Leo menaiki BMW hitam milik sang ayah yang baru saja sampai di parkiran depan bandara. Seminggu yang lalu ayah-nya itu memaksa agar dirinya pulang. Tidak lain dan tidak bukan karena alasan perjodohannya dengan perempuan yang hampir enam tahun ini menjadi sahabatnya, yang sudah di sepakati kedua belah pihak keluarga beberapa bulan yang lalu, sebelum kabar ini di sampaikan pada Leo.
Wisnu tidak perduli dengan penolakan yang dilayangkan anak semata wayangnya itu dan tetap memaksa agar Leo pulang, ditambah dengan dukungan Melinda yang juga antusias menyambut perjodohan anaknya.
“Jangan cemberut terus, Bang wajah tampan kamu jadi berkurang, tuh,” goda Melinda saat Leo baru saja menghempaskan tubuhnya di jok belakang saat sebelumnya memasukan koper yang di bawanya ke dalam bagasi.
“Bodo ah, Abang kesal sama Ayah sama Bunda juga!” jawab laki-laki berambut kecoklatan yang kini mengenakan kaos polos putih di padukan dengan jaket bomber berwarna hitam yang tidak di sleting, juga celana jeans hitam yang robek di bagian lutut. Laki-laki itu cemberut dan membuang muka ke samping jendela. Enggan menatap kedua orang tuanya.
“Harusnya kamu itu bahagia, Bang, Papa jodohin kamu sama perempuan yang udah kamu kenal, bersahabat pula.” Wisnu membuka suara, tatapannya masih fokus pada jalanan dengan tangan yang sibuk di atas stir mobil.
“Ya, meskipun perempuannya udah Abang kenal, tapi 'kan Abang gak punya perasaan apa-apa, Yah, sama Luna. Kami hanya bersahabat, dan itu murni!” bantah Leo membela diri. Wisnu hanya mengangguk-anggukan kepala tanpa membalas lagi ucapan sang putra.
“Cinta itu hadir karena terbiasa, Bang. Saat ini kamu memang tidak mencintai dia, tapi siapa yang tahu besok atau lusa rasa itu mulai tumbuh,” Melinda menatap lembut sang putra yang masih menampilkan wajah cemberutnya.
Sisa perjalanan diisi dengan keheningan, karena Leo yang masih saja merajuk kepada kedua orang tuanya.
Satu jam kemudian Wisnu sudah memasuki komplek perumahannya, membunyikan klakson agar satpam membukakan gerbang rumah dan kemudian menghentikan mobilnya saat sudah sampai di pekarangan rumah.
Leo turun lebih dulu menutup pintu mobil dengan sedikit membanting membuat Melinda terkejut. Pergi begitu saja tanpa mengucapkan apa-apa bahkan meninggalkan kopernya di dalam bagasi.
“Anak kamu itu, kalau marah kayak anak kecil.” Ujar Melinda pada suaminya. Kedua orang paruh baya itu menggelengkan kepala kemudian dengan saling bergandeng tangan masuk ke dalam rumah.
Leo masuk ke dalam kamarnya, membantingkan tubuhnya ke atas tempat tidur yang sudah lama tidak ia tempati. Nyaman. Itu yang pertama kali Leo rasakan di tengah lelahnya akibat perjalanan jauh.
Hari memang masih siang tapi rasa kantuk juga lelah membuat Leo akhirnya memejamkan mata, tertidur tanpa mengganti pakaiannya terlebih dulu.
Melinda hanya menggelengkan kepala saat melihat anaknya sudah terbaring nyenyak di atas tempat tidur, bahkan tanpa melepas sepatu yang sedari tadi di kenakan. Melangkah pelan agar tidak membuat suara yang akan membangunkan sang putra. Melinda melepas sepatu dari kaki Leo, menatap wajah lelah yang begitu ketara, kemudian mengecup sayang kening anak semata wayangnya itu sebelum meninggalkan kamar Leo dan membiarkan anaknya untuk istirahat.
