Bel sekolah tanda berakhirnya pelajaran telah berbunyi. Para siswa mulai berkeluaran dari ruang kelas untuk segera pulang.
'Wah... Masa depanku sangat cerah!!!' batin seorang siswi bernama Lala.
Lala yang sedang berjalan beriringan dengan temannya, Riri. Terdiam dan terpaku saat melihat sosok pria yang begitu menyilaukan mata hatinya.
Tampan, ganteng, bersinar...
Tampan, ganteng, bersinar...
Tampan, ganteng, bersinar...
Begitulah Lala mendeskripsikan pria itu.
Dan pria itu ternyata melambai ke arahnya.
'Astaga!!! Dia melambai ke arahku?!' Lala menutup mulutnya tidak percaya. Pria tampan itu melambaikan tangan padanya. Oh, itu sungguh membuat hati Lala berdebar tidak menentu.
"Riri!" panggil pria yang melambaikan tangan tersebut.
'Riri?' batin Lala bingung dan melihat Riri. Pria tampan itu memanggil teman di sampingnya, dan bukan dirinya. Ternyata ia yang sudah kegeeran.
"Om Andra!" jawab Riri yang juga melambaikan tangan.
'Om Andra?!' Lala tersenyum tipis. Pria tampan itu namanya Andra toh. Nama yang sangat cocok dengan visualnya.
"La, aku sudah dijemput. Aku duluan ya!" Pamit Riri pada Lala.
"Tunggu, kau dijemput siapa itu? Pacarmu ya, Ri?" tanya Lala memastikan. Mungkin om Andra itu pacarnya Riri.
"Pacar apaan! Itu omku. Aku duluan ya, La!" Riri pun berlalu pergi meninggalkan Lala.
Riri berjalan mendatangi omnya yang berdiri di depan mobil, ia menyalami pria itu.
"Om, sudah lama? Maaf ya, aku baru keluar kelas." Ucap Riri berbasa basi.
"Om baru sampai kok." Jawab Andra yang tersenyum pada keponakannya.
"Hai... Om Andra, kenali aku Lala. Aku teman baiknya Riri. Baik sekali pun!" Lala mengulurkan tangannya. Wajahnya senyum-senyum tidak jelas pada pria itu.
"Lala, kamu ngapain?" bisik Riri kaget. Lala sudah ada di dekatnya saja.
"Kenalan!" balas Lala berbisik. Ya, Lala ingin berkenalan dengan masa depannya.
Andra melihat Lala dengan wajah aneh. Lalu ia melihat ke arah Riri.
"Ri, ayo pulang!" ajak Andra kemudian. Ia tidak membalas uluran tangan Lala.
'Nggak dibalas. Sudah pegal pun tangan ini!' batin Lala sedikit kesal. Pria itu mengacuhkannya, pasti sedang jual mahal.
"Kamu ngapain?" tanya Andra terkejut. Saat ia masuk mobil dan melihat Lala juga ikut masuk.
"Lala!" Riri menepuk jidatnya. Temannya malah ikut naik. Riri yang duduk di belakang pun turun dan membuka pintu depan.
"Lala, kau mau ngapain?" tanya Riri bingung.
"Aku mau nebeng, Ri!" bisik Lala menganggukkan kepalanya pada Riri. Agar temannya itu mengerti.
"Nebeng? motormu itu gimana?" tanya Riri mengingatkan. Lala ke sekolah bawa motor.
"Besok itu ceritanya. Amannya itu nginap di sini!" Bisik Lala tidak peduli akan motornya. Mau dekat dengan masa depannya dulu.
"Om, aku nggak dijemput. Aku boleh nebengkan?" tanya Lala dengan wajah memelas minta dikasihani.
Andra melihat ke arah Riri. Seolah bertanya, anak satu itu boleh ikut atau tidak.
Lala menyenggol lengan Riri. Temannya ini malah terlalu lama berpikir. Tinggal bilang saja boleh banget.
"Iya, om. Lala nebeng sampai simpang jalan?" Riri terpaksa membuat alasan dan Andra pun mengangguk.
"Ayo!" Riri menarik Lala keluar dari mobil.
"Aku duduk di sini saja. Kalau kita di belakang berdua, masa om Andra jadi supir sih?!" Lala bersikeras akan tetap duduk di kursi samping pengemudi. Agar bisa dekat pria tampan itu.
Andra menggeleng sambil menghela nafas. Banyak sekali drama teman ponakannya itu.
"Ayo cepat pindah! om Andra mau jemput pacarnya!" Riri menarik Lala ke kursi belakang.
"Pacar?" Lala amat kaget mendengar om Andra punya pacar. Dunianya yang semula terang benderang, mendadak gelap diselimuti awan hitam. Ditambah lagi suara geledek yang menggelegar.
Lala Aurora adalah siswi kelas 3 SMA. Gadis cantik dan imut dengan rambut berekor dua.
Lala baru saja merasakan hatinya berdebar-debar karena seorang pria. Ya, hatinya berdebar pada om dari temannya itu.
Lala tidak pernah merasakan perasaannya seperti itu. Perasaan ini membuatnya merasa kalau ia sedang jatuh cinta.
Lala jadi duduk di kursi belakang bersama Riri. Ia berwajah cemberut, pasalnya Andra telah membuatnya patah hati. Padahal baru beberapa waktu yang lalu, ia merasakan jatuh cinta.
"Kamu turun di mana?" tanya Andra melirik dari kaca spion. Temannya Riri mau diantar sampai simpang. Simpang mana?
"Om, turunkan saja aku di hatimu!" ucap Lala dengan wajah penuh senyuman. Ia tidak boleh menunjukkan wajah cemberut pada Andra.
Andra kembali fokus pada jalan. Rasanya percuma saja bertanya pada bocah itu.
"Lala!!!" Riri menepuk pelan tangan Lala. Bisanya Lala malah menggombali omnya.
Lala malah tersenyum manis. Ia sengaja melihat ke arah spion. Saat Andra melihat ke spion. Lala akan memberikan kecupan jarak jauhnya.
'Dasar bocah!!!' batin Andra. Memang anak zaman sekarang, tidak ada malu-malunya. Tapi malu-malui.
"Om, tinggal di mana? aku sudah lama loh berteman sama Riri, tapi aku nggak pernah lihat om Andra. Om Andra selama ini bersembunyi di mana sih? hingga diriku tidak bisa menemukanmu!" Ucap Lala tanpa malu, apalagi segan.
'Astaga!!!' batin Andra kembali. Ia malah digombali bocah edan itu. Ia melirik ke spion dan kini gadis aneh itu malah mengkedipkan sebelah matanya. Lala tampak genit sekali.
"Lala, Om Andra sudah punya pacar! Kamu jangan jadi pelakor!" bisik Riri mengingatkan Lala. Temannya ini terang-terangan menggoda Andra.
"Selagi janur kuning belum melengkung, masih ada waktu untuk menikung!" bisik Lala kembali. Ia pun menunjukkan senyum manisnya.
Riri nggak habis pikir dengan temannya itu. Tetap naksir omnya.
"Om, kita ngapain ke kampus?" tanya Lala. Andra membelokkan mobil memasuki sebuah universitas.
"Jemput pacarnya Om Andra, La. Pacarnya Om Andra kuliah di kampus ini." Riri yang menjawab agar Lala mengerti.
Lala mengcemberutnya wajahnya mendengar itu. Andra benar-benar sudah punya pacar. Tadi dikiranya hanya omongan dusta.
Andra turun dari mobil, ia menghampiri seorang wanita.
'Biasa saja tuh pacarnya! Masih cantikkan aku ke mana-mana!' menurut Lala pacarnya Andra sangat-sangat biasa saja. Tak ada wah lah.
Mata Lala terbelalak, saat Andra dengan terang-terangan memeluk Ana.
'Apa-apaan itu cewek?! Sok kecantikan!!!' maki Lala kesal melihat keromantisan itu. Mereka berpelukan tanpa memikirkan perasaannya.
Tin...
Klakson panjang pun terdengar. Terlihat Andra dan wanita itu menoleh ke arah mobilnya.
"Lala, apaan sih?!" Riri jadi kesal. Lala malah mengklakson. Bisa-bisa omnya marah.
"Biar cepat, Ri! Mau berapa lama drama itu?!" tunjuk Lala, matanya ternodai melihat pemandangan di depannya. Dan lagi...
Tin...
Tin...
Tin...
Bukan hanya sekali, Lala sengaja menekan klakson panjang hingga 3 kali. Lalu ia segera membenarkan posisi duduk, saat Andra dan wanita itu berjalan bergandengan ke arah mobil tempat mereka berada.
Andra membukakan pintu mobil untuk wanitanya, lalu ia pun naik dari pintu lainnya.
Setelah masuk mobil, pria itu membalikkan badannya. Melihat ke arah kursi penumpang belakang. Ia menatap tajam kedua gadis itu.
"Siapa yang tadi mengklakson???"
.
.
.
"Siapa yang tadi mengklakson???" tanya Andra merasa kesal. Ia menatap tajam bergantian ke arah Riri dan Lala.
"Itu-"
"Riri, Om!" Lala segera menyela saat Riri akan menjawab. Ia menunjuk temannya itu.
"Kok aku." Riri melihat Lala. Lala yang melakukannya, malah ia yang kena dituduh. Mana mata om Andra tajam lagi.
"Riri mau pulang cepat dia, Om. Mau mengerjakan pr bersamaku. Iya kan, Ri?" alasan Lala seraya menyenggol lengan Riri, agar juga mengiyakan alasannya.
"I-iya, Om. Kami mau mengerjakan pr bersama." Jawab Riri mengikuti alasan Lala. Padahal dalam hatinya mendumel.
"Sayang, kita jalan saja sekarang." Ucap Ana tidak ingin ribut-ribut.
'Sayang?!' Lala tidak suka mendengar panggilan itu. Terasa menggelikan.
Andra pun menurut dan kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang membelah jalanan.
"Riri apa kabar?" tanya Ana membalik badan ke arah ponakannya Andra tersebut. Sudah lama mereka tidak bertemu.
"Baik, kak." Jawab Riri.
"Teman sekelas kamu ya?" tanya Ana yang kini tersenyum pada Lala.
Lala melengos. Si Ana itu sok akrab sekali dengannya. Lalu tak lama ia mulai tersenyum tipis.
"Iya, kak Ana. Lala teman sekelasku." Riri menjawab. Lala diam saja.
"Iya, tante. Aku Lala teman sekelasnya Riri." Ucap Lala memberitahu. Ia sengaja memanggil Ana dengan sebutan tante. Biar wanita itu tahu kalau dia sudah tua.
"Tan-tante?" Ana merasa aneh dipanggil begitu. Ia belum setua itu untuk dipanggil tante.
"A-aku masih muda!" tegas Ana kesal. Usianya saja masih 21 tahun. Cuma beda 3 tahun saja dari bocah SMA ini. Masa dipanggil tante.
"Aku panggil om sama om Andra, jadi-" Lala sengaja memasang wajah bingung melihat ekspresi Ana yang tidak terima. Ia kan tidak salah.
"Sayang, aku kan Omnya Riri. Karena kamu temanku, wajar dia memanggilmu begitu. Itu hanya bentuk kesopanannya." Andra memperjelas. Ia mewajarkan Lala berucap begitu.
'Ih... So sweet!!! Om Andra... ihh gemes!!!' Lala senyum. Andra ternyata membelanya.
'Apa Om Andra mulai naksir aku ya?' Lala mulai dengan kepedeannya. Yakin sekali om Andra punya hati padanya.
