al aku maafkan.”

Ekspresi wajahnya kembali bersinar dengan senyumannya yang membuat orang lain kewalahan.

Disisi lain Arya yang menyaksikan momen itu tepat dihadapannya merasa kesal seperti diracuni sesuatu. Dia mengutarakan kekesalannya tetapi tidak sampai keluar.

(Lakukan apapun jangan dihadapanku!)

“Jadi, kamu belum menjawab pertanyaanku sebelumnya.”

“Ah itu... aku hanya ingin bilang kita pulang bareng nanti.”

“O-Oh...oke. Aku menantikannya.”

“Baiklah akan kujemput di kelasmu nanti, Bye...”

“Sampai nanti.”

Setelah melambaikan tangannya dan segera meninggalkan mereka, suasana kembali seperti semula.

“Pacarmu sangat perhatian denganmu.”

“Terkadang dia tidak manja seperti tadi.”

“Meski begitu kau akan menjaganya.”

“Tentu saja, dia telah merubah hidupku lebih berwarna.”

Melihat temannya yang sedikit lesu Arya berusaha mencairkan suasana. Dia tidak ingin melihatnya terlelap dalam kenangan masa lalu yang bahkan dia tidak tahu. Tetapi Arya tidak pandai memilih topik yang menarik untuk dibahas. Dia hanya berkomentar sedikit kemudian tidak mengatakan apapun.

“Ayo selesaikan ini dan kembali ke kelas.”

“Kamu benar.”

...♢♢♢♢...

Pelajaran terakhir sebelum pulang merupakan mapel sejarah. Karena sehabis makan siang dan cuaca yang panas membuat sebagian siswa tidak bersemangat. Begitu pun Arya, dia merasa lebih lelah dari biasanya. Biasanya Arya akan lebih memperhatikan penjelasan guru, tapi hari ini dia tampak mengantuk.

Saat Arya sedang menjaga tubuhnya agar tetap terjaga, matanya melirik ke laci meja yang ada dibawahnya. Dia melihat secarik benda berwarna putih diantara tumpukan buku. Tadinya dia mengira hanya sobekan kertas biasa, karena merasa cemas dan dihantui rasa penasaran Arya perlahan mengambilnya.

Kertas itu disusun serapi mungkin dan sengaja sedikit dikeluarkan agar dia menyadarinya. Setelah melihat tampilan luar dari kertasnya dia membuka lipatan yang didalamnya berisi kata – kata.

Aku tunggu di belakang gedung olah raga setelah ini.

Begitulah bunyi kalimat di dalamnya.

Tidak ada pengirim maupun penerima surat tersebut. Arya menatap sekeliling mencari tahu siapa dibalik sang pengirim surat. Karena tidak menemukan petunjuk, dia berpikir sang pengirim salah menaruh di laci mejanya.

(Untuk apa surat ini dituju?)

Apa ini merupakan ajakan berkencan atau ada seseorang yang dendam terhadapku. Bisa jadi ini hanya lelucon semata.

Begitulah tanggapannya terhadap surat tadi. Kemudian dia menaruhnya di saku celana dan membiarkannya untuk sementara.

Jam pelajaran berakhir dan sudah menandakan waktu pulang. Para siswa bergegas meninggalkan kelas dan melanjutkan aktivitas mereka.

Ghani datang menghampiri Arya sambil menunggu jemputan. Arya dengan tatapan kosong yang masih kepikiran panggilan sebelumnya seperti menghantui kepalanya.

Arya kepikiran untuk menceritakan masalahnya pada Ghani atau tidak. Dengan dilema yang dirasakan saat ini membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Dia menutupi kegelisahannya dihadapan Ghani dan bersikap normal.

Tiba – tiba Ghani sudah dihadapannya sambil mengeluarkan kalimat penyesalan.

“Mapel tadi sangat melelahkan~.”

“Untuk dirimu yang pemalas kamu sudah berusaha bertahan sampai akhir.”