“Besok aja, Yah di bicarakan lagi dengan anakmu itu, sekarang biarkan Leo istirahat dulu,” ucap Melinda pada suaminya saat baru saja mendaratkan bokong di sofa samping sang suami yang tengah menonton siaran berita di televisi.
Wisnu mengangguk setuju dengan usulan sang istri. Merangkul dan menyandarkan kepala Melinda bersandar di dadanya dan kecupan ia daratkan di puncak kepala sang istri.
Usia boleh tua, tapi keharmonisan sebuah keluarga wisnu utamakan. Meski sibuk dengan pekerjaannya, Wisnu tidak pernah melupakan keluarga yang di cintai, bahkan di tengah kesibukannya itu Wisnu meluangkan waktu untuk menjemput sang putra semata wayang yang ia paksa pulang dari Amerika, tempat dimana anaknya menuntut ilmu.
Malam menjelang, Leo masih saja lelap dalam tidurnya, Melinda kembali ke dalam kamar bernuansa abu-abu yang kini gelap gulita akibat lampu yang belum di nyalakan. Melangkah masuk, menyalakan lampu juga menutup gorden kemudian duduk di sisi ranjang milik Leo.
“Bangun Bang, udah malam, kamu harus makan dulu,” Melinda sedikit menggoncang tubuh Leo hingga sang empunya bergerak terganggu.
“Bangun, sayang kamu harus makan dulu, ini sudah malam,” lagi Melinda mengguncang tubuh Leo.
Mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya yang baru saja terbuka. Mengubah posisi tidurnya menjadi duduk, Leo merentangkan kedua tangannya ke atas, menggeliat.
“Mandi sana, setelah itu turun untuk makan malam. Ayah sama Bunda tunggu di meja makan.” Leo hanya membalas dengan anggukan sebelum akhirnya Melinda keluar dari kamar anaknya itu.
Setelah dirasa kesadarannya sudah kembali sepenuhnya, barulah Leo turun dari ranjang dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Tidak butuh waktu lama, karena kini laki-laki tampan yang memiliki perut kotak-kotak itu sudah segar. Kebiasaan yang harus kalian tahu bahwa Leo begitu suka sekali bertelanjang dada sehabis mandi bahkan sejak kecil kebiasaan itu seperti sudah mendarah daging hingga saat ini.
Setelah merasa badannya sudah kering barulah Leo mengambil baju kaos lengan buntung dari lemari besarnya, kemudian keluar dari kamar dan melangkahkan kaki menuruni anak tangga menuju ruang makan dimana orang tuanya sudah menunggu.
“Selamat malam Ayah, Bunda,” sapa Leo seraya duduk di kursi yang berada di samping Melinda. Meja makan yang cukup diisi oleh delapan orang itu nyatanya selalu diisi oleh mereka bertiga.
“Malam juga, sayang.” Balas Melinda dan Wisnu bersamaan.
Melinda menyendokkan nasi, mengisi piring kosong suaminya kemudian mengisi piring Leo. Bergantian juga memberikan lauk yang di inginkan dua pria tercintanya sebelum mengisi piring miliknya sendiri.
Ketiganya makan dengan tenang, sesekali di selingi obrolan yang di dominasi oleh Melinda yang selalu bertanya tentang bagaimana keseharian anaknya di Negara orang. Leo yang memang selalu terbuka pada keluarganya menceritakan bagaimana dirinya di Amerika sana, bahkan sampai perempuan yang mengejarnya pun tidak lepas dari cerita Leo.
Sesekali orang tuanya tertawa saat menemukan kelucuan dari cerita sang anak semata wayang. Wisnu meski memiliki tatapan tajam dan pebisnis yang bisa di bilang cukup disegani banyak orang, tapi ketika bersama keluarga dia akan berubah menjadi sosok hangat yang membuat keluarganya nyaman. Tapi meskipun begitu tetap saja perintah Wisnu adalah hal mutlak yang tidak bisa siapa pun ganggu gugat termasuk soal perjodohan yang telah disepakati dengan rekan kerjanya, yang kali ini akan melakukan kerja sama besar.
Leo, meskipun anak satu-satunya dari pasangan Wisnu-Melinda yang bisa di bilang masuk dalam jajaran anak orang kaya, tidak bisa begitu saja mendapatkan apa yang di inginkannya, Leo di manja oleh ibunya, tapi dia juga di didik mandiri, bertanggung jawab dan tegas oleh ayahnya meskipun yang lebih sering terlihat adalah Leo yang Manja dan petakilan.
“Kamu mau, ya, menerima perjodohan ini?” bujuk Melinda saat mereka bertiga sudah pindah tempat ke ruang keluarga sambil menonton tayangan televisi.
“Emangnya Abang bisa nolak, Bun? Abang cukup tahu gimana watak Ayah, apa lagi kalau udah nyangkut kerja sama besar. Anak sendiri, satu-satunya pula jadi tumbal! Masih 21 tahun di kawinin. Huhh, apalah daya Abang yang hanya bisa nurut meskipun pengen banget cempulungin Ayah ke empang,” ucapan pasrah Leo membuat Melinda mengulas senyum. Wisnu menepuk bangga pundak anak semata wayangnya, meski cukup kesal mendengar kata terakhir yang terlontar dari mulut anaknya itu.
“Abang emang deh kesayangan Bunda!” pekik bahagia Melinda tersenyum lebar. Leo hanya menghela napas pasrah.
“Bunda tuh dari dulu sebenarnya pengen banget nikahin kamu, Bang. Bunda iri sama keluarga Om Leon, mereka sudah mau punya cucu aja. Bunda juga gemas lihat Lyra sama Pandu yang di usia muda dan masih imut-imut itu udah mau nyandang gelar orang tua.” Dengan wajah cemberut dan sedih Melinda menyampaikan perasaannya.
“Udah, gak usah cemberut lagi, 'kan Abang udah setuju jadi, keinginan Bunda sebentar lagi tecapai, oke?” Melinda mengangguk senang mendengar ucapan anaknya.
Meski anak satu-satunya, tapi Melinda bangga karena Leo adalah anak yang penurut, tidak pernah membangkang meski awalnya selalu menggerutu memberi protes penolakan atas keinginan orang tuanya.
Leo membelalakkan matanya saat tahu bahwa selama ini sebelum dirinya melayangkan persetujuan pada perjodohan yang dilakukan orang tuanya, ternyata keluarganya juga keluarga calon istrinya sudah menyusun dan mengurus pernikahan mereka, bahkan hingga saat ini calon istrinya itu belum sama sekali di beri tahu kabar ini.
Tidak habis pikir Leo dengan jalan pikiran kedua pasang paruh baya itu. Bagaimana mungkin Leo tidak frustasi saat tahu ternyata; gedung, undangan dan segala macam tek-tek bengek soal pernikahan sudah di persiapkan oleh keempat orang itu. Bahkan dekorasi sudah dalam pengerjaan yang dilakukan oleh ahlinya, sedangkan calon pengantin wanita belum sama sekali tahu kabar ini.
Semakin menganga saat mendengar tante Sari, ibu dari calon istrinya mengatakan bahwa undangan sudah dapat di ambil dua hari lagi. Ingin sekali Leo melayangkan protes, tapi Leo tahu bahwa itu akan percuma, ia juga tidak mau membuat orang tua; termasuk bundanya kecewa. Maka, mau tidak mau, siap tidak siap Leo harus menerima.
Selesai bertemu dam membicarakan soal pernikahannya, Leo memutuskan untuk pergi ke rumah Lyra, sahabat kecil yang sudah lama tidak ia temui.
Beberapa bulan lalu saat tahu kabar bahwa sahabatnya itu hamil, Leo terkejut, tapi juga bahagia karena akhirnya setelah rintangan dan rasa sakit yang sahabatnya itu rasakan kini kebahagian menghampiri.
Memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah yang cukup besar itu, lalu turun dan berjalan menuju pintu utama, menekan bel beberapa kali sampai sebuah suara pintu terbuka membuat senyumnya mengembang. Bi Nani menyambut dengan senyum juga pekikan terkejut saat melihat kedatangan Leo yang begitu berubah.
“Den Leo?” tanyanya tak percaya, Leo mengangguk seraya tersenyum melihat keterkejutan yang jelas di wajah wanita baya itu.
“Lily-nya ada, Bi?” tanya Leo yang langsung diangguki Bi Nani. Setelah basa basi sebentar dengan ART sahabatnya itu, Leo masuk ke dalam rumah yang sejak SMA sering ia kunjungi bersama sahabat-sahabatnya yang lain.
Leo melangkah menuju ruang tengah dimana si pemilik rumah berada. Dengan langkah pelan dan berusaha untuk tidak mengeluarkan suara, Leo mendekat ke arah Lily yang duduk bersandar pada tangan sofa, membelakanginya. Menutup mata wanita hamil itu hingga sebuah pekikan terkejut terdengar.
Lyra menjerit dan terus melemparkan bantal-bantal sofa kearahnya kemudian sebuah cubitan pedas wanita itu layangkan membuat Leo meringis, tidak menyangka bahwa sahabatnya masih memiliki tenaga sekuat itu untuk mencubitnya meski dalam keadaan hamil seperti itu
“Aw… aww… aw dasar Ibu hamil galak!” ringis Leo kesakitan.
“Aaa, Lele!” teriak Lyra begitu memekakkan telinga. Bahkan Leo sampai menutup telinganya karena tidak ingin wanita hamil itu merusak pendengarannya.
“Berisik Lily!”
“Gila-gila, ini beneran lo? Lelenya gue? Oh my good! Lele kenapa lo jadi berubah ganteng gini?” Leo hanya mendesah malas dengan kehebohan sahabatnya itu, tapi juga senyum tak urung ia berikan. Wanita hamil itu menarik lengan Leo hingga terduduk di sebelahnya menguyel pipi Leo yang jelas saja membuatnya sakit.
“Sakit Ly! Lo kenapa makin bringas aja sih, hah?!” protes Leo berusaha melepaskan tangan Lyra dari wajahnya
“Lo kapan pulang? Kenapa gak ngabarin gue? Sama siapa ke sini? Bawain gue oleh-oleh gak?”
Leo mendengus, merasa pusing mendengar rentetan pertanyaan yang di layangkan sahabatnya itu. Mengabaikan itu, mata Leo tertuju ke arah perut Lyra yang buncit.
“Perut lo gede banget, Ly?”
“Gara-gara Si Pandu ini asal lo tahu,” ucap Lyra tersenyum kecil. Terlihat jelas wajah bangga juga bahagia di sana.
“Udah berapa bulan, Ly?” Leo bertanya seraya meletakan tangannya di perut buncit Lyra dan mengelusnya dengan hati-hati.
“Udah tujuh bulan, waktu itu kan gue kasih tahu langsung sama lo, masa lo gak ngitung?”
“Ya, ngapain juga gue itung, lo buntingnya bukan sama gue.”
Bukankah tidak ada kerjaan jika Leo harus menghitung kehamilan istri orang lain? Bukan dirinya yang menghamili jadi, buat apa Leo harus ikut repot menghitung berapa usia kehamilan Lyra.
“Le, kok bisa lo jadi seganteng ini? Rambutnya sekarang udah gak hitam lagi, keren! Lo juga jadi lebih putihan, gak kumel kayak waktu SMA.” Leo mendengus kesal seraya melayangkan jitakan di jidat wanita hamil itu saat mendengar ledekan yang dilayangkan Lyra.
“Gue udah ganteng dari orok, Ly makanya dulu lo naksir gue.” Kedipan genit Leo berikan ke arah sahabatnya itu yang kini mengeluarkan dengusan juga tatapan malas.
“Nyesel gue muji!”
Leo hanya terkekeh melihat kekesalan sahabatnya itu. Sudah lama tidak merasakan suasana seperti ini, dimana ia dulu selalu menjahili dan menggoda sahabat sedari kecilnya itu.
“Tapi seriusan deh, Le, lo sekarang ganteng banget, jadi suami kedua gue mau?” tanya Lyra menaik turunkan alisnya. Leo bergidik.
