NovelToon NovelToon

Cintaku Terhalang Tahta

Nostalgia Awal Jadian

Tin tin! Klakson motor dari belakang Emilia, membuat telinganya hampir tuli.

"Menepi di depan sana ya, Dek …," ujar Yofan dari sisi kanannya.

"Tuh orang ngapain, sih. Pakai acara nyuruh minggir segala," gerutu Emilia.

Sesuai permintaannya. Emilia berhenti dan menepi di belakang Yofan dan pria dewasa muda itu turun dari motornya–menghampiri Emilia

"Sudah berapa kali saya tegur?"

"Gak ngitung."

"Kenapa masih tetap bawa motor sendiri? Kamu belum cukup umur untuk bawa motor sendiri, menyalahi aturan, Dek."

Emilia menatapnya tajam dengan perasaan sangat kesal karena cacing didalam perutnya sudah dangdutan. Tapi dia malah menghambat perjalanannya.

"Aduh, Pak. Gini ya, Pak … kalau saya gak bawa motor sendiri, terus gimana berangkatnya? Emang situ mau nganterin? Gak 'kan?"

Dengan penuh percaya diri, gadis jutek itu menyalakan motornya kembali dan hendak melanjutkan perjalanannya. Eh, tapi ternyata …

"Yang sopan kalau diajak ngomong orang tua …" Polisi itu mencabut kontak motor Emilia dan menyitanya.

Tentu saja jiwa reog Emilia keluar, saat itu juga. Benar-benar sudah seperti reog ponorogo kurang sesajen. Dia bahkan tidak peduli, mau berapapun orang yang melihat kemarahannya di pinggir jalan, dekat dengan lampu merah.

Tak jarang, Emilia berteriak seraya memaki-maki Polisi menyebalkan yang ada di hadapannya saat itu. Hal yang paling membuatnya lebih kesal lagi, Yofan benar-benar tidak mau melepaskannya, sekalipun dia menangis karena kelelahan jadi reog ponorogo kurang sesajen.

"Janji sama saya dulu, kalau kamu tidak akan mengulang bawa motor sendiri dan menerobos lampu merah," ujarnya.

"Emangnya Pak Yofan ini polantas? Bukan,'kan?" tanya Emilia.

"Saya memang bukan bagian lalu lintas. Tapi saya punya kewajiban yang sama, yaitu menegur siapapun yang melakukan pelanggaran."

Emilia hanya terdiam dengan bibir yang sedikit manyun dan sesekali melirik sinis Yofan–lelaki yang sudah ia kenal, beberapa bulan yang lalu.

"Rumah kamu dimana?" tanya si Polisi.

"Gak tak bawa," jawab Emilia.

Yofan terbahak-bahak mendengar jawaban singkat Emilia, seraya memandang Emilia.

"Kalau kamu bawa, berarti kamu bekicot, dong," ujarnya.

Emilia kembali menaiki motornya, lalu menyalakannya, saat kunci motor telah Yofan kembalikan.

"Dek …" panggil si Polisi–lirih.

"Apa lagi?!" teriak Emilia.

"Saya boleh minta nomor kamu? Saya ingin mengenalmu lebih dekat."

"Gak usah. Percuma minta nomor juga gak mau nolongin. Gak mau kasih solusi, bisanya ngomel mulu."

Lagi dan lagi, Emilia menggerutu sembari memasang wajah sewot. Tapi dia tercengang, saat Yofan tiba-tiba bilang …

"Saya antar jemput ke sekolah, besok. Itu sih kalau kamu mau," ujarnya.

Gadis jutek diam sesaat, lalu tertawa ngakak karena mendengar ucapan konyol itu.

"Mau nipu? Kurang kerjaan apa, Polisi antar jemput orang tak dikenal. Konyol banget."

Tetapi Yofan menjelaskan padanya kalau dia besok libur kerja dan bisa mengantarnya. Isi dalam otak Emilia saat itu, hanyalah menantangnya. Ya … karena dia tidak percaya dengan Polisi itu dan hanya menganggap omongannya adalah omong kosong.

Sehingga ...

"Ya udah, catet. Cepetan ... Gpl."

