NovelToon NovelToon

Mengapa Berbeda?

Tuhan Memang Satu, Kita yang Tak Sama

“Aku untuk kamu, kamu untuk aku. Namun semua apa mungkin, iman kita yang berbeda. Tuhan memang satu, kita yang tak sama. Haruskah aku lantas pergi, meski cinta takkan bisa pergi??? Huwooooooo....”

Suara menyebalkan Lukas mengudara tanpa bisa dicegah. Di ruang meeting yang sudah kosong sejak 1 jam yang lalu, lelaki bertubuh gempal itu menghabiskan waktunya untuk karaoke, memanfaatkan set televisi pintar yang ada di sana sebagai sarana untuk memutar lagu-lagu sendu yang padahal—ia sendiri tidak sedang dalam kondisi galau.

Tujuannya jelas hanya satu, setidaknya itu yang Juan tahu. Lelaki itu sedang meledeknya, menertawakan kekeraskepalaannya untuk tetap mempertahankan hubungan beda agama dengan Zahira Cassanova. Lukas adalah orang lain, orang baru yang ditemui Juan sejak dia ikut bergabung di perusahaan milik ayahnya. Tapi seolah sudah mengenal begitu lama, bocah tengik itu menjadi yang paling usil soal hubungannya dengan Zahira. Setiap hari, ada saja ide lelaki itu untuk mengusik dirinya.

“Gue nggak akan heran kalau tiba-tiba dia ditemukan mati mengenaskan di apartemennya. Anaknya nyebelin."

Juan mengangguk setuju atas pernyataan yang dilontarkan oleh Galih barusan. Lukas memang menyebalkan, semua orang di divisi mereka juga tahu. Dia bukan satu-satunya korban dari sikap menyebalkan Lukas, masih banyak orang-orang yang mengeluhkan betapa suka ikut campurnya lelaki itu, namun mereka tak punya lagi kekuatan untuk melawan karena Lukas memang sebegitu menyebalkannya.

“Kita kunciin aja di sini nggak sih? Muak banget gue dengar suara dia yang kayak kodok keselek biji kedondong.” Usulan yang teramat brilian itu datangnya dari Moana, satu-satunya perempuan di divisi mereka.

Juan menoleh ke arah perempuan berambut pirang sepunggung itu, lantas mengangguk tanpa butuh waktu lama untuk berpikir. “Kalau perlu, kita bakar ruangan ini biar dia mati gosong.” Ujarnya, seakan penuh dendam.

Kalau ini orang normal, pastilah ada di antara Galih dan Moana yang akan menolak usulan kejam dari Juan. Tapi berhubung mereka sama-sama tidak waras (efek terlalu banyak berhadapan dengan manusia menyebalkan bernama Adrian Lukas), maka mereka berdua malah mengangguk setuju.

Dengan begitu saja, ketiganya bangkit secara serempak, berlari sigap menuju pintu keluar lantas benar-benar mengunci Lukas di ruang meeting sendirian. Satu-satunya yang melenceng dari rencana adalah, mereka tidak benar-benar membakar ruangan tersebut. Bukan karena mereka masih memiliki rasa kemanusiaan, tetapi lebih kepada “Sayang, nanti perusahaan jadi rugi karena harus renovasi.”

Gelak tawa membahana di antara ketiganya. merasa puas telah memberi hukuman tidak seberapa untuk kelakuan Lukas yang memusingkan kepala. Masa bodoh, biar saja Lukas berusaha sendiri mencari pertolongan. Itupun kalau ada yang bersedia menolongnya.

“Lo mau langsung balik?” tanya Moana setelah tawanya mereda lebih dulu.

Di antara dua lelaki di sampingnya, Juan menjadi orang yang menoleh dan menjawab, “Nggak. Gue mau ke divisi sebelah dulu.”

Moana tersenyum, lantas mengangguk. “Kalau gitu, gue duluan.” Ucapnya.

Juan hanya mengangguk sebagai jawaban. Lambaian tangan dia berikan sebagai balasan untuk Moana yang melakukan hal serupa. Sementara di belakang tubuhnya, Galih senyum-senyum sendiri bagai orang gila.

“Lo sadar nggak sih kalau Moana itu sebenernya suka sama lo?” celetuk Galih, hanya untuk membuat Juan menoleh dengan dahi yang berkerut banyak.

“Gue udah punya Zahira.” Jawab Juan. Kalau sudah muncul nama orang lain di dalam hubungannya dengan Zahira, entah kenapa dia merasa tidak suka. “Lagian, perasaan Moana itu tanggung jawab dia. Gue nggak perlu, dan nggak mau tahu.”

Atas jawaban tersebut, Galih terkekeh. Memang ya, kalau sudah bucin akut tuh susah untuk diganggu. Mau ada bidadari turun dari surga sekalipun, tidak akan bisa membuatnya berpaling dari sang pujaan hati. Pokoknya, hanya ada nama dia seorang, tidak ada yang lain lagi.

Suara gedoran yang datang dari arah belakang menjadi pemutus obrolan soal Zahira dan Moana. Keduanya menoleh ke arah pintu ruang meeting yang bergetar hebat akibat ulah Lukas yang menggedornya secara menggila. Sudah jelas, mereka tidak akan peduli.

Seakan tidak mendengar apa-apa, keduanya pun kembali membalikkan badan, lalu berjalan beriringan sambil melakukan obrolan ringan.

“Masih ngerokok nggak?”

“Udah enggak, Zahira nggak suka.”

“Mau coba Vape? Gue baru beli yang rasa baru.”

“Nggak dulu. Demi Zahira, gue bakal ngejauhin segala hal yang ada asap-asapnya.”

“Bucin.”

“Cari pacar sana, biar lo tahu gimana rasanya jatuh cinta.”

...----------------...

Di ruang kerja Reno yang gelap, Juan merebahkan dirinya di atas sofa panjang. Sang empunya sedang tidak ada di ruangan, sedang pergi mencari udara segar untuk menjernihkan kepala yang isinya cuma Clarissa. Ia tidak akan meledek, sebab sama seperti betapa bucinnya Reno terhadap perempuan itu, Juan pun sama bucinnya terhadap Zahira.

Sudah pukul 11. Seharusnya, mereka segera pulang karena subuh nanti mereka harus ikut terbang ke Singapura demi menghadiri sebuah pertemuan keluarga. Tapi ia malah berakhir rebahan di sini, memikirkan bagaimana hubungannya dengan Zahira yang sama sekali tidak bisa dikatakan mudah.

Untuk mendapatkan Zahira, banyak sekali hal yang Juan korbankan. Jatuh bangun dia berusaha meyakinkan perempuan itu bahwa dia layak, bahwa dia mampu menjadi pendamping untuk seorang Zahira Cassanova yang sempurna.

Dulu, saat mereka masih menjadi mahasiswa, semuanya masih kelihatan mudah karena yang terpikir hanya bagaimana cara mereka menjaga hati agar tidak menyeleweng. Keributan yang terjadi di antara mereka pun hanya seputar Juan yang terlalu cinta, hingga tidak jarang merasa cemburu berlebihan pada setiap teman laki-laki yang dekat dengan Zahira.

Sekarang, setelah mereka tumbuh lebih dewasa, segalanya menjadi semakin rumit dan terasa sulit untuk dijalani.

Sejak awal memacari Zahira, tidak pernah ada sedikit pun niatan bagi Juan untuk sekadar main-main. Maka, pernikahan jelas menjadi titik akhir yang ingin dia tuju bersama perempuan itu.

Tapi masalahnya, untuk menikah pun tidak semudah itu.

Keyakinan. Isu paling sensitif yang ada di negeri tercinta Indonesia. Pernikahan beda agama masih menjadi sesuatu yang dilarang. Sebetulnya, memang tidak pernah ada yang membenarkan.

Juan memang bukan anak Tuhan yang taat. Dia hanya sesekali datang ke gereja, sesekali berdoa kalau dirasa hidupnya memang sudah terlalu sulit untuk dijalani. Akan tetapi, dia tidak selaknat itu untuk berkhianat pada Tuhan yang dia percaya sejak kecil. Sedangkan Zahira sendiri juga tidak mungkin merelakan kerudung yang selama ini menutupi kepalanya ditanggalkan begitu saja hanya untuk sebuah cinta yang belum tentu abadi.

Pada akhirnya, mereka berdua hanya terus berjalan, tanpa tahu di titik mana mereka akan berhenti karena untuk saling melepaskan pun, rasanya terlalu sulit.

Semakin malam, pikiran Juan semakin kusut, semakin sering pula dia menghela napas dengan gerakan yang begitu ribut.

Bersambung

Senasib Sepenanggungan

Pukul 12 malam, Juan menemukan Reno kembali ke ruangan dengan penampilan yang tidak keruan. Kemeja berwarna salem yang lelaki itu kenakan tampak kusut, tiga kancing teratas terbuka sehingga memperlihatkan baju dalaman berwarna putih, two toned hair-nya acak-acakan, sementara bau apak asap rokok menguar begitu kentara dari tubuhnya.

Dengan keadaan sekacau itu, mereka tidak bisa langsung pulang. Maka Juan berinisiatif mengulurkan minuman, menyuruh sepupunya itu untuk terlebih dulu membasuh mulutnya yang baru rokok dengan menggunakan air mineral yang dia berikan.

Si lelaki menurut saja. Dengan gerakan super pelan seperti manusia yang sudah tidak memiliki daya apa pun, Reno duduk di sofa bersamanya, menenggak air mineral pemberiannya bagai telah kehausan setelah sekian lama.

Tak ada komentar yang Juan keluarkan, dia hanya dengan sabar menunggu sampai Reno selesai minum.

“Ju,” cicit Reno setelah meletakkan botol air mineral ke atas meja kaca di depan mereka. Lelaki itu kemudian menoleh, membuat Juan bisa melihat betapa sudah tidak adanya binar yang terpancar dari netra sepupunya itu. “Apa gue culik aja ya si Clarissa, terus gue hamilin, biar dia nggak ada alasan buat nggak nerima gue lagi?”

Mendengar usulan gila itu, Juan praktis melotot. Cinta sih cinta, tapi ya jangan sampai bertindak gila! “Astagfirullah, Reno, istighfar lo!” serunya. Dengan entengnya, dia menggebuk bahu Reno hingga membuat si lelaki mungil sempoyongan.

“Astaghfi—eh! Kita kristen!” Reno refleks menghentikan ucapannya. Hampir saja dia menuruti keinginan Juan untuk beristighfar. “Ini nih efek pacaran sama Zahira, jadi campur aduk kan bahasa lo. Yang bentar-bentar nyebut nama Bapa lah, bentar-bentar istighfar. Tuhan juga bingung, Ju, liat kelakuan lo.” Ia lanjut mengomel.

Disinggung soal Zahira membuat Juan mendengus kesal. Ini juga bukan yang pertama dari Reno. Lelaki itu sudah sering membahas soal Zahira juga, bahkan mengusulkan dirinya untuk pindah agama saja supaya tidak perlu pusing memikirkan soal kisah cinta beda agama.

Juan yang dasarnya tidak alim-alim amat sempat tergoda, tapi kemudian dia sadar bahwa berpindah agama tidak semudah kelihatannya. Lawannya adalah seluruh anggota keluarga! Kalau nekat, mungkin dia akan berakhir dikebiri bahkan sebelum sempat mengucapkan kalimat syahadat.

Lama tak terdengar suara dari keduanya, yang muncul pertama kali malah dengusan keras dari Reno. Lelaki itu kemudian mengeluarkan rokok dari dalam saku celana, hendak menyalakannya.

“Jangan ngerokok di ruangan.” Cegah Juan. Bungkus rokok dia rebut, lalu dia letakkan dengan gerakan sedikit kasar ke atas meja kaca. “Lagian lo udah ngerokok banyak sampai badan lo bau tembakau. Lo tahu? Lo kayak habis mandi air rendaman tembakau.”

Reno mencebik, tatapannya jatuh pada bungkus rokok miliknya yang disita. Ingin protes, namun tenaganya seakan sudah habis tak bersisa. Tadi saat Juan menggebuknya cukup keras juga dia tidak membalas, kan? Itu karena ia sudah tidak memiliki energi untuk menciptakan baku hantam.

Sementara Reno terdiam meratapi rokoknya, Juan berinisiatif bangkit lebih dulu. Untuk bisa ikut terbang ke Singapura besok subuh, mereka harus segera pulang agar bisa tidur dengan baik. Toh tidak ada untungnya juga berdiam diri meratapi nasib percintaan mereka yang sama-sama rumit.

Juan berjalan menuju meja kerja Reno, berbaik hati mengambilkan kunci mobil, dompet dan ponsel milik lelaki itu yang memang sengaja ditinggalkan di sana selagi sang empunya keluar merokok. Tak sengaja, Juan melihat ada banyak sekali panggilan tak terjawab yang datang dari Mami ketika layar ponsel Reno menyala, seketika membuatnya meringis.

“Ren,” panggilnya pelan. Langkah kakinya otomatis terhenti di dekat meja kaca, di mana Reno masih menekuri rokoknya.

Yang dipanggil mengangkat kepala, tidak menyangka bahwa apa yang akan Juan katakan selanjutnya berhasil membuatnya terkena serangan jantung ringan.

“35 missed call dari Mami. Kayaknya, malam ini juga, kita bakal mati.”

...----------------...

Mati. Satu kata yang menyeramkan, setidaknya untuk sebagian orang. Kalau untuk Juan sih, kata itu nggak ada seram-seramnya sama sekali. Mati sudah seperti kata kunci, yang akan dia dan teman Pain Killer-nya ucapkan setiap kali hidup terasa amat bajingan untuk dijalani.

Tapi malam ini, untuk pertama kalinya, Juan takut ia benar-benar akan mati.

Kedatangannya dan Reno yang terlambat disambut tatapan tajam oleh Mami. Wanita itu berdiri di ambang pintu utama, berkacak pinggang dan matanya terus bergerak naik turun memindai penampilannya dan Reno secara bergantian.

Di rumah besar ini, Mami berada di tahta paling tinggi. Wanita itu ditakuti oleh semua anggota keluarga, kecuali suaminya yang doyan selingkuh itu.

Alasannya jelas karena Mami terlalu bar-bar. Adegan di mana wanita itu menenggelamkan wajah seorang wanita simpanan ke dalam panci berisi air mendidih bukanlah satu-satunya yang menyeramkan. Belum lama ini, mungkin sekitar 3 bulan yang lalu, seorang perempuan muda datang ke rumah besar dengan kondisi wajah yang babak belur—nyaris hancur. Perempuan itu menuntut ganti rugi, sebab katanya Mami sudah membuat wajahnya menjadi seperti itu.

Usut punya usut, ternyata si perempuan muda itu adalah simpanan baru ayahnya Reno, dan luka yang diderita di wajahnya adalah akibat kebar-baran Mami yang tanpa belas kasih memukuli wajah perempuan itu menggunakan benda apa saja yang dia temukan saat memergoki suaminya sedang bercumbu dengan si perempuan.

Ujung-ujungnya, mereka harus mengeluarkan uang, tapi Mami sama sekali tidak keberatan karena uang di dalam rekeningnya tidak akan habis hanya karena harus mengganti rugi.

“Kenapa baru pulang?” tanya wanita itu.

“Lembur.” Reno yang menjawab singkat, tapi Juan yang menggigit bibir karena ngeri. Bisa-bisanya bocah itu menjawab demikian pada ibunya yang psikopat gila.

“Kalian tahu, kan, kalau besok subuh kita harus terbang ke Singapura?”

“Tahu.” Lagi-lagi, Reno menjawab singkat. Seakan tidak peduli kalau malam ini ia akan menjadi korban selanjutnya dari sang ibu.

“Tadi ada problem sedikit di kantor, Mi, makanya telat.” Sebelum suasana semakin mencekam, Juan buka suara. “Maaf, ya, Mi.” Sambungnya seraya menunjukkan puppy eyes berharap Mami mau berbaik hati untuk melepaskan mereka kali ini.

Mami menatap Juan cukup lama, lantas menghela napas sebelum menggeser posisi tubuhnya. “Masuk. Naik ke kamar, terus langsung tidur.” Titah wanita beraura dominan itu.

Juan mengangguk patuh, berbeda dengan Reno yang malah tidak bereaksi apa-apa, seakan tuli.

Melihat itu, Juan kesal. Dengan menyingkirkan rasa kemanusiaan, dia menyeret lengan Reno, mengerahkan seluruh tenaga yang dia miliki untuk membawa lelaki itu masuk ke dalam rumah sebelum Mami betulan berubah menjadi psikopat.

“Lepas-“

“Diam dulu, diam. Nanti aja gelutnya di kamar. Emang lo nggak lihat itu Mami udah mulai berubah dari psikopat, hah? Lo mau kita berdua mati malam ini? Iya? Nggak mau berjuang lagi lo buat Clarissa?” cerocosnya dengan suara super pelan.

Satu lagi kata kunci khusus untuk menenangkan Reno adalah Clarissa. Terbukti, bocah tengik itu langsung terdiam dan menurut setelah nama itu dia sebut.

“Ju,”

“Apa?!”

“Gue kayaknya beneran mau nyulik si Clarissa deh.”

“Nggak usah gila.”

“Udah terlanjur gila.”

“Ist—nyebut lo, ingat Tuhan!”

“Tapi nggak apa-apa kali Ju kalau bikin anak dulu, kan ujungnya tetap gue nikahin si Clarissa.”

“Nanti anak lo jadi anak haram, mau lo?”

“Ish! Terus gue harus gimana?”

“Tahajud sana, minta petunjuk sama Tuhan.”

“Si bangsat!”

Dan begitu terus. Mereka masih saling meledek soal nasib percintaan mereka yang miris bahkan sampai keduanya tiba di lantai 2 dan bersiap masuk ke dalam kamar.

Mereka tidak tahu saja, kalau percakapan absurd itu semuanya didengar oleh Mami, yang diam-diam membuntuti untuk memastikan sepasang sepupu itu betulan masuk ke dalam kamar dan tidur.

“Ha... dasar anak muda.”

Bersambung

Cantik

Penerbangan ke Singapura dibatalkan, entah karena apa. Juan tidak cukup peduli untuk bertanya alasannya kepada Mami. Yang jelas, saat perempuan itu menyampaikan kabar bahwa mereka tidak jadi berangkat, Juan langsung memekik senang.

Jujur saja, dia sudah muak untuk datang ke setiap pertemuan keluarga yang dia sendiri tidak paham dengan tujuan apa pertemuan itu dilaksanakan. Sebab ketika mereka berkumpul, yang tersuguh hanyalah kepura-puraan.

Dulu, saat masih ada Tante Lily, ia dan Reno masih bisa melipir ke ruangan lain, mendengarkan perempuan itu bercerita panjang lebar tentang hal-hal menarik yang tidak akan pernah diceritakan oleh ayah dan ibu mereka. Setelah kepergian perempuan itu untuk selamanya, makin-makin saja Juan merasa malas untuk ikut hadir dalam pertemuan keluarga.

Satu-satunya alasan yang membuat dia dan Reno tetap mau turut serta adalah karena hanya itu yang bisa mereka lakukan sebagai penebusan atas kebebasan yang mereka miliki sekarang.

Tidak seperti dulu, kehidupan Juan dan Reno bisa dibilang jauh lebih nyaman sekarang. Mereka tidak lagi dituntut untuk melakukan apa yang tidak mereka sukai (secara berlebihan). Untuk hubungan asmara pun, mereka tidak dikekang. Itu sebabnya dia bisa berpacaran dengan Zahira selama hampir 5 tahun lamanya dan Reno pun masih kekeuh mengejar cinta Clarissa.