Bukan berarti Ghani tidak tertarik dalam hal belajar, hanya terkadang di agak menyepelekan. Ghani selalu bersemangat dengan mapel yang dia sukai dan sesekali mengerjakan tugasnya. Hanya saja dia terlalu memilih – milih sesuatu.

“Yah... sangat membosankan sejarah di jam terakhir.”

“Kupikir itu tidak salah.”

“Benar kan, kamu bahkan mengakuinya.”

“Aku kira kamu akan tertidur dan bangkit setelah semuanya selesai.”

“Aku berusaha untuk terjaga agar aku bisa merubah sedikit dari nilaiku.”

“Itu bagus untukmu.”

Ketika mereka selesai bersapa gadis yang muncul di jam istirahat masuk ke kelas mereka. Dia tampak lebih bersemangat dari sebelumnya.

Karena sudah lumayan lama, ruangan itu juga mulai hening. Hanya sedikit siswa yang masih bertahan di sana.

Melihatnya datang dengan penuh antusias, Ghani memutuskan untuk tidak membuatnya menunggu. Dia melambaikan tangannya dan meninggalkan Arya yang masih diam tak ada perubahan.

Waktu sudah semakin sore Arya memutuskan untuk segera pergi dari sana. Saat perjalanan menuju pintu masuk, dia terbayang dengan surat tadi. Karena masih bingung dan belum memutuskan untuk kemana, Arya berencana mengikuti terlebih dahulu.

Jika panggilan itu salah tujuan atau hanya lelucon dia tidak masalah. Karena yang lebih penting dia sudah menyaksikan sendiri.

Arya berjalan menuju tempat tujuan berada. Sesaatnya sampai di sana, Arya menyadari akan sesuatu.

(Sepertinya aku dipermainkan)

Itu adalah kalimat pertama yang keluar dalam benaknya setelah melihat di sana hanya ada pemandangan seperti biasa.

Muncul sedikit keputusasaan dalam hatinya karena dikhianati oleh sebuah harapan yang tidak nyata.

“Mending pulang saja.”

Dia pikir sudah tidak ada gunanya dia di sana dan segera beranjak dari tempat itu. Tiba – tiba suara langkah kaki yang tergesa – gesa terdengar di telinganya. Saat Arya membalikkan badannya, sosok yang selalu dia temui muncul dipandangannya. Bahkan belum lama dia menolong anak itu disaat tidak ada seorang pun yang mengulurkan tangan.

Anak itu memegangi lututnya dengan nafas yang tidak beraturan. Tubuhnya yang berkeringat dengan rambut putih perak terurai kebawah di bawah matahari senja membuat sosok tersebut bagaikan Putri dari kayangan.

Kemudian dia bangkit dari posisinya membenarkan rambut yang barusan terurai sambil memiringkan kepalanya dan tersenyum manis dihadapan lelaki di depannya. Nuansa alam dengan hembusan angin musim dingin yang memberikan pertanda alam ikut merestui peristiwa tersebut. Meskipun musim dingin segera hadir, tetapi di depan matanya terdapat musim semi yang tak pernah redup.

“....”

Keheningan sesaat menimbulkan suasana canggung diantara mereka. Pemandangan yang sangat tidak sehat bagi jantungnya jika dilihat terlalu lama.

“... A-Anu...Hm...”

Seluruh badannya bergetar tak terkendali. Mulutnya yang terbata – bata berusaha mengucapkan sesuatu tetapi tidak dapat tersampaikan. Pikirannya yang pergi entah kemana membuat otak tidak sinkron dengan tindakannya.

Anehnya gadis di depannya tertawa lepas tanpa beban. Matanya mengeluarkan air mata tetapi bukan tangisan. Tanpa disadari jarak mereka semakin tertutup. Sekarang posisi mereka hanya berjarak sekitar dua jengkal saja. Tatapan mereka saling bertemu satu sama lain membuat Arya semakin cemas.

“Santai saja...kita juga bukan pertama kali bertukar pandang seperti ini.”

Begitu Arya mendengar kalimat itu dari mulut Alisia. Kemudian dia menguatkan dirinya dan membalas tatapan lembut sang Putri dengan harapan.