Dugaan Emilia tentang omong kosong itu ternyata salah. Yofan benar-benar datang menjemput Emilia dan meminta izin secara langsung–bertatapan mata dengan mama dan abangnya untuk mengantar jemput dia di hari itu.

Sejak saat itu lah, Emilia dan Yofan bisa sedekat saat ini, dengan proses waktu yang tidak singkat, tentunya. Butuh waktu lebih dari dua bulan, untuk menumbuhkan rasa cinta terhadapnya di hati Emilia–terhitung sejak Yofan yang kerap dia panggil 'Mas' itu mengantar jemput dia untuk pertama kalinya.

Cinta Emilia dan Yofan, bisa dibilang sangat tulus. Sebab Yofan seorang Polisi dengan usia yang sudah dewasa dan anak orang kaya, sementara Emilia hanya seorang anak dari keluarga sederhana yang masih bocil, alias bocah cilik, dengan usia 17 tahun.

Meski masih belasan tahun, tetapi Yofan sangat mencintai dan serius dengan Emilia. Dia tidak pernah memandang usia, status sosial dan apapun itu. Bahkan dia tahu kalau Emilia adalah anak yang bandel dan cukup susah untuk dikendalikan emosinya.

Yofan tidak pernah mengeluh dan tidak pernah memiliki keinginan untuk berhenti mencintai Emilia, serta mendukung dan membimbingnya menjadi pribadi yang lebih baik dari pribadinya yang dulu.

Kesabarannya lah yang membuat Emilia jatuh cinta, hingga sulit untuk melepaskan dan bisa dibilang memang tidak pernah mau melepaskannya.

Sampai akhirnya, sebuah peristiwa yang kurang menyenangkan datang menyapa mereka berdua. Peristiwa itu datang dari keluarga Yofan, utamanya dari Mbak Ilmi– kakak kandung Yofan yang kebetulan, seorang guru Bahasa Indonesia di sekolah Emilia.

Bu Ilmi : Assalamualaikum, Emilia. Sudah belajar, Mil?

Emilia : Waalaikumussalam. Alhamdulilah sudah, Bu. Ada apa?

Bu Ilmi : Saya hanya ingin memastikan saja, apakah kamu pacaran sama adik saya?

Emilia : Iya, Bu Ilmi, betul. Tapi Emilia nggak lupa sama belajar kok, Bu.

"Peka" Satu kata itu sepertinya sangat tepat untuk menggambarkan karakter Emilia. Saat Bu Ilmi japri dia di aplikasi sms masa kini, alias whatsapp. Emilia merasa bahwa Ilmi akan tidak setuju dengan hubungannya dan Yofan.

Satu menit kemudian, pesan baru dari Bu Ilmi masuk dengan sebuah balasan …

Bu Ilmi : Iya. Ibu tahu, kamu bisa membagi waktu dan nilaimu sejauh ini masih baik-baik saja. Tapi kamu 'kan masih sekolah, masih kecil. Sedangkan adik saya sudah dewasa. Saya hanya khawatir sekolahmu terganggu, apalagi satu bulan lagi kamu kenaikan kelas.

"Heleh, itu mah cuma alasan dia doang. Ngomong aja kalau gak suka sama aku, punya pilihan lain buat Mas Yofan," tutur batin Emilia.

Ceklis biru, dia biarkan menyala tanpa notifikasi 'sedang mengetik' di layar Hp yang sedang Bu Ilmi pegang. Pastinya Ilmi sedang menunggu balasan dari Emilia dan menunggu teks berjalan 'sedang mengetik' muncul di layarnya.

"Pantengin aja terus, layar Hp mu. Sampai jamuran juga gak bakalan aku balas. Alasan yang gak masuk akal sama sekali."

Emilia melempar Hp nya ke kasur dan meninggalkannya. Isi otaknya saat itu hanyalah menonton sinetron favoritnya yang setiap hari dia tonton selesai belajar.

Pukul sepuluh malam, Emilia baru kembali ke kamarnya dan membuka Hp nya. Lima pesan dari Mas Yofan, membuat matanya yang semula sisa lima watt menjadi sepuluh watt. Maklum, sedang dimabuk cinta yang membuat candu.

Mas Bripdaku : Tidur, Sayang. Sudah malam, besok sekolah.

Pesan singkat, tapi tidak pernah gagal membuatnya klepek-klepek.