Tapi, tiba-tiba mata Lala teralih. Andra dan Ana saling bergenggaman tangan.
Lala merasa panas. Tidak suka melihat keromantisan keduanya.
Brak...
Lala sengaja menendang belakang kursi Ana, hingga membuat Ana kaget.
"Apaan sih?" Ana membalikkan badan. Ia memelototi Lala. Bocah itu ternyata mau cari ribut.
"Aduh, maaf tante. Kakiku tadi agak keram, jadi nggak sengaja waktu merenggangkannya!" Alasan Lala dengan wajah melas. Seolah ia benar-benar tidak sengaja.
"Sudahlah!" Andra mengelus tangan kekasihnya itu. Agar tidak menghiraukan bocah edan itu.
Ana menghembuskan nafas kesal, ia melihat Lala yang malah menjulurkan lidahnya. Lalu memasang wajah seolah tidak bersalah saat Andra melihatnya.
'Dasar bocah!' Ana jadi kesal dengan temannya Riri itu.
Riri menggeleng melihat Lala. Semua yang dilakukan Lala itu adalah ke tersengaja-an. Temannya itu sangat sengaja melakukan itu semua.
Perjalanan mulai terasa tenang. Lala senyum saat Andra melihat ke arah spion. Ia sengaja melambaikan tangan, sambil sesekali melemparkan kecupan lewat udara.
Andra hanya bisa menggeleng. Ia wajar saja, namanya juga bocah. Bocah edan.
Andra mengantar Ana sampai rumah. Lalu melaju ke rumahnya Riri.
Begitu sampai rumah, Andra segera masuk dan berjalan menuju kamarnya.
"Lala!" Riri menarik tas temannya yang malah berjalan mengikuti Andra.
"Kau nggak pulang?" tanya Riri.
"Om Andra tinggal di sini?" tanya Lala balik. Ia melihat Andra masuk kamar.
"Iya, om Andra tinggal beberapa hari di rumahku. Nanti ia dan orang tuanya akan cari rumah. Mereka rencananya akan menetap di kota ini." Cerita Riri sedikit sambil mengambilkan Lala minum.
"Oh ya? Memangnya selama ini om Andra tinggal di mana?" tanya Lala ingin tahu sambil menenggak minuman.
"Dia tinggal di luar negeri-"
"Kok bisa kenal sama tante itu?"
"Dulu om Andra aslinya orang sini juga. Ia memang sudah kenal sama kak Ana. Terus karena om Andra ada dinas ke luar negeri, ia beberapa tahun tinggal di luar negeri."
"Oh, pantas!" Lala mewajarkan. "Jadi mereka LDR-an ya?
"Iya. Tapi sekarang om Andra dan keluarganya mau menetap di sini saja." Jelas Riri.
"La, kau suka ya sama Omku?" tanya Riri menelisik temannya itu.
"Iya. Aku menyukainya. Kau tahu hatiku itu berdebar-debar gitu. Bunyi dug dug-nya kencang banget." Lala memegangi dadanya .
"Bukan ting tong bunyinya?!" ledek Riri atas perumpamaan Lala.
"Itu bunyi bel kali, Ri!" Lala membenarkan. "Mamamu mana?" tanya Lala tidak melihat.
"Tidur."
"Oh iya, Ri. Minta nomornya Om Andra!" paksa Lala. Riri pasti punya nomornya. Lala akan memulai pdkt.
"Tidak, La. Om Andra sudah punya pacar. Lagian dia itu terlalu tua untuk seusia kita." Riri mengingatkan. Omnya itu sudah berusia 25 tahun. Beda 7 tahun dengan mereka.
"Hei hei hei... jangan berani bilang Om Andra tua! Dia itu pria dewasa dan matang!" Lala membela pria yang telah mencuri hatinya.
"Ia juga tidak sebaya papaku loh!" Ledek Lala seraya menaikkan alisnya. Riri sok bilang Andra tua. Padahal papanya lebih tua lagi.