“Lakukan apa pun yang kalian mau, asal ada tanggung jawab penuh yang kalian emban di belakangnya, dan asal hal-hal itu nggak merusak nama baik keluarga.” Begitulah pesan yang Mami sampaikan kepada dirinya dan Reno di suatu sore yang benderang.

Masih segar dalam ingatan Juan, sore itu adalah hari yang sama di mana Raya ditemukan meninggal dunia dan Sera dinyatakan sebagai tersangka. Mungkin, dari situ lah para orang tua di rumah besar ini mulai berpikir untuk tidak terlalu menekan mereka demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Juan bukannya bersyukur karena Fabian harus kehilangan ibunya dan Baskara terpaksa menyandang status sebagai anak seorang narapidana. Akan tetapi, jika bukan karena kejadian nahas hari itu, hal-hal yang lebih buruk mungkin masih akan terus terjadi. Baik di keluarga besarnya, atau pun di dalam keluarga Fabian dan Baskara.

“Gue mau jalan sama Zahira.” Juan mengatakan itu seraya mengusak rambutnya yang setengah basah menggunakan handuk kecil. Ia baru selesai mandi, di jam 12 siang yang panas sekali.

Ini hari sabtu, biasanya dia dan Reno hanya akan berdiam diri di kamar untuk bermain game bersama. Tapi hari ini, mumpung mereka tidak jadi pergi dan kebetulan Zahira sedang tidak ada jadwal koas, jadilah ia menyusun rencana untuk bertemu dengan kekasih yang sudah seminggu lebih tidak bertatap muka dengannya itu.

Sebagai dokter muda yang sedang menjalani pendidikan lanjutan, Zahira teramat sibuk. Kadang-kadang, perempuan itu sampai tidak pulang ke rumah selama 3 hari berturut-turut. Akibatnya, semakin sedikit pula intensitas pertemuan mereka. Hanya lewat pesan singkat dan telepon di jam tengah malam saja mereka bisa berkomunikasi.

Jadi, sekali ada kesempatan untuk bersua, Juan tidak akan menyia-nyiakannya. Tidak peduli meski matahari bersinar begitu terik di luar sana. Tidak peduli meski hujan badai angin ribut akan menerpa. Tidak peduli apa pun. Pokoknya di hidup Juan sekarang, Zahira adalah prioritasnya.

Reno yang sedang berbaring di atas ranjang seraya memainkan ponsel hanya ber-ooohhh pendek sebagai jawaban. Pikirnya, masa bodoh soal Juan mau pergi kencan dengan Zahira. Toh itu sama sekali tidak ada korelasinya dengan dirinya.

“Mandi sana!” tahu-tahu saja, handuk basah bekas mengelap rambut Juan mendarat di wajah Reno, membuat si lelaki mungil praktis bangkit ke posisi duduk sambil mencak-mencak. Mengamuk, sudah pasti. Reaksi seperti apa lagi memangnya yang bisa diharapkan dari seorang Reno Irvansyah yang kesabarannya serupa tisu wajah dibagi seratus—tipis sekali.

“Eits—“ Juan mengeluarkan kedua tangannya ke depan, memberi tanda kepada Reno agar berhenti dari gerakannya yang hendak melemparkan handuk basah itu kembali ke arahnya. “Zahira mau ngajak Clarissa, makanya gue kasih tau lo. Biar kita bisa—“

Ucapan Juan tidak selesai karena handuk basah itu tetap saja melayang ke arahnya, tepat mengenai wajah tampannya yang sudah kinclong akibat sabun muka.

Sementara Reno, lelaki itu tidak mendengarkan lebih banyak karena kini sudah berlarian tunggang-langgang menuju kamar mandi. Nama Clarissa benar-benar sudah menjadi kata kunci utama, tidak bisa diganggu gugat.

