Dari segenap kisah yang tersemat di cerita Jogja, Kamu, & Kenangan dan Rekah Hati. Paijo Halim, pemeran pembantu asli Bantul Yogyakarta itu kerap muncul sebagai tempat pelarian para penikmat patah hati dan pemberi petuah bijak untuk sahabatnya yang dilanda problematika cinta. Bagai ahli profesional curhat-curhatan yang tidak perlu diragukan kredibilitasnya menyimpan rahasia-rahasia paling rumit dan tergetir para sahabatnya. Apakah ia juga sanggup menyimpan bangkai perselingkuhannya sendiri dari tunangannya, Puspita?
...Happy Reading 💚...
...(✯ᴗ✯)...
Paijo membuka pintu rumahnya setelah suara ketukan berulang kali terjadi bak peringatan tanda bahaya berhenti terdengar.
Pria macho dengan kulit kecoklatan dan brewok tipis amat rapi itu terdiam sambil melebarkan mata atas datangnya wanita tinggi semampai yang menggunakan hot pant dan crop top putih yang memperlihatkan pusarnya yang bertindik kristal merah muda.
“Hai, Paijo.” Genit wanita itu menyapa.
Paijo mengerjapkan mata sambil mengusap lehernya canggung. “Michelle? Kok tahu rumahku...” ucapnya dengan ekspresi salah tingkah.
“Tanya mas Dominic.” Michelle menyandarkan kepalanya di kusen pintu dengan senyum yang tak pudar di bibirnya.
Lelaki impiannya yang ia kenal di Malang ada di depan matanya sekarang, nyata dan memukau.
Paijo melihat sekeliling, tidak ada siapa pun di mobil merahnya yang berhenti tepat di bawah pohon mangga.
“Ngapain kamu ke sini sendirian?” tanya Paijo di tengah suasana malam yang asri dan sunyi. Suara jangkrik dan kodok di persawahan menjadi nyanyian alam yang menemani pertemuan mereka.
“Mau main.” Tanpa ragu, Michelle yang Paijo kenal di rumah sahabatnya ‘Novel Jogja, Kamu & Kenangan’ masuk melewati sang empunya rumah sembari menyeret koper merah mudanya.
Di dalam rumah yang memiliki gaya joglo, Michelle melihat-lihat dengan kagum.
Paijo memejamkan mata dengan kedua telapak tangan menempel di pelipis. Sadar tak guna berdiam diri, kehadiran wanita yang bisa menjadi gunjingan Lik Surip sekeluarga dan para warga desa membuat Paijo mengintai suasana sekitar dengan saksama.
Sepi. Hanya di warung kelontong dekat rumah ada Lik Mulyadi yang saban hari dangdutan siang malam di bawah pohon talok yang saban berbuah lebat, bocah-bocah berebutan memetiknya.
Aman, damai, sentosa.
Tangan Paijo giat meraih satu persatu daun pintu yang terbuka lebar-lebar seraya menutupnya.
“Kamu ngapain ke sini, Sel?” tanya Paijo heran setelah berdiri di depan tamu tak di undangnya. Sama sekali tak di undang hanya saja ia sempat janjian untuk bertemu lagi kapan-kapan setelah Paijo pamit dari acara aqiqah Budiman—keponakan Michelle—di kota Malang.
Paijo berdecak dalam hati, tak menyangka jika basa-basi gombalnya demi menjaga tali silaturahmi dengan keluarga Dominic terjadi hari ini, di malam Jum'at Kliwon yang wening.
“Aku bilang hanya main, Paijo.” Michelle berdecak sebal, laki-laki sarungan yang ia puji mempunyai tangan kapalan itu menambah rasa geli dihatinya. Anggaplah Paijo manusia paling nyentrik dan gres di hidup Michelle yang di penuhi orang bule dan perlente.
”Serius aku hanya ingin silaturahmi aja, tanyao bapakku apa mas Dominic kalau nggak percaya, aku pamit ke Jogja buat ketemu Paijo sekalian liburan.”
Liburan? Enak banget hidupnya. Liburan kok nggak perlu nunggu wikend.
Michelle menatap lekat-lekat Paijo dengan heran. Laki-laki itu tampak menggerutu dalam hati karena bibirnya bergerak-gerak.
“Kamu kenapa, Jo? Batin aku, ya?” tukas Michelle.
Paijo lantas mengajak duduk wanita berambut ikal sebahu di depannya tanpa sungkan.
Bunyi kursi bambu berderit menahan beban keduanya sementara di atas mereka lampu LED menerangi ruang tamu yang interiornya lebih banyak terbuat dari kayu.
Paijo memegang lututnya. Di samping seorang wanita idaman yang memenuhi kriteria pendamping hidup yang pernah ia bayangkan menjadi miliknya membuat kebingungannya meningkat.
“Gini, ya.” katanya lembut alih-alih menawari segelas air putih untuk Michelle yang mengemudikan mobilnya dari Malang ke Jogja seorang diri tanpa jeda. “Aku dan masmu memang sahabat dekat, cuma kalau sama kamu aku tidak bisa akrab!”
Michelle lantas mengingat pesan Dominic sebelum ia pergi.
Temenan sama Paijo boleh, Chell. Tapi dia itu sudah punya tunangan, jangan macam-macam, jangan kamu goda dia, awas kamu, mas nggak mau kehilangannya karena kenakalanmu.
Berbekal nasihat yang masuk kuping kanan keluar kuping kiri, hati Michelle bertanya-tanya kenapa Paijo begitu membatasi gerak-geriknya kepada wanita cantik dan sensual sepertinya. Bingung rasanya Michelle, sudah tidak menarikkah dia di mata rakyat Indonesia bersuku Jawa itu?
Pikiran Michelle melayang-layang.
Hening.
Paijo melirik Michelle. “Kok diam saja?” tanyanya saat wanita yang mengagumi rumahnya balas meliriknya.
“Rumahmu sepi banget mirip kuburan. Pada ke mana?” Mata Michelle pindah dari satu titik ke titik lain yang menurutnya bagus di lihat. Ada kuda lumping sepasang, kuda tiruan dari anyaman bambu yang di pajang berhadapan di tembok kanan.
“Bapakku masih mengabdi, ibuku sudah wafat. Adikku sudah nikah dan tinggal di kampung suaminya, jadi ya memang sepi rumah ini.” jawab Paijo spontan.
Bibir Michelle merekah perlahan-lahan dan tanpa bisa Paijo duga wanita itu membungkuk, memperlihatkan sejengkal punggung yang sangat mulut dan apik di tonton matanya yang butuh kesegaran.
Paijo memelototinya saat Michelle membuka koper seraya mengeluarkan kimono handuk.
”Kalau gitu aku numpang mandi, Jo. Gerah banget habis perjalanan jauh.” Michelle tersenyum riang.
Paijo Halim Pradana. Anak pertama dari abdi dalem kaprajan Keraton Yogyakarta itu tersentak, dadanya mengembang seolah mengisi banyak-banyak oksigen agar gejala sesak napas tidak terjadi sebab baru kali ini dalam hidupnya menampung satu tamu yang sedikit vulgar.
Paijo pikir-pikir sebelum mengiyakan, toh apa pun yang dilakukan Michelle ia punya senjata ampuh untuk mengusirnya.
Dalam akuarium besar, hidup seekor hewan melata berukuran lengan orang dewasa sepanjang tiga meter dan gerombolan tikus berbulu putih yang bisa ia gunakan untuk menakut-nakutinya.
Paijo mengantar Michelle ke kamar mandi yang terdapat di bedeng rumah belakang. Heran dan ternganga langsung terlihat jelas di wajah Michelle, ia merapatkan tubuhnya ke tubuh Paijo.