Sambil mengeluarkan surat yang tadi dia dapat, Arya bertanya kepada gadis tersebut.

“Apakah ini kamu yang menulisnya?”

“Yap... ah maaf karena tidak memberi keterangan di sana.”

“Tidak... itu, kupikir kamu salah tujuan?”

“Itu memang untuk mu Arya. Kupikir kamu tidak akan datang karena tidak membaca isinya.”

“Sebelumnya aku pikir ini hanya bercanda dan memutuskan untuk kembali.”

“Maaf ....aku ditahan oleh mereka saat dalam perjalanan.”

(TN : ‘mereka’ merujuk pada teman – teman Alisia.)

Alisia membungkukkan badannya sambil melemparkan permintaan maafnya.

Melihat tindakan Alisia, Arya membangunkannya kembali sekaligus menghibur wajahnya yang terlihat menyesal.

“Aku mengerti, jadi tegakkan kembali kepalamu. Ini hanya salah paham sederhana saja. Lupakan kejadian sebelumnya.”

“Baiklah kalau Arya bilang begitu.”

Setelah mendengar perkataan Arya, Alisia kembali bersemangat dan ceria seperti semula. Senyum polos menghiasi wajahnya membuat Arya ingin selalu melindunginya.

“Jadi, ada perlu apa sampai mengundangku kesini?”

“... Anu, sebelumnya aku ingin berterima kasih sekali lagi atas kejadian kemarin. Kalau kamu tidak datang mungkin aku akan kesulitan sampai ke rumah.”

“Tidak masalah, aku senang kalau itu bisa membantu. Apa hanya itu?”

“Ti-Tidak... Itu s-sebenarnya... aku ingin bilang sesuatu.”

Kalimat itu membuat jantung Arya bergerak semakin kencang. Dia menahan rasa gemetar atas tekanan yang diberikan.

“Apa itu?”

Setelah ditanya balik mulutnya tidak sanggup meneruskan perkataan yang sudah dia siapkan sebelumnya. Alisia tetap berusaha menyampaikan isi yang ada dibenaknya. Perlahan dia kembali membuka mulutnya dan kata pertama yang keluar adalah...

“Kamu- ”

Arya sudah siap menerima pernyataan apapun dari Alisia. Dia sudah siap mental dan raganya agar tidak goyah oleh gelombang selanjutnya.

“Kamu... jadilah temanku, Arya.”

“Iya?”

Kupikir akan ada pengakuan tiba – tiba atau sesuatu yang lebih berdebar, begitulah hal pertama yang terlintas di otak Arya.

Mungkin terlalu cepat mendapat pengakuan cinta dari heroine utama seperti di manga – manga romcom. Karena merasa bersalah dengan tanggapan otakunya, dia melempar permintaan maaf dalam hatinya kepada Alisia. Tanpa sadar dia mengeluarkan tawa kecil dari mulutnya.

Alisia yang menunggu jawaban dari pertanyaannya menatap Arya dalam bingung sambil memiringkan kepalanya. Melihat respon tak terduga dari Arya, Alisia bertanya kembali.

“Apa ada yang lucu?”

“Tidak maaf, aku hanya sedikit terkejut atas pernyataanmu barusan.”

“Apa salahnya?”

“Tidak, tidak ada, hanya saja kau begitu malu untuk menyampaikannya.”

Alisia sedikit kesal dan memalingkan wajahnya sambil menunjukan wajah cemberutnya.

“Jika kau bersikap kekanak – kanakan seperti itu kau akan semakin diejek.”

“Mou...”

“Hanya bercanda ...maafkan aku.”

“Terserah kamu!”

“Baiklah kali ini serius. Untuk pertanyaanmu sebelumnya, kupikir tidak masalah untuk kita menjadi teman.”

“Benarkah...?”

“Yah kupikir aku yang seharusnya bertanya. Jika kita saling berbicara nanti pasti akan membuat ramai satu sekolah.”

“Kita hanya tinggal mengumumkannya.”

“Tidak akan semudah itu tanggapan dari mereka.”

(TN : ‘mereka’ disini mengarah pada teman sekelas maupun murid lainnya.)