Juan yang sadar Reno sudah raib dari pandangannya cuma bisa geleng-geleng kepala. Mau heran, tapi dia sendiri juga sebegitu bucinnya dengan Zahira. Maka alih-alih mengomentari kelakukan Reno, ia lebih memilih berjalan menuju lemari pakaian, bersiap memilah outfit terbaik untuk dikenakan bertemu dengan Zahira sang pujaan hati yang cantik jelita bak putri raja.

...----------------...

Tempat mereka bertemu adalah sebuah cafe kekinian dengan view danau buatan yang akhir-akhir ini sedang hits di kalangan anak muda. Beberapa vlogger dan youtuber sudah sempat tandang ke tempat ini, me-review apa-apa saja yang ada mulai dari menu makanan yang ada di cafe, view yang tersuguh, sampai seberapa baik pelayanan di setiap cafe yang ada di lokasi itu.

Memang ada banyak cafe di sana. Dari mulai yang menonjolkan menu kopi, cake, sampai yang menyuguhkan makanan-makanan tradisional yang bisa ditemukan di pinggir jalan pun ada.

Karena mereka berempat termasuk ke dalam golongan orang-orang yang berada di tengah-tengah, mereka pun akhirnya memilih sebuah cafe dengan menu standar yang tidak terlalu membuat pusing kepala untuk menemukan apa yang ingin mereka pesan.

Lokasi cafe yang mereka pilih berada di deretan tengah, membuat view yang bisa mereka lihat semakin luas. Dari ujung kanan sampai kiri danau, semuanya tercakup dalam pandangan mereka. Di sisi yang berseberangan dari danau, ada taman hijau dengan jalur pejalan kaki dan pesepeda. Ada juga beberapa area permainan anak untuk pengunjung yang membawa serta anak-anak mereka. Bisa dibilang, area ini cukup sempurna untuk dijadikan tempat nongkrong maupun tempat menghabiskan waktu bersama keluarga di akhir pekan. Minusnya, kondisi cenderung terlalu ramai semakin sore tiba.

“Lo duluan gih, gue mau follow up e-mailnya Nessa dulu, udah ribet banget anaknya.” Reno melepaskan seatbelt yang membalut tubuhnya, lantas meraih laptop yang dia letakkan di kursi penumpang belakang.

Untuk sejenak, Juan menatap Reno dengan penuh keheranan. Sebab tumben-tumbenan anak itu tetap mau mengurusi soal pekerjaan di hari libur. Padahal biasanya, mau dikejar deadline ataupun ada beribu e-mail yang masuk dalam satu waktu sekalipun, dia tetap akan membalasnya di jam kerja.

Tapi akhirnya, Juan tetap menurut. Dia turun dari mobil lebih dulu, meninggalkan Reno yang sudah asyik dengan pekerjaannya lantas berjalan menuju cafe yang jaraknya agak lumayan dari lokasi parkir.

Matahari masih bersinar terik di atas kepalanya, mungkin itu sebabnya belum banyak orang yang datang berkunjung ke sana sekarang. Lihat saja 2 atau 3 jam ke depan, area itu akan penuh sesak dan hampir-hampir seperti lautan manusia.

Juan sih tidak keberatan dengan yang namanya keramaian, karena dia sudah terbiasa. Tapi Zahira tidak terlalu suka. Makanya mereka memilih waktu siang untuk bertemu supaya tidak terlalu ramai.

Sampai di depan banguan cafe, Juan berhenti. Dia terpaku di depan pintu masuk berbahan kaca itu, memandangi sosok Zahira yang duduk bersebelahan dengan Clarissa di satu meja yang paling dekat dengan view danau. Penampilan perempuan itu sederhana, hanya sebuah gamis polos berwarna navy yang dipadukan dengan kerudung warna serupa. Tapi di mata Juan, itu tampak sempurna.

“Cantik.” Pujinya, dengan bibir yang melengkung ke atas. Lalu, dia menggerakkan tangannya, mendorong pintu cafe lantas berjalan mendekat.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!