Yessss
Horeeee
Kalimat-kalimat tersebut terus menggema dari bibir anak-anak yang saat ini tengah berbahagia karna merayakan kelulusan mereka.
Dari semua anak-anak yang tengah berbahagia tersebut, ada seorang gadis yang tidak ikut larut dalam euforia kebahagian itu, padahal dia tidak hanya lulus seperti teman-temannya yang lain, tapi dia juga adalah lulusan terbaik disekolahnya, SMA PERTIWI salah satu sekolah elit di Jakarta, tapi hal itu tidak bisa membuat bibirnya tersenyum meskipun hanya sebuah senyuman tipis.
Malahan ketiga sahabatnya yang bersorak bahagia saat mendengar pengumuman dari kepala sekolah mereka kalau gadis bernama Gabriela Alvaro merupakan lulusan terbaik tahun ini.
"Geb, lo lulusan terbaik disekolah kita, selamat ya." Imel memeluk Gebi dengan penuh antusias.
Bergiliran kemudian Juli yang memeluk Gebi, "Lo benar-benar keren Geb, hebat hebat." puji Juli, "Pasti om dan tante sangat bangga sama elo."
Gebi hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan selamat yang dilontarkan oleh sahabat-sahabatnya tersebut, rasanya sangat susah untuk tersenyum, tapi dia mengusahakan untuk tersenyum supaya ketiga sahabatnya tidak curiga kalau saat ini dia tengah gundah gulana.
Yang terakhir memberikan pelukan adalah Nuri, "Jangankan tante dan om, kami juga sangat bangga sama lo Geb, dengan nilai yang lo dapatkan, lo dengan bebas dah memilih universitas mana yang mau lo masuki, gak kayak kami yang harus berjuang keras kalau ingin masuk universitas impian kami."
"Kalian terlalu berlebihan memuji gue." respon Gebi.
"Jangan lupa ya Geb, makan-makannya untuk merayakan keberhasilan elo."
Gebi hanya mengangguk, intinya untuk saat ini dia tidak memperdulikan apakah dia menjadi lulusan terbaik dengan nilai tertinggi karna ada hal yang lebih penting daripada itu yang membuat hatinya tidak bisa tenang sejak tadi pagi.
Disaat suasana hatinya tengah tidak menentu begitu, seorang laki-laki menghampiri Gebi, laki-laki tampan itu tersenyum pada Gebi.
"Selamat ya Geb, kamu jadi lulusan terbaik, aku senang dengarnya." ujar laki-laki bernama Jefri tersebut mengulurkan tangannya untuk memberi semangat yang dibalas oleh Gebi.
Laki-laki itu juga yang sekaligus membuat hati Gebi gundah gulana, laki-laki yang telah berstatus sebagai pacarnya selama dua tahun ini, namun hubungan kasih yang mereka jalin selama ini sepakat untuk mereka rahasiakan sehingga tidak ada satupun dari teman-teman mereka yang tahu akan hubungan mereka.
Sikap mereka saat didepan umum tidak menunjukkan kalau mereka menjalin hubungan spesial, teman-teman sekolah mereka selalu beranggapan kalau hubungan mereka hanya sebuah hubungan antara teman sekelas belaka, bahkan ketiga sahabat Gebipun tidak ada yang tahu menahu kalau Gebi berpacaran dengan Jefri.
Gebi mengangguk dan memandang laki-laki yang telah memenuhi relung hatinya itu selama dua tahun itu dengan penuh arti, reflek saja Gebi memegang perutnya yang rata.
"Gebi doank nieh yang dikasih selamat, kita-kita enggak dikasih selamat juga." cletuk Imel.
Jefri memandang ketiga sahabat Gebi dan memberikan selamat juga karna mendengar cletukan Imel barusan, "Selamat juga ya Mel, Nur, dan Juli atas kelulusan kalian." senyumnya.
"Selamat juga untul lo ya Jef."
Jefri tersenyum menanggapi ucapan Nuri.
"Ya udah Geb, semuanya, aku balik ke teman-temanku dulu." pamitnya, namun saat akan berbalik, Gebi menahannya.
"Jefri, tunggu."
Otomatis Jefri mengurungkan niatnya.
"Aku mau bicara sama kamu."
Ketiga sahabat Gebi saling melempar pandangan satu sama lain, dalam hati mereka tentu saja bertanya-tanya apa gerangan yang akan dibicarakan oleh Gebi dengan Jefri karna sepertinya Gebi terlihat serius.
