"Aku membencimu, Olin! Sampai kapanpun aku gak akan memaafkanmu!" salak Kanaya, gadis tomboy yang memiliki mata indah, menatap penuh amarah pada Caroline sebelum mendorong tubuh gadis itu ke luar dari rumahnya lalu menghempaskan pintu tepat di depan wajah gadis itu.
Lama Caroline terdiam menatap pintu mahoni hitam yang ada di depannya. Air matanya seketika menetes, tapi buru-buru dia hapus dengan punggung tangannya.
"Aku minta maaf, Nay. Aku gak tahu kalau kamu suka sama kak Saga," ucap Olin menunduk. Gadis yang biasanya riang bahkan hampir tidak bisa diam itu kini hanya bermuram durja. Ada rasa bersalah di hatinya terlebih setelah membuat Kanaya murka.
Merasa tidak akan ada gunanya menunggu Kanaya membuka pintu untuknya, Olin memilih untuk pulang. Kini dia kehilangan satu orang teman perempuan yang dia punya.
"Loh, udah pulang, Lin? Katanya mau main ke rumah Kanaya," tanya Bee, ratu di rumah itu.
"Rumah Naya gak ada orang, Tante. Aku ke kamar dulu ya, Tante," ucap Olin dengan wajah ceria. Apapun masalah yang gadis itu hadapi pasti akan selalu menampilkan wajah cerianya. Olin tidak ingin melihatnya bersedih.
Begitu menutup pintu kamar, Olin dengan langkah pelan bergerak menuju ranjang. Peristiwa tadi kembali bergerak di benaknya. Potongan-potongan kecil memori yang sudah lalu muncul kembali. Semuanya, sejak dia kedatangannya di rumah ini.
***
"Kak Sagaaaaa, Sarangheeeee," teriak Olin dari kursi penonton. Hari ini Auriga Sagara Danendra mengikuti pertandingan basket antar sekolah, dan saat ini pria itu sedang berlaga di lapangan melawan sekolah yang menjadi musuh bebuyutan sekolah mereka.
Bellaetrix, atau yang bisa disapa Bee mendaftarkan Olin di SMA itu, selain karena putranya Saga juga sekolah di sana, sekolah itu juga milik keluarga sahabat baik mereka Bumi. Olin senang sekali bisa masuk ke sekolah ini, apalagi setelah mendapat akselarasi, hingga membuatnya bisa langsung menjadi murid SMA. Di sini dia bisa memiliki banyak teman, dan terkhusus bisa bareng Saga setiap hari.
SMA Bhinneka Tunas Bangsa, memang bukan sekolah biasa, swasta elite yang hanya segelintir orang bisa masuk ke dalam nya. Bisa dibayangkan bagaimana sikap dan juga perangai siswa-siswi yang ada di dalam sana.
Kanaya yang ada di samping Olin menatap kesal pada gadis itu. Dia hanya bisa memasang wajah masam tanpa bisa protes. Terganggu? Tentu saja! Kanaya yang hanya bisa berteman dengan Sagara, Boby dan Fajar selama ini merasa terusik oleh kehadiran Olin yang tiba-tiba.
Sagara sendiri tidak pernah mengakui keberadaan Olin di antara mereka. Selalu membuntuti kemana pun Sagara pergi bak ekor. Sagara tidak bisa menyingkirkan Olin walaupun sangat ingin, karena gadis itu sangat berarti bagi keluarganya.
"Kak Sagaraaaaa, ayo semangat, Sarange, Oppa," ulang Olin dengan lantang. Sagara yang bertanding tapi justru dia yang deg-degan.
"Berisik! Bisa diam gak lo!" hardik Naya dengan wajah tak bersahabat. Dia sudah mentolerir sejak tadi, tapi kini dia selain karena tidak menyukai Olin, Kanaya juga tidak suka kalau gadis itu mendekati Sagara.
Kanaya pindah ke dekat rumah Sagara sejak gadis itu berusia 10 tahun. Kanaya yang introvert hanya mengurung diri di rumah, hingga suatu hari bertemu dengan Sagara di lapangan yang sedang bermain dengan anak-anak di komplek perumahan itu.
Sagara melihat Kanaya dijahati oleh anak-anak dan membantunya. Sejak itu Kanaya membuka diri untuk berteman dengan Sagara dan hanya menganggap anak itu sebagai sahabat satu-satunya.
Setiap hari bermain dengan Sagara, bahkan tak jarang menyelusup masuk ke kamar Saga melalui jendela kamar dan tidur bersama Sagara di sana.
Bagi Kanaya, Sagara adalah pusat hidupnya. Cahaya yang menyinari hari-hari nya dan kini setelah beranjak dewasa, posisi Sagara kini justru menduduki peringkat tertinggi di hatinya.
Ya, Kanaya menyukai Sagara. Sangat. Tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sayangnya, Sagara tidak tahu, dan perihnya, Sagara tidak menaruh perasaan apapun pada Kanaya, hanya teman.
"Ish, Nay kok gitu sih, aku kan cuma mau menyemangati kekasih hatiku. Kamu juga sebagai sahabat harus menyemangati Kak Saga, dong," jawab Olin tersenyum manis.
Olin gadis lugu, baik dan sangat pintar di bidang akademis, tapi sayang untuk urusan lain, sama sekali tidak bisa diandalkan. Ceplas-ceplos, seolah apa yang ingin dia ucapkan tidak disaring terlebih dahulu.
Naya malas berdebat, jadi memilih diam. Percuma bicara dengan Olin, gadis itu juga tidak akan peduli, tidak akan sakit hati dihina atau pun dimarahi.
Kadang geng Pythagoras gak habis pikir, kenapa Olin bisa pintar dalam pelajaran tapi oon dalam hal lain, kadang kalau mereka bahas sesuatu, Olin adalah orang terakhir yang paham. Satu hal yang buat Naya semakin membenci Olin, gadis itu tidak punya malu, tetap mendekati Saga, padahal pernyataan cintanya sudah berapa kali ditolak. Tetap semangat dan selalu riang.
Pernah suatu kali, saat Olin hanya berdua dengan Kanaya. Gadis itu bertanya kepadanya, mengapa dia menyukai Sagara dan walaupun sudah ditolak berkali-kali, mengapa terus tetap mengejar-ngejar Sagara.
"Karena aku memang cinta sama Kak Saga.
Kamu nggak tahu sih, Nay, gimana rasanya menyukai seseorang. Aku tuh cinta mati sama kak Sagara. Lagi pula kamu 'kan tahu sendiri, kalau dari kecil kami udah dijodohin oleh kedua orang tua kami masing-masing. Jadi, lebih baik mulai sejak dini aku belajar mencintai calon suamiku," jawab online dengan tawa renyahnya.
Kalau sudah begitu, Kanaya hanya bisa menghela napas, tanpa bisa berkata apa-apa lagi.
Akhirnya pertandingan itu selesai dan sekolah Bhinneka Tunas bangsa masih tetap bisa mempertahankan gelar juara seperti tahun lalu. Turnamen pertandingan persahabatan antar sekolah itu ditutup dengan tarian cheerleader.
"Ayo, Nay, kita susul mereka," ucap Olin dengan penuh riang.
Naya tidak punya pilihan lain selain mengikuti langkah Olin. Tampak para pemain sedang melakukan sesi pemotretan dan juga wawancara pada pemenang. Olin yang tanpa tahu malunya, nimbrung di tengah-tengah sesi wawancara, nyempil di sebelah Sagara. Boy dan Fajar di sisi yang lain hanya bisa tersenyum. Keduanya sangat menyukai Olin, gadis periang yang selalu ada dimana pun mereka berkumpul. Bagi Boy, Olin jauh lebih menyenangkan dari pada Naya, si wajah bengis.
"Wah, ini pacarnya Sagara, ya?" tanya pria itu sembari menyodorkan mic pada Olin. Seperti biasa gadis itu hanya nyengir kuda melihat Sagara dan juga orang-orang sekitarnya.
Pertanyaan itu tentu saja membuat semua mata tertuju pada Sagara, menanti jawaban pria itu.
Anehnya, walau Sagara tidak pernah menerima pernyataan cinta Olin, tapi pria itu juga tidak pernah mencoba menjelaskan pada setiap orang yang bertanya apakah Olin adalah kekasihnya.
"Apa tidak ada lagi yang perlu ditanyakan seputar pertandingan? Kalau tidak ada, kami mohon undur diri," ucap Sagara tegas. Sedikitpun tidak ingin membahas masalah yang ditanya oleh sang reporter.
Kehebohan itu akhirnya selesai. Kelima anak itu memilih untuk pergi menjauh dari hiruk-pikuk, menuju tempat favorit mereka di sekolah itu. Taman belakang perpustakaan.
"Kak Saga keren, aku bangga sama Kakak," ucap Olin dengan riang.
"Berisik!" bentak Sagara yang sedang membalas pesan ibunya agar pulang bersama Olin.
"Olin cantik, Kak Boby memang gak keren?" Boby ingin meminta pengakuan dari Olin.
"Kak Boby juga keren, kak Fajar juga, tapi tetap Kak Saga yang paling kereeeen," jawabnya sembari tertawa renyah, memperlihatkan deretan gigi putihnya.
***
"Makasih ya, Kak udah mengantar ku pulang," ucap Olin menyerahkan helmnya pada Sagara sesaat setelah turun dari motor sport berwarna merah milik Sagara.
"Dasar, Oon. Siapa yang ngantar lo pulang, ini rumah gue!" Sagara pun ngeloyor masuk ke dalam rumah, meninggalkan Olin yang cengengesan lagi.
"Oh iya ya," sahutnya yang masih bisa didengar oleh Sagara.
Kedatangan Olin ke rumahnya membuat dunia Sagara yang awalnya sangat tenang berakhir seketika, berubah menjadi huru-hara yang tidak pernah berhenti. Dunianya seketika jungkir balik setelah kedua orang tuanya memberi perintah dengan tegas bahwa Sagara harus menjaga Olin dan jangan pernah menyakiti gadis itu.
Saga paham dan sangat mengerti arti Olin bagi keluarga mereka. Kedua orang tua Olin adalah dua orang yang berarti buatnya. Ibu Olin menjaga dan menyayangi nya sejak lahir, dan papa nya, seperti kata Bintang, ayah Sagara, sudah menyelamatkan hidup nya dari maut. Sewajarnya saat ini peran Darren menjaga Olin menjadi tanggung jawabnya.
"Siang Tante, lagi masak apa," sapa Olin mencium pipi Bee yang sedang mengaduk adonan kue.
"Si cantik, udah pulang? Ganti baju sana, terus makan. Tante udah masakin makanan kesukaan kamu," jawab Bee dengan lembut.
Selesai makan siang, yang hanya ada Olin dan si kembar Siena dan Siera yang juga baru pulang sekolah. "Memangnya kak Saga kemana, Ma?" tanya Siera yang paling belakang menyendok nasi.
"Ada janji sama Papa, mereka mau belanja," jawab Bee membelai rambut putri sulungnya itu.
"Kak Olin, gimana pertandingan Kak Saga tadi?" timpal Siena sembari menyendok masuk nasi ke dalam mulutnya.
"Seperti biasa, kakak kalian memang kerena. Sekolah kita memang, dong," jawab Olin tersenyum.
"Nanti, kami juga mau sekolah di sana, ah. Cowoknya cakep-cakep pasti ya, Kak?" sambar Siera cepat ikut masuk dalam pembicaraan itu.
Ketiganya kemudian terlibat dalam percakapan seru. Random, mulai dari cowok keren di sekolah Olin, sampai merambah ke Drakor yang akan mereka jadwalkan untuk ditonton nanti malam, karena besok libur sekolah.
"Tante, aku mau ke rumah Naya, ya. Mau main," ucap Olin yang merasa bosan. Si kembar lagi main sama teman-temannya di rumah tetangga, jadi Olin merasa kesepian.
"Iya, sayang, hati-hati, ya," jawab Bee yang kembali menyiapkan bahan kue berikut nya.
***
"Mau apa lo kemari?" tanya Naya ketika membuka pintu rumahnya. Rumah sebesar itu hanya ada dirinya dan pembantu. Orang tuanya jarang di rumah, sementara dia yang anak tunggal tidak suka bergaul hingga terus menyendiri di rumah.
"Mau main, bosan di rumah," sahut Olin masuk melewati tubuh Naya, padahal gadis itu belum mempersilakan masuk.
Tidak ada jawaban, hanya senyum yang diberikan Olin seperti biasa. Naya menutup pintu, lalu bergerak naik ke lantai dua menuju kamarnya.
Sudah biasa, jadi Naya malas untuk berdebat. Walau berulang kali Naya sudah menunjukkan sikap tertutup dan antipatinya terhadap Olin, tetapi gadis itu tetap saja menyodorkan dirinya kepada Naya, dan menganggap Naya adalah teman terbaiknya.