Sudah jelas teman sekelasnya tidak akan percaya dengan hubungan yang mereka buat. Meskipun jika dilihat dengan seksama, Arya memiliki wajah yang cukup tampan. Mungkin karena sikapnya di kelas yang masa bodoh membuatnya tidak populer di kalangan wanita.

“Bagaimana kalau kita membuatnya terpengaruh dengan sendirinya? Kita buat momen saling menolong dan mereka akan percaya kalau kita sudah berteman.”

“Apa kamu tidak masalah dengan itu?”

“Ini cara paling aman yang terpikirkan di otakku.”

“Baiklah kalau begitu. Kau bertindak dengan caramu dan aku bertindak dengan caraku.”

“Baik sepakat.”

Keduanya setuju menggunakan usulan dari Arya dan bertindak dengan cara mereka masing – masing.

“Ternyata kau sangat berubah ketika sedang di luar.”

“Karena aku tidak ingin menunjukan sifatku yang sekarang kepada orang asing.”

“Kamu memperlihatkannya dengan jelas sejak awal.”

“Karena kamu bukan orang asing di mataku.”

Alisia tersipu dengan omongan Arya yang sangat terbuka. Badan menggeliat seperti sedang dikelitiki. Matanya berkeliaran ke sana kemari. Pipinya berubah menjadi merah padam seperti sedang terbakar.

“Kamu baik – baik saja Alisia?”

“Aku baik – baik saja.”

Mungkin mental Alisia yang dalam masalah. Setelah menerima pernyataan manis seperti itu pasti membuat hati seorang gadis tersentak.

“Berhubung sudah semakin larut, kita akhiri saja sampai sini.”

“Baiklah.”

Alisia langsung pergi meninggalkan Arya yang masih diam sambil memperhatikannya. Setelah beberapa langkah dia menoleh kembali dan membisikkan sesuatu.

“(Sampai jumpa besok...)”

Lalu gadis itu berbalik meninggalkan Arya.

“... Yah musim semi akan segera tiba...”

Sambil menatap langit orange yang segera luntur, dia menggumamkan suara hatinya. Setelah lama terlarut dalam suasana, Arya beranjak pergi menuju rumahnya.

Chapter 2 – Serangan Kejutan Yang Efektif

“Pagi Arya... Hoam...”

“Apa kamu bergadang menonton anime lagi?”

“Acaranya selesai lebih cepat, kemudian aku lanjut berdiskusi sampai tidak sadar sudah jam 3 subuh.”

Sama seperti Arya, Ghani juga suka menonton anime. Bahkan, dia lebih sering begadang untuk menonton anime sampai lupa mengerjakan tugasnya. Ia juga sering membahas ulasan anime yang sudah ditonton dengan teman grup sosial medianya.

“Pantas saja matamu seperti panda.”

“Mereka berdiskusi tanpa henti membahas teori yang sayang kalau dilewatkan.”

“Lupakan. Kuharap kamu tidak melupakan tugasmu.”

“Hhm~”

Ghani membusungkan dadanya dengan bangga didepan Arya. Wajah sombongnya yang tidak kenal malu dibuatnya. Kemudian melanjutkan dengan nada percaya diri.

“Kali ini aku menyelesaikannya lebih cepat sehingga bisa menonton sepuasnya.”

Sementara Arya hanya menunjukan wajah datarnya dan bersikap seperti biasa. Lalu ekspresinya berubah dengan senyum nakal di wajahnya.

“Heh~, apa kamu sungguhan dalam mengerjakan atau hanya asal mengisi jawaban...”

“Hoho...kamu meremehkanku kali ini Arya.”

Karena merasa ditantang, Ghani mengeluarkan buku teks yang ada didalam tasnya dan memberikannya kepada Arya.

Masih dengan postur tubuh yang percaya diri, Ghani tersenyum sombong karena dia yakin kali ini akan menang.

(Tunggu, kenapa kamu memasang ekspresi seperti itu?)

Apakah ini sebuah perlombaan baginya.

