Secarik kertas berlogo klinik terlepas dan jatuh ke lantai marmer putih. Nita Athalia membungkuk dan membawa kertas itu hingga ke depan dada dan mulai membaca dengan seksama. Lututnya gemetar dan tubuhnya mendadak dingin.
"Selamat untuk kehamilanmu, Nita. Sergey pasti senang dengan kabar kehamilanmu." Lana, sang sahabat, mengulas senyuman. Dia berdiri dari kursi kerjanya dan berjongkok di depan Nita yang wajahnya semakin pucat.
"Malapetaka." Nita menggelengkan kepala, dengan tatapan berubah nanar.
"Apanya yang malapetaka?" Lana bangkit dengan bingung dan Nita meraih tas Hermes berwarna orange lalu melengos pergi.
⚓
Bayangan fitur wajah akan siapa lelaki yang telah memperko**sanya, tak dapat diingat. Nita tertegun karena seseorang telah berdiri didepannya. "Suamiku?"
"Melamun? Panggilanku tak dijawab." Sergey menjepit dagu Nita dengan lembut. Wanita itu langsung bangkit dari sofa dan tersenyum sangat manis.
"Syukurlah, akhirnya Mas pulang!"
“Yah, tolong siapkan air mandi.” Sergey melewati Nita, menuju kamar dengan diikuti Nita. Dia enggan dekat-dekat Nita.
Kran air panas dinyalakan, dan mengucur di dalam bathtub. Nita meneteskan cairan aroma terapi, lalu melirik ke arah pintu pada suaminya yang telah beruban. Walau berkepala lima, tetapi jangan tanya pesona maskulinitas seorang Sergey yang mampu mengalahkan para pemuda seusia Nita.
“Mah, putra sulung ku besok akan datang.” Sergey mengendurkan dasi. Jelas tatapan mata emas itu berbinar seolah begitu terkesima.
“Putra?” Nita lalu mengangguk pertanda mengerti. Dia baru ingat Sergey pernah menceritakan rasa sayangnya pada si sulung .
“Rama Abimasa, 2 tahun di atasmu. Kuharap kau tak keberatan, ya? ”
“Ini rumah dia juga dan aku senang bisa menyambutnya.” Nita tersenyum dengan tulus. Tak sengaja jarinya tersengat air panas, sontak dia menyalakan kran air dingin dan membasuh jari yang terasa terbakar.
“Hati-hati, Mah. Sedikit lukamu, kerugian untukku.” Sergey memasuki kamar mandi.
“Maaf, Mas. Aku tidak sengaja.” Dia buru-buru bangkit untuk menuang pasta gigi ke sikat yang telah dibasahi, lalu memberikan pada Sergey yang telah menanggalkan kemeja. Nita terpaku pada punggung berotot yang indah, tetapi tak berlebihan. “Maaf, bisakah Mas lain kali jangan membuka itu di depanku?”
“Kau istriku, apa yang kau takutkan?” Sergey menyeringai, tangannya menarik sikat gigi dari tangan mungil dengan sengaja menyentuh tangan Nita lebih lama. “Aku ingin makan pasta, Sayang.”
Nita mengangguk dengan canggung, berharap bathtub segera terisi. Suara berderak dari celana jeans melorot, membuat Nita lekas mematikan kran air. Dia keluar dengan gelisah dan mendengar tawa nakal suaminya.
⚓
Suara sendok dan garpu berdenting di ruang makan, Sergey dan Nita tengelam dalam pikirannya masing-masing. Saat Nita akan menyendokkan pasta, perutnya tiba-tiba terasa tidak nyaman. Nita menutup mulut, semua isi dalam perutnya bagai akan keluar.
Sergey mengernyitkan alis karena Nita tergesa-gesa mendorong kursi dan berlari menuju westafel. Sergey membanting garpu dan sendok karena jadi hilang selera makan. Bila dilihat dari isi piring yang masih utuh, sang istri sama sekali tak menyentuh pastanya.
Sergey tergesa-gesa kembali ke kamar. Dia mencari dokumen penting milik Rama di kamar. Dicari kesana-kemari, tetapi tidak kunjung ditemukan . Suara gaduh muncul dari tas Hermes milik Nita yang tersenggol. Bila Nita sampai tahu, dia telah menjatuhkan tas berwarna orange itu, istrinya pasti akan langsung marah.
Pria itu menarik tas dari di lantai. Sebuah amplop berlogo klinik, tertinggal tertinggal di lantai, lalu diraihnya. Dia menjereng kertas. Apa Nita sakit ?
"Hamil?" Sergey merasa kulit-kulit di kepalanya bagai terlepas saat melihat sebuah nama di pojok atas,di sisi kertas. Benar Nita Athalia, usia 24 tahun. “Nita!”
“Iya, Mas, tunggu! Aku habis beresin dapur.”
Suara Nita itu terdengar semakin keras, pertanda keberadaan sang istri sudah di dekat kamar. Nita muncul dari balik pintu dan wajah itu langsung pucat saat melihat ke arah tangannya. Sergey meremas kertas hasil tes darah, langsung melempar bola kertas dan mengenai wajah Nita yang pucat pasi.
“Katakan kamu berselingkuh dariku?” Sergey menggertakkan gigi dan siap meledakkan amarahnya. “Inikah sambutan untuk suamimu, yang baru pulang setelah satu bulan lamanya?”
⚓
Di negara bagian lain, tubuh Rama banjir keringat. Sprei sudah tak beraturan, bantal dan guling berceceran di lantai. Rama pun langsung beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan kembali dalam keadaan wangi sabun. Rama melirik wanita yang masih tak berdaya dan penuh cairan kehidupannya.
“Kamu mau kemana. Janjimu malam ini mau menginap?” Veronica masih tengkurap dengan badan polosnya. Dia memperhatikan Rama mengenakan celana yang baru diambil dari lantai.
“Aku bisa ketinggalan pesawat.” Dia memakai kaos, lalu dirangkap kemeja berlengan pendek tanpa dikancingkan. Dia mendaratkan pan**tatnya di pinggir tempat tidur untuk memakai sneaker warna putih.
“Peluk .... “
“Aku sudah terlambat, tiketku bisa hangus.” Rama menyeringai. “Jika aku dicoret dari kartu keluarga, maka kamu juga takkan bisa berbelanja lagi. Sorry Beibh!” Rama memasukan ponsel dan hp ke dalam tas Gucci. Dia tak sempat mengeringkan rambut yang masih meneteskan air.
“Berapa lama kamu di Indonesia, lalu kapan kembali ke Australia?”
“Satu bulan, mungkin,” kata Rama ketika akan menutup pintu. Dia sudah keluar, tetapi berbalik lagi untuk mengecup di udara, dari kejauhan pada kekasihnya dan Veronica tersenyum sangat manis.
Sialan, aku belum pernah terlambat seperti ini saat ke bandara, ini gara-gara godaan dari Veronica. Sore ini Sialan seperti ibu tirinya yang sialan. ****** mana yang mau menikahi pria yang lebih tua 24 tahun.
Kau mau menguras harta papaku? Jangan bermimpi kau takkan bisa melakukannya. Aku bersumpah akan membuat kamu keluar dari rumah papah, dengan sendirinya. Bila tidak ada cara baik-baik. Aku akan menggunakan cara kotor.
⚓
Rama langsung ke klub ke tempat usaha milik ayahnya. Dia memeluk ayah di tangga menuju ruang VIP. Tanpa canggung, Rama langsung bergabung dengan teman-teman kolega papa. Sampai dia begitu pengar, lalu keluar dari ruangan.
“Nanti, ya, Beibh! Aku perlu udara segar.” Rama mengusap punggung para wanita yang tak mau melepaskannya. Kalau bukan karena mabuk, pasti dia akan menendang wanita-wanita pekerja malam, yang berani menyentuhnya. Berkat bantuan penjaga bar, dia berhasil terbebas dari sentuhan dan belaian dari tangan nakal mereka.
Rama pun duduk di kursi beton di dekat pintu masuk yang tidak ada orang, di halaman belakang dan menatap keindahan taman belakang. Tidak jauh darinya, seorang wanita yang baru turun dari mobil, tak sadar bila kain sebetis telah menyangkut di pintu mobil. Saat wanita itu terus jalan, si gadis terjatuh dan rok gadis itu pun sobek.
Rama langsung tertawa geli pada tingkah gadis itu yang memegangi kain di belakang paha, sambil terus menggerutu. Rama bersiul menggoda dari kejauhan. “Cantik, sama Abang, yuk!”
Rama bersandar pada dinding, disedotnya asap nikotin yang awal pahit dan berubah manis, asap membakar paru-paru dan kepulan asap dihembuskan ke ke udara lewat mulut daengan cara yang menawan. Mata biru melirik perempuan itu dengan rakus.
Bentuk paha indah wanita itu dari sisi belakang yang tak tersembunyi. Kemeja panjang yang dikenakan wanita itu, yang masih tak bisa menyembunyikan bentuk dada. Rama yang baru kehilangan keperjakaannya kemarin, langsung menelan saliva dengan kasar karena teringat dengan Veronica.
“Kamu salah kostum, gadis manis.” Rama membuang rokok dengan asal, lalu mengikuti gadis yang berpakaian sopan.
Perut perempuan itu ditarik ke arah Rama, punggung wanita itu dibenturkan ke dinding dan Rama condong ke wajah ayu yang tersorot lampu redup. Tatapan galak mata emas kian menggoda, bagiannya. Dia mengendus bau bunga sakura di ceruk leher gadis itu lalu Rama tertawa karena perlawanan kuat, membuat jiwanya kian tertantang. “Hahahaha.”
Nita mengatubkan bibir, saking kesal dan takut, tanpa sadar telah menampar pipi yang beraroma alkohol. Pria bertubuh jakung itu bukan tandingannya. Cekalan tangan kekar di kedua tangannya pada dinding, sangatlah menyakitkan. “Lepas, aku akan membuat perhitungan denganmu!”
“Lepas? Hahaha .....”
Sergey membaca pesan masuk dari nomor Nita, lalu menuju taman belakang. Dia berhenti melangkah untuk menjawab panggilan telepon dari ibunya Rama.
“Halo, Intania. Rama sudah dua jam lalu tiba. Dia baik-baik saja. Iya, jangan ribut lagi, dia bersamaku. Aku akan pegang kendali dari sini, Okey? Dia takkan berani membuat kekacauan.”
Sergey mematikan ponsel. Mantan istrinya itu selalu mengkhawatirkan Rama. Padahal Rama sudah 26 tahun. Sergey bergegas menjemput sang istri melewati jalut khusus keluarga besar Starlight Bar.
Rama mendengar suara ayahnya, jadi pikirannya teralihkan hingga gadis itu memberontak dan ciumannya terlepas. Rama mengelus dagu dan memperhatikan kepergian gadis berambut sepinggang. Tampak Kaki mungil itu setengah berlari dengan bentuk bokong yang sangat indah seperti gitar spanyol.
“Uh bibirnya sangat manis! Aku akan membuatmu bertekuk lutut di bawah kakiku. Kau belum tahu saja siapa aku!”
Rama batal ke ruang VIP, setelah dari kamar mandi karena kepalanya yang begitu pengar. Pemuda itu tak tahan, dia berjalan ke taman lagi dengan jalan terhuyung, dan tubuhnya seperti terbang melayang. Dia melihat langit-langit indah berbintang, ternyata di sini banyak bintang.
Di ujung taman yang agak gelap, security yang tak tahan, membuka dan menurunkan resleting dengan terus melihat ke belakang. Dia mulai mengucurkan air seni dan pandangannya dijatuhkan ke tempat air seni. Matanya membulat dan dia berteriak. “Agghhh!” Sontak dia menghentikan kucuran air seni dan memasukan kejantanannya ke dalam celana.
“Ada apa?” Security berbadan jakung pun menghampiri temennya yang terus melihat ke arah gelap. “Astaga ada orang yg yang kau kencingi! Cepat bantu!”
⚓
Malam bergeser ke belahan bumi lain dan pagi datang, saat Rama sulit menggerakkan tubuhnya, yang begitu pegal. Tenggorokan begitu kering dan sakit. Dia membuka mata, teringat wanita yang sebulan lalu yang dijumpainya di toko kue di kota ini.
Belum sempat dia mengenali wajah itu secara detail, tetapi dia harus meninggalkan perempuan itu. Dia bergegas bangkit dan berjalan tanpa alas kaki. “Pelayan bodoh bahkan tak ada sandal di sini!”
Pemuda itu menuruni tangga, lalu bertanya pada pelayan perempuan yang dijumpainya dan tengah membawa lap pel. “Dimana orang-orang?”
Pelayan itu mengangguk hormat. “Tuan besar setiap jam enam pagi sudah berangkat seperti biasa, dan Nyonya Nita sedang ke pasar.”
“Nyonya ... siapa? Pasar?”
“Istri Tuan Besar, Nyonya Nita Athalia. Beliau sedang berburu sayur segar di pasar tradisional.”
Rama melewati pelayan dan terus menggerutu. Dia menuju dapur, mengambil gelas dari laci lemari dan mengisi dengan air dingin. Sementara itu, di depan kulkas dia menggelegak susu langsung dari botol.
“Nyonya Nita Athalia,” ulang Rama mengikuti nada dari mulut pelayan, lalu mengayunkan gelas dan menghabiskan segelas air. Rasanya, dahaganya tak hilang-hilang meski sudah minum air bening dan susu. “Picik sekali, bahkan semua pelayan sudah diganti!.”
“Jala*ng itu dipanggil nyonya! Lalu apa, dia pergi ke pasar? Sungguh memang cocok jadi pembantu!” Rama mengisi gelas kosong dengan air bening, lalu membawanya ke garasi kesayangan.
Kunci motor diraih dari lemari kunci dan menghabiskan segelas air, lalu meletakkan gelas di meja besi. Dia langsung memanaskan motor Ducatti merah kesayangannya yang dinamakan ‘Unicorn’ dan biasa di panggil ‘Yuni’ atau juga ‘kuda betina’.
“Hei, gadis! Kau siap bertanding? Kau merindukanku pasti. Tunggu, aku perlu memfotomu dan teman-temanku harus tahu kau perlu berolahraga malam ini!” katanya mesra pada sang motor. Dia memindahkan motor ke tempat lebih luas. Setelah itu dia bergegas pergi ke dalam rumah untuk mengambil ponsel.
⚓
“Huh! Aku dapat semuanya komplit!” Nita menekan remote dan pintu gerbang otomatis terbuka. Mobilnya melewati halaman depan rumah dan diarahkan ke garasi. Ponselnya berdering dari sang suami.
“Hallo, Mas, aku baru pulang dari pasar ini. Jadi, kamu mau makan apa nanti siang?” Nita berhenti sesaat dan mengecilkan radio mobil. Dia menjepit ponsel dibantara kuping dan bahu, lalu memundurkan mobil, dengan mengarahkan bokoong mobil ke arah kiri, dan terus mundur. “Makan siang di luar? Baiklah-“
Titttttttt ....
Nita yang terkejut pada alarm parkir justru menyentak pedal gas hingga dia terlalu kencang saat memundurkan mobil dan tanpa terduga suara kegaduhan terdengar dari luar mobil.
“Apa itu?” Nita menekan tombol di layar LCD. Tampilan radio pun berubah menjadi tampilan kamera yang mengarah ke belakang. “Astaga, siapa yang naruh motor di situ, sih!”
“Apa lagi, istriku?”
“Motor merah milik siapa ini?” Nita mengamati motor yang di dalam posisi jatuh. Jantungnya berdebar. Dia melihat ke sekeliling garasi, dari sudut muncullah sesosok pria yang langsung memegangi kepala dengan kedua tangan sambil berjongkok dengan wajah merah padam.
“Motor Ducati? Motor merah hanya milik Rama, istri ku!”
Gelombang dingin merayap di sepanjang punggung Nita. Dia menangkap ketegangan dari nada suaminya. “Mas, aku menabrak motor merah!”
“Oh Nita! Kamu membuat masalah! Itu motor, bagai hidup dan matinya si Rama. Tunggu, aku akan menelponnya.”
“Jangan dimatiin, jangan dimatiin!” Nita menutup kedua mulut. Dia ngeri melihat premuda itu berlari ke mobilnya. Nita membeku, setelah mengunci seluruh pintu mobil karena gedoran keras yang terus memukul kaca ribent.
“Keluar kamu, beraninya! Aku tahu kamu di dalam!” Rama melongok ke dalam kaca, lalu dengan kesal menyikut kaca berulangkali. “Kau pasti Ja**lang itu, kan! Keluar kau, beraninya menyakiti Yuniku! Kau mau cari mati, ya?”
Nita menelpon suaminya. Pasti dia akan celaka. Namun, astaga dia pernah liat pemuda itu. “Ayo, dong Mas angkat! Angkat! “
Tak mendapat jawaban sang suami, perempuan itu menelpon security karena kaca mobil mulai retak dan serbuk kaca mulai berjatuhan. Nita pindah ke jok belakang karena jari pria itu berhasil masuk ke lubang kaca sampai jari pria itu berdarah.
“Dia benar gila, bisakah aku selamat? Angkat dong Mas!” Nita kehabisan cara. Dia menelpon security lagi dan mereka tampak berlari menuju kemari. Sayangnya, kepala pria itu telah berhasil masuk pada lubang kaca, lalu menekan tombol kunci, sehingga Rama bisa membuka pintu.
Nita bergeser keluar saat pria itu masuk dari pintu belakang, dan Nita berlari sekencang-kencangnya yang dia bisa. Dia tahu dirinya sedang dikejar dan setelah melewati area parkir saat akan memasuki lift, dia tertegun karena tidak ada suara dibelakang.