Emilia : Iya, ini mau bobo.

Mas Bripdaku : Besok diantar Mas Bryan saja, ya. Jangan bawa motor sendiri. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa.

Sebetulnya pesan-pesan seperti itu, sudah menjadi makanan sehari-hari Emilia, sejak pacaran dengan Yofan. Tapi tidak tahu kenapa, kalau Yofan yang menyampaikan, rasanya jadi berbeda. Padahal dulu Emilia selalu membantah perkataannya.

Apalagi kalau telinganya sudah mendengar kata 'sayang' yang terucap dari bibir tipis kemerahan Yofan itu. Hidup Emilia bag diguncang gempa bumi dadakan yang membuat tubuhnya sempoyongan karena tidak kuat menahan getarannya.

Maksudnya, getaran asmara ya, bukan getaran yang lain. Hehe

Cinta itu datangnya tak terduga. 

Tidak memandang seperti apa. 

Tidak memandang dia siapa.

Jika ada cinta yang masih punya alasan,

Tentu itu bukanlah sebuah cinta. 

Melainkan bisikan nafsu belaka. 

Sebuah hubungan yang diawali dengan kepura-puraan, maka tidak akan pernah menemukan sejatinya kebahagiaan. 

***

Sebuah rangkaian nasihat itu hadir dari seorang pria yang Emilia kenal, satu tahun yang lalu. Dia adalah seorang lelaki dewasa muda, dengan usia lima tahun lebih tua darinya. Mereka berdua bertemu di sekolah, saat ada acara sosialisasi dari Polres Kota Gerbangkertosusila–sebuah nama julukan populer kota kelahiran Emilia.

Ya, benar. Dia adalah Bripda Yofan Aditama Andhira yang saat ini menjadi kekasihnya, sejak delapan bulan yang lalu.

Pesan itu tiba-tiba muncul dalam ingatannya, saat jelang tidurnya. Mungkin karena Emilia terbiasa merenung sebelum tidur malam. Dia juga teringat kalau dulu dia sangat cuek banget karena bisa dibilang, sulit jatuh cinta.

Kisah Sore Itu

Pukul tiga Sore, bel pulang berbunyi. Emilia segera mengemas bukunya dan memasukkannya kedalam tas. Dia keluar dari kelasnya bersama Feni dan Puspa. Tak lama, Niko dan Andi pun muncul–berdiri berjajar, disamping Feni yang sedang mengobrol dengan Emilia untuk mengajak dia makan di kantin, sebelum pulang.

“Aduh, sorry ya, aku gak bisa. Next time aja ya, Fen. Soalnya aku udah ditungguin Mas Yofan didepan,” ujarnya dengan alis berkerut.

“Yof–fan?!” ucap Niko dan Feni bersamaan.

“Iya, aku tadi diantar dia kesini,” ujar Emilia.

“Udah ya, aku duluan. Dada!” Dia berlari sembari berteriak dan melambaikan tangannya ke sahabat-sahabatnya.

Sesuai perjanjian, Yofan menjemput Emilia didepan kantor TNI-AD–samping sekolah. Mereka berdua tidak segera pulang, tetapi mampir ke kafe dulu untuk makan siang berdua.

“Dorr!!" Emilia menepuk bahu Yofan, hingga lelaki itu tersentak.

"Kebiasaan, ya. Hobi banget, bikin orang jantungan."

"Maaf ya, jadi nunggu lama.” Emilia mengambil helm yang sudah Yofan bawakan dari rumah, lalu memakainya.

“Ke kafe dulu, ya … Makan siang. Mau, 'kan?” tanya Yofan.

Emilia mengangguk. Yofan melajukan motornya sembari menanyakan kegiatan sekolah Emilia hari ini.

Pertanyaan itu memang selalu dia tanyakan di setiap harinya dan sudah menjadi kebiasaannya sejak awal bertemu hingga saat ini.

Sudah delapan bulan lebih, mereka jadian. Yofan tak pernah menyangka akan bisa mendapatkan Emilia. Pasalnya, dia adalah gadis yang susah di dekati dan cenderung cuek.

Mereka berdua tiba di kafe pukul 15.20, saat kondisi kafe sedang sedikit sepi. Suasana yang tenang dan nyaman untuk makan berdua, pikir Yofan.

"Duduk di sana saja ya, Dek ..." Dia menunjuk tempat lesehan dekat dengan kolam ikan.

"Okey, terserah Mas aja," ucap Emilia.

"Btw, selama kamu jadi pacarnya Mas, kamu bahagia, nggak sih?"

Pertanyaan konyolnya membuat Emilia tersedak minuman.

"Ngapain, nanya begituan? Ya seneng, lah. Kalau gak seneng, ngapain bertahan sampai hampir setahun? Konyol banget," jawabnya mulai ketus.

Dua puluh menit kemudian, mereka kembali melanjutkan perjalanannya menuju rumah Emilia.

***

Tiba di rumah Emilia, Yofan tampak terburu-buru dan ingin segera berpamitan pulang. Sebab, masih ada urusan lain yang harus dia urus.

Yofan tiba di rumahnya tepat saat senja–15 menit sebelum adzan Maghrib berkumandang. Selama di perjalanan pulang, dia sudah menyusun kegiatannya mulai selesai Maghrib hingga jam sepuluh malam nanti.

Namun mood nya memudar bagai tertiup badai tsunami, ketika mendengar teriakan kemarahan Ilmi–kakaknya yang tiba-tiba meledak begitu saja, bagaikan bom hirosima versi masa kini.

"Dari mana saja, kamu? Pasti klayaban dulu sama bocil itu, 'kan?!" teriaknya.

"Maksud Mbak Ilmi apa ya, tiba-tiba ngomong begitu?" Pria berusia dua puluh dua tahun itu berdiri dibawah tangga sembari memandang Ilmi yang sedang berada di tangga.

"Mbak tahu, kamu sedang pacaran sama muritnya Mbak. Pacarmu Emilia, 'kan?" Ilmi turun dari tangga dan menghampiri Yofan.

Mereka saling bertatap mata, tanpa sepatah kata pun. Hati Yofan bergemuruh bagaikan ombak. Dia tidak suka terlalu diatur untuk hal pribadinya.

"Mbak tidak setuju kalau kamu pacaran sama Emilia. Dia masih terlalu kecil untuk kamu dan dia tidak sepadan dengan kamu!" pekiknya.

"Putuskan dia. Masih banyak gadis di luar sana yang lebih baik dan layak untuk kamu," ucap Ilmi–melanjutkan perkataannya dengan mimik wajah sedikit meredup.

Yofan tersenyum miring, “Yang tahu baik buruknya untuk aku, itu aku sendiri, Mbak."

"Kamu tidak berhak ikut campur urusanku," imbuhnya.

Mata Ilmi membulat–kaget, "Oh ... begitu, ya. Jadi sekarang kamu sudah berani bantah Mbak? Asal kamu tahu, Emilia itu anaknya orang jahat. Orang tua dia yang membuat papah di PTDH dari kantornya. Sekarang kamu mau pungut dia?!" teriak Ilmi lagi.

Yofan terkejut mendengar ucapan kakaknya. Dia tak lagi bisa berkata apa-apa, selain diam dengan irama jantungnya yang mendadak berdetak kencang. Percaya tidak percaya adalah perasaan yang ia alami saat ini.

Yofan tak ingin berdebat lagi dengan kakaknya, apalagi adzan sudah berkumandang. Dia pergi meninggalkan Ilmi.

***

Pukul tujuh malam, suara sambungan telepon terdengar dari dalam kamar Yofan. Cukup lama dan bahkan berkali-kali, setelah sambungan terputus. Yofan semakin panik bercampur penasaran karena teleponnya tak kunjung diangkat.

"Tidak. Ini pasti akal-akalan Mbak Ilmi saja, biar aku bisa putus sama Lia. Tidak mungkin orang tua Lia sejahat itu," gumamnya dalam hati.

Dia mencoba menghubungi Emilia sekali lagi, namun tak kunjung diangkat. Saat Yofan hendak mematikannya, Emilia mengangkat teleponnya.

"Halo, ada apa, Mas?" Lirih dan sedikit serak suara Emilia, seperti sedang sakit.

"Suara kamu kok beda? Kamu kenapa?" tanya Yofan–penuh cemas.

"Gak kenapa-kenapa. Baru bangun tidur. Capek, habis kerjakan banyak tugas. Tumben, kamu malam-malam telepon aku. Ada apa?" tanya Emilia lagi.

Yofan menghela nafas dan memilih to the point menceritakan maksud dan tujuannya menelpon Emilia malam ini. Dia tak ingin berlama-lama dalam rasa penasarannya.

"Apa benar, orang tua kamu yang menyebabkan papaku di PTDH?" Suara Yofan sedikit bergetar.

"Wadu …,h. Kalau soal itu aku gak tahu ya, Mas. Coba tanyakan sendiri ke ibu aku besok," ucap Emilia.

Gadis itu mendadak double L (lholak lholok) bagai orang yang sedang over dosis. Pasalnya, dia tidak tahu menahu perihal permasalahan orang tuanya di masa lalu.

Yofan merasa sedikit kecewa dengan jawaban Emilia, saat itu. Namun dia harus menghargai keputusan Emilia. Beberapa menit kemudian, Yofan mengakhiri teleponnya dan memutuskan untuk tidur.

***

Minggu pagi yang keabu-abuan.

Seperti hatiku yang diterpa keresahan.

Akan kah hari ini kudapatkan jawaban?

Atas misteri ketidak adilan.

Yang telah lama kucari informasinya.

***

Sebuah tulisan yang Yofan tulis di WhatsApp story-nya pada hari Minggu ini. Feni dan Puspa sempat mengintipnya, namun mereka tidak meninggalkan komentar apapun.

Jam sembilan pagi ini, Yofan pergi ke rumah Emilia untuk mengajaknya jalan-jalan. Berpakaian kemeja merah bata dan celana jins, terlihat begitu sangat gagah dan mempesona. Parfum wangi khas Garuda Air adalah ciri khas penampilannya.

"Wangi banget, mau kemana?" tanya Ilmi.

"Tidak perlu kepo. Urus saja urusanmu sendiri." Yofan sengaja menjawab ketus, agar Ilmi tidak lagi mengganggunya.

"Pasti mau ketemu Emilia, 'kan?" Ilmi menunjuk Yofan. Namun Yofan tidak memedulikannya.

Pria berkulit sedikit putih–keluar untuk mengambil motornya di garasi. Dia melajukan motor dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan menuju rumah Emilia, dia berdoa di dalam hatinya, agar tuduhan Ilmi itu salah.

"Aku tidak bisa membayangkan, seandainya omongan Mbak Ilmi benar. Haruskah aku korbankan cintaku?" ucapnya bertanya dalam hati.

***

Tin tin! Klakson motor pria kesayangannya sengaja ia bunyikan saat telah sampai di rumah Emilia.

Cklek. Seorang pria muncul–membuka pintu. Dia adalah Bryan–kakak kandung Emilia yang selalu menyambutnya dengan ramah dan santun.

"Masuk dulu, Bro," kata Bryan.

"Mil, ada Yofan di depan!" teriak nya, kemudian– sambil berjalan menuju kamar Emilia yang biasa dia panggil Emil.

Sampai depan kamar, Bryan menggelengkan kepalanya sambil mendecih. Sebab rupanya, adik satu-satunya itu belum selesai berdandan.

Dia sempat marah ke Emilia, sebab menjadi kebiasaannya, mengulur waktu hanya gara-gara makeup yang tak kunjung selesai namun hasilnya tetap biasa saja, bahkan terkadang bagi Bryan seperti ondel-ondel hendak ke kondangan.

Namun gadis kecil itu hanya meringis, seperti biasa. Tidak pernah peduli dengan ucapan kakaknya. Dia pergi menuju ruang tamu untuk menemui Yofan.

"Hei … maaf ya, menunggu lama." Dia duduk disamping Yofan.

Tetapi Yofan hanya melirik Emilia sekilas saja. Dia lebih fokus melihat langit yang semakin kelabu.

"Berangkat sekarang, ya. Biar tidak kehujanan," ujarnya.

"Oke, siap …" Emilia berjalan keluar–mendahului Yofan.

***

Tiba di taman yang indah dan terletak di pegunungan yang sejuk, Emilia berkali-kali minta tolong Yofan untuk memotretnya dengan ponsel pribadi miliknya. Dia berpose sangat PD layaknya seorang model.

Melihat Emilia bisa sebahagia itu, membuat Yofan terharu dan tak ingin melepasnya begitu saja. Dia ingin tetap bersama gadis kecil itu. Apapun dan bagaimanapun keadaannya.

"Wah, ada ayunan …! aku mau kita foto berdua di ayunan, Mas!" teriak Emilia sembari berlari menuju ayunan.

"Sayang, ada jajanan jadul, tuh. Kamu mau tidak?" tanya Yofan.

"Boleh, Mas." Sang gadis berdiri dan Yofan menggandeng tangannya menuju ke penjual kerak telor–jajanan masa kecil Yofan.

Mereka berdua bernostalgia dengan jajanan jadul itu yang ternyata juga ada di masa kecil Emilia. Rencana mereka berlama-lama di taman hari ini, ternyata tak sesuai ekspektasi. Sebab mendung yang semakin menghitam, mengharuskan mereka kembali pulang.

***

Tiba di rumah Emilia, tepat saat gerimis mulai turun rintik-rintik.

"Dek, saya mau bicara soal semalam sama ibu kamu," ucap Yofan.

Emilia menepuk dahinya, "Untung saja, Mas Yofan ingatkan lagi. Jujur, aku udah lupa, Mas. Sebentar ya, aku panggilkan."

Yofan menganggukkan kepalanya. Dia menunggu di sofa ruang tamu dengan penuh ketegangan, layaknya orang akan disidang oleh Hakim.

Tak ada henti-hentinya dia berdoa, agar semua pikiran buruknya salah dan hubungannya tidak hancur berantakan.

"Ada apa, Mas?" tanya seorang wanita berusia kepala empat.

"Mohon maaf, Bu, sebelumnya. Semalam, saya dapat informasi dari kakak kandung saya tentang ibu dan suami ibu. Katanya, ibu dan suami ibu yang membuat papah saya di PTDH oleh kantornya. Apa benar begitu? Jika benar, mohon kejujurannya untuk menceritakan alasannya ke saya. Karena saya berhak tahu," ujar Yofan dengan penuh gugup.

Tipu Muslihat

"Sebenarnya, kami gak ada niat membuat papah kamu di pecat. Urusan pemecatan, itu murni keputusan dari kantor papah kamu." Bu Dewi dan Yofan saling memandang.

Dan Emilia? Dia hanya bisa menjadi pendengar yang baik. Meski dirinya sudah tak sabar ingin tahu kronologi masalah orang tuanya yang bertahun-tahun mereka pendam bagai harta karun Tuan Menir.

"Saat itu …, papah kamu menabrak bapak-nya Emil dan hendak melarikan diri. Namun saya berhasil mencegahnya dengan dibantu beberapa pengguna jalan raya yang ada di TKP." Bu Dewi memandang lurus ke depan.

Dia sama sekali tidak melihat wajah Yofan.

Mendengar cerita pengakuan dari ibunya, Emilia terkejut. Dia sempat merasa sedikit kecewa atas sikap keluarganya Yofan yang ternyata tidak memiliki rasa tanggung jawab.

Namun, cintanya dengan Yofan mengalahkan kekecewaannya. Dia yakin, setiap orang pasti punya masa lalu buruk dan setiap orang punya hak atas masa depannya yang lebih baik.

"Saat itu, papah kamu membawa bapak-nya Emilia ke rumah sakit dan membayar administrasinya saja. Lalu dia menghilang, hingga berminggu-minggu. Jujur, saya memang gak terima dengan sikap papah kamu. Apalagi, ibu saya juga seorang Polwan yang baru saja pensiun dua tahun, pada masa itu. Jadi, saya merasa gak dihargai."

"Tapi, semua sudah kami maafkan, Mas. Biarkan itu semua menjadi masa lalu," sambungnya.

Bu Dewi tersenyum sembari memandang wajah Yofan yang sudah semburat merah.

Dia lalu menawarkan minum kepada pemuda itu. Namun Polisi muda yang sudah ia anggap anaknya itu ... hanya diam termenung.

Bu Dewi kembali ke dapur untuk membuatkan kopi dan memasakkan nasi goreng untuk ketiga anaknya yang sedang berkumpul di rumah, hari ini.