"Lala!!! Sudah pulanglah kau sana!" usir Riri yang jadi malu.
"Tunggulah aku belum dijemput. Aku mau minta papa menjemputku di sini." Lala tersenyum lalu menelepon seseorang.
"Papa..." ucap Lala saat panggilan tersambung.
"Apa, sayang?" tanya suara bariton dari sana.
"Papa sudah pulang?" tanya Lala dengan manja.
"Sebentar lagi nih!"
"Lala di rumah teman ini, Pa. Nanti papa jemput sekalian ya. Nanti Lala share lokasinya!" bujuk manja gadis itu. Ia melihat Riri yang malah senyum-senyum tidak jelas.
"Loh, tapi kamu bawa motor?"
"Lala tinggal di sekolah, tadi ke rumah teman mau belajar kelompok, pa."
"Ya, sudah. Nanti Papa jemput."
"Makasih papa Lala yang tampan!" Lala memberikan kecupan jarak jauh pada papanya. Lalu mengakhiri panggilan.
"La, Om Ayaz mau kemari?" tanya Riri dengan wajah sumringah.
Lala mengangguk pelan.
"Aku mandi dulu ya." Riri pun segera kabur.
"Riri!!!" Lala menggeleng. Temannya itu kalau sudah dibilang papanya, semangat banget.
'Papa, aku nggak mau punya mama tiri sebayaku!'
\=\=\=\=\=\=
Selagi menunggu Riri. Lala berdiri di sebuah kamar di samping kamarnya Riri. Itu kamarnya om Andra.
Tok
Tok
Tok
Lala senyum-senyum saat mengetuk pintu.
Tok
Tok
Tok
Lala pun mengetuk kembali. Dan saat pintu terbuka, memperlihatkan seorang pria yang begitu bersinar. Ia seakan silau oleh ketampanannya.
"Om tampan!" Gumam Lala menatap kagum.
"Ada apa?" tanya Andra datar. Bocah edan itu belum pulang.
Suara datar Andra membuat Lala tersadar.
"Om, 1+1 berapa?" tanya Lala dengan wajah mengulum senyum.
Andra merasa aneh. Untuk apa anak satu ini bertanya soal mudah seperti itu.
"Om nggak tahu ya jawabannya? Aku kasih tahu deh!" Ucap Lala melihat Andra malah memilih diam.
"Jawabannya 2 om. Berdua bersama Om Andra pasti lebih baik." Cengir Lala atas perkataannya.
Bugh...
Andra pun menutup pintu. Ia tidak mau melayani gombalan bocah.
'Om Andra pasti malu tuh...'
.
.
.
"Kau mau ke mana, Ri?" tanya Lala melihat Riri mendempul wajahnya. Temannya itu sudah mandi dan berpakaian rapi saja.
Riri tidak menjawab, ia masih mendempul bedak di wajah, lalu menyemprot minyak wangi di seluruh tubuhnya.
"Eh, Ri." Panggil Lala kembali.
"Hmm." Hanya deheman sebagai jawaban.
"Papa Ayaz seleranya itu yang besar dan bulat. Kalau sepertimu-" Lala melihat Riri dari hingga atas lagi.
"... nggak banget!" Lala menggeleng.
Riri itu hanya seorang bocah. Jika papanya ingin menikah lagi, pasti mencari wanita yang dewasa dan juga bersifat keibuan. Agar bisa menyayanginya juga. Jangan cuma mau sama papanya tapi melupakan anaknya.
"Ih... Lala pun! Fisik itu nomor 2, La. Yang terpenting itu hati. Kau tenang saja, aku akan menjadi ibu tiri yang baik bagimu. Aku akan menyayangimu dan mencintai papamu pastinya!" Ucap Riri dengan wajah merona. Ia sangat menyukai papanya Lala. Pria paruh baya itu begitu sangat wah. Memang duda hot.