Jefri mengangguk, "Oke, dimana."
"Ikut aku."
Gebi berjalan dan Jefri mengikuti Gebi dibelakang.
"Apa sieh yang mau diomingin Gebi sama sik Jefri, gak mungkin Gebi akan nembak Jefrikan." gumam Imel menyuarakan isi hatinya.
"Jangan ngaco lo Mel kalau ngomong." sanggah Nuri.
"Ya mungkin saja mereka akan membicarakan tentang buku, atau sains atau entahlah, namanya juga mereka sama-sama pintar, meskipun sekolah telah berakhir, tapi pembahasan tentang ilmu pengetahuan tetap berlanjutkan."
Dan satupun dari sahabatnya tidak ada yang menaruh curiga dengan hubungan Gebi dan Jefri saking apiknya mereka menyimpan hubungan mereka.
Gebi membawa Jefri menuju lab kimia, tentu saja tempat itu saat ini kosong, Jefri menutup pintu lab begitu mereka berdua sudah berada didalam, dan saat mereka tengah berdua, Jefri langsung memeluk Gebi, sesuatu hal yang tidak bisa dia lakukan didepan teman-teman mereka.
"Sekali lagi selamat ya sayang." Jefri mengelus puncak kepala Gebi, "Kamu benar-benar gadis kebanggaanku."
Gebi hanya diam, dia tidak membalas pelukan Jefri apalagi membalas ucapan selamat yang dikatakan oleh Jefri, dia hanya sibuk merangkai kata-kata yang akan dia katakan pada Jefri, dan hal itu membuat Gebi tegang, itu bisa dirasakan oleh Jefri.
Jefri mendorong bahu Gebi pelan, dia baru memperhatikan kalau wajah kekasihnya itu terlihat tegang dan pucat, "Sayang, heii, kamu kenapa, kamu sakit." tanyanya khawatir.
Gebi menggeleng pelan.
"Terus kamu kenapa, kenapa wajah kamu pucat begini hah, kamu ada masalah, ayok ceritakan sama aku." cecar Jefri.
"Jef, aku ingin mengatakan sesuatu hal yang penting sama kamu, dan aku harap, kamu jangan kaget."
"Kaget, emang apa yang ingin kamu katakan Geb, ayok katakan."
"Hmmm." Gebi terlihat ragu untuk mengatakannya, dia memilin-milin tangannya.
Melihat tingkah sang kekasih, Jefri meraih tangan Gebi dan menggenggamnya, tangan Gebi terasa dingin, "Ada apa sieh sebenarnya Geb, ayok katakan apa yang ingin kamu katakan." desaknya tidak sabaran.
"Jefri, kamu berjanji ya tidak akan marah sama aku kalau aku mengatakannya."
Jefri mengangguk dengan yakin, "Aku berjanji tidak akan marah."
Gebi menarik tangannya dari genggaman Jefri, dari saku kemeja putihnya dia mengeluarkan sesuatu benda kecil agak panjang dan menyerahkannya pada Jefri.
Jefri menatap Gebi bingung sebelum mengambil benda yang disodorkan oleh Gebi, dia tahu benda apa itu, tespeck, benda yang sering digunakan oleh perempuan untuk mengetes kehamilan, dan Jefri memiliki dugaan, dan dia berharap kalau dugaannya salah, tapi sayangnya harapannya tidak terkabul, wajah Jefri mengeras saat melihat dua garis merah pada benda tersebut, Jefri menatap Gebi dengan tajam, tidak ada kelembutan dimata itu seperti yang biasa Jefri tunjukkan pada Gebi sebelumnya.
"Geb, jelasin ini apa maksudnya." tuntut Jefri.
Jefri sieh sudah tahu apa arti dari dua garis merah itu, tapi dia berharap Gebi mengatakan hal itu cuma candaan belaka dan mengatakan kalau benda tersebut milik orang lain.
"Aku hamil Jef, aku hamil anak kamu." jawab Gebi menjawab keingintahuan Jefri, Gebi menatap Jefri ingin tahu ekpresi wajah Jefri saat mengatakan hal tersebut.
Raut wajah Jefri tidak bisa dijelaskan, entah apa yang saat ini dia rasakan, mungkin marah, kecewa, kesal yang jelas saat ini Jefri tidak dalam keadaan suasana hati yang bahagia mendengar berita yang disampaikan oleh Gebi, ya iyalah dia tidak bahagia, kalau Gebi hamil, bagaimana dengan masa depannya, dia ingin kuliah dan bekerja, bukannya menikah dan menjadi seorang ayah.
****
Oke, mungkin Jefri ingin menikah, tapi tidak saat ini juga, dia masih sangat muda, masa depanya masih panjang, ada banyak hal yang ingin dicapai dalam hidupnya yang tidak bisa dia capai kalau dia menikah.
Hari ini seharusnya menjadi hari yang bahagia untuk mereka mengingat ini adalah hari kelulusannya dan Gebi, apalagi Jefri juga termasuk salah satu murid cerdas disekolah yang masuk lima besar dengan nilai tertinggi, harusnya mereka coret-coretan dan konvoi merayakan hari kelulusan mereka dengan teman-teman mereka yang lain, bukannya malah mendengar berita yang tidak pernah diharapkan seperti ini, berita itu berhasil membuat Jefri menjambak rambutnya frustasi, namun kemudian, dia teringat satu hal.
"Apa benar anak yang dikandung oleh Gebi anakku, aku dan dia melakukannya cuma sekali, apa bisa hal itu membuat Gebi hamil." batinnya meragukan apa yang dikatakan oleh Gebi.
Dan apa yang ada difikirannya itu dia lisankan, "Yakin itu adalah anakku."
Gebi menganga mendengar apa yang dikatakan oleh Jefri, Gebi yakin kalau Jefri akan kaget mendengar berita yang dia sampaikan, bahkan Gebi yakin kalau Jefri akan memintanya untuk menggugurkan kandungannya, tapi Gebi tidak pernah menyangka kalau Jefri akan mengatakan kata-kata yang menyakitkan seperti itu, hatinya benar-benar sakit, dia yang tadinya memberitahu akan kehamilannya untuk mengajak Jefri untuk mencari solusi bersama atas kehamilannya, namun, kata-kata Jefri barusan membuat Gebi mengurungkan niatnya, dia tidak menyangka kalau Jefri tega mengatakan hal tersebut kepadanya.
"Yakin itu adalah anakku." kata-kata itu terus terngiang-ngiang dikepala Gebi dan membuat hatinya seperti ter iris iris, "Dia fikir aku gadis apaan, apa dia fikir aku gadis murahan yang tidur dengan laki-laki manapun."
Tanpa bisa dibendung, air mata Gebi jatuh dengan derasnya membasahi pipinya yang pucat, Gebi tertekan dengan apa yang saat ini dia alami, dia tidak pernah menyangka kalau perbuatannya dengan Jefri itu bisa membuahkan janin yang mulai tumbuh diperutnya, dan sekarang, Jefri bukannya memberikan solusi atas apa yang tengah dia alami, malah mengatakan hal yang membuat hatinya hancur berkeping-keping.
Jefri tahu dia salah, tidak seharusnya dia meragukan Gebi, Gebi adalah gadis baik-baik dan tidak mungkin melakukan hal tersebut dengan sembarang orang, melihat wajah shock dan air mata Gebi membuatnya menyesal, dia mendekati kekasihnya itu.
"Geb aku..." Jefri berusaha meraih tangan Gebi namun Gebi menepis tangan Jefri, dia tidak sudi dipegang oleh Jefri, laki-laki yang dengan teganya tidak mengakui janin yang saat ini dia kandung.
"Jangan sentuh aku, aku benci sama kamu Jef, benciiiii." Gebi menjerit histeris mengeluarkan amarahnya.
"Geb, maafkan aku, aku....."
"Mulai hari ini, kita berakhir Jef, jangan pernah temuin aku lagi." Gebi berkata tanpa berfikir.
Dan setelah mengatakan hal tersebut, Gebi berlari keluar dari ruang lab tersebut, hatinya benar-benar sakit, entah apa yang nantinya akan dia hadapi, entah bagaimana reaksi orang tuanya saat mengetahui kalau anak yang selalu mereka harapkan dan bangga-banggakan hamil diluar nikah, saat ini Gebi tidak ingin memikirkannya karna dia disibukkan dengan rasa sakit yang disebabkan oleh orang menyebabkannya hancur seperti ini.