Setelah memeriksa tugasnya, ekspresi Arya seperti tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Karena sangat tidak terduga, membuat matanya berdenyut sebelah dan menunjukan senyum masam.

“Apa kataku, aku serius kali ini.”

Karena merasa sudah menang duluan, Ghani melempari Arya dengan kalimat kesombongan.

“Jadi kali ini kamu mengakui kekalahanmu kan? Yah...kalau aku sudah serius semua akan baik – baik saja.”

Arya yang masih tidak membalas perkataan Ghani, tiba – tiba mengeluarkan aura mencekam dari tubuhnya. Matanya bercahaya dan mulutnya terbuka lebar. Matanya menatap tajam kearah Ghani yang sedang menggigil ketakutan.

Tubuhnya keringat dingin matanya belalakan kemana – mana. Kemudian dia mencoba menenangkan Arya.

“Hei, Tu-Tunggu tenang dulu....”

Kemudian Arya tersentak, seperti roh yang berada di tubuhnya ditarik keluar. Teman sekelasnya masih bingung dengan apa yang terjadi dan menatap kearah mereka. Tetapi matanya masih menatap lurus ke arah Ghani.

“Nee... Ghani.”

Suaranya seperti seorang pembunuh yang haus darah.

Kemudian Ghani mengerutkan keningnya sambil memegang bagian belakang kepalanya.

“I-Iya?”

“Ke sini sebentar.”

Dengan ragu, Ghani perlahan berjalan kearah Arya yang menunggu dengan senyum masam diwajahnya.

(Tunggu... Tidak... Itu bukan senyuman yang pantas untuk temanmu kan...)

Setelah berada tepat di samping Arya, tanpa disadari Arya mengepalkan tinju diam – diam dan mendaratkannya di perut Ghani.

Untungnya Ghani seorang atletik, pukulan dari Arya tidak terlalu berdampak, tapi masih meninggalkan sedikit efek kejut.

“Hei apa yang kamu lakukan brengsek.”

“Kau yang memulainya bodoh.”

“Apa maksudmu?”

“Lihatlah!”

Arya menunjuk ke tugas milik Ghani, mereka melihat ke arah buku teks yang ada di depan mereka.

“Tidak ada kejanggalan, semua jawaban sudah diisi.”

Sesaat tatapan Arya melirik tajam kearah Ghani.

“Tunggu, coba jelaskan kesalahannya padaku.”

Sambil menarik napas panjang kemudian dikeluarkan perlahan, Arya membuka mulutnya.

“Kamu bahkan tidak tahu letak kesalahannya dimana. Kamu memang berhasil menjawabnya dengan benar, tetapi jawabanmu kebalik – balik setiap nomernya.”

“Eh? Tidak, tidak, bagaimana mungkin aku salah meletakkan jawaban ku sendiri.”

“Buktinya ada di hadapanmu. Lihat kamu mengisi jawaban nomer empat dengan rumus phytagoras, yang seharusnya diisi dengan rumus persamaan bilangan di nomer dua. Begitupun dengan jawaban nomer tujuh, seharusnya disederhanakan terlebih dahulu baru di operasikan.”

“I-Itu... sepertinya karena terlalu bersemangat ... sampai tidak memperhatikan peletakan jawaban.”

“Dan kamu menyombongkan diri kepadaku seperti seorang pemenang?”

“A-Anuu... Maaf...”

“Belikan aku soda kaleng saat istirahat nanti.”

“Baik~.”

Setelah itu semua kembali normal seperti semula. Suasana kembali kondusif tidak ada keributan.

Meskipun kejadian tadi tidak bisa dibilang perkelahian. Hanya sebatas candaan biasa bagi keduanya.

...♢♢♢♢...

“Ini minumanmu, ambillah.”

“Dengan senang hati~”

“Apa kamu suka minuman bersoda?”

“Tidak terlalu, terkadang aku meminumnya untuk menambah staminaku.”

“Hmm... Unik juga caramu yang seperti itu.”

“Bukan urusanmu.”

Saat mereka sedang asik bergurau, salah seorang siswa laki – laki datang menghampiri mereka. Dia adalah Riyan Renaldy, teman sekelas mereka.