“Serem...” Bukan jijik pada tempat yang dia pijak sekarang. Lampu artistik lima watt di tengah gaduhnya suara tikus dan barang-barang remeh temeh seperti tumpukan kardus, lemari jadul kaca penyimpan barang-barang bekas serta meja setengah lapuk tak mampu memberi penerangan yang bagus untuk mata lincah Michelle yang penasaran.
”Ini benar kamar mandinya, Jo? Nggak ada yang lebih berkilau gitu cahayanya?” Michelle mengernyit jijik pada kecoak yang merambat di tembok, seember air kumkuman pakaian kotor di dekat pintu masuk mengeluarkan aroma tak sedap seolah benar ada gambaran nyata rumah yang tak tersentuh tangan-tangan terampil dan rajin seorang wanita.
“Aku biasanya mandi air dan mandi cahaya.” imbuh Michelle menjelaskan, takut Paijo salah paham dengan kondisi timpang terjadi.
Paijo mengerutkan kening seraya menoleh pada Michelle. “Kasih tambah senter mau?”
“Gimana kalau beli lampu baru? Yang 15 watt lah, yang putih biar kelihatan terang. Rumahmu serem banget, Jo. Aku takut di gigit sesuatu.” Michelle meringis lebar.
Tapi kalau di gigit kamu aku mau.
Paijo merasakan malam Jumat Kliwon di rumahnya jauh lebih angker dari biasanya. Ada wanita, bukan kuntilanak, tapi kelakuan dua jenis wanita itu sama saja. Mengganggunya.
Paijo pergi ke dalam rumah untuk mengambil lampu yang berada di kamarnya. Selesai mengganti lampu di kamar mandi dengan lampunya, Paijo mempersilakan Michelle untuk masuk.
Di dalam kamar mandi, Michelle berjinjit ngeri di atas lantai keramik yang jarang di sikat itu sambil tersenyum lebar. Pesonanya tak luntur dan masih bisa ia andalkan untuk meminta bantuan seseorang.
Tak jauh dari sana, Paijo memijat keningnya. Menunggu adik sahabatnya mandi menimbulkan pikirannya keruh seakan ada kegawatan yang mengiringi hari-hari menuju pelaminan.
Sementara itu di tengah padatnya situasi hati yang belum benar-benar pulih dari rasa keterkejutannya. Suara motor Kusumonegoro—ayah Paijo— yang sangat nyaring mendekat ke samping bedeng.
Paijo kembali ke dunia nyata. Gegas dia melangkah seraya mengetuk-mengetuk pintu kamar mandi.
“Sel buruan, Sel. Bapakku sudah pulang. Kamu harus buruan ngumpet.” ucapnya buru-buru. Jantungnya pun terasa berdetak kencang.
Michelle yang mengenal nada kepanikan itu kontan membilas tubuhnya yang belum sepenuhnya terkena sabun mandi dengan cepat.
Selesai memakai kimono handuknya, Michelle keluar. Paijo terpesona, mulutnya ternganga, seksi, matanya ternodai mulusnya kulit Michelle walau secepat kilat ia meraih pakaian kotor Michelle yang numpuk di samping bak mandi dan menyembunyikannya buru-buru di kumkuman pakaian kotornya.
“Ganti di kamarku, tapi jangan berisik! Ngerti?” ucapnya serius sambil meraih pergelangan tangan Michelle dan menariknya ke kamar..
...-------...
Berada di kamar yang tertutup dan hanya mendapatkan penerangan dari lampu ruang tamu logika Paijo semakin semrawut. Handuk yang membebat tubuh Michelle terasa kurang pendek, pikirnya yang di hasut setan lewat.
“Pakai bajumu terus sembunyi di bawah dipan!” bisik Paijo di telinga Michelle.
Rasa hangat yang sopan menyentuh telinganya membuat Michelle bergidik geli seakan ada hiburan di tengah suasana genting yang mendebarkan hati.
Michelle menggelengkan kepala, tidak setuju. Berasa di kolong dipan adalah pilihan yang berat. “Kenalin aja aku sama bapakmu daripada kamu sembunyiin aku di sana, geli.”