Bukannya mengejar Gebi hanya sekedar untuk membujuk Gebi atau menenangkannya, Jefri malah terduduk dan mencerna apa yang sebenarnya terjadi, dia menggeleng, "Gebi hamil, Gebi hamil." ulangnya berkali-kali, "Tidak bisa, aku tidak bisa membiarkan hal ini terjadi, kami masih sangat muda, kami sama-sama belum siap untuk menjadi orang tua, lagipula bagaimana aku bisa menghidupi hidup kami nantinya, mana bisa aku mencari pekerjaan hanya dengan mengandalkan ijazah SMAku, lagipula apa kata orang tuaku nanti." Jefri hanya bisa mengacak-ngacak rambutnya saking frustasinya.
Sementara itu Gebi, tidak peduli dengan tatapan teman-temannya yang masih merayakan kebahagian mereka dilapangan sekolah dengan coret-coretan dan saling bertukar tanda tangan diseragam masing-masing, Gebi terus berjalan dengan air mata yang tidak bisa dia tahan dibawah tatapan heran teman-temannya itu.
"Gebiiiii." Imel melambai untuk menarik perhatian Gebi saat dilihatnya sahabatnya itu.
Gebi reflek menoleh saat namanya dipanggil, Gebi bisa melihat kalau ketiga sahabatnya kini dipenuhi oleh coret-coretan diseragam mereka sehingga sudah tidak kelihatan putih lagi, wajah ketiga sahabatnya dipenuhi oleh senyum kebahagian, dan seharusnya Gebi juga ikut berbahagia dengan sahabat-sahabatnya, sayangnya masalah berat yang dia hadapi tidak membiarkannya untuk merasakan yang namanya kebahagian.
"Gebbbb, ayok sini gabung sama kami." teriak Juli.
Gak mungkin melakukan hal tersebut, tanpa menggubris sahabat-sahabatnya, Gebi langsung pergi dengan langkah setengah berlari.
Dan hal itu membuat ketiga sahabatnya mengerutkan kening, mereka bingung dengan Gebi.
"Gebi kenapa, dia kayaknya nangis deh." tanya Nuri.
"Apa Jefri menyakitinya." duga Juli.
Mereka mencoba mencari keberadaan Jefri, dengan mengedarkan pandangan mereka kesekeliling, tapi mereka tidak melihat keberadaan Jefri diantara kerumunan anak-anak yang kini pada tengah sibuk coret-coretan dan berteriak-teriak.
"Kejar Gebi yuk, gue takutnya dia kenapa-napa lagi." saran Imel yang langsung disetujui oleh Juli dan Nuri.
Sayangnya, Gebi sudah lebih dulu memasuki taksi sehingga ketiga sahabatnya tidak bisa mencaritahu penyebab Gebi menangis.
****
"Hikss hikss." Gebi yang sudah tidak tahan menahan sesak didadanya terisak begitu berada didalam taksi, dia tidak peduli dengan sopir taksi yang menatapnya heran melalui kaca spion depan.
"Apa nona baik-baik saja." sik sopir taksi bertanya, agak khawatir juga dia dengan penumpangnya.
Namun Gebi tidak membalas pertanyaan sik sopir, emangnya kalau dia mengatakan masalah yang saat ini dia hadapi, sik sopir itu bisa membantunya, tidakkan.
Karna pertanyaannya tidak respon, sik sopir tidak bertanya lagi, dia hanya membiarkan penumpangnya menangis dibelakang, fikir sik sopir, mungkin yang saat ini dibutuhkan oleh penumpangnya adalah menangis bukannya bercerita, karna untuk sebagian orang, menangis bisa membuat hati menjadi lebih tenang.
"Jahat banget kamu Jef, jahat." rutuknya mengepalkan tangannya menahan kekesalannya.
Ditengah dalam keadaan meratapi nasibnya, Gebi mendengar suara ponselnya berbunyi, dia meraih benda tersebut dari tasnya, nama Juli terpampang dilayar ponselnya, Gebi yakin pasti ketiga sahabatnya itu khawatir saat melihatnya menangis tadi, namun karna saat ini Gebi dalam keadaan tidak ingin berbicara dengan siapapun, dia memilih untuk menonaktifkan ponselnya, yang Gebi butuhkan saat ini adalah ketenangan.
Gebi menyandarkan punggung dan kepalanya disandaran kursi, dia memejamkan matanya yang sudah capek menangis.
"Nona, maaf nona." sik sopir memanggil, dia sebenarnya tidak ingin mengganggu, apalagi kondisi penumpangnya tersebut sudah sedikit tenang sekarang, namun dia harus bertanyakan kemana dia harus mengantarkan penumpangnya tersebut.
