NovelToon NovelToon

Barsh Dan Kalistha (Sesuatu Yang Kusebut Rumah)

Bab 1: Pertama Kali Bertemu Kalistha

Jari jemari lentik itu begitu cekatan. Mahir memainkan melody dari sebuah piano. Surainya tergerai indah dia memiliki paras yang sangat cantik.

Bagaikan seorang putri raja yang sedang memainkan melody indah. Membuat siapa saja yang melihatnya begitu terbuai dan terpesona akan daya pikatnya yang begitu cantik.

Terlalu terlarut dan begitu menikmati alunan musik yang ia buat sendiri, gadis cantik bernama Kalistha ini tidak sadar akan kehadiran seorang pemuda tampan yang memperhatikannya sejak tadi.

Gema musik yang begitu indah menarik pemuda tampan itu masuk ke dalam aula. Tak hanya irama musiknya yang menarik tetapi kedua matanya terpaku ketika melihat sosok ciptaan Tuhan yang begitu sempurna tanpa ada sedikit pun cacat.

Hingga jari jemari lentik itu mulai mengakhiri melody indahnya, sambutan tepuk tangan pun Kalistha dapatkan dari pemuda itu. Membuatnya seketika menoleh ke arah pemuda itu.

"Indah sekali, kau hebat sekali dalam bermain piano! Melody indah yang kau rangkai begitu syahdu. Apa kau anggota band di sini nona?" tanya Pemuda itu pada Kalistha, sebut saja namanya Barsh.

Kalistha memperhatikan Barsh dari bawah sampai ke atas tepat ke wajahnya. Dia terkejut akan hadirnya pemuda itu di sana. Sejak kapan itu?

Satu kata yang ada dalam kepala Kalistha saat ini adalah. Pemuda ini, tampan. Sambil menaikkan salah satu alisnya, Kalistha bertanya pada Barsh di sana.

"Kau, Sejak kapan?" tanya Kalistha melontarkan sebuah pertanyaan kecil padanya.

Lantas Barsh melangkah kecil mendekatinya. Lalu duduk di sebuah bangku dekat dengan Kalistha duduk.

"Kau terlalu menikmati alunan musik yang kau buat sendiri." ujar Barsh pada Kalistha.

Surainya yang terurai itu menambah kesan anggun dalam wajah Kalistha. Mendengar ungkapan yang Barsh katakan Kalistha pun tersenyum.

Mereka baru saja bertemu. Tapi kedua hati mereka saling bahagia ketika saling menatap satu sama lain. Kalistha lalu berkata pada Barsh,

"Aku sangat menyukai musik sejak kecil." ucap Kalistha memberitahu Barsh pergilah hobinya.

Ah, Barsh tentu saja terpanah mendengar tiap kalimat yang Kalistha katakan. Anggun sekali caranya berbicara. Bibir itu begitu menawan. Niat bangsatnya sempat ingin mengecap saja bibir itu sekarang.

Beruntung dia masih waras. Barsh menepis niat setan yang hendak membuatnya menjadi seorang pemuda bajingan. Dengan ramah, Barsh mulai berucap.

"Oh iya, perkenalkan aku Barsh!" ucap Barsh sambil mengulurkan tangan kanannya.

Sejenak Kalistha menatap uluran tangan itu. Kalistha diam sejenak, dia mengenali pemuda ini sepertinya. Namanya benar tidak asing, sungguh. Ah, iya, dia ingat siapa pemuda ini.

"Anak jurusan hukum? Teman dari Jae?" tanya Kalistha pada Barsh ketika memorinya kembali mengingat dari mana nama Barsh tidak familiar untuknya.

Jawaban itu sontak membuat Barsh terkejut. Tapi, dia tersenyum kemudian.

"Benar, bagaimana kau tau? Oh ya, kau belum memberitahuku siapa namamu?" tanya Barsh pada Kalistha.

Bagaimana pun juga saat ini dia harus mengenal nama dari gadis cantik ini. Barsh begitu yakin dalam hatinya. Bahwa dia pasti bisa mendapatkan seorang Kalistha.

Namun, Kalistha adalah pribadi yang pemalu. Dia tidak ingin langsung sembarang akrab dengan orang asing. Kalistha mencoba mencari topik pembicaraan lain.

"Kenapa kau di sini? Bukankah sebentar lagi kelasmu akan dimulai?" tanya Kalistha pada Barsh yang masih tetap tersenyum dengan uluran tangannya.

"Beritahu aku siapa namamu, barulah aku akan melangkah pergi!" jawab Barsh pada Kalistha, dan dia masih tersenyum manis pada Kