NovelToon NovelToon

Ternyata Kaulah Jodohku

Sah

"Sah," seru dua orang saksi yang menyaksikan pernikahan antara Abizar dan Annisa.

"Alhamdulillah." Semua orang bersyukur ketika Abizar bisa melafalkan ijab qobul dengan benar setelah beberapa kali mencoba.

"Mempelai wanita silakan mencium tangan suaminya," perintah penghulu pada pasangan pengantin baru itu. Annisa pun meraih tangan Abizar untuk dicium.

Berbeda dengan Annisa yang deg-degan ketika menyentuh tangan suaminya, Abizar justru terlihat cuek dan cenderung muak. Ya, Abizar keberatan ketika orang tuanya menyuruh dia menikahi gadis yang sama sekali tidak dia kenal.

"Abi, Nisa ayo kita makan dulu!" ajak Willa, kakak Abizar.

"Tunggu sayang, mereka harus menyapa tamu-tamu yang datang terlebih dulu!" seru Safa sang ibu.

Akhirnya Abizar dan Annisa berdiri di atas panggung untuk menyalami satu per satu. Tak lama kemudian Abizar meminta izin kepada orang tuanya agar ke kamar lebih dulu dengan alasan Annisa merasa lelah. Namun, sebenarnya dia hanya berbohong.

Abizar pun menarik tangan Annisa agar gadis itu mengikuti langkahnya. Setelah sampai di dalam kamar, Abizar membaringkan tubuhnya. Sementara itu, dia membiarkan Annisa berdiri.

Annisa pun memilih melepas sanggul yang dia pakai. "Nanti kamu tidur saja di sofa." Tiba-tiba Abizar berbicara.

Annisa menoleh. "Memangnya kenapa aku tidak boleh tidur di atas ranjang yang sama denganmu? Bukankah kita suami istri?" tanya Annisa.

Abizar tersenyum sinis. "Aku tidak tertarik padamu," jawabnya enteng.

Annisa mendekat. "Katakan apa yang bisa membuatmu tertarik padaku?"

"Ck, baiklah, baiklah. Aku saja yang tidur di sofa," kata Abizar untuk menghindari perdebatan.

Annisa tersenyum senang karena itulah tujuan dia yang sebenarnya. Annisa pun tidak peduli pada Abizar.

Tak lama kemudian seseorang mengetik pintu dari luar. "Siapa?" tanya Annisa sambil berteriak.

"Layanan kamar," jawabnya dari balik pintu.

Annisa pun membukakan pintu. Namun, rupanya Abizar ingin melakukan hal yang sama. Bahu Abizar menyenggol bahu Annisa hingga Annisa hampir saja jatuh. Untung saja tangan Abizar dengan sigap menangkap pinggang sang istri. Sejenak tatapan mereka bertemu. Jantung Annisa berdegup kencang, begitu pula dengan jantung Abizar.

Annisa tersadar dari lamunannya. "Dih, apaan sih pegang-pegang?" kata Annisa.

Abizar melepas pegangan tangannya hingga tubuh Annisa terjatuh. Abizar terkekeh di saat melihat Annisa kesakitan mengusap pantatnya yang linu. "Rese," umpat Annisa lirih.

Abizar membuka pintu yang merupakan layanan kamar. Abizar menerima sebuah kado yang berukuran besar. Abizar memeriksa nama pengirim. "Cintya," gumam Abizar.

Annisa menatap curiga pada kotak kado yang dibawa suaminya. "Itu apa?" tanya Annisa.

"Bukan apa-apa," jawab Abizar ketus. Setelah itu dia berbaring di atas sofa lalu memejamkan matanya.

Keesokan harinya, Willa mengetuk pintu kamar sang adik. "Abi, Abi," teriak Willa.

Kebetulan Annisa yang selesai mandi membukakan pintu untuk kakak iparnya. Willa berpikir lain ketika melihat rambut Annisa yang basah. Willa tersenyum penuh arti. "Maaf ya kakak ganggu kalian. Ini amplop cokelat dari papa untuk Abizar."

"Baik, Kak. Nanti akan aku sampaikan pada Mas Abi," jawab Annisa.

Setelah kepergian Willa, Annisa membangunkan suaminya. "Mas Abi bangun, Mas!"

"Ck, apa sih? Masih ngantuk tahu." Abizar hanya mengubah posisinya.

"Ada titipan dari papa," jawab Annisa. Abi pun segera bangun dan membaca.

"Sial!" umpat Abizar ketika dia mengetahui kehilangan aset kekayaannya. Di surat itu Papa Zidan berkata akan memblokir semua kartu kredit yang dia pegang. Papa Zidan juga berpesan agar mencari rumah kontrakan sendiri.

"Papa benar-benar menghukumku!" Abizar meremat kertas yang dia pegang. Dirinya kesal ketika ancaman ayahnya tidak main-main.

Zidan yang mengetahui kelakuan nakal Abizar di luar sana memutuskan untuk menikahkan Abizar dengan gadis pilihannya. Ayah Annisa adalah lelaki yang baik dan sudah lama berteman dengan Zidan.

Selama ini, Abizar salah pergaulan. Zidan berusaha menghentikan kebiasaan buruk anaknya itu dengan menikahkan putranya dengan gadis dari keturunan baik-baik.

"Nggak bisa, nggak bisa. Aku harus protes sama papa." Abizar menyambar bajunya kemudian keluar dari kamar hotel.

"Ih, kok dia main tinggal gitu aja sih?" gerutu Annisa.

Abizar menaiki taksi lalu dia menuju ke rumah orang tuanya. Semalam setelah acara pesta yang dilakukan di ballroom hotel, Abizar dan Annisa memang sengaja menginap di kamar suite room yang telah disediakan. Sayangnya itulah terakhir kali Abizar merasakan kemewahan harta orang tuanya.

"Papa, Papa mana Bik?" tanya Abizar pada asisten rumah tangganya.

"Sedang sarapan di halaman belakang, Den," jawab wanita paruh baya itu.

"Papa," teriak Abizar.

"Papa tidak tuli kenapa kamu harus teriak-teriak?" tanya Zidan.

"Kenapa papa memblokir semua kartu kredit yang aku miliki?"

Zidan melirik putranya. "Itu semua kekayaan papa. Kamu tidak berhak lagi menikmati semua itu karena kamu sudah berkeluarga," jawab Zidan.

"Papa sengaja kan menikahkan aku dengan gadis itu untuk membuatku miskin?" tuduh Abizar.

"Abizar jangan bicara kasar sama papa!" tegur sang ibu.

Zidan meletakkan sendok dan garpunya. "Kamu tidak ingat berapa banyak uang papa yang telah kamu habiskan untuk berfoya-foya? Bukankah kamu menolak kerja di perusahaan papa? Sekarang kamu sudah menjadi suami jadi kamu harus mencari pekerjaan untuk menafkahi istrimu."

"Oh iya Abi, mana Annisa?" tanya sang ibu.

"Masih di hotel," jawab Abi enteng.

"Abi, bisa-bisanya kamu meninggalkan Annisa begitu saja. Sekarang susul dia! Awas saja kalau kami sampai menelantarkan menantu mama," ancam Safa pada putranya. Abizar pun keluar karena usahanya sia-sia untuk meminta sang ayah menangguhkan hukumannya.

Di kamar hotel, Annisa melihat kado yang didapat suaminya kemaren. Dia melihat nama Cintya tertulis di nama pengirim yang ada di atas kado tersebut. "Dari pacarnya? Isinya apa ya? Kok segede gini," gumam Annisa penasaran.

Gadis itu tak peduli. Sesaat kemudian Abizar masuk ke dalam kamar. "Siapa kamu?" tanya Abizar pada gadis yang memakai hijab. Seingatnya wanita yang dinikahi kemaren tidak memakai hijab. Annisa menoleh.

"Kamu?" Abizar terpesona dengan kecantikan Annisa yang terpancar setelah dia memutuskan memakai hijab.

"Kenapa? Cantik bukan?" Annisa memamerkan hijab dan pakaian yang sedang dia pakai sambil muter-muter.

"Nggak jelek. Dilihat dari sisi manapun kamu selalu jelek," sangkal Abizar.

"Mas, kita akan pulang ke mana?" tanya Annisa.

Bahu Abizar meluruh. Tak mungkin dia membawa Annisa untuk pulang ke rumah orang tuanya. Apalagi sang mama sudah memberi ancaman tadi. "Kamu punya uang?" tanya Abizar. Annisa mengangguk.

"Kita sewa rumah untuk tempat tinggal," ucapnya mantap. Sebenarnya dia malu pada wanita itu karena harus meminjam uang, tapi mau bagaimana lagi. Abizar tidak punya uang serupiah pun.

♥️♥️♥️

Hai, yang baru mampir jangan lupa subscribe ya. Ini kisah anak-anak Zidan dan Safa di novel KEKASIHKU PRIA AMNESIA

Jangan lupa VOTE, Like, dan koment

Mengontrak Rumah

Abizar mengajak Annisa mencari rumah kontrakan. "Jangan naik taksi, Mas. Nanti uangku habis buat bayar taksi," protes Annisa. Abizar setuju dengan pendapat Annisa. Kalau uang wanita itu sampai habis hanya untuk bayar ongkos taksi, lalu bagaimana dia bisa berteduh? Pikir Abizar.

"Baiklah, kita jalan kaki saja. Kita cari rumah kontrakan di sekitar sini," kata Abizar memberi usul. Annisa pun mengangguk setuju.

Menatap punggung suaminya saja jantung Annisa berdegup kencang apalagi kalau sampai tangannya digandeng. Annisa jadi senyum-senyum sendiri membayangkannya. "Ck, jangan mimpi," gerutu Annisa. Meski lirih Abizar bisa mendengarkan.

Abizar pun menoleh pada istrinya itu. "Kenapa?" tanya Abizar curiga.

"Nggak apa-apa. By the way apa isi kotak itu sampai ke mana-mana kamu bawa?" tanya Annisa penasaran.

"Kepo," sarkas Abizar. Annisa hanya mencibir.

Setelah cukup lama mencari tiba-tiba Abizar bertemu dengan Cintya, wanita yang menjadi kekasihnya selama ini. "Mas Abi," panggil Cintya dengan lirih. Matanya berkaca-kaca ketika melihat Abizar berjalan dengan seorang wanita yang sudah bisa dia tebak adalah istrinya.

"Cintya apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Abizar.

"Entahlah apa yang membawaku ke sini. Tapi, aku beruntung bisa bertemu denganmu. Mas bisakah kita bicara berdua?" pinta Cintya.

Abizar menoleh pada Annisa. "Pergilah Mas! Aku akan mencari kontrakan untuk kita tinggal. Tapi bisakah kamu meninggalkan nomor teleponmu agar aku bisa memberi tahu dirimu di mana kita tinggal nanti."

Annisa mencoba bersabar agar suaminya itu bisa menyelesaikan masalah dengan mantan pacarnya. Abizar memberikan ponselnya pada Annisa. Setelah itu Cintya membawa Abizar pergi. Annisa menatap sendu kepergian suaminya. Namun, dia tidak boleh berburuk sangka. "Mas Abi pasti akan kembali padaku karena aku istri sahnya," pikir Annisa.

Annisa berjalan cukup jauh barulah dia menemukan rumah yang dikontrakkan setelah bertanya-tanya warga sekitar. "Ini mbak rumahnya." Pemilik rumah tesebut menunjukkan rumah yang akan dikontrak oleh Annisa.

Rumah yang tidak terlalu besar tapi cukup untuk tinggal bersama dengan Abizar sementara. "Saya ambil ya, Pak. Berapa biaya per tahun?" tanya Annisa.

"Murah mbak enam juta saja pertahun," jawab pemilik kontrakan.

Annisa berpikir sejenak sebelum akhirnya memutuskan jadi mengambil rumah kontrakan itu atau tidak. "Dicicil perbulan boleh tidak, Pak?" tanya Annisa meminta keringanan.

"Bisa, terserah mbak aja. Asalkan bayarnya nggak telat," jawab lelaki paruh baya itu. Annisa setuju. Pemilik rumah kontrakan itu memberikan kunci pada Annisa setelah dia membayar uang kontrakan bulan ini.

Annisa melihat isi rumah tersebut banyak debu dan sangat kotor. Dia pun mulai membersihkan rumah. "Pokoknya aku akan bikin Mas Abi nyaman tinggal bersamaku," gumam Annisa seraya mengelap meja.

Walau dia dijodohkan nyatanya dia memilih berdamai dengan keadaan. Dia yakin cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Lagipula Abizar lelaki yang berasal dari keluarga baik-baik, dia yakin kalau Abi orang baik juga. Annisa tidak tahu alasan orang tua Abizar menikahkan dia dengan putranya.

Sementara itu Cintya dan Abizar sedang berada di kafe untuk bicara empat mata. "Mas, apa kamu yakin dengan pernikahan ini? Bukankah kamu masih mencintai aku?" tanya Cintya.

Abizar membuang nafas kasar. "Mau bagaimana lagi nasi sudah menjadi bubur. Aku pun tidak bisa menceraikan Annisa dalam waktu dekat," jawab Abizar dengan nada pasrah.

"Bukankah laki-laki bisa memiliki istri lebih dari satu. Kenapa kita tidak menikah saja, Mas? Kamu tidak perlu menceraikan istri pilihan orang tuamu. Sama-sama enak kan?" pikir Cintya enteng.

Abizar memejamkan mata sejenak lalu kembali membukanya. "Nyatanya tidak semudah itu Cintya. Orang tuaku telah memutus semua fasilitas yang mereka berikan padaku. Aku tidak punya apa-apa sekarang," ungkap Abizar.

Cintya terperangah. Laki-laki yang ada di depannya kini berubah menjadi laki-laki miskin. "Oh, baiklah. Lupakan permintaan aku tadi." Cintya pun berubah pikiran.

"Oh ya kado dari kamu itu isinya apa?" tanya Abizar antusias.

"Itu barang-barang yang aku kembalikan padamu. Aku tidak butuh lagi karena kamu telah mengkhianati aku." Cintya berdiri lalu dia pergi begitu saja meninggalkan Abizar.

Abizar merasa bersalah pada Cintya. Mereka telah berpacaran cukup lama tapi nyatanya menikahnya dengan orang lain. Tak lama kemudian Abizar mendapatkan telepon dari nomor yang tidak dia kenal. Abizar pikir itu Annisa. "Ya, Hallo."

"Mas, aku sudah dapat rumah kontrakan. Kamu kapan pulang? Aku kirim alamatnya melalui pesan ya," ucap Annisa bersemangat.

Mau tak mau Abizar pulang ke rumah kontrakannya yang baru. Dia tidak mau hidup menggelandang di jalan. Abizar tidak memiliki uang sehingga dia hanya bisa berjalan sampai ke tempat tujuan. Annisa telah lama menunggu suaminya.

"Mas, kamu dari mana saja? Aku sangat khawatir," kata Annisa. Dia mengambil minum untuk Abizar yang terlihat kelelahan.

"Aku tidak punya uang jadi aku berjalan untuk sampai sini," jawab Abizar dengan jujur. Annisa terkejut sekaligus merasa kasihan.

"Ya sudah kamu bersih-bersih dulu nanti makan malam. Aku sudah masak buat kamu," ucap Annisa sambil tersenyum. Abizar menelan ludahnya karena senyuman Annisa begitu manis. Bahkan dia terlihat lebih cantik dari Cintya.

"Oh iya, Mas Abi aku sudah menata baju-baju Mas Abi. Tadi aku hubungi orang tua Mas Abi untuk mengantarkan baju-bajumu. Aku juga sudah mengambil baju-bajuku dari rumah." Annisa bercerita panjang lebar tapi Abi tak menghiraukannya.

Saat ini yang dia butuhkan adalah mandi. Badannya sudah lengket karena banyak keringat yang keluar setelah berjalan jauh. Usai mandi, Annisa mengajak suaminya duduk di meja makan.

"Maaf, Mas. Kita makan seadanya tidak apa-apa kan? Tabungan aku nggak banyak. Jadi kita harus berhemat. Ayo makan Mas! Biar aku ambilkan ya!"

Lagi-lagi Abi merasa bingung menanggapi sikap Annisa yang sepertinya tidak menolak pernikahan ini. "Kamu sudah makan?" tanya Abizar. Annisa menggeleng.

"Aku menunggumu pulang," jawab Annisa. Hati Abi merasa tersentuh. Baru pertama kali seorang wanita memperlakukan dirinya seperti ini.

"Makanlah!" perintah Abi. Annisa pun segera mengambil nasi dan lauk yang berupa ikan lele goreng beserta lalapannya.

"Masakan kamu enak," puji Abi.

Wajah Annisa bersemu merah. "Terima kasih. Aku sudah biasa masak jadi masakan seperti ini sangat mudah dimasak. Oh ya, Mas Abi kerja di mana? Semoga gaji Mas Abi cukup untuk membayar kontrakan kita per bulan." Ucapan Annisa membuat Abizar tersedak.

"Mas minum dulu!" Annisa menyodorkan segelas air putih untuk suaminya.

"Aku belum punya pekerjaan," jawab Abi dengan jujur. Dia tidak mau membohongi gadis sebaik Annisa.

Bagaimana reaksi Annisa ketika mengetahui suaminya hanya seorang pengangguran?

Sulitnya mencari kerja

Annisa terkejut saat suaminya bilang tidak memiliki pekerjaan. "Ya sudah tidak apa-apa Mas Abi bisa mulai mencari pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan terakhir Mas Abi," kata Annisa mencoba berlapang dada.

Abizar merasa malu pada Annisa. Dia sadar statusnya sekarang adalah kepala keluarga. "Aku janji besok akan mencari pekerjaan," ucap Abi.

Annisa tersenyum menanggapi ucapan suaminya. Usai makan malam, Abizar ingin merebahkan diri sebab dia merasa kelelahan karena berjalan jauh sore tadi hingga malam. Abizar memasuki kamar lalu memejamkan mata.

Ketika waktunya Annisa beristirahat dia bingung. Haruskah dia tidur seranjang dengan suaminya atau dia tidur di sofa seperti kemaren yabg mereka lakukan di hotel. Mereka tidur secara terpisah. Karena di rumah kontrakan itu ada dua kamar, Annisa memilih tidur di kamar lain.

Keesokan harinya Annisa bangun tepat ketika adzan subuh. Dia membersihkan rumah kemudian baru membangunkan suaminya. "Mas Abi, bangun Mas! Kita sholat subuh dulu yuk!" ajak Annisa.

"Kamu duluan aja!" jawab Abizar dengan mata terpejam.

"Mas, jangan begitu." Annisa menyerah setelah usahanya sia-sia membangunkan Abizar. Akhirnya Annisa sholat subuh sendirian. Padahal niat awal dia ingin jadi makmum suaminya.

Usai sholat, Annisa memanjatkan doa. "Semoga suamiku hari ini Kau permudah jalannya dalam mendapatkan pekerjaan Ya Allah. Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."

Annisa berharap suaminya bisa segera mendapatkan pekerjaan agar kebutuhan mereka bisa tercukupi karena jika mengandalkan tabungan Annisa yang tak seberapa tidaklah cukup.

Setelah menunaikan ibadah, Annisa memasak sarapan untuk suaminya. Telor goreng yang dicampur dengan daun bawang andalannya untuk disuguhkan pada Abizar.

Abizar mencium bau wangi masakan dari arah dapur sehingga membuat perutnya terasa lapar. Dia pun bangun kemudian menghampiri Annisa. "Udah matang belum?" tanya Abizar yang muncul tiba-tiba di belakang Annisa.

"Ya ampun Mas Abi ngagetin aja. Kalau masalah perut aja nomor satu tapi sholat bisa-bisanya dilupakan. Ingat telur tuh nggak menetas sendiri. Semua ini ada yang menciptakan," ledek Annisa.

"Ck, pagi-pagi udah berisik aja. Kalau kamu mikir gimana prosesnya ini bisa jadi telur kamu nggak akan jadi makan."

"Kok gitu?" tanya Annisa heran dengan jawaban suaminya.

"Ya karena prosesnya berasal dari sepasang ayam yang kawin. Kamu udah pernah lihat ayam kawin belum?" goda Abizar.

"Idih, nggak jelas," cibir Annisa. Pikirannya jadi ke mana-mana. Sementara Abizar terkekeh melihat tingkah sang istri.

"Mas mau dibuatin minum apa?" tanya Annisa.

"Memangnya kamu udah beli gula sama kopi atau teh gitu?" tanya Abizar setengah meledek. Dia pikir karena baru pindah kemaren tentu saja Annisa tidak mungkin membeli semua kebutuhannya dalam waktu singkat. Terlebih hanya mengandalkan tabungan Annisa yang sepertinya pas-pasan pastilah dia akan berpikir ulang.

"Sudah dong. Aku udah beli teh, kopi, sama gula. Soalnya aku nggak tahu Mas Abi sukanya apa," jawab Annisa.

Abizar merasa terharu. Dia pikir Annisa seorang gadis manja yang tidak bisa menyenangkan suami karena terbiasa dilayani seperti kebanyakan wanita seusianya yang menikmati masa lajangnya. Namun, kali ini pemikiran Abizar itu salah besar. Mulai pertama kali dia mengenal Annisa, gadis itu tampak dewasa dan terlihat lebih siap menjalani rumah tangga yang dibangun atas dasar perjodohan itu.

Abizar merasa malu pada Annisa. Dia hanya lelaki yang sepanjang hidupnya hanya bisa menghabiskan uang sang ayah untuk berfoya-foya. Tak ada kegiatan berarti yang dia lakukan padahal usianya hampir menginjak kepala tiga.

Pantas saja kalau Zidan, sang ayah merasa geram dengan sikap Abizar yang hanya bisa bermalas-malasan.

"Aku mau siap-siap kerja. Tapi buatkan aku secangkir teh hangat saja untuk pagi ini."

Annisa merasa senang karena pertama kali mendapatkan perintah dari sang suami. Annisa berjanji pada dirinya sendiri akan berbakti pada Abizar sesuai pesan orang tuanya.

Abizar memakai setelan kemeja dan celana kain dengan rapi. Sesaat kemudian dia keluar dari kamar. Annisa terpesona pada penampilan suaminya yang begitu berbeda. "Subhanallah," ucapnya ketika melihat Abizar berdiri di hadapannya.

"Kenapa? Nggak cocok ya?" tanya Abizar seraya melihat dirinya sendiri.

"Bukan, bukan. Mas Abi ganteng banget," puji Annisa. Wajah Abizar bersemu tapi dengan cepat dia memalingkan wajah agar Annisa tidak bisa melihatnya.

"Oh iya. Ini tehnya Mas." Annisa memberikan secangkir teh hangat untuk suaminya." Abizar menerima cangkir tersebut lalu meminumnya.

"Terlalu manis. Lain kali cukup satu sendok teh saja," kata Abi memberi tahu kesukaannya. Annisa mengangguk paham.

Setelah itu Abizar pamit untuk mencari pekerjaan. "Mas Abi tunggu!" Annisa menghentikan langkah suaminya. Abi menoleh. Setelah itu Annisa meraih tangan kanan suaminya. Annisa mencium tangan Abizar. Kali ini jantung Abizar berdegup kencang. Rasanya berbeda ketika dulu Annisa mencium tangannya usai akad nikah.

"Aku doakan Mas Abi segeralah mendapatkan pekerjaan. Tidak usah pilih-pilih ya, Mas. Yang penting halal," pesan Annisa panjang lebar sebelum suaminya pergi.

Kemudian Annisa memberikan sejumlah uang pada suaminya. "Mas aku ada sedikit uang untuk ongkos jalan." Abizar ingin menolak tapi jika dia tidak menerima uang itu maka bosa dipastikan kakinya akan bengkak karena berjalan sepanjang hari.

"Iya, bawel." Abizar pun berjalan melewati gang rumahnya. Setelah itu dia mencari angkutan umum.

Ini pertama kalinya Abizar naik angkutan umum. Penumpang di angkutan itu begitu penuh sampai berdesakan. Tubuh Abizar yang awalnya wangi jadi bau karena bajunya tertempel bau keringat penumpang lain.

'Begini rasanya jadi rakyat jelata,' batin Abi meronta. Kalau saja sang ayah tak memutus semua fasilitas maka dia tidak perlu menaiki angkutan umum.

Ketika angkutan tersebut berhenti, Abizar memutuskan untuk turun. Dia memberikan uang dua puluh ribu tanpa mengambil kembalian. Padahal kernek angkutan tersebut terus memanggilnya. Tapi Abi cuek dan terus berjalan jauh karena kesal.

Abizar berhenti di sebuah perusahaan kemudian bertanya pada security yang sedang bertugas. Laki-laki itu melihat penampilan Abi yang berantakan. "Maaf, Mas. Tidak ada lowongan di sini," tolak security itu.

"Sombong banget! Kalau mau saya juga bisa beli nih perusahaan," umpat Abizar lirih. Akan tetapi security itu bisa mendengar ucapan Abizar.

"Pergi kamu!" usir security tersebut.

Abizar telah mencari pekerjaan dari satu perusahaan ke perusahaan lain hingga sore hari. Ketika dia ingin pulang langit ternyata tak bersahabat dengannya. Hujan tiba-tiba turun dengan lebat.

Uang yang diberikan oleh Annisa telah habis digunakan untuk mondar-mandir mencari pekerjaan. Akhirnya dia kembali berjalan menuju ke rumahnya.

Sementara itu Annisa gelisah menunggu kepulangan suaminya. "Kok sampai maghrib begini Mas Abi belum pulang?" tanya Annisa pada dirinya sendiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!