NovelToon NovelToon

Takdir Cinta Yang Kau Pilih

Bab. 1. Melupakan Makan Malam.

Suara nyaring dari heels sepatu seorang wanita yang berbenturan dengan lantai menggema di lorong rumah sakit. Terlihat seorang wanita bernama Yara dengan jubah Dokternya, sedang berlari keluar dari tempat itu dengan terburu-buru. Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, sehingga rumah sakit itu tampak sunyi dan menyeramkan.

"Ya Allah, aku sudah sangat terlambat."

Brak.

Yara menutup pintu mobilnya dengan kencang, lalu pergi meninggalkan kawasan rumah sakit.

"Bagaimana ini? Pasti Mas Aidan marah karena aku tidak datang." Dia merasa khawatir hingga menekan pedal gasnya agar melaju lebih cepat.

Pukul 9 malam tadi, Aidan yang merupakan suami Yara menelepon dan mengajak untuk makan bersama di restoran. Jam kerjanya sudah selesai, itu sebabnya dia mengiyakan ajakan dari sang suami.

Namun, siapa sangka jika terjadi sebuah kecelakaan hingga ada beberapa orang yang dibawa ke rumah sakit dengan terluka parah. Sebagai seorang Dokter, tentu Yara harus mengurus pasiennya terlebih dulu. Lalu si*alnya dia lupa memberi kabar pada sang suami.

Mobil yang dikendarai wanita itu sudah sampai di depan gerbang sebuah rumah. Petugas yang menjaga gerbang itu segera membukanya, lalu Yara melajukan mobilnya untuk masuk ke dalam tempat tersebut.

Yara segera membuka pintu rumahnya dan kembali mengunci pintu tersebut. Dia berjalan menaiki anak tangga ke lantai dua untuk menuju kamar.

Dengan perlahan, Yara membuka pintu kamar tersebut dan melihat sang suami sudah tertidur pulas di bawah selimut.

Yara berjalan untuk mendekatinya dan memperhatikan wajah tenang sang suami. "Maafkan aku, Mas. Kau pasti sudah menunggu lama di sana." Tangannya terulur untuk mengusap pipi sang suami.

Aidan menggeliatkan tubuhnya karena merasa terganggu dengan sentuhan Yara. Tidak mau membangunkan laki-laki itu, Yara segera beranjak ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.

Beberapa saat kemudian, Yara sudah keluar dari kamar mandi dengan wajah segar. Rasa lelah yang dirasakan menguap begitu saja, apalagi saat memandang wajah sang suami tercinta.

Yara beranjak naik ke atas ranjang dan menyibakkan selimut. Dia lalu merebahkan diri di samping suaminya dan kembali menarik selimut tersebut.

"Selamat malam suamiku, maafkan aku."

Cup.

Kecupan singkat Yara labuhkan dikening sang suami, lalu mulai memejamkan kedua mata dan memasuki alam mimpi.

****

Suara kicauan burung di pagi hari tidak mampu untuk membangunkan Yara dari tidurnya. Wajar saja jika dia masih terlelap, karena Yara memang baru terpejam beberapa jam saja.

Seorang lelaki yang baru keluar dari kamar mandi menatap Yara dengan nyalang. Emosi masih menyelimuti hatinya hingga dia melemparkan handuk kecil yang ada di tangannya tepat ke wajah wanita itu.

"Astaghfirullah!" Yara memekik kaget dan langsung melompat turun dari ranjang. Dadanya berdegup kencang karena terkejut dengan apa yang terjadi

"Cih. Bisa bangun juga ternyata."

Yara yang masih memegangi dada melirik ke arah samping. Kepalanya terasa berputar-putar akibat cara membangunkan suaminya yang sangat menyeramkan.

"Mas." Yara berjalan mendekati Aidan dan mengambil jas lelaki itu untuk membantu memakaikannya.

Namun, Aidan menarik jas itu dengan cepat padahal sudah berada di tangan Yara.

"Biar aku ban-"

"Tidak perlu. Kau urus saja urusanmu."

Yara langsung terdiam saat mendengar ucapan tajam nan pedas dari Aidan. Namun, dia sama sekali tidak merasa tersinggung.

"Maafkan aku, Mas. Tadi malam ada kecelakaan disekitar rumah sakit, dan ada banyak-"

Aidan mengangkat tangannya membuat ucapan Yara terhenti. "Aku tidak ingin mendengar penjelasanmu, dan aku tidak butuh dengan semua itu." Dia menatap Yara dengan tajam. "Apa kau tau, kalau aku di sana menunggumu seperti orang bod*oh?"

Yara kembali diam dengan perasaan bersalah, sungguh dia tidak sengaja melakukan semua itu.

"Ah sudahlah. Percuma ngomong sama orang kayak kamu, tidak ada gunanya." Aidan lalu berbalik dan beranjak keluar dari kamar itu.

Yara menghembuskan napas kasar. Ini keempat kalinya mereka bertengkar dalam minggu ini. Bukan makusudnya ingin menghitung pertengkaran, hanya saja hubungannya dan suami semakin jauh saja.

"Mas Aidan tidak salah, akulah yang selalu membuatnya marah." Yara segera keluar dari kamar dan mengikuti langkah Aidan menuju dapur.

"Selamat pagi, Bu," sapa Yara saat melihat sang mertua.

Nova melirik Yara dengan sinis, lalu mengabaikannya dan duduk di samping Aidan. "Susah ya, kalau punya menantu orang sibuk. Suami sendiri tidak diurus dan dibiarkan semalaman."

Yara yang akan melayani Aidan terdiam mendengar cibiran dari sang mertua. "Maaf, Bu. Aku tidak sengaja melakukannya. Tadi malam ada kecelakaan dan banyak korban yang terluka, itu sebabnya aku tidak bisa datang.

"Halah. Kau pikir Dokter di rumah sakit itu cuma kau aja, hah? Selalu mencari alasan pekerjaan, padahal kau memang hanya mementingkan dirimu sendiri." Nova membuang muka kesal. Dia lalu melayani putranya tanpa memperdulikan bagaimana perasaan Yara.

Yara mengucap istighfar agar tidak tersulut emosi karena memang dialah yang bersalah. Dia lalu menarik kursi dan duduk tepat di hadapan Aidan walaupun laki-laki itu sama sekali tidak memperdulikannya.

Mereka lalu menikmati sarapan yang sudah disiapkan oleh pembantu dalam diam. Beberapa kali Yara melihat ke arah Aidan, tetapi laki-laki itu tetap acuh tak acuh.

Setelah selesai, Aidan segera beranjak keluar dapur untuk segera berangkat bekerja. Tentu saja Yara juga ikut beranjak dan menyusul langkah sang suami.

"Mas, aku mohon maafkan aku." Yara memegang lengan Aidan membuat langkah laki-laki itu terhenti.

"Aku lelah, Yara. Kau selalu saja menganggapku sebagai orang bod*oh dan tidak menghargaiku sebagai seorang suami."

Yara langusung menggelengkan kepalanya dan menatap Aidan dengan sendu. "Tidak, Mas. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tidak bohong jika tadi malam banyak pasien, dan aku juga lupa untuk mengabarimu."

"Ya ya ya, kau memang selalu melupakanku. Aku kan, tidak ada artinya dimatamu. Kau bahkan bisa hidup senang tanpa aku, karena keluargamu kaya raya,"

"Mas!"

Tbc.

Bab. 2. Omelan Sang Mertua.

"Mas!"

Yara menatap Aidan dengan nanar, untuk kesekian kalinya laki-laki itu kembali mengungkit tentang harta kedua orang tuanya. Bukankah selama ini Aidan tahu, jika keluarganya memang kaya raya? Lalu, kenapa baru sekarang diungkit-ungkit seperti ini?

"Sudahlah, Yara. Aku lelah harus berdebat denganmu." Aidan berjalan cepat dan masuk ke dalam mobilnya. Dia menyalakan mesin mobil itu dan berlalu pergi dari sana.

Yara mematung di tempatnya berada. Entah mau bagaimana lagi dia mengatakan semua itu pada sang suami, dan dia sendiri juga tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini Aidan selalu marah padanya.

"Mana suamimu, sudah pergi?"

Yara melirik ke arah samping di mana mertuanya berjalan mendekat. "Sudah, Bu. Baru saja." Walaupun merasa kesal, dia tetap menjawab ucapan wanita paruh baya itu.

"Sebenarnya apa yang kau kejar sih, Yara? Untuk apa kau kerja sampai larut malam dan mengabaikan suamimu? Keluargamu sudah sangat kaya, jadi kau tidak perlu kerja jika ingin mendapatkan uang. Lagi pula anakku masih mampu untuk menafkahimu," ucap Nova dengan frontal. Dia kesal karena Yara terus saja sibuk dan tidak memperhatikan putranya.

Yara menarik napas dalam sebelum menjawab ucapan sang mertua, dia tidak mau melepaskan emosinya dan bertindak diluar batas.

"Aku bekerja bukan hanya karena uang, Bu. Sejak dulu aku memang ingin menjadi seorang Dokter, aku ingin membantu semua orang yang sedang sakit dan terluka."