Suaranya yang lembut menyentuh kuping Paijo serupa ajakan untuk melihat hamparan sawah yang menghijau di bawah terik matahari siang. Menyegarkan mata sekaligus membuat badan gerah.
”Nurut saja, sudah pakai bajumu.”
Di saat yang sama. Kusumonegoro mendekat ke kamarnya dengan wajah lelah.
“Jo... Paijo. Di dalam kamu, Le?”
Mampus. Bapakku patroli.
Buru-buru Paijo menyentuh bahu Michelle seraya mengajaknya berjongkok. Jantungnya berdetak serupa double pedal yang menghentak keras, kegawatan terjadi begitu pesat di benaknya.
Mereka berhadapan dengan napas yang saling membaui satu sama lain. Begitu dekat wajah mereka sekarang hingga memusnahkan akan sehat yang tersisa.
”Gawat ini, Sel.” bisiknya sangat pelan dan dekat sampai hidungnya menyentuh telinga Michelle. “Jangan ngeyel, masuk bawa kopermu sekalian!”
Michelle meringis. Berduaan di kamar dengan kondisi remang-remang membuat pikirannya berkelana akan kedekatan yang sangat lekat dengan laki-laki berkulit eksotis itu. Tapi demi menyelamatkan harga diri Paijo, Michelle menurut. Ia menelungkupkan badan sampai kepalanya menyentuh lantai seraya merangkak hati-hati dengan ke bawah kolong dipan.
“Jo, Paijo...” Kusumonegoro mengetuk-ngetuk pintu kamar, tidak sabar. “Kalau di panggil bapak itu jawab! Di kamar kamu?”
“Nggih, Pak. Nggih.” Paijo mendorong koper Michelle dengan tumitnya mengikuti jejak sang pemilik yang meringkuk bersama sarang laba-laba dan bau khas kamar bujangan. Apek dan berdebu.
“Paijo nyebelin.” Michelle menggerutu dalam hati, bukannya mendapat perhatian extra dari lelaki yang ia datangi tanpa perlu membuat jadwal temu, ia malah menemukan apa yang belum ia bayangkan dalam hidupnya sebagai anak konglomerat!
Paijo menarik daun pintu seraya membetulkan sarungnya. Lagaknya berpura-pura habis bangun tidur.
“Kenapa, Pak?”
Kusumonegoro yang masih menggunakan baju peranakan abdi dalem Keraton Yogyakarta dengan blangkon yang menjadi mahkota terbaiknya mengamati langit-langit kamar.
“Mati lampune, Jo?” tanya Kusumonegoro heran, bukan karena lampunya yang mati dan hilang tapi aroma feminim yang tersebar di kamar anaknya menyusup samar-samar saban tarikan napasnya terjadi.
“Bapak nyium wangi-wangian yang sama di kamar mandi. Sabunmu baru?” imbuh Kusumonegoro.
Tangan Paijo menarik daun pintu sambil meringis aneh, tetapi tangan Kusumonegoro lebih cekat menahan dan mendorongnya sampai pintu itu terbuka lagi.
Hidung Kusumonegoro mengendus semakin sering dan serius.
“Beli wangi-wangian baru kamu, apa tadi kamu bawa Puspita ke kamar?” Kusumonegoro serius menatap Paijo, jabang bayinya dengan Kasidah Wastini yang tak pernah beruntung di kasus percintaan.
Sulit jodoh, susah gaul, bahkan pernah sekali ia berpikir untuk mengganti namanya dengan nama yang lebih modern supaya tak ada yang malu memiliki mantu dan suami bernama Paijo, namun alangkah leganya Kusumonegoro sebelum benar-benar niatnya tersampaikan pada Kasidah yang urun memberi nama spesial untuk anak laki nomer satu, rumah gedek yang ia renovasi memudahkan Paijo mendapat pacar ketika berusia 30 tahun.
“Nggak beli wangi-wangian baru aku, Pak. Apalagi masukin Puspita ke kamar. Nggak mungkin itu. Ini mungkin wangi kuntilanak atau peri dari pohon randu di belakang rumah.”