Gebi membuka matanya mendengar sik sopir taksi memanggilnya.
"Maaf nona, ini kita mau kemana ya."
Entahlah, Gebi tidak tahu mau kemana, saat ini, dia tidak ingin pulang ke rumah, dia tidak mau mamanya melihatnya yang seperti ini, itu pasti membuat mamanya khawatir dan merongrongnya dengan berbagai pertanyaan, apalagi saat ini adalah hari kelulusannya, yang seharusnya dia bahagia bukannya mengerikan seperti ini.
"Bapak bisa membawa saya ke akhirat gak pak, saya...hiks hikss, saya rasanya tidak ingin hidup pak, saya ingin mati saja."
"Astagfirullan non, jangan berkata begitu non, ya Allah." kaget sik sopir mendengar jawaban Gebi, dia tahu penumpangnya itu tengah ada masalah, tapi dia tidak pernah berfikir kalau gadis yang duduk ditaksinya mengatakan hal yang tidak terduga begitu.
"Istigfar non, Allah tidak suka hambanya yang putus asa, nona itu masih muda dan cantik, jangan pernah sekali-kali berfikir seperti itu ya non, ingat orang tua non dirumah yang selalu menyayangi nona." sik sopir taksi menasehati.
Gebi hanya menangis, dia membenarkan apa yang dikatakan oleh sopir taksi, dia tidak boleh berputus asa seperti ini karna semua masalah pasti ada jalan keluarnya.
*****
Gebi pulang saat sore hari, suasana hatinya tidak bisa dibilang baik, tapi dia mencoba menormalkan wajahnya saat tiba dirumah, dia tidak mau mamanya khawatir kalau melihat wajahnya yang terlihat sedih.
Saat memasuki rumah, mama Putri yang sejak tadi menunggu kedatangan anak gadisnya itu berjalan menyongsong kedatangan Gebi, wanita setengah baya yang masih cantik diusianya yang sudah menginjak kepala lima itu khawatir dengan putrinya karna Gebi sama sekali tidak bisa dihubungi, dia sudah menghubungi ketiga sahabat Gebi, tapi jawaban ketiga sahabat Gebi sama, mereka tidak tahu Gebi dimana, dan itu membuat wanita itu khawatir, dan dia begitu lega saat mengetahui kalau Gebi kini sudah pulang dalam keadaan selamat dan tidak kurang satu apapun.
"Sayang." mama Putri memeluk putrinya semata wayanganya.
"Ma." ingin rasanya Gebi menangis dan menceritakan masalah yang saat ini dia hadapi, tapi sudah bisa dipastikan kalau mamanya akan shock saat mendengar putri kesayangannya yang selalu dia bangga-banggakan ternyata hamil diluar nikah, mamanya pasti tidak akan pernah menyangka kalau putrinya yang penurut, kalem dan tidak pernah terlihat dekat dengan laki-laki manapun hamil.
Mama Putri mengurai pelukannya, dan menangkup wajah Gebi, "Kamu kemana saja sieh sayang, ponsel dimatiin, mama tanyain teman-teman kamu satupun tidak ada yang tahu dimana keberadaan kamu, kamu membuat mama khawatir tahu gak."
"Maafkan Gebi ma, hiks hiks." Gebi kini mulai terisak, "Maafkan Gebi yang membuat mama khawatir."
Melihat putri kesayanganya itu menangis membuat mama Putri khawatir, "Heii, kamu kenapa sayang, apa kamu sakit."
"Gebi emang sakit ma, Gebi disakitin oleh laki-laki brengsek yang tidak mau bertanggung jawab." kata-kata yang tidak mungkin diucapkan, dan sebagai jawaban atas pertanyaan mamanya, Gebi hanya menggeleng.
"Terus kamu kenapa sayang, tidak mungkin kamu tidak luluskan, tadi ketiga sahabat kamu ngasih selamat sama mama, mereka bilang kalau anak kebanggaan mama ini merupakan lulusan terbaik seangkatan disekolah."
Gebi mengangguk, "Iya ma, Gebi memang lulusan terbaik disekolah." lisannya, Gebi menambahkan dalam hati, "Tapi percuma saja ma, percuma saja Gebi jadi lulusan terbaik kalau Gebi hamil."
"Selamat ya sayangku, putri kebanggaan mama dan papa." mama Putri kembali memeluk putrinya.
"Terimakasih mama."