“Sorry, Ly selera gue bukan cewek gendut.”
Percayalah, Lyra meski dalam keadaan perut buncit, tapi peremuan itu tetap telihat cantik apalagi sekarang tubuhnya lebih berisi, pipinya semakin tembam dan aura cantiknya semakin keluar. Andai ia yang menjadi suaminya, Leo pasti akan merasa amat bahagia saat ini, tapi Leo sadar itu tidak akan pernah terjadi. Lyra bukan di takdirkan untuk dirinya.
“Songong lo. Gue sumpahin nanti bini lo lebih gendut dari gue!”
Melihat kekesalan Lyra memang sudah menjadi hiburan tersendiri bagi Leo sejak dulu. Meski rasa sakit akibat pukulan dari bantal sofa yang dilakukan ibu hamil itu, Leo merasa puas tertawa, rasanya sudah sangat lama ia tidak tertawa selepas ini.
Lihatlah ibu hamil itu menyumpahinya untuk mendapatkan istri gendut, tidak tahu saja dia bahwa Leo akan menikah dengan wanita cantik bertubuh langsing, yang tidak lain adalah sahabat mereka sendiri.
Leo sebenarnya ingin bercerita pada sahabatnya itu, tapi sepertinya ini bukan waktu yang pas. Dan akhirnya niat itu kembali Leo urungkan. Kini ibu hamil itu tengah bersandar di dadanya, dia bilang ini kebiasaannya jika ada Pandu, dan berhubung suaminya tidak ada, tanpa meminta izin terlebih dulu Lyra langsung menyandarkan kepalanya.
Masa bodo dengan respons Pandu nanti, yang penting sekarang ia harus menuruti keinginan si ibu hamil, hitung-hitung belajar untuk dirinya nanti jika Luna hamil. Sejenak Leo ingin tertawa dengan pikirannya sendiri yang ternyata sudah sampai ke sana, padahal hatinya jelas mengakui bahwa tidak ada perasaan cinta untuk perempuan yang akan dinikahinya sepuluh hari lagi.
Ngomong-ngomong, Leo menjadi penasaran dengan respons Luna nanti saat tahu tentang pernikahan mereka yang sudah begitu tersusun apik. Menonton tayangan kartun juga melamun memikirkan reaksi Luna, membuat Leo tertawa bersama Lyra. Bukan, Leo bukan tertawa karena kelucuan di layar datar itu, tapi Leo tertawa karena membayangkan wajah terkejut Luna. Namun waktu yang pas itu membuat Lyra tidak meyadari apa yang sebenarnya Leo tertawakan.
Di tengah tawanya itu sebuah tarikan di tangannya yang merangkul bahu Lyra terasa menyakitkan. Jelas Leo terkejut begitu juga Lyra, keduanya langsung menengok ke belakang dan mendapati Pandu berada disana. Rahang sahabatnya itu mengeras dan wajahnya pun memerah. Leo, tahu Pandu tengah cemburu, tapi bukankah ini salah paham?
Saat hendak sebuah tinjuan mendarat Leo dengan cepat menghentikan dan sedikit menjerit memberi tahu sahabatnya itu bahwa ini dirinya. Leo menepis tangan Pandu, melihat sahabatnya memicing tak percaya. Leo hanya mampu mendengus kasar melihat tatapan yang dilayangkan Pandu, juga merasa risi. Leo tahu dirinya ganteng, tapi jika yang menatapnya seorang laki-laki, Leo merinding.
Setelah mengobrol basa-basi yang sahabatnya itu tanyakan tentang keberadaannya di sini juga pujian Lyra yang selalu mengatakan dirinya ganteng pada sang suami dan kemanjaan Lyra yang ingin di suapi saat makan malam hingga membuat wajah Pandu kecut karena cemburu dan terabaikan, akhirnya Leo memutuskan untuk pulang, meski ibu hamil itu sempat memintanya untuk menginap. Dan Leo berjanji untuk kembali keesokan harinya agar Lyra mengizinkannya untuk pulang malam ini.