Olin ikut naik ke atas, itu juga sudah biasa jadi Naya tidak terlalu merasa terganggu. Tanpa permisi Olin sudah melemparkan tubuhnya ke atas ranjang Naya yang empuk. Hal yang biasa dia lakukan setiap berkunjung ke kamar gadis itu.
"Lo tunggu di sini dulu, gue mau boker, perut gue sakit!" Naya yang bergegas masuk ke dalam kamar mandi.
Olin menarik bantal hendak dia pakai sebagai penyanggah kepalanya, tanpa sengaja Olin melihat sebuah diary di bawah bantal tadi, yang mungkin di gunakan oleh Naya.
Buku harian itu terbuka dan dengan jelas Olin bisa membaca setiap goresan pena yang ditorehkan oleh Naya tentang perasaannya kepada Sagara.
Olin semakin penasaran dan membaca buku itu, sampai tidak sadar Naya sudah keluar dari kamar mandi, dan mendapati Olin yang serius membaca buku hariannya.
"Olin, apa yang Lo lakuin?"
"Nay, aku... ini... Diary kamu," jawab Olin terbata.
Wajah Naya yang sudah merah padam, segera menarik tangan Olin dengan paksa. Menarik dengan kasar, membawa gadis itu turun lalu setelah membuka pintu mendorong tubuh Olin ke luar.
"Gue gak akan pernah maafin Lo, Olin!"
"Ada yang aneh dari lo berdua. Tumben tempat ini jadi sepi? Biasanya kayak kucing sama anjing, gak pernah akur," ucap Boby yang sejak tadi merasa heran. Pasalnya Nay dan Olin dari tadi gak ngomong apapun. Keduanya sibuk dengan makanan masing-masing.
Setiap jam istirahat sekolah, pasti kelimanya ngumpul untuk makan di kantin. Walaupun Olin si anak bawang beda kelas karena masih kelas satu, sejak dulu selalu ikut kemana pun mereka pergi, alasannya cuma satu, gak mau pisah dari Sagara.
"Iya benar, tumben amat nih dua bocah," lanjut Fajar mengamati keduanya bergantian. Sagara hanya memilih diam. Dia sejak pagi juga merasa ada yang berbeda kala Nay gak datang ke rumah untuk pergi ke sekolah bareng. Biasanya anak itu pasti nebeng sama Sagara.
"Nay kenapa ya, kok gak datang pagi ini? Apa dia udah berangkat duluan?" tanya Sagara pagi tadi, saat hendak berangkat ke sekolah, melirik pada Olin yang sejak tadi menutup mulutnya, lagi-lagi tidak seperti biasa.
"Woi, Lo dengar gak gue ngomong?" hardik Sagara kembali menoleh pada Olin yang tidak menyahut.
"Gak tahu, Kak. Kok tanya aku? Memangnya aku mama nya," jawab Olin kesal.
Sebenarnya dalam hatinya juga dia bertanya-tanya. Ketidak hadiran Nay pagi ini buat nebeng, berarti amarahnya kemarin sore benar-benar serius. Apa iya, dia tidak akan mengajak Olin bicara lagi?
Nay memang tidak datang. Dia tidak sudi, untuk melihat wajah Olin. Ini saja tadi dia berniat untuk tidak ikut ke kantin, tapi Fajar menariknya.
"Kok kalian yang mingkem, gue yang horor, ya?" celetuk Boby. "Ga, Lo tanyain dong kedua cewek not beautiful ini," lanjutnya.
"Gue ke kelas duluan," sambar Nay cepat. Berdiri, lalu meninggalkan yang dua puluh ribu di atas meja, dekat tangan Boby.
"Aku juga mau masuk. Ada pr yang kelupaan." Olin ikutan, sempat menadapat delik tajam dari Nay, tapi hanya sedetik lalu keduanya pergi dengan arah yang berjauhan.
"Gue yakin, mereka pasti bertengkar!" Tebak Fajar penuh keyakinan.
"Ya kali, si bocah jenius lupa ngerjain pr. Dia 11 12 sama ni bocah," ucap Boby menunjuk Sagara dengan arah matanya.
"Biarin aja. Ribet ngurusin anak cewek!" lanjut Sagara.