"Halah, kau selalu aja mencari alasan. Kalau tidak mau melayani dan mengurus Aidan, lebih baik kalian cerai saja."

"Astaghfirullahal'adzim, Bu. Kenapa Ibu ngomong kayak gitu?"

Yara menatap mertuanya dengan tidak percaya. Bagaimana mungkin mertuanya itu mengatakan tentang cerai? Ucapan adalah sebuah do'a, dan ucapan yang buruk bisa saja menjadi kenyataan.

"Dengar ya, Yara. Sekarang kau sudah berumah tangga dan bukan anak gadis lagi, ada seorang laki-laki yang harus kau urus. Coba pikirkan, dalam sehari berapa jam kau bersama dengan suamimu?"

Yara terdiam dengan apa yang sang mertua katakan. Kedua tangannya saling bertautan, dengan dada yang kian sesak.

"Kau sudah menikah, dan seharusnya kau mengurus suamimu. Ingat, Yara. Surgamu ada di bawah telapak kaki suamimu, kalau sampai dia tidak senang, maka jangan harap kau bisa mencium wangi surga."

Nova segera berbalik dan berjalan naik ke lantai dua. Dia merasa benar-benar kesal melihat kesibukan Yara, apalagi semalaman putranya menunggu wanita itu.

Yara mendudukkan tubuhnya di atas sofa. Lelehan air mata kembali menetes dari kedua matanya, dan entah sudah berapa kali semua ini terjadi.

"Kenapa ibu berkata seperti itu? Selama ini aku mengurus mas Aidan dengan baik, dan hanya beberapa kali saja aku lembur. Tapi dia langsung mencapku mengabaikan suami."

Helaan napas kembali terdengar dengan tangan yang memegang kepala karena berdenyut sakit. Ingatan demi ingatan kembali berputar dalam kepala Yara, yaitu tentang pertengkaran-pertengkaran yang sudah terjadi dalam rumah tangganya. Apalagi pernikahan mereka baru menginjak 1 tahun.

"Apa aku sudah benar-benar mengabaikan suamiku?"

Tidak mau semakin pusing, Yara beranjak ke kamarnya untuk membersihkan diri. Setelah itu dia merenungkan semua yang sudah terjadi dalam rumah tangganya.

1 tahun mengenal Aidan dan dekat dengannya, mereka sama sekali tidak pernah bertengkar. Laki-laki itu selalu mendukung pekerjaan Yara, dan tidak pernah menuntut apapun saat dia sedang sibuk.

Namun, apa yang terjadi sekarang? Selama setahun menikah, entah sudah berapa kali mereka bertengkar akibat pekerjaannya.

Aidan selalu marah jika tiba-tiba Yara tidak ada kabar dan membatalkan janji jika sedang ada acara atau ingin bertemu seperti semalam. Ya, Yara sadar jika dialah yang salah. Jika sedang fokus merawat pasien, dia pasti lupa akan segala hal. Termasuk mengabari suaminya.

Sejak saat itulah hubungan mereka semakin renggang, bahkan sekatang Aidan tidak ingin bicara atau bahkan hanya melihat ke arahnya.

Yara bingung harus bagaimana, dia ingin meminta saran pada orang lain tetapi tidak tahu siapa.

"Apa aku cerita pada mama saja?"

Dia lalu menyambar kunci yang ada di atas meja dan berlalu pergi dari rumah menuju rumah sang mama, untung saja hari ini dia masuk siang.

Beberapa menit kemudian, Yara sudah sampai di rumah kedua orang tuanya karena memang jarak rumah mereka sangatlah dekat.

"Assalamu'alaikum."

Yara melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah, terdengar suara jawaban salamnya dari arah dapur membuatnya langsung beranjak ke sana.

"Loh, Nak. Tumben pagi-pagi ke sini?"

Yara langsung menyalim tangan sang mama yang sedang sibuk membuat sesuatu. "Iya, Ma. Apa papa udah berangkat kerja?"

Via menganggukkan kepalanya. "Hari ini papa ada meeting penting, makanya pergi cepat."

Via lalu mengajak Yara untuk duduk di taman belakang sambil membawa sepiring cookies yang baru saja dia buat.

"Kau enggak kerja, Nak?" tanya Via kemudian.

"Kerja Ma, tapi nanti siang." Yara menatap mamanya dengan sendu. Dia merasa bingung harus bagaimana mengatakan apa yang sudah terjadi padanya.

"Ada apa, Nak? Apa terjadi sesuatu?"