Nita berbalik ke garasi dan mengintip, tampak pria itu, mendorong para security. Sopir rumah datang akan memajukan mobil, tetapi justru pemuda itu yang masuk dan memajukan mobil HRV merah, dan langsung memajukan mobil dengan begitu kencang.
Brakkkk!
“Si*al mobilku!” Nita meringis, tetapi tak berani mendekat dan hanya melihat bagian mobil depan itu ringsek. Suara benturan kedua begitu keras, membuat Nita merinding.
Security berlari menghampiri Rama dengan khawatir, tetapi pemuda itu melangkah dengan garang dan menendang security hingga tersungkur. Nita menggigit bibir bawah saat pemuda itu memeluk motor merah yang bodinya penyok.
“Oh, mobil hadiah dari suamiku! Astaga!” Nita terus menelpon suaminya dengan geram. Akhirnya tersambung, dia melapor ke Sergey, walau dia tahu suami nya tidak marah secara langsung, tetapi suara bariton itu jelas terdengar kesal.
⚓
“Ya, Tuhan! Mas Sergey lama amat.” Nita bersembunyi di dalam selimut, di kamarnya. Kamar itu memang memiliki keamanan tinggi dan menggunakan kode sandi. Akan tetapi, kegilaan pemuda labil itu mengerikan baginya.
Kepala Nita sakit sekali memikirkan hal tadi. Sampai bel kamar berbunyi dan seorang kepala pelayan bernama Pak Abie, datang menjemputnya dengan dua pengawal. Dia bahkan baru kali ini sampai diikuti dua pengawal di dalam rumah.
Sesampai di ruang keluarga, Nita menatap suaminya yang duduk dengan tatapan sangat dingin. Sementara dia menghindari tatapan pemuda tadi, tetapi dia yakin sedang ditatap dengan sangat tajam. Dia duduk di samping Sergey tanpa berani melihat pemuda itu yang terasa sekali aura seramnya.
" .... " Rama menyipitkan mata saat baru menyadari bahwa itu gadis semalam. Rama mengutuki diri sendiri karena terlalu bergairah, bahkan sudah mencium gadis itu dengan kegilaan. “Ayah pasti bercanda?”
Nita melirik tak sengaja pada pemuda yang baru dikenalkan Sergey yang bernama Rama. Tatapan putra Sergey itu seperti singa lapar dan tak terkendali. Bulu kuduknya meremang, dia memegangi perutnya yang terasa tak nyaman.
BENAR itu bajingan kecil semalam! Kenapa aku harus bertemu anak tiri segila dia! Walau aku sudah mencuci ratusan kali mulutku, tetapi liur beraroma alkohol itu selalu terngiang dan membuatku mau muntah.
Pak Abie-Kepala pelayan mendekat ke sofa yang diduduki Rama. "Den Rama, truk pengangkut 'Unicorn' sudah siap di halaman."
Rama menatap tajam pada ibu tirinya, menebarkan panah kebencian dan siap menabuh genderang perang. Pemuda itu lalu berdiri sambil menunggu sang papa. "Papah .... tolong."
"Pokoknya harus kembali seperti semula dan harus beres dalam tiga hari. Juga jangan melarangku lagi balapan." Rama mengikuti sang papa,dan berjalan mulai beriringan.
"Ya, ya, apapun yang kau mau. Asal kau menjaga dirimu sendiri. Jangan sampai kecelakaan fatal dua tahun lalu terulang lagi. Masih mending nyawamu selamat."
Sergey berjalan dengan elegan, melewati ruang keluarga dan sampai di garasi mengawasi para orang suruhannya dengan satu tangan masuk ke saku celana. Sergey memandangi putranya yangmana wajah tampan itu dipenuhi sorot mata kekecewaan.
Bahkan putranya sendiri yang menaikkan motor Ducati merah dengan hati-hati ke atas truk low bow dan melarang orang-orang menyentuh motor kesayangan itu, saking sayangnya sampai sudah dianggap seperti kekasih sendiri. Mungkin putranya kelainan, tetapi ya putranya memang seperti itu.
Sergey jadi teringat dulu saat pelayan memindahkan motor Ducatti merah. Sang putra langsung memukul pelayan hingga pelayan itu mengalami pendarahan otak. Sergey lalu menjual 'Kuda betina' tetapi karena anaknya lalu sakit berhari-hari dan marah saat motor itu dijual. Akhirnya, Sergey mengalah membeli motor itu lagi, yang sudah sempat dibawa keluar pulau. Rama saat itu langsung sembuh, begitu melihat motor itu. Sergey pun tidak mengijinkan Rama untuk ikut balapan lagi, karena teman-teman Rama membawa pengaruh buruk.
Sergey melirik Nita saat mata emas itu menebarkan tatapan rasa bersalah. Nita meringis melihat petugas bengkel juga membawa mobil HRV untuk diperbaiki. Sekarang Nita tak memiliki mobil, karena mobil-mobil milik keluarga Nita telah dijual oleh Sergey tanpa alasan yang jelas.
⚓
Nita menggigit jemarinya sambil mondar-mandir di kamar. Dia mendengar percakapan suaminya bahwa akan ada kekosongan posisi wakil CEO di NASA Entertainment. NASA kependekan dari Nita Athalia & Sergey Abimasa.
Dulunya perusahaan itu bernama DW Entertainment yang kependekan dari Devano Wijaya Entertainment yang juga didirikan oleh papahnya Nita. Nita tak memiliki pilihan lain, saat posisi ayahnya digeser karena berita meninggal ayahnya menyebar ke publik. Dari kecil dia berkutat di PH dan dia anak manja yang tidak diijinkan untuk bekerja oleh Papa Devan selepas kuliah. Padahal teman-temannya sudah mulai bekerja.
Sampai kematian Papa Devan membuat Sergey mendekatinya dan terus mendekatinya. Sergey juga banyak menanyakan banyak hal tentang Papah yang pada awalnya Nita tak mengetahui arti yang dimaksud Sergey. Sampai perlahan Nita tahu sendiri setelah bertanya pada Paman Pedro soal yang dimaksud Sergey.
⚓
Tiba waktu makan siang, Nita menyodorkan nasi merah ke piring Sergey, lalu duduk di sisi kiri Sergey. Sementara di depannya terdapat Rama yang terus mengawasi gerak-geriknya.
Nita memikirkan bagaimana cara mengusir Rama dari rumah ini. Jangan sampai pria itu mengacaukan rencana yang telah disusun selama lima tahun bersama ayah dulu.
"Apa restoran mu berjalan baik, Rama?" tanya Sergey dengan datar, tetapi dengan tatapan penuh kasih sayang. Restoran makanan Indonesia di Darwin- Australia itu adalah usaha Sergey, yang saat perceraian diberikan pada mantan istrinya yang diatasnamakan sang putra.
"Selalu stabil, siapa dulu dong, anak Papa, kan." Rama sambil mengunyah makanan rumahan.
Tumben chef di sini, masakannya seperti masakan nenek dahulu. Sepertinya, aku akan betah tinggal di rumah masa kecilku ini, walau ada ibu tiri yang menjijikan.
(Rama)
"Aku ingin mencoba hal baru, Pah."
"Kamu mau mencicipi dunia rumah produksi?"
"Uhuk! uhuk!" Nita menutup mulut, dia tersedak karena ucapan Sergey. Dia menerima uluran segelas air putih dari Sergey. Nita melirik Rama yang menyipitkan mata waspada. Apa maksud Sergey dengan itu?
"Wah! apa itu cocok untukku, Pah?" Mata Rama bersinar.
"Kenapa tidak? siapa lagi yang akan memegangnya jika bukan putraku."
"Uhuk Uhuk!" Nita kembali batuk-batuk. Dia menaruh serbet putih, lalu menghabiskan air minum dalam hitungan detik.
Kau kaget? tentu saja aku penerusnya. Jadi jangan bermimpi ! Batin Rama dengan senyuman licik dan tertawa di dalam hati.
Rama lalu pamit ke lantai atas karena enggan terlalu terlihat bernafsu pada jabatan yang akan diberikan padanya. Lebih baik pelan-pelan, tetapi pasti masuk ke perusahaan papah. Lalu, menyingkirkan Nita dari hidup papahnya.
"Aman kan? Dia takkan berani menyakitimu, Nita. Dia takkan berani padaku." Sergey meneruskan makan malam dengan senyuman tipis pada sang istri.
Nita menggigit bibir bawah dengan cemas. "Mas, kupikir aku tahu banyak soal dunia PH. Aku dengar ada posisi wakil CEO yang akan kosong. Bisakah aku menempatinya sementara waktu?"
"Apa alasannya, kenapa kamu ingin masuk ke kantor lagi?" Kening Sergey berkerut.
"Duduk manis menjadi istri Sergey Aiman Abimasa- apa susahnya?" Sergey dengan penuh penekan. "Kau melupakan janjimu padaku untuk tidak ke kantor?"