Riyan merupakan siswa yang cukup populer dibandingkan mereka berdua. Dia mempunyai rambut berwarna pirang dengan poni yang tidak terlalu panjang. Kesannya seperti pria yang sempurna di mata wanita.

“Sepertinya kalian sedang asik, maaf mengganggu waktu kalian.”

Setelah mendengar suaranya, mereka menoleh ke arah Riyan yang sedang berdiri di samping mereka dengan wajah tersenyum.

“Ah... Riyan, ada perlu dengan kami?”

“Iya, sebenarnya tidak terlalu penting.”

“Katakan saja kalau memang ada yang bisa kami lakukan.”

“Sebenarnya...apa kalian masih kekurangan anggota di kelompok kalian untuk praktik nanti?”

Ghani perlahan menatap ke arah Arya yang juga tersentak karena terkejut oleh pernyataan Riyan.

(Apa kamu melakukan sesuatu?)

(Tidak, aku ingat terakhir kali pernah terlibat dengannya.)

Keduanya diam – diam berbicara dengan bahasa isyarat di belakang Riyan. Tak lama, mereka mengalihkan kembali perhatian kepada Riyan.

“Kami memang belum memutuskan untuk hal itu.”

“Hei, kamu akan mengajakku kan Arya?”

“Haruskah aku mengundangmu?”

“Kamu terlalu jahat meskipun hanya candaan~”

“Baiklah, baiklah. Tetapi kita masih kekurangan anggota.”

“Kalau begitu kita bisa mengundang Riyan untuk bersama.”

“Benarkah?”

Arya diam sesaat dan mengamati penampilan Riyan dengan seksama. Di dalam otaknya muncul pikiran jahat seperti sebuah keraguan yang menyatakan pantaskah aku satu kelompok dengan pria seperti dia.

Riyan yang diperhatikan seperti itu hanya tersenyum. Dari senyumnya tidak ada maksud tersembunyi.

“Sebelumnya, kenapa kamu ingin satu kelompok dengan kami?”

“Eh- , aku pikir kalian adalah orang baik dan sangat perhatian.”

“Begini, kami tidak cukup baik seperti yang kamu pikirkan. Tetapi, jika kamu memang ingin bersama kami aku tidak akan membantah.”

“Benarkah... jadi aku boleh bergabung bersama kalian?”

“Aku tidak masalah.”

“Kalau begitu aku juga.”

Ekspresi Riyan langsung berubah, dia terlihat sangat senang bisa bergabung dengan mereka. Matanya melebar dan didalamnya tersimpan banyak harapan.

“Menjijikan!” (ucap mereka serentak)

“Maaf aku kelewat senang. Kalau begitu mulai hari mohon kerja samanya.”

“Mohon kerja samanya juga.”

Setelah Riyan pergi, Ekspresi Ghani yang penasaran bertanya kepada Arya.

“Jadi sebenarnya apa yang terjadi?”

“Sebenarnya aku hanya meminjamkannya buku catatanku. Aku rasa saat itu dia sedang kesulitan karena banyaknya aktivitas di klubnya.”

“Yah... mungkin dia merasa terbantu dengan itu. Semakin banyak yang mengetahui sisi kebaikanmu semakin baik untuk dirimu.”

“Aku hanya membantu karena dia juga teman satu kelas. Kalau Riyan ingin menjadi temanku kurasa aku bisa menerimanya.”

“Baiklah, kalau begitu ayo bersiap untuk jadwal selanjutnya.”

Karena sudah memasuki jadwal selanjutnya, mereka berpindah ke lab Sains untuk praktek berkelompok.

“Hei, apa kamu tahu apa yang harus dilakukan?”

“Setidaknya aku paham konsep dasar kerjanya.”

“Baiklah, jika ada sesuatu yang harus aku kerjakan katakan saja.”

Ghani memberikan dukungan yang antusias kepada Arya. Meskipun sejujurnya dia berusaha membantu, pasti akan membuat kelompoknya semakin terhambat. Ditambah mereka mempunyai amunisi tambahan yaitu Riyan.