Namun, itu hanya di bibir saja. Sebenarnya dia sendiri merasa penasaran kena kedua gadis itu bertengkar. Dalam diamnya, Sagara sangat mengkhawatirkan Nay. Gadis itu begitu tertutup. Dia sangat mengenal pribadi Nay, setiap punya masalah pasti bersikap dingin, diam dan parahnya semua yang terjadi akan dia salahkan pada dirinya sendiri.
Sagara ingat, kala orang tua Nay yang berpisah, gadis itu menyelinap masuk ke dalam kamar Sagara.
Kamar itu kosong, Sagara dan keluarganya saat itu sedang makan malam. Selesai makan, baru lah Sagara naik dan saat menekan saklar lampu, betapa terkejutnya dia mendapati Sagara duduk meringkuk di dekat jendela kamarnya yang sudah biasa dimasuki Nay sejak kecil tanpa izin.
"Lo kenapa Nay?" tanya Sagara yang saat itu masih kelas 1 SMP. Dia mendekat, memberikan handuk untuk mengeringkan rambut dan tubuh gadis itu.
"Bokap gue pergi. Dia nikah lagi sama pecun yang berkedok sekretaris di kantornya!" jawabnya dingin, tanpa reaksi, hanya menampilkan wajah datarnya.
Sagara mencoba menelan salivanya. Dia juga bingung harus berkata apa. Dia tidak mahir membujuk gadis yang sedang bersedih dengan tipe gadis seperti Nay.
Beda cerita dengan adik kembarnya, paling kalau lagi ngambek, atau marah, cukup dikasih es krim Maglumi atau coklat silver king. Kalau untuk saat ini dia lakukan hal yang sama pada Nay, Sagara yakin benda itu justru akan dilempar ke wajahnya.
"Dan ini pasti karena gue. Bokap gue selalu ingin punya anak laki-laki, tapi kenyataannya yang lahir malah gue. Seandainya gue gak pernah ada. Seandainya gue mati aja," lanjutnya terdengar semakin terluka.
Sagara tahu, ayah Nay selalu mengharapkan anak laki-laki dalam keluarga mereka, berulang kali Nay mengatakan hal itu. Jadi, demi memberikan sedikit kesenangan pada ayahnya, sejak kelas enam SD, Nay memutuskan untuk membuang semua gaun dan rok nya, mulai memakai celana saja kemana pun pergi. Hingga remaja, kebiasaan itu terbawa. Dia selalu berdandan seperti anak laki-laki. Memotong pendek rambutnya. Kalau saja ke sekolah tidak ada keharusan memakai rok bagi anak perempuan, percayalah, Nay pasti memakai celana yang sama dengan dipakai siswa laki-laki.
Sagara memilih duduk di samping Nay, ikut diam sembari mendengar hembusan napas gadis itu yang enggan dia keluarkan. Sagara tahu saat ini Nay sedang menahan dirinya untuk tidak menangis.
Sagara bangkit, mengambil ponsel sekaligus headset nya, lalu kembali duduk di tempatnya semula. "Lo bisa menyandarkan kepala lo di bahu gue. Gue mau dengar lagu," ucapnya menunjukkan ponselnya ke arah Nay, lalu memasang ke telinganya.
Ini sudah menjadi kebiasaan mereka setiap Nay mengalami masalah dan hatinya diliputi kesedihan. Sagara menghitung dalam hati, pada hitungan ke lima, Nay pasti merebahkan kepalanya di pundak Sagara, lalu pada hitungan ke enam, gadis itu akan mulai menangis. Dalam posisi menyamping, Sagara tidak akan melihat Nay menangis, dan itu membuat gadis itu nyaman untuk menumpahkan air matanya.
***
'Kak, aku pulang belakang. Ada kegiatan di kelas setelah piket sama teman-teman. Kakak pulang sama Nay aja, duluan.'
Sagara mengerutkan kening, kala membaca pesan dari Olin, dan bergegas menghubungi nomornya, tapi tidak diangkat.
Matanya menangkap gerakan Nay yang akan bersiap pulang dan segera mengejarnya. "Kita pulang bareng, kan?"
"Gue balik sendiri aja. Gue ada perlu," jawab Nay mencoba tersenyum, tapi gagal.
"Temani gue pulang, Olin gak bareng gue. Malas gue sendiri di mobil," lanjutnya ingin memancing Nay. Apa benar diamnya keduanya gadis itu memang karena ada pertengkaran di antara mereka.
"Hah? Oke, gue ikut."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!