Selesai sarapan di rumah Lyra dan mengobrol ngaler ngidul hingga akhirnya hanya duduk-duduk bosan sambil menonton televisi yang tayangannya tidak sama sekali ada yang seru, akhirnya ibu hamil itu mengajak untuk pergi ke kampus dimana Pandu kuliah. Leo ingat bahwa di sana juga calon istrinya kuliah.
Bi Nani menyerahkan kotak berisi makan siang Pandu dan tak lama dari itu Lyra keluar dari kamarnya, penampilannya sudah siap, rapi meski hanya mengenakan dress hamil selutut berwarna biru muda yang terdapat tali pita di bagian atas perutnya dan sebuah kerutan di bagian belakang, memperlihatkan tonjolan perut buncit wanita itu.
Membukakan terlebih dulu pintu mobil sebelah kanan kemudian mempersilahkan sahabatnya masuk, setelah kembali menutup pintu barulah Leo berjalan memutar menuju pintu kemudi dan langsung menjalankan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah Lyra-Pandu.
Seperti biasa jika bersama sahabat satunya ini tidak akan pernah kehabisan topik obrolan, perempuan itu terus saja mengoceh menanyakan keseharian Leo di Amerika sana, suasana kampus yang menjadi tempatnya menuntut ilmu, juga bule-bule yang menurut perempuan itu ganteng.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di kampus besar yang menjadi tempat sahabat-sahabatnya menuntut ilmu, karena kini, mereka sudah sampai di parkiran gedung fakultas bisnis dimana Pandu berada.
Leo turun dari mobil dan tidak lupa menguncinya kembali, menggandeng si ibu hamil berjalan menyusuri koridor yang tidak terlalu sepi, karena lumayan banyak orang yang diam, membaca buku, tertawa bersama teman-temannya bahkan berlalu lalang.
Leo sadar dengan banyaknya pasang mata yang menatap kearahnya apa lagi di koridor ini di huni lebih banyak oleh perempuan yang hampir semua menatapnya. Jiwa playboy Leo jelas bangkit apa lagi tidak sedikit dari mereka yang menatapnya terang-terangan, menunjukan tatapan tertarik akan dirinya.
Kedipan juga senyuman manis yang akan membuat siapa saja yang melihatnya terpesona, Leo lakukan sampai jeritan tertahan dan senyum malu-malu dapat Leo lihat.
“Di Amerika gak ada cewek cantik ya, Le?” Leo menoleh ke arah perempuan dalam gandengannya saat sebuah pertanyaan bernada cibiran itu ia dengar.
“Di Amerika banyaknya bule, Ly, gue gak suka. Mendingan yang kayak mereka itu, manis.” Jawab Leo.
Memang di Amerika banyak perempuan bule yang terkenal cantik dan seksi, tapi sedikitpun tidak membuat Leo tertarik. Leo lebih suka perempuan Asia yang memiliki wajah manis, tidak membosankan saat di pandang.
Kedipan kembali Leo layangkan pada sekumpulan perempuan yang tengah menatapnya penuh minat, hingga sebuah teriakan memanggil namanya mengalihkan Leo dari ketiga perempuan yang kini menyembunyikan wajah merahnya. Terlihat jelas di depan sana dua perempuan yang amat dikenali tengah berlari menghampiri.
Tanpa sadar Leo melepaskan tangan Lyra dari genggamannya dan berlari kecil ke arah dua perempuan yang berteriak memanggil, memeluk kedua orang itu secara bersamaan sampai telinganya terasa panas akibat jeweran yang ibu hamil itu berikan.
Ringisan nyatanya tak dipedulikan meskipun Leo memohon ampun hingga tak lama jeweran itu terlepas. Leo menghela napas lega, bersyukur karena Pandu cepat datang sebelum dedemit galak itu membuat kupingnya putus.
“Lo kenapa sih, Ra? Sakit nih kuping gue?!” Leo mengusap-usap telinganya yang luar biasa sakit.