Meskipun mereka belum lama mengenal, Riyan merupakan siswa pekerja keras dan selalu memperhatikan arahan.

“Kalau melihat kalian berdua bekerja, aku yang hanya diam dan melihat, nampak seperti siswa yang sudah diasingkan.”

Ghani mengerutkan keningnya dan tertegun lemas. Badannya yang menyusut dan hanyut terbawa angin nampak tidak berdaya.

“Jangan sedih begitu Ghani, kamu boleh membantu kalah kamu mau.”

“Benarkah? Apa yang bisa aku lakukan?”

Mendadak tubuhnya kembali terangkat. Ekspresi kekecewaan sebelumnya berubah menjadi penuh kebahagian. Semangat yang menggebu – gebu yang membakar seluruh tubuhnya menggelora.

“Aku tidak ingin merusak semangatmu, setidaknya jangan mengacaukannya karena semangat yang berlebihan itu.”

“Tenang saja Arya, kali ini... semua akan baik – baik saja.”

Sambil menepuk punggung Arya, Ghani meyakinkan pada mereka supaya tidak usah panik.

“Ambil cairan berwarna biru toska di sana lalu tuangkan ke tabung gelas kimia ini. Setelah itu campurkan cairan berwarna putih dan tunggu sekitar sepuluh menit.”

“Kalau hanya itu, serahkan padaku...”

Setelah mencampurnya dan menunggu sekitar sepuluh menit, cairan di dalam tabung gelas mengeluarkan buih – buih dengan aroma menyengat. Lalu tabung gelas dihubungkan satu per satu menggunakan selang untuk menimbulkan reaksi letusan busa yang meluap ke permukaan meja.

“Uwahh~... banyak sekali busa yang keluar.”

(Bukankah seharusnya reaksi yang ditimbulkan tidak seperti ini?)

Sambil bertanya – tanya di dalam benaknya, Arya menatap ke arah Riyan yang juga seperti tidak percaya.

Keduanya saling bertukar pandang dan memikirkan hal serupa. Karena tidak sesuai dengan instruksi hasil yang diberikan, mereka memastikan setiap langkah yang mereka kerjakan.

Tidak ada yang salah dengan tahapan pengerjaan, kemudian mereka memastikan apakah bahan yang digunakan sesuai dengan arahan yang dijelaskan.

Sepertinya Arya menyadari sesuatu yang salah.

“Cairan apa saja yang kamu masukkan ke dalam sini?”

Sambil memegangi tabung gelas reaksi, Arya menunjukan kekesalan di wajahnya.

Ghani yang sedikit tersentak oleh pertanyaan Arya, langsung menjawab dengan percaya diri. Ternyata cairan yang dia campur adalah Luminol dengan larutan soda kue.

“Kenapa kamu memasukkan soda kue?”

“Aku tidak tahu, kamu hanya menyuruhku untuk menambahkan cairan berwarna putih tidak menyebutkan mereknya.”

Waktu yang hanya tersisa beberapa menit saja. Mereka mengulangi dari awal lagi. Berpacu dengan waktu membuat mereka mengerahkan seluruh upaya terbaik supaya bisa mendapatkan nilai.

“Beruntung masih terkejar, kalau tidak kita harus ikut tes remidial.”

(Kamu pikir ulah siapa kita hampir tidak lolos!?)

Riyan hanya menunjukkan senyum masam karena tidak tahu harus berbuat apa.

“Sudahlah...jangan diambil pusing, hasilnya kita mendapatkan B+ dan itu tidak buruk.”

“Iya benar, itu hampir sempurna.”

“Entah kenapa aku sangat lelah. Aku akan toilet untuk membasuh muka.”

Arya pergi meninggalkan Ghani dan Riyan sambil menatap punggungnya yang semakin menjauh.

“Jangan terlalu dipikirkan, pertengkaran kecil memang sering terjadi.”

“Eh... tidak, bukan begitu...ini pertama kali aku merasakan emosi yang membara, tetapi yang tercipta bukan kedengkian. Melainkan kehangatan yang diselimuti angin sejuk yang damai.”