Sergey jadi teringat satu tahun yang lalu, kondisi di perusahaan semakin tak aman karena kematian Devano yang membuat harga saham semakin anjlog. Sergey membeli beberapa saham milik Devan dengan persetujuan si ahli waris- Nita. Saham sebesar 51 persen itu menjadi milik Sergey yang artinya dia adalah Presiden direktur di perusahaan DW. "Kamu juga harus menutupi kehamilanmu yang terlalu dini.
"Aku bisa membantu putramu yang masih sangat minim mengetahui dunia PH, Mas. Kamu kan tahu, aku dilahirkan di masa jaya-jayanya PH milik Papa Devan. Aku akan menyembunyikan kehamilan ini baik-baik."
Nita memundurkan kepala saat Sergey mendekat. Dia membeku saat jari panjang yang kasar mengusap pipinya, lalu turun ke dagu. Seolah mata biru itu memindai matanya, membuat Nita terus mundur karena nafas berbau harum itu membuat Nita ketakutan.
Gadis itu tak percaya bila teman papa, yang dulu sering datang kerumah, justru sekarang terlalu dekat. Terlebih tatapan dalam itu, ini adalah hal paling mengerikan dalam hidupnya. Saat di luar rumah, Nita juga harus menutup telinga dan mata saat menghadapi cemohan dari para awak media dan teman-temannya.
"Pintar," kata Sergey dengan nada menggantung di udara. Mata biru itu melebar dan mencari tahu tatapan putri dari sahabatnya.
Kenapa aku gugup ! Nita menghela nafas berat. Dia pikir Sergey akan mengatakan apa. "Aku ingin menjadi-"
"Rama akan menjadi wakil direktur utama dan kamu bisa menjadi penanggung jawab keuangan perusahaan. Bagaimana, bukankah penawaran ku lebih bagus, Istriku?" Sergey tersenyum hangat sembari mengusap jemari mungil di atas meja.
Jari-jari kaki Nita saling merem4s, dengan tidak terima. Harusnya dia yang jadi wakil direktur utama. Akan tetapi jika dia menentang Sergey, justru akan menghambat jalannya. Nita berusaha menunjukkan ketulusan hatinya. "Itu bagus, saya suka, Suamiku. Terimakasih untuk hadiah luar biasa ini."
"Sama-sama." Sergey tersenyum tipis. Dia tak mempercayai istrinya. Terlebih setelah beberapa bulan ini dia mendapati gerak-gerik Nita yang mencurigakan.
⚓
Nita turun dari taksi di depan rumah besar dan menekan bel. Nita masuk gerbang dan memberi salam pada security, lalu masuk dan melewati halaman rumah besar dua lantai. Dari rumah itu, Nita berjalan ke halaman belakang, lalu keluar dari pintu besi. Dia melewati jalan setapak yang ramai para pemotor dan masuk ke sebuah rumah kecil yang tak terkunci.
"Bagaimana kondisinya?" tanya Nita dengan cemas, pada paman. Nita memasuki kamar khusus yang lumayan membuat kulinya merinding karena dingin.
"Masih sama. Apa kau tak sebaiknya merelakan Papahmu saja?"
"Melepas?" Mata Nita melotot dan rahangnya bagai jatuh ke bumi.
"Dia papahku dan aku membayarmu bukan sedikit untuk menjaganya, Paman!" sentak Nita dengan nafas tersengal. Dia menahan amarah sekuat tenaga karena sudah berapa kali Paman Pedro tega mengatakan ini.
"Sudah satu tahun. Dokter pun bilang hanya kemungkinan 10 persen untuk Papahmu bisa bangun lagi." Pedro menatap tak tega pada mata Nita yang memerah.
"Aku tidak akan menyerah, Paman. Papah yang satu-satunya kumiliki, di dunia ini." Nita berpaling dan berjalan ke nakas, lalu menaruh hati-hati tas Hermes. Dia menatap buku dongeng masa kecilnya dengan nanar.
Jari-jari bercat kuku merah itu menghapus embun bening yang meleleh tanpa permisi. Nita menahan sesenggukan, dia tak mau tangisannya diketahui oleh Paman Pedro. "Aku akan menambah bayaranmu, Paman."
Pedro mengepalkan tangan. "Ini bukan soal uang, Nita. Ini bisa membahayakan nyawamu sendiri."
"Aku tak peduli," ucap Nita penuh penekanan dan tubuh bergetar. "Karena itu aku mempercayakan papah pada Paman, yang pandai beladiri. Bukan pada orang lain yang sewaktu-waktu mungkin tak peduli akan menjaga papah."
"Nak, ingat baik-baik, Devan tak menginginkan ini. Selama hidupnya dia selalu berusaha melindungi mu."