Yara mengangguk lemah. "Iya, Ma. Saat ini aku merasa bingung. Apakah aku benar-benar sudah mengabaikan suamiku?"

Via menyernyitkan kening heran saat mendengar ucapan sang putri. "Memangnya ada apa, Nak? Coba ceritakan pada mama, mungkin mama bisa sedikit membantu."

Yara menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan, setelah itu dia menceritakan semua yang sudah terjadi dalam rumah tangganya.

"Nak, apa yang ibu mertuamu katakan benar. Surgamu memang ada di bawah telapak kaki Aidan, tapi bukan berarti kau tidak bisa mencapai apa yang kau inginkan. Lebih baik bicarakan semuanya baik-baik, dan dengan kepala dingin."

Yara mengangguk paham. "Tapi bagaimana aku bicara, Ma? Mas Aidan selalu menyalahkan pekerjaanku."

Via tersenyum lalu mengusap punggung tangan Yara. "Pertama bicara lah yang baik dan tenang, jangan terpancing emosi walaupun suamimu sedang marah. Setelah kau meminta maaf dan meluruskan kesalah pahaman, barulah minta dia untuk mengerti pekerjaanmu."

Tbc.

Bab. 3. Mengantar Makanan ke Perusahaan.

Yara menganggukkan kepalanya. Setelah sedikit mengobrol dengan sang mama, dia lalu memutuskan untuk kembali pulang. Hatinya sudah terasa lebih lega dibandingkan tadi.

Dalam perjalanan, Yara berhenti sebentar di supermarket untuk membeli sesuatu. Hari ini dia ingin memasak makanan kesukaan Aidan dan mengantarnya ke kantor, sebelumnya dia sudah meminta izin untuk terlambat datang ke rumah sakit selama 2 jam. Dia ingin bicara dan menyelesaikan semua masalah dengan sang suami.

Nova yang baru saja bangun tidur mencium wangi masakan dari arah dapur. Jam sudah menunjukkan pukul 11 siang membuat perutnya kian meronta-ronta.

"Kau masak apa?"

Yara menoleh ke belakang saat mendengar ucapan sang mertua. "Aku masak kepiting asam pedas kesukaan mas Aidan, Bu. Apa Ibu mau mencicipinya?"

Nova mengangguk sambil menarik kursi dan duduk di sana, menunggu hidangan disajikan oleh menantunya.

"Ini, Bu." Yara meletakkan semangkuk kepiting asam pedas lengkap dengan nasinya ke hadapan Nova.

"Begini 'kan, bagus. Kau memasak dan menunggu suamimu pulang, setelah itu kau bisa melayaninya," ucap Nova sambil melihat Yara dengan tajam.

"Aku akan membicarakannya dengan mas Aidan, Bu. Kalau gitu aku pergi ke kantornya dulu."

Nova hanya berdehem saja untuk menanggapi ucapan Yara, dia lalu melirik ke arah wanita itu melalui ekor matanya.

Yara segera bersiap untuk pergi ke perusahaan di mana Aidan bekerja. Dengan menggunakan kemeja berwarna coklat muda dan celana kulot berwarna hitam, tidak lupa dengan hijab yang selalu menutupi kepala, dia segera pergi dari rumah untuk mengantar makanan kesukaan sang suami.

"Semoga aku bisa bicara dengan mas Aidan dan menyelesaikan semua masalah ini."

Beberapa saat kemudian, Yara sudah sampai di parkiran perusahaan. Dia segera keluar dari mobil dan masuk ke dalam tempat itu.

"Permisi, Nona." Yara tersenyum ke arah resepsionis yang saat ini juga tersenyum kepadanya.

"Selamat siang, Nona. Ada yang bisa kami bantu?" tanya resepsionis dengan ramah.

"Siang juga, Nona. Saya ingin mengantar makanan untuk suami saya, namanya Aidan William."

Resepsionis itu mengangguk paham. Kemudian mengotak-atik komputernya, dan memberikan sebuah kartu sebagai akses untuk masuk ke dalam perusahaan.

"Ruangan tuan Aidan ada di lantai 3 lorong sebelah kanan, Nona. Apakah Anda ingin saya antar?" tawar wanita itu.

Yara menggelengkan kepalanya. "Terima kasih atas tawarannya, Nona. Sebelumnya saya sudah pernah ke sini, jadi saya tahu ruangannya."

Resepsionis itu kemudian mengangguk dan mempersilahkan Yara. Yara sendiri langsung mengalungkan kartu akses itu ke lehernya dan segera masuk dengan menenteng tas bekalnya yang berwarna merah.