Kusumonegoro tidak percaya, ekspresi Paijo terlihat mengada-ada. Ia memilih wira-wiri sambil mengendus selarik aroma yang saban mendekat ke kasur semakin jelas terasa.
Kusumonegoro mengernyit, dugaan anaknya mungkin betul, mungkin juga tidak, Puspita tidak mungkin ke kamar anaknya, calon mantunya itu terdidik santun dan tegas bahkan menjadi tukang gerebek hotel-hotel kelas melati karena ia seorang polisi wanita.
“Sudah, Pak. Nggak ada apa-apa di kamarku.” ucap Paijo mencoba mengusir bapaknya.
Kusumonegoro ingin melakukannya tetapi kata hatinya memintanya membungkukkan badan dan melongok ke bawah dipan yang ia yakini betul ada apa-apanya.
Paijo mengayunkan kakinya dengan sengaja. “Iyonggh...” serunya saat menendangkan jari kakinya ke kaki dipan, teriakan itu serta-merta mengurung niat Kusumonegoro membungkuk.
Paijo berjingkrak-jingkrak dengan satu kaki sementara kakinya yang sakit tertekuk ke atas, Paijo memegangi jarinya yanby sakit.
“Wes beli lampu dulu, keburu Lik Mul tutup!” ucap Kusumonegoro sembari keluar kamar.
Paijo mengikutinya dengan wajah pucat lega yang terlihat di wajahnya yang eksotis. Cemas dan sakit bercampur aduk di tubuhnya sementara Michelle mengigit bibirnya menahan tawa. Hampir kepergok.
“Lampu kamar mandi tadi mati, Pak. Tak ganti pakai lampu kamarku dulu.” jelas Paijo setelah merasa tenang.
”Terus mau gelap-gelapan sampai besok pagi, iya?” Kusumonegoro menggelengkan kepala. “Apa perlu bapak yang pasang lampunya?”
“Ya enggak, Pak.” Paijo menggeleng kecil.
Kusumonegoro melepas blangkonya sembari menghela napas. Lelah ia duduk di kursi lawas seraya menatap anaknya yang sekali dua kali menengok ke belakang.
“Terus kenapa hanya diam? Mau minta duit?”
“Kalau bapak mau kasih Paijo terima.”
Mendengus lelah, jari telunjuk Kusumonegoro merogoh kain lilit yang berputar di pinggangnya untuk mengambil uangnya.
Paijo berjalan keluar rumah setelah menerima uang lima puluh ribu dari bapaknya.
Ke warung Lik Mulyadi, pemilik warung yang melihat kedatangannya melambaikan tangan antusias.
“Mobil siapa yang parkir di rumahmu, Jo? Apik banget, kinclong.” Lik Mulyadi berdecak kagum. “Pasti mahal itu.”
Paijo tak menggubris, jantungnya masih berdebar tak tertolong. Ia membuka lemari showcase dan bergeming di sana sementara waktu untuk mendinginkan kepalanya yang riuh akan ide.
Paijo berpikir bagaimana cara mengeluarkan Michelle dari kamarnya setelah bapaknya pulang, rasanya tak semudah memasukkan wanita itu ke dalam kolong dipan.
“Jo, Paijo.” Lik Mulyadi menyabetkan kemoceng ke punggung Paijo. Kaget dan gugup, Paijo meraih satu minuman dingin seraya menutup lemari showcase. Tatapannya menghindari tatapan Lik Mulyadi yang heran dengan memilih jajanan ringan di atas etalase kaca.
“Sudah Lik, sekalian lampu 15 watt.” ucap Paijo, ia mengambil satu lagi minuman dingin rasa jeruk di lemari showcase dan meminumnya langsung seperti orang kehausan.
Lik Mulyadi yang menahu tentang kedatangan mobil merah di halaman rumah Kusumonegoro meringis.