"Tapi kenapa kamu menangis hah." mama Putri mengurai pelukannya.
"Gebi hanya menangis bahagia mama." bohongnya dan mama Putri percaya lagi dengan kebohangan yang dikatakan oleh putrinya tersebut, gimana gak percaya, Gebikan selama ini dikenal tidak pernah bohong.
"Papa pasti akan bangga mendengar kabar ini sayang, mama kasih tahu papa ya." mama Putri meraih ponselnya untuk menghubungi suaminya.
Gebi mengangguk, dalam hati perasaanya diliputi rasa gundah, "Kalian bangga denganku saat ini, tapi kalau tahu aku hamil, akankah kalian masih bangga padaku."
*****
Gebi begitu sangat dibangga-banggakan oleh mama dan papanya, setiap kali ada pertemuan, orang tuanya pasti membangga-banggakannya didepan rekan kerja papanya, dan kini, kebangaan itu berubah, Gebi telah membuat malu orang tuanya dengan kehamilannya.
Gebi bersandar dipintu kamarnya, tubuhnya merosot duduk dilantai menyesali apa yang telah dia lakukan sehingga berbuah janin, hal yang tidak pernah dia harapkan, namun bagaimanapun, penyesalan sudah tidak ada artinya sekarang.
"Haruskah aku menggugurkannya, aku tidak mau melihat mama dan papa menanggung malu karna memiliki anak seperti itu." tiba-tiba pemikiran itu terlintas dibenaknya.
Gebi mengangguk pasti dan dengan penuh keyakinan berkata, "Iya, aku harus menggugurkannya." Gebi reflek mengelus perutnya.
"Lagipula laki-laki yang telah menyebabkanku seperti ini tidak mau mengakuinya, dia benar-benar laki-laki brengsek, gue benci sama dia." Gebi mulai terisak saat mengingat kata-kata menyakitkan yang keluar dari bibir Jefri.
Gebi ingat, dia tidak mengaktifkan ponselnya sejak memutuskan pulang lebih awal dari sekolah, oleh karna itu, Gebi meraih benda tersebut dari dalam tasnya dan mengaktifkannya, begitu benda pipih itu diaktifkan, berlomba-lomba chat masuk ke ponselnya, kebanyakan chat tersebut sieh dari mamanya dan ketiga sahabatnya yang menanyakan dimana keberadaannya dan mengkhawatirkan keadaannya, dan meskipun saat ini dia sangat marah sama Jefri, Gebi berharap laki-laki itu khawatir dan mengechatnya hanya untuk menanyakan kondisinya, tapi ini, satupun tidak ada pesan dari Jefri dan itu membuat Gebi semakin kesal.
"Laki-laki brengsek, laki-laki tidak bertanggung jawab, bahkan sekarang kamu tidak peduli denganku saat mengetahui benih yang kamu tanam kini tumbuh dirahimku." melihat ketidakpedulian laki-laki yang menghamilinya itu membuat Gebi mengumpat, "Aku membencimu Jefri, aku sangat membencimu."
Rasanya Gebi ingin berteriak sekencang-kencangnya hanya sekedar untuk menghilangkan sesak dihatinya, tapi tidak mungkin dia lakukan karna itu bisa membuat mamanya curiga.
"Ya tuhan, kenapa nasibku seperti ini, apa salahku, apa aku tidak berhak bahagia seperti teman-temanku yang lain." Gebi menyalahkan takdir.
Gebi membuka geleri ponselnya, dimana disana terdapat foto-fotonya dengan Jefri, tanpa berfikir, Gebi menghapus foto-fotonya dan Jefri tersebut sampai tidak bersisa.
"Gue benci sama lo Jef, benci."
Ping
Gebi mendengar notifikasi masuk ke ponselnya yang dikirim oleh Juli.
Gebi membuka pesan yang ternyata adalah sebuah gambar ketiga sahabatnya, tidak ada hanya sahabatnya saja, digambar itu juga ada Miun dan Raskin, dua temannya yang iseng, mereka berpose dengan pakaian penuh coretan, gambar tersebut disertai dengan caption.
Seharusnya lo ikut foto sama kami Geb, rasanya ada yang kurang tanpa adanya elo.
Gebi menangis melihat foto tersebut, "Iya, gue harusnya bahagia, gue harusnya bahagia."