“... Meskipun aku dan Arya kadang berbeda pendapat, tetapi kami tidak melibatkan dendam dalam hati masing – masing. Karena itu pertemanan kami tidak mudah hancur hanya karena hal sepele...”

“Begitu rupanya... aku semakin tertarik untuk lebih dekat dengan kalian berdua.”

...♢♢♢♢...

“Beruntung masih sempat untuk mengembalikan buku yang sudah aku pinjam dari kemarin lusa.”

Alisia yang baru saja mengembalikan buku di perpustakaan berjalan seorang diri di lorong dengan bergumam kata – kata manis tetapi terlihat tidak puas.

“Hari ini aku tidak ada kesempatan untuk

berbicara dengan Arya. Bahkan untuk mendekat saja tidak ada celah.”

Sambil menyesali dirinya sendiri, Alisia yang berjalan di depan banyak murid mendapatkan berbagai macam tatapan di sekitarnya. Diam – diam mengamati keadaan sekitar dia juga memberikan senyuman yang membuat murid – murid meleleh.

(Entah kenapa dengan senyuman bisa membuat mereka luluh.)

Di tengah perjalanan Alisia mendapatkan panggilan alam yang tidak bisa terelakkan.

(Aduh...kenapa tiba – tiba begini, apa boleh buat ke toilet dulu.)

“Ah... sekarang jauh lebih nyaman~”

Setelah selesai dari toilet Alisia melihat Arya sedang berdiri di depan cermin wastafel dengan muka basah kuyup.

Arya terkejut dengan tatapan penasaran di wajahnya yang melihat sosok gadis yang berdiri di samping belakangnya lewat pantulan cermin.

“Kamu sedang apa sampai mukamu basah kuyup begitu?”

“...”

(Kenapa ada Alisia disini?)

“Ah itu, aku hanya membasuh muka karena merasa lelah.”

“...Hmm~”

“Kamu sendiri kenapa ada disini? Bukannya sudah hampir memasuki pelajaran terakhir.”

“Aku selesai mengembalikan buku di perpustakaan, lalu tidak tahan untuk buang air kecil.”

“A-Ah... begitu.... Kalau begitu kenapa kita tidak segera kembali?”

Alisia menatap Arya seperti tidak puas. Wajahnya menjadi jutek sambil melipat kedua tangannya di dada. Alisia membuang muka, pipinya merah, dan mulutnya terbuka malu – malu.

(Hah, ada apa ini terlalu imut, kenapa Alisia malu – malu begitu?)

“Anu... Arya....”

“Hm?”

“Apa kamu mau bolos jam terakhir bersama...?”

“Eh-?”

Arya terdiam mendengar kalimat yang tidak diperkirakan muncul dari mulut Alisia. Dia terpukul kewalahan oleh kekuatan yang langsung menusuk hatinya.

“Tunggu tadi itu bercanda kan?”

“...”

(Apa – apaan wajahnya polos itu, kamu tidak sungguhan ingin melakukannya... iya kan?)

“Bercanda~”

“Iya, iya tentu saja, mana mungkin putri Alisia melakukan itu.”

“Bagaimanapun kalau aku bolos, aku akan dikenal sebagai siswa tidak berpendidikan.”

“Tidak heran karena prestasi yang sudah kamu capai selama ini.”

“Benar kan, ayo kembali sebelum ada yamg curiga.”

Alisia berbalik menuju kelas disusul Arya dengan jarak agak jauh supaya tidak timbul pertanyaan aneh.

Didepan Alisia berjalan sedikit menunduk sambil memegangi pipinya dengan langkah kaki dipercepat.

“Apa yang aku katakan barusan~…”

Setelah mereka sampai dikelas pelajaran terakhir langsung dimulai. Beruntung mereka masih sempat mengejar tidak sampai terlambat.

(Tadi itu serangan luar biasa, beruntung aku tidak tumbang)

Disisi lain Alisia juga memikirkan hal serupa.

(Yang tadi terlalu agresif...)

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!