Yara masuk ke dalam lift, dan segera menekan tombol 3 menuju ruangan Aidan. Kemudian dia segera keluar dari sana setelah pintu liftnya terbuka.

Para karyawan yang ada di perusahaan itu mulai berhamburan keluar karena memang saat ini sudah waktunya istirahat. Begitu juga dengan Aidan yang saat ini sedang membereskan pekerjaannya sebelum pergi istirahat.

"Kita mau makan di mana, Ai?" tanya seorang wanita bernama Rosa yang baru saja masuk ke dalam ruangan Aidan

Aidan tersenyum saat melihat kedatangan Rosa, wanita itu adalah salah satu rekan kerja satu timnya. Dia menjabat sebagai ketua dari tim pemasaran yang ada di perusahaan itu dan Rosa adalah anggotanya.

"Em ... terserah kau mau makan di mana," ucap Aidan sambil mematikan laptopnya.

"Oke. Aku mau makan-"

"Assalamu'alaikum, Mas."

Aidan dan Rosa yang sedang berdiri berhadapan tersentak kaget saat mendengar suara seseorang, sontak mereka langsung menoleh ke arah pintu.

"Ya-Yara? Kau, kau di sini?" Aidan membulatkan matanya saat melihat keberadaan sang istri.

Yara menganggukkan kepalanya dengam senyum manis. "Iya Mas, aku ingin mengantar makanan untukmu, kebetulan aku lagi memasak kepiting asam pedas." Dia menunjukkan bekal yang ada di tangannya, lalu melirik ke arah seorang wanita yang ada di samping Aidan. "Dia, siapa Mas?"

"Ah, iya. Ini rekan kerjaku, namanya Rosa. Dan Rosa, ini istriku, namanya Yara."

Kedua wanita itu saling berjabat tangan dan memperkenalkan diri masing-masing.

"Aku tidak tau kalau kamu sudah menikah, Ai?" tanya Rosa membuat Aidan melihat ke arahnya.

"Benarkah? Aku kira kau sudah tahu dari yang lain." Aidan menatap heran, kemudian dia beralih melihat ke arah Yara. "Kau tidak kerja, Yara?

"Kerja, Mas. Tapi masuknya agak sorean, makanya aku ke sini dulu." Yara lalu berjalan masuk dan duduk di atas sofa. Dia meletakkan makanan yang dibawa ke atas meja lalu membukanya.

Aidan tersenyum. Dia senang karena Yara datang dan mengantar makanan untuknya, dia lalu kembali melihat ke arah Rosa yang masih berada di ruangan itu.

"Maaf, Rosa. Aku tidak bisa makan bersamamu, lebih baik kau makan dengan yang lainnya saja."

Rosa berdecak kesal dalam hati, lalu melirik Yara dengan sinis. "Ya sudah. Tapi besok kita makan bersama ya?"

Aidan menganggukkan kepalanya membuat Rosa berbalik dan keluar dari ruangan itu, dia lalu berjalan ke arah sofa dan duduk di samping Yara.

"Sepertinya kalian sangat dekat, Mas?" tanya Yara yang merasa jika sejak tadi wanita bernama Rosa itu menatapnya tajam.

"Yah dekat begitu saja," jawab Aidan sambil memperhatikan makanan yang sudah tersaji di depannya. Air liurnya menetes karena sudah tidak sabar untuk menyantap makanan itu.

Yara yang melihatnya tergelak. "Silahkan makan, Suamiku. Jangan lupa baca do'a."

Aidan menganggukkan kepalanya dan langsung menyantap makanan yang sudah sejak tadi membuatnya keroncongan, membuat Yara menggelengkan kepalanya.

Yara tersenyum saat melihat suaminya makan dengan lahap, dan dia akan berusaha lebih keras lagi untuk memberikan waktu yang lebih banyak pada Aidan.

Selesai makan, mereka masih tetap duduk di tempat itu. Yara membereskan sisa makanan mereka dan membuangnya ke tempat sampah, lalu kembali duduk di samping Aidan.

"Mas, bisa kita bicara?" tanya Yara sambil menatap Aidan sayu.

Aidan juga menatap Yara, lalu tangannya terulur mengusap lesung pipi yang ada diwajah sang istri. "Aku sudah memaafkanmu, Yara. Tapi tolonglah, aku juga butuh perhatian dan pelayanan darimu. Bukan hanya pasienmu saja."

Yara tersenyum simpul. "Baiklah. Aku akan berusaha untuk mengurangi jadwal di rumah sakit."

"Bagaimana jika kau resign saja, Sayang?"

Tbc.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!