****
Gebi mengalami hal-hal yang dialami oleh wanita yang berada dalam fase ngidam pada umumnya, seperti mual-mual dan muntah-muntah dipagi hari, tidak menyukai bau makanan tertentu atau bau parfum yang biasa dia pakai juga tidak dia suka aromanya, dan dia juga sering ingin makanan-makanan tertentu, Gebi seih lebih seringnya ingin makan makanan asam, dan sampai sekarang semuanya masih aman karna tidak ada satupun dari orang rumah yang curiga dengan perubahan Gebi tersebut.
Mama Putri khawatir sieh saat melihat putrinya yang tiap pagi mual-mual, dia berfikir kalau putrinya itu tidak enak badan biasa sehingga dia berniat membawa Gebi ke rumah sakit, namun Gebi menolak dengan alasan kalau istirahat dia pasti akan sehat, selain itu juga, cari mati namanya kalau mengiyakan ajakan mamanya ke rumah sakit, kehamilan yang dia sembunyikan sudah pasti akan terbongkar dan Gebi tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi mama dan papanya kalau tahu anak gadis yang selalu mereka banggakan ternyata hamil diluar nikah.
Hoek
Hoek
Seperti pagi ini seperti sebelum-sebelumnya, Gebi muntah-muntah hebat dikamar mandi yang ada dikamarnya, untungnya kamarnya ada dilantai dua sehingga baik mama dan papanya tidak setiap waktu tahu kalau putri mereka muntah-muntah, tapi bik Siti pembantu rumah tangga dirumah merekalah yang sering memergoki Gebi saat berjuang dikamar mandi untuk mengeluarkan isi perutnya.
Saat itu bik Siti akan mengantarkan sarapan untuk nona mudanya itu atas perintah nyonya majikannya, karna bi Siti sejak tadi mengetuk pintu kamar nona majikannya dan memanggil-manggil namanya namun tetap tidak ada sahutan dari dalam sehingga membuat bik Siti berinisiatif membuka pintu kamar Gebi, dan hal yang pertama yang didengarnya adalah suara muntah-muntah Gebi dari kamar mandi.
"Ya Allah non, kenapa lagi dia." bik Siti bergegas meletakkan nampan sarapan yang dibawanya diatas nakas dan langsung menuju kamar mandi untuk melihat kondisi sang nona muda.
"Nona, astagaa ya Allah gusti."
Bik Siti ikut berjongkok untuk membantu Gebi dengan mengurut tengkuknya.
"Non, non Gebi sebaiknya ke rumah sakit ya non, biar diperiksa oleh dokter gitu lho."
Gebi menggeleng, "Gak usah bik Siti, ini cuma sakit biasa saja, besok juga akan sembuh." kata-kata yang selalu dia ucapkan saat diminta ke dokter baik oleh mamanya ataupun bik Siti.
Gebi mengelap bibirnya dengan tangan kosong, keringat dingin terlihat membasahi dahinya.
Bik Siti hanya bisa mendesah pasrah melihat kekeraskepalaan nona mudanya itu, tapi disini, bik Siti menaruh sebuah kecurigaan, kecurigaan kalau nona mudanya itu hamil, kecurigaan tersebut bukannya tanpa alasan, ciri-ciri yang ditunjukkan oleh nona mudanya yang beberapa hari ini sering dia lihat sama persis seperti orang yang tengah hamil.
"Sudah beberapa hari ini nona selalu muntah-muntah tiap pagi, dia bahkan sekarang tidak suka dan ingin muntah saat melihat makanan kesukaannya, belum lagi nona selalu ingin makan yang asam-asam, apa jangan-jangan nona hamil ya."
Bik Siti menggeleng karna menurut ajaran agama yang dianutnya tidak baik bersuudzon, "Astagfirullah, kok aku jadi suudzon begini ya, nona Gebi mana mungkin hamil, dia gadis baik-baik, lagipula hamil dengan siapa coba kalau nona saja tidak punya pacar." jelas saja bik Siti berfikiran begitu, karnaa tidak ada satupun yang tahu kalau Gebi memiliki pacar.
"Ayok nona saya bantu ke kamar." bik Siti membantu Gebi berdiri dan memapahnya masuk ke kamarnya dan membawanya ke tempat tidur untuk beristirahat.
Gebi menyandarkan tubuhnya ditempat tidur, tenaganya rasanya terkuras habis setelah tadi muntah-muntah.
"Ayok nona sarapan dulu agar cepat sembuh, bibik bawakan nasi goreng kesukaan nona."