“Bejo banget kamu, Jo. Dapat tunangan polwan terus punya kenalan wong sugih, izin pak RT dulu sana kalau ada yang mau nginep. Pasti di kasih izin itu sambil di sogok martabak telur.” Lik Mulyadi menggeser penutup etalase kaca, tangannya meraih kotak berisi lampu 15 watt seraya memasukkan belanjaan Paijo ke plastik transparan.
“Nggak nginep itu, Lik. Cuma main.” Paijo tersenyum dalam duka sembari membayarnya.
Lik Mulyadi memberikan uang kembali sembari berkata, “Main lebih dari jam sembilan juga harus izin, Jo. Ingat jam tamu.”
“Iya, Lik.” Paijo meraih belanjanya seraya keluar warung. Langkah lemasnya di jalan aspal tak rata di kampungnya penuh pertimbangan.
Lapor Pak RT, tidak. Lapor Pak RT, tidak.
Paijo menggeleng kepala. Lapor Pak RT hanya akan menambah luas kabar kedatangan tamu wanita di rumahnya dan yang perlu ia lakukan hanyalah mengusir Michelle yang entah sekarang masih hidup atau pingsan.
Sampai di rumah, Paijo masuk rumah lewat bedeng belakang. Kusumonegoro menatap belanjaan anaknya yang seperti bocah sd sambil menjemur kain jarik yang ia cuci dengan lerak di tali tambang yang terikat di satu tiang ke tiang satunya. Meski begit ia maklum, mungkin Paijo bosan keseringan membeli keperluan rumah.
“Cepat di pasang itu lampunya biar kakimu nggak kesandung lagi!” Kusumonegoro mengingatkan.
Paijo berdehem seraya masuk ke kamar, setelah memasang lampu baru ia bersujud di samping dipan setelah mengunci pintu kamar.
“Michelle... hai...” Paijo mengeluarkan kopernya seraya meraih tangan Michelle yang menjulur keluar, ia sekuat tenaga menariknya dengan perasaan tidak tenang.
“Yungalah.” Sekujur tubuh Michelle yang menempel di lantai berdebu. Sejenak, Paijo merasa kasihan. Tapi benaknya bersorak kegirangan. Kapok, pikirnya, salah sendiri datang-datang tanpa kabar lalu membuat kerusuhan.
“Pakai bajumu terus keluar dari rumah kalau bapak sudah tidur.” bisiknya kikuk di telinga Michelle.
Tanpa sempat laki-laki itu sadari, Michelle memeluknya. Tubuhnya membeku dan debu berterbangan dari rambut dan handuknya membuat Paijo bersin-bersin berulang kali.
...---------...
Paijo membersit hidungnya di sarung dengan posisi membungkuk. Kaki kokohnya yang terlihat berbulu dan berotot membuat Michelle berdecak kagum, ia berjongkok, tangannya tiba-tiba meraba bulu kakinya sampai membuat pria itu berjingkat kaget.
“Mau apa weyy!” ucap Paijo dengan nada spontan. ”Semprul, keceplosan.” Menajamkan telinga, terdengar suara gemericik air di toren belakang, ”Semoga nggak dengar bapak!”
Jengkel ia mendelik kikuk ke bawah, Michelle meringis seraya menyembunyikan tangannya ke belakang.
Jakun Paijo bergerak naik turun, ia menelan saliva-nya susah payah seolah gumpalan kata-kata tersendat di tenggorokan setelah wajah mengemaskan di bawahnya tersenyum manis.
Michelle mengedipkan mata. Makin sesak lah napas Paijo, ia terpesona melihat resiknya wajah Michelle.
”Cuma nyentuh, lebat banget itu. Asli?”
Terlahir sempurna dari pasangan Marisa yang berasal dari Michigan+Singapura dan Prambudi dari Malang, Michelle mewarisi lebih banyak gen bule ibunya. Hidung mancung, bibir mulus merah muda, alis rapi tanpa sulam, kulit putih bersih tapi mata indahnya seperti mata Prambudi yang teduh.
Tatapan Paijo mengawang, melayang pada imajinasi baru yang mampir tanpa permisi ke benaknya. Bibir kecil merah muda itu berkelana di sekujur tubuhnya.
Double pedal menghentak dadanya bertambah dua, tak cuma jedag-jedug, Jantung hampir meledak. Paijo menggigit bibirnya, gelisah tak terperikan bersama wanita yang benar-benar konyol apa adanya.
Paijo menatap perempuan dihadapannya yang berani menatap balik sorot matanya sambil mengedipkan matanya genit.
Paijo yang tak kuat lagi menghentikan khayalannya yang mengembara memilih jatuh pingsan.
”Lah... lah... Jo... Paijo.” ucap Michelle, terpogoh-pogoh ia menangkap tubuh jangkung yang tidak besar tapi juga tidak kerempeng, tapi Paijo lumayan berat bagi Michelle yang hanya senang yoga dan berenang.
Dengan posisi di peluk Michelle. Paijo meringis dalam hati. ”Keajaiban duniawi.”
Badannya bergerak-gerak mengikuti irama tubuh Michelle yang mengunci tubuhnya seraya memasang kuda-kuda dengan kuat di lantai untuk mengangkatnya dan membawanya ke dipan.
Michelle membungkukkan badan, merebahkan Paijo dengan hati-hati di kasur.
Lelah menggotong tubuh Paijo yang lemas dan lemah kecuali bagian tertentu di tubuhnya. Kedua kaki yang masih mengangkang tepat di atas pahanya ia rendahkan. Michelle mengatur napas. Reaksi tubuh Paijo menjadi-jadi. Napasnya berantakan, sentuhan fisik yang bertambah memperparah guncangan dunia privatnya yang sudah bereaksi.
Terbebas dari Dominic, mampir adiknya yang lebih sinting. Yungalah... Nasib... Pingin berduaan dengan Puspita malah datangnya titisan peri penggoda. Khilaf salah, pingin tambah semakin salah.
“Mas Domi punya sahabat gini amat, gampang semaput.” ucap Michelle seraya turun dari pangkuan Paijo.
Belum tuntas, Michelle menyelipkan tangannya di bawah ketiak Paijo yang berimbas pada kegilaan batin laki-laki yang masih memejamkan mata.
Michelle menarik tubuhnya sekuat tenaga hingga sekujur tubuh Paijo berada di kasur.
Michelle berjongkok di tepi dipan, bercerita sambil melihat telapak tangan Paijo yang kapalan dan mengusap-usap perlahan.
“Di bawah tadi deg-degan banget, wuh, gatel semua badanku, banyak laba-labanya lagi... tapi seru...”
Jakun Paijo bergerak, suara resleting koper terbuka, baju resik yang wangi mendarat di lengannya. Michelle melepas tali pengikat handuknya seraya mematikan lampu kamar.
Pencahayaan yang meredup, otomatis membuat Paijo lebih rileks. Dia mencoba mengatur napasnya sambil menilik apa yang sedang Michelle lakukan. Ujung matanya melirik sekilas pesona sang primadona yang memiliki tubuh padat dan mulus.
Paijo memejamkan mata saat Michelle berbalik. Kain halus yang membelai lengannya imbas dari tarikan tangan Michelle yang mengambil pakaiannya, mengerikan.
Paijo merinding. Tubuhnya menegang.
Michelle menghidupkan lampu setelah memakai pakaian dan mengambil parfumnya. Wajahnya tampak berpikir dengan ibu jari yang terpasang dipencetan parfum.
“Gak usahlah, nanti di kira beli wangi-wangian baru si Paijo.” Michelle nyengir, ia membiarkan Paijo yang terpingsan dan tegang beberapa saat.
Michelle membuka minuman dingin yang ada di plastik transparan lalu meminumnya sebelum duduk di tepi kasur. Dia menguncupkan bibir. Kesal dan geli, air mukanya bercampur baur dengan situasi yang lebih hening dari sebelumnya.
...***...
Kusumonegoro selesai membersihkan diri dan beristirahat di kamarnya, dekat bedeng depan kamar Paijo. Matanya menerawang kejanggalan sambil menunggu sesuatu yang di sebut tenang. Maklum, sebagai seorang abdi dalem yang jujur dan rendah hati, cermat dan teliti, tunggangan di halaman rumahnya memancing heran. Milik siapa itu? Kenapa tumbenan ada mobil seperti itu mampir di desanya yang terletak di pinggir kota dan di kelilingi hamparan sawah.
Kusumonegoro menghela napas. Dari sekelumit perubahan tingkah Paijo yang aneh dan samar-samar wewangian feminim yang ia endus di kamarnya dugaan negatif itu langsung menjurus kepada pemilik mobil yang singgah di kamar Paijo. Dia menanti dengan sabar pun dengan perut kelaparan fakta apa yang di sembunyikan anaknya.
Kusumonegoro pindah ke dapur, serius menyeduh kopi di temani alunan gending karawitan dari radio.
Kusumonegoro menarik kursi seraya mendudukinya. Rokok kretek dan kopi sehabis mengabdi membuatnya menghela napas seraya memejamkan mata.
...***...
“Ditemenin cewek cantik malah semaput. Nggak bersyukur kamu, Jo.” Michelle menarik dagu Paijo ke bawah seraya membungkukkan badan. Wajahnya menaungi paras eksotis yang membuatnya ngacir ke Jogja untuk berkenalan lebih lanjut.
Michelle semakin membungkuk hendak memberi napas buatan, namun sejurus kemudian Paijo gelagapan sendiri sebelum bibir itu benar-benar menyentuhnya.
“Jangan!” desisnya gugup sambil menahan kedua bahu Michelle dengan tangan. “My first kiss just for Puspita!” katanya mengingatkan dengan suara tertahan.
Michelle mendelik kaget. Paijo hanya pura-pura pingsan. Sialan, mana ia berpakaian tanpa rasa was-was di dekatnya. Michelle menangkup wajahnya tanpa sungkan.
“Aku itu nggak nakal, nggak niat ngapa-ngapain kamu, tapi kamu yang pura-pura pingsan pasti ngintip aku pakai baju!” tukasnya masa bodoh dengan situasi yang terjadi.
Paijo meringis, matanya berbinar-binar mendengar opini Michelle yang seratus persen benar.
Melihat itu, pikiran Michelle meruncing. Ia mendengus seperti banteng yang marah lalu bertanya sesuatu yang membuat Paijo justru terbahak-bahak.
“Bagus gak? Seksi kan?”
Kusumonegoro bangkit, rasa tenangnya sudah tidak bisa di redam lagi. Dia melangkah serupa pahlawan menuju lokasi perang, serius, ia menggedor pintu kamar Paijo dengan berang.
”BUKA PINTUNYA, JO! BUKA PINTUNYA!”
Mampus... masih dengan mata mendelik, keduanya mencelat dari kasur dengan belingsatan. Keduanya wira-wiri sebelum saling berhadapan dan menatap, tak mampu secuil pun ide keluar dari kedua otak mereka yang sudah tersulut nafsu.
”BUKA!”
Brak..
Brak...
Brak....
Kusumonegoro murka. Mengumumkan kecemasannya mengenai wanita yang ada di kamar itu. Ketakutan, Michelle memeluk Paijo buru-buru seraya meminta perlindungan. “Takut.”
Paijo tersentak. Namun kepalang basah, wajah Michelle yang teramat dekat dengan wajah Paijo menyemburkan napas hangat. Keduanya saling melihat dengan bahasa tubuh yang tertarik untuk menuntaskan satu dahaga yang menggebu.
Bibir mereka mendekat, saling menyentuh kehangatan dan berbagi penasaran dalam kemesraan yang murni. Keduanya menikmati awal skandal yang terjadi di rumah itu sebelum pintu terpelanting keras.
Kusumonegoro beradu pandang dengan mereka dengan ekspresi tercengang tak karuan.
“Ono opo iki!”
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!