“Abis gue kesel, lo malah ninggalin gitu aja nyamperin dua demit ini, lupa apa kalau gue lagi hamil, nanti kalau ada yang nyulik gue gimana coba?” gerutu Lyra yang masih saja cemberut dalam rangkulan Pandu.
“Mana ada yang mau nyulik lo,”
“Mereka juga mikir berulang kali buat nyulik ibu hamil doyan makan kayak lo,”
Leo ikut tertawa dengan kedua perempuan yang melancarkan ledekan pada ibu hamil itu.
Diam-diam Leo menikmati tawa renyah gadis di depannya, tersenyum kecil saat merasakan desiran hangat di hatinya seakan ada rasa baru yang menerobos untuk masuk, dan membuatnya hangat hanya dengan tawa perempuan itu, perempuan yang tidak lama lagi akan dirinya nikahi. Dan sejak itu lah Leo mulai menempatkan hatinya.
Kini mereka duduk di kantin dengan dua meja yang di satukan, duduk bertujuh menikmati makan siang masing-masing. Tadi Leo sempat berkenalan dengan kedua teman baru Pandu, mereka mudah bergaul dan menerima orang baru seperti Leo dan juga cukup menyenangkan.
Sedari tadi pandangan Leo tak lepas dari Lyra dan Pandu, kedua sahabatnya yang terlihat manis dan begitu hangat, kesabaran Pandu mendapat dua acungan jempol dari Leo melihat bagiamana manjanya Lyra.
“Lo mentang-mentang lagi hamil, Ly manjanya malah nambah!” Leo mencibir dan menarik hidung Lyra dengan gemas hingga sang empunya mendengus dan menatapnya dengan kesal.
“Sirik aja lo, jomblo!”
“Sembarangan aja lo kalau ngomong! Sorry ya gue udah gak jomblo lagi,” jawab bangga Leo seraya melirik ke arah Luna, menatap perempuan yang tengah menyantap makanannya dengan sedikit anggun.
“Ah masa, emang ada yang mau sama lo?” tanya Lyra meremehkan.
“Ngeremehin gue lo? Lihat dua lagi gue kirim undangan ke rumah lo.” Jawab bangga Leo. Semua orang yang berada satu meja dengannya menghentikan aktivitas makan mereka, menatap Leo dengan tatapan yang seolah bertanya ‘lo serius'.
Leo memberikan senyum smirknya ke arah mereka, menatap sekilas pada Luna untuk melihat respons perempuan cantik yang akan menjadi istrinya. Dan wajah cengo juga tatapan tak percaya itu lah yang membuat Leo yakin bahwa perempuan itu sampai saat ini belum tahu akan perjodohan juga pernikahan yang sudah di susun orang tua mereka.
“Lo gak bercanda kan, Le? Lo nikah sama siapa? Kok gak pernah cerita sama gue? Bule Amerika? Bukannya lo bilang gak suka cewek bule?” rentetan pertanyaan yang Lyra layangkan jujur saja membuat Leo pusing mendengarnya dan ingin sekali menjedotkan kepalanya ketembok jika saja ia tidak tahu akan rasa sakitnya.
“Nanti gue kirim undangannya. Dari sana lo akan tahu siapa perempuan yang gue nikahi.” Jawab Leo sok misterius.
“So-soan main rahasia-rahasiaan lo, Le tinggal bilang aja nama ceweknya susah banget!” dengus Luna mendaratkan sentilan di pelipis Leo.
“Kalau gue kasih tahu sekarang, nanti gak akan surprise lagi dong,” ucap Leo menaik turunkan alisnya menggoda ke arah Luna.
“Gue penasaran, sumpah Le! Kasih tahu dong! Lo gak kasian sama gue yang lagi hamil? Nanti kalau anak gue ileran gimana?” wajah memelas yang Lyra berikan untuk membujuk agar sahabatnya itu mau memberi tahu, tapi sayang itu tidak berhasil saat sebuah gelengan Leo berikan.
“Yang ngeces juga anak lo, bukan anak gue!” jawab Leo tak perduli yang membuat Lyra mendengus kesal dan melayangkan cubitan-cubitan kecil di tangan laki-laki tampan itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!