Bik Siti menyodorkan piring nasi goreng itu kepada Gebi, nasi goreng merupakan menu paforit Gebi jika sarapan.
Namun Gebi malah menutup hidungnya dan meminta bik Siti untuk menjauhkan nasi goreng tersebut dari hadapannya karna aroma bumbu dari nasi goreng tersebut membuatnya mual.
"Bik Siti, tolong jauhkan nasi goreng itu dari Gebi, Gebi tidak tahan dengan aromanya."
Bik Siti yang tadinya sudah berbaik sangka kembali bersuudzon, "Lagi-lagi nona menampakkan kelakuan seperti orang yang hamil."
"Nona ingin makan apa, biar nanti bibik bawain ke kamar."
"Gebi ingin makan yang asam-asam bik."
"Tuhkan, apa salah kalau saya suudzon, sikap nona benar-benar seperti orang yang tengah hamil."
"Roti saja ya nona, gak baik lho makan buah yang asam-asam saat pagi begini."
"Maunya itu bik." ujarnya keras kepala.
"Baiklah nona, nanti saya bawakan."
Dengan kecurigaannya bik Siti keluar dari kamar nona majikannya.
****
Beberapa hari berlalu, selama itu juga Jefri tidak pernah menghubungi Gebi, bukannya dia mau menghilang apalagi lepas tanggung jawab begitu saja, hanya saja, selama dia tidak pernah menghubungi Gebi, Jefri fokus untuk mencari solusi untuk masalah yang saat ini mereka hadapi, dan tentu saja, satu-satunya hal yang terfikirkan dibenak Jefri untuk menyelsaikan masalah mereka adalah dengan menggugurkan janin yang saat ini tengah berkembang dirahim Gebi, sebuah pemikiran yang sama seperti apa yang difikirkan oleh Gebi, mereka hanya mau enaknya saja tanpa mau mempertanggungjawabkan kelakuan mereka, sudah apa yang mereka lakukan dosa, dan sekarang mereka berniat membunuh janin yang tidak bersalah yang membuat mereka menanggung dosa berkali-kali lipat.
"Iya, janin itu harus digugurkan, itu adalah satu-satunya cara untuk menyelsaikan masalah ini." ujarnya pasti.
Tidak mungkin jugakan Jefri meninggalkan Gebi kuliah keluar negeri dan membiarkan gadis itu menanggung beban masalah sendiri, bisa-bisa Jefri tidak akan tenang saat menuntut ilmu.
Jefri meraih ponselnya untuk menghubungi Gebi, terpampang dilayar ponselnya foto dirinya dan Gebi yang menjadi walpafer utama ponselnya, sebenarnya dia merindukan kekasihnya itu, namun masalah yang tengah mereka hadapi membuatnya tidak bisa berfikir jernih sehingga membuatnya untuk sementara menghilang.
Jefri : Geb, bisa ketemu besok.
Jefri menunggu balasan dari Gebi, tapi beberapa saat belum juga pesannya dibalas, Jefri maklum, dia yakin Gebi masih marah kepadanya karna dia sudah sangat menyakiti hati Gebi, bibirnya yang tidak bisa dia kontrol bisa-bisanya meragukan janin yang dikandung oleh Gebi.
Setelah bermenit-menit lamanya, Gebi membalas juga.
Gebi : Kamu masih hidup ternyata, aku fikir kamu sudah jadi almarhum
Jefri menarik nafas berat saat mendengar balasan Gebi, dia maklum kalau Gebi sangat marah dengannya, bukan hanya kata-katanya yang telah menyakiti hati Gebi, tapi juga selama beberapa hari ini dia memilih menghilang, hati wanita mana coba yang tidak sakit.
Jefri : Maafin aku Geb, aku benar-benar kacau beberapa hari belakangan ini dengan masalah ini, aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
Gebi : Kamu fikir hanya kamu saja yang kacau Jef, aku lebih dari itu, aku stress, rasanya aku tidak bisa tersenyum, dan kamu membiarkanku menghadapi masalah ini sendiri, dasar laki-laki tidak bertanggung jawab kamu Jef, aku benci sama kamu.
Jefri : Sekali lagi aku minta maaf Geb, oleh karna itu aku menghubungimu, aku ingin bertemu denganmu supaya kita bisa mencari jalan keluar dari masalah yang saat ini kita hadapi.
Jefri : Geb, besok kita ketemu ditempat biasa ya.
Gebi : Baiklah.
*****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!