Lala menunjukkan wajah aneh mendengar ucapan Riri. Ucapan yang tidak cocok dengan usianya.
Ting tong
Ting tong
"Pasti itu papamu, La." Riri melihat penampilannya terlebih dahulu di cermin. Lalu ia pun berlari untuk membuka pintu. Papanya Lala tidak boleh menunggu terlalu lama.
'Riri, Riri... Papaku nggak suka sama daun muda.' Lala menggeleng melihat Riri yang sudah pergi begitu saja.
Cekrek...
Mata Riri terpaku saat membuka pintu. Ada sosok pria dewasa di hadapannya. Tampan, gagah dan berwibawa. Benar-benar pria idamannya. Walau papanya Lala itu sudah seusia papanya sendiri. Tapi hatikan tidak mengenal perbedaan.
"Selamat sore, Riri." Ucap pria itu memberi senyuman.
"Se-selamat sore, om Ayaz." Balas sapa Riri pada papa temannya itu. Senyuman om Ayaz membuat hatinya berdebar-debar. Senyuman yang melelehkan hati.
"Om kemari mau menjemput Lala. Kata Lala, ia belajar di rumah kamu." Ayaz memastikan.
"I-iya, om. Si-silahkan masuk." Riri terlalu gugup untuk bicara dengan pria dewasa itu. Jantungnya tidak bisa dikondisikan.
"Papa..." ucap Lala menghampiri sang Papa. Ia langsung memeluk pria kesayangannya itu.
'Om, akukan mau dipeluk juga!' Riri membatin. Ia merasa cemburu dengan Lala. Bisa memeluk pria idamannya seperti itu.
"Pa, kita langsung pulang saja ya. Lala sudah ngantuk." Ajak Lala sambil menunjukkan matanya yang sengaja ia cipitkan.
"Iya, sayang." Papa Ayaz pun mengangguk. "Riri, kami permisi pulang. Maaf ya, jika Lala tadi merepotkanmu."
"Ti-tidak kok, Om. Direpoti tiap hari sama om pun nggak apa, eh maksudnya Riri sama Lala, om." Riri segera membenarkan perkataannya. Ia malah salah berucap karena gugupnya.
Lala yang sudah menempel dengan papanya tersenyum geli. Temannya ini naksir berat dengan papanya.
"Ri, aku pulang." Lala pamitan juga. "Pa, ayo jalan. Nanti di jalan kita singgah beli es krim ya."
Ayaz mengangguk lalu merangkul Lala berjalan menuju mobil. Ia membukakan pintu mobil untuk putri kesayangannya.
Dari lantai 2 rumah Riri, seorang pria melihat temannya Lala sudah pulang.
"... besok kita makan malam. Kamu ada waktukan?" Andra sedang berteleponan dengan sang kekasih di balkon rumah.
...
"Baiklah. Besok malam aku jemput." Ucap Andra dengan wajah full senyum.
\=\=\=\=\=\=
"Papa mau?" Lala menyendokkan sesuap es krim pada papanya. "Enakkan, Pa?"
Papa Ayaz mengangguk menikmati rasa dingin dan manis es krim di dalam mulutnya.
"Anak Papa... makannya kok seperti bocah begini sih?!" Papa membersihkan mulut Lala yang berselemak es krim dengan tisu.
"Pa, yang sebelah sini juga!" Lala malah menunjukkan sisi lain minta dibersihkan juga.
Ayaz tersenyum melihat sang putri. Lala besar tanpa kasih sayang seorang ibu. Makanya Lala sangat manja padanya.
Istrinya meninggal saat melahirkan Lala. Ayaz sangat sedih dan frustasi ditinggalkan wanita yang dicintainya.
Setelah Lala lahir, Ayaz sangat tidak menyukai bayi itu. Karena melahirkan Lala, istrinya jadi meninggal. Ia menganggap Lala yang membunuh sang istri.
Lala diurus oleh neneknya, Mamanya Ayaz. Selama beberapa bulan, Ayaz tidak pernah mau peduli dengan buah hatinya itu. Ia sudah menganggap Lala adalah pembawa sial.
Kemudian, ia sempat bermimpi didatangi mendiang istrinya. Mendiang istrinya berpesan agar Ayaz merawat dan membesarkan bayi itu. Mencurahkan semua kasih sayang.
Karena bermimpi seperti itu, Ayaz pun mendatangi rumah orang tuanya. Pria itu melihat dengan datar bayi yang sedang terlelap di tempat tidur.
Tiba-tiba bayi itu menggeliat dan menangis. Ayaz bingung dan memanggil Mamanya. Tapi Mamanya tidak masuk ke kamar juga. Mau keluar kamar untuk memanggil, ia takut meninggalkan bayi itu. Takut bila bayi itu jatuh dari tempat tidur.
Hingga akhirnya, Ayaz memberanikan diri menggendong bayi tersebut. Ia dengan pelan-pelan menggendongnya. Bayi itu masih juga menangis dalam gendongannya.
"Sayang... jangan menangis lagi ya, nak." Bujuk Ayaz tanpa sadar pada bayinya. Seketika suara tangisan itu pun hening. Lala anteng dan kembali tidur.
Bayi mungil itu sudah terlelap dalam gendongannya. Merasa sangat nyaman dan terlindungi.
Ayaz memandangi bayi mungilnya. Ia jadi merasa bersalah menyalahkan bayi mungil ini. Bayi mungil ini saja tidak berdaya. Hanya bisanya menangis. Bagaimana bisa ia menganggap bayi polos ini yang membunuh istrinya?
"Maafkan Papa ya, nak. Papa janji akan merawat dan membesarkanmu. Papa akan manjadi Papa dan Mama untukmu." Ayaz mengecup wajah bayinya, air matanya sampai terjatuh di pipi bayi mungil tersebut. Ayaz sangat menyesal dengan pemikirannya selama ini.
Setelah itu Ayaz pun pindah ke rumah orang tuanya. Ia merawat dan membesarkan Lala bersama Mamanya.
"Papa, kok bengong?" tanya Lala yang melihat pria kesayangannya malah melamun.
"Tidak, nak." Ayaz menggeleng saat tersadar dari lamunan masa lalunya.
"Papa pusing ya. Banyak kerjaan di kantor. Yang mana yang pusing, biar Lala pijatin!" Lala bangkit dan berdiri di belakang Ayaz. Ia pun memijat kening pria yang mulai berkerut itu.
"Gimana, Pa?" tanya Lala memastikan. Apa pijatannya terlalu kuat?
"Kamu memang tukang pijat. Papa sudah merasa enakkan sekarang." Ayaz merasa senang dengan perhatian Lala. Walau pijatan Lala seperti mengelus-elus keningnya saja. Tapi mampu membuat rasa lelahnya bekerja seharian di kantor sirna sudah.
"Sudah, sayang. Terima kasih ya." Ayaz menarik Lala untuk duduk kembali.
"Nanti kalau papa pusing lagi, bilang saja sama Lala. Biar Lala pijatin lagi. Gratis!" seru Lala dengan semangat.
Ayaz mengangguk dengan wajah bahagia. "Kita pulang sudah sore, kasihan nenek di rumah."
Lala mengangguk dan bangkit. Ia lalu memeluk lengan sang Papa dan mereka berjalan keluar dari kafe tersebut.
Sepanjang mereka berjalan beriringan keluar kafe, banyak mata yang melihat. Lalu kemudian saling berbisik.
"Kayaknya itu sugar babynya ya."
"Ngeri anak zaman sekarang, masih SMA saja mainnya sama om-om."
"Om-om zaman sekarang pun sukanya sama daun muda."
Begitulah tanggapan orang lain. Mereka tidak tahu kalau yang sedang digibahi adalah Ayah dan anak.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!