"Karena itu sekarang aku akan melindunginya. Em, Paman tidak sedang menyuruhku untuk membunuh ... papaku sendiri, kan ? Bagaimana jika Paman di posisi saya, lalu Paman membunuh ayah Paman sendiri? apa Paman berani ... seperti saat Paman menghabisi para musuh Paman?" Nita tertawa getir dengan amarah tertahan.
"Terserah kamu lah! Aku sudah memperingatkan kamu. Sergey bukan tandinganmu. Dia memiliki banyak kekuatan mafia dibelakangnya."
Nita menelan saliva dengan kasar dan bulu kuduknya meremang, lalu Paman Pedro keluar dari ruangan. Hati Nita begitu sakit, setiap memikirkan anak buah Sergey yang sering dijumpainya. Satu anak buah Sergey itu pernah terekam cctv di area kejadian saat ayahnya mengalami kecelakaan yang disabotase. Karena alasan itu dia menjadi istri Sergey.
Nita meraih buku dongeng sambil mengusap air mata dengan baju di lengannya. Tak mau papa tahu bahwa dia cengeng. Kakinya melangkah dengan ragu, lalu duduk di samping papah yang terbaring dengan badan kurus. "Papah bangun dong! Kenapa Papah selemah ini ... sekarang? Benarkah ... Anda itu Papahku, yang dulu begitu kuat?"
Nita melihat ke arah lain dan lagi air matanya jatuh. Dia terdiam sejenak, menatap ke langit-langit kamar, dan mengusap air mata yang kembali meleleh. Mulutnya ternganga membuang napas yang yang sesak.
Dia bernapas dari mulut karena hidungya tertutupi ingus. Ingusnya bahkan terus meleleh dan melewati bibirnya, membawa rasa sangat asin. Nita kembali menatap kelopak mata sang papah yang terpejam, papah seperti mayat hidup.
Suara 'nit nit' monitor membuatnya tetap waras dan kembali bersyukur karena sang papa masih hidup. Sudah satu tahun papah belum siuman sejak kepala papah itu mengalami cedera parah.
Paman Pedro menolong papah pada saat kecelakaan mobil, tetapi lebam-lebam di kepala papah, setelah dicari tahu, bukanlah karena kecelakaan. Seseorang telah berniat mencelakai papah dan berusaha menghilangkan barang bukti.
Papah operasi kepala ditempat seperti ini. Nita sampai membeli rumah di depan, karena akses ke rumah ini sebenarnya hanya jalan setapak yang pas untuk kendaraan motor gerobak. Nita sampai membugar rumah di depan, lalu membuat jalan untuk bisa dilewati mobil, lalu mobil bisa berhenti di depan rumah ini untuk sekadar menurunkan peralatan medis. Itupun dilakukan saat tidak ada orang di sekitar.
Nita juga memperbarui ruangan ini hingga sesuai standar rumah sakit internasional, dengan modal menjual berlian yang satu berlian peninggalan sang mamah bisa mencapai satu milyar. Beruntung sang mamah dulu gemar menabung dan mengumpulkan berlian.
Nita juga mengatur arus keuntungan yang adalah hak papah, dari NASA, tetapi dia tak bisa menggunakan uang itu lagi. Dia pernah mengambil uang 250 juta cash, lalu Sergey bertanya untuk apa cash sebanyak itu. Ternyata diam-diam Sergey mengawasinya.
"Pah, bangun. Nita capek," suara Nita penuh keputusaan. Kening menempel di dinginnya telapak tangan papah.
Setengah jam berlalu, Nita baru membacakan cerita legenda Sangkuriang di dekat papah. Dia menaruh buku dongeng itu di tangan papah, lalu melihat layar ponsel dan mengangkat panggilan telepon.
"Aku tahu kau mengetahui keberadaan Papahmu, Athalia," suara tawa berat dan menyeramkan terdengar dari balik telepon.
"Siapa kamu?" suara Nita bergetar dan berjalan ke luar ruangan, lalu duduk berhadapan dengan Paman Pedro dengan telepon yang sudah dispeaker. "Apa maksudmu? Papaku sudah tidak ada. Siapa ini dan dari mana Anda tahu nama dan nomerku?"
Nita menatap Paman Pedro dengan jantung berdebar. Paman Pedro ikut mendengar suara tawa berat yang kian menjadi di balik telepon. Paman Pedro terus mengayunkan jari telunjuk agar Nita terus memancing dan Nita mengangguk.
"Katakan siapa kamu dan apa maumu?" Nita berusaha tenang. "Papahku sudah meninggal. Jangan main-main denganku."
"Meninggal? kau yakin?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!