"Mas Yofan. Kok bengong, sih. Udah, gak usah dipikirin, Mas. Biarkan itu terkubur dan jangan diingat lagi. Mending makan, yuk. Di da—" Belum selesai berbicara, Yofan sudah berlari keluar untuk memindah motornya ke teras rumah karena hujan cukup deras, tiba-tiba turun.

"Masukkan ke garasi saja, Bro!" teriak Bryan sembari membuka pintu garasinya dari dalam rumah.

"Siap, Mas!" teriak Yofan.

Yofan kembali masuk ke rumah, disambut oleh Emilia yang menyodorkan handuk biru benhur dengan variasi sulaman pita yang membentuk namanya.

"Kok ada nama saya?" Yofan tersenyum.

"Kan pacarku Yofan. Masa aku sulam namanya Gatot." Bibir tipis Emilia tertarik sedikit maju.

Yofan menerima handuknya, "Siapa itu Gatot?" tanya nya seraya mengeringkan rambutnya.

"Nah, itu ... Gatot ..." Jari telunjuk mungil Emilia menunjuk ke kandang kucing anggora miliknya.

Yofan terkekeh seraya mencubit hidung Emilia. Dia merangkul gadis kecilnya sembari berjalan menuju ruang makan. berkumpul di ruang makan untuk makan bersama.

Selesai makan, Bu Dewi menceritakan masa kecil Emilia yang super bandel, tapi selalu membuat rindu banyak orang.

"Iya, Bu. Lia ini suka susah kalau dikasih tahu. Tapi entah kenapa, saya justru semakin sayang," godanya.

"Preet ..." Mereka semua tertawa, menertawakan Emilia.

Dua menit kemudian, hujan telah reda dan Yofan berpamitan pulang. Dia memintaa maaf kepada Bu Dewi dan Bryan atas perbuatan papanya dimasa lalu, sekaligus berterima kasih.

***

"Aku benar-benar tidak menyangka, papaku setega dan sejahat itu. Apalagi Mbak Ilmi. Tega sekali mereka menyebar fitnah dan kebencian, tanpa mencari tahu kebenarannya dulu. Semua telah percaya dengan cerita papah yang penuh tipu muslihat, hingga bertahun-tahun." Yofan terus menggerutu dalam hatinya, sembari berkendara.

Ciit! Bragkh. Yofan hilang kendali dan bertabrakan dengan sebuah mobil. Badan atletisnya tersungkur–tertimpa motor yang ia kendarai.

Kaca helmnya sedikit retak dan kepalanya menjadi pusing. Suara riuh terdengar dan teriakan 'tolong!' juga samar-samar terdengar di telinganya.

"Mas, sampean gak apa-apa?" tanya seorang pemuda yang wajahnya belum terlihat jelas dimata Yofan.

"To–tolong, baw–a saya ke Rumah Sakit Bhayangkara." Yofan berusaha menguatkan dirinya untuk berdiri.

"Biar kami bantu, Mas." Kedua pemuda dengan logat Jawa medok–menuntunnya masuk ke mobil untuk dibawa ke rumah sakit yang dia mau.

Selama di dalam mobil, hanya perih yang dapat ia rasakan. Bahkan untuk berbicara pun belum kuat. Tetapi, dia berusaha menguatkan diri untuk mengirim pesan ke Emilia.

Yofan : Sayang, aku kecelakaan dan sekarang sedang otw Rs.Bhayangkara. Kalau kamu ada waktu, tolong temani aku di sini. Aku butuh kamu.

Sebuah pesan WA sengaja Yofan kirimkan ke Emilia, Sore ini. Namun hingga selesai Maghrib, belum juga ada balasan pesan dari gadis yang dia cintai. Kegelisahan pun mulai melanda hatinya. Negatif thinking pun bersarang dalam pikirannya.

***

"Pak Yofan, kami pindahkan ke kamar pasien ya, Pak ..." ujar dua orang suster dan satu dokter yang sedang bertugas.

Tiba di kamar pasien, Yofan kembali membuka HP nya dan melihat ceklis di WA nya yang dia kirim ke Emilia. Ceklis dua berwarna abu-abu itu membuatnya kesal.

Ibu jarinya kini mengetik pesan untuk papanya, agar segera datang ke rumah sakit. Tetapi hal yang sama pun terjadi. Yofan mendecih kesal–merasa tidak ada yang mau peduli dengannya.

"Percuma hidup sama orang banyak, kalau pada ilang semua, disaat aku butuh," gerutunya sembari meletakkan HP nya di meja dengan kasar.

Sementara di luar kamar pasien, Puspa dan Emilia berjalan tergesa-gesa dengan wajah panik–mencari kamar Yofan.

Dahlia 3 VIP.

"Akhirnya, ketemu juga, ini kamar," ujar Emilia dan Puspa.

Cklek. Pintu kamar pasien, dia buka perlahan.

"Assalamualaikum. Mas Yofan, kamu gak papa, 'kan?" Emilia berjalan cepat–mendekati Yofan dan cek keadaannya.

"Loh. Kok kamu disini? Bukannya pesan saya belum kamu baca, ya?" Yofan terlihat kebingungan.

Emilia menjelaskan padanya kalau ceklis biru dia matikan. Mendengar kata itu, Yofan menghela nafas berat sembari menggerutu lirih. Namun Emilia tidak menghiraukannya sama sekali.

"Saya tidak apa-apa, kok. Hanya pusing dan luka ringan sedikit. Sebentar lagi juga pasti sembuh," ujarnya.

"Kok bisa kecelakaan, sih. Bagaimana ceritanya, Pak?" tanya Puspa–seorang gadis yang pernah mengidolakannya dan berharap menjadi kekasihnya.

Yofan menceritakan kronologi kejadian yang menimpanya dari awal. Namun sayangnya, cerita itu harus terputus karena ada telepon dari papanya.

Yofan meminta tolong papanya untuk melaporkan kejadian yang menimpanya ke Polisi. Sebab, pelaku yang menabraknya telah melarikan diri menggunakan mobil.

Tentu saja, sebagai orang tua, Pak Bimo segera membuat laporan dan menyuruh pihak Polisi untuk mengusut kasus tabrak lari hingga tuntas.

"Emangnya kamu tahu pelakunya, Mas?" Emilia menatap Yofan.

"Saya sempat lihat jenis, warna dan plat mobilnya, Sayang," jawabnya.

"Emm ... Lia, aku ke kantin dulu ya, beli minum. Haus banget, soalnya," kata Puspa.

"Aku nitip, ya. Air mineral yang dingin. Botol besar satu, botol sedengan satu." Emilia mengeluarkan selembar uang biru dari dalam tasnya.

Di dalam kamar pasien, hanya ada Emilia dan Yofan. Mereka berdua punya banyak waktu dan kesempatan untuk saling mencurahkan isi hatinya. Meskipun sedang sakit, rupanya Yofan masih memiliki tenaga dan minat untuk merayu Emilia.

"Sayang. Kamu tahu perbedaan tanggal dua puluh delapan Oktober dan dua puluh sembilan Oktober, tidak?" tanya Yofan, sembari memandang Emilia yang duduk di samping tempat tidurnya.

"Jelas beda, lah. Beda hari nya," jawab Emilia.

"Salah, bukan hari," ujar Yofan.

"Lah, terus? Ya pasti hari nya yang beda. Masa hari nya sama semua. Aneh-aneh aja," gerutu Emilia.

Yofan tertawa lirih dan mengatakan sekali lagi pada gadisnya kalau jawaban gadis itu salah. Dia menyuruh Emilia untuk berpikir lagi, namun Emilia menolak.

"Yang benar itu ..., kalau 28 Oktober hari sumpah pemuda, kalau 29 Oktober itu ... sumpah aku mencintaimu. Sarang Haeyo ..." Yofan menyatukan ibu jari dan telunjuk tangan kananya, membentuk simbol cinta ala-ala Korea.

"Ha, apa? Sarang beo?" Emilia terkekeh–menertawakan kekasih konyolnya.

Tawa Emilia dan Yofan tiba-tiba lenyap. Ruangan kamar pun hening, saat mereka mendengar dan melihat seorang wanita bertubuh tinggi besar, sedang bertepuk tangan dan berdiri di depan pintu kamar Yofan.

Wajah wanita itu tergambar sangat menyeramkan bagaikan keturunan kuntilanak blesteran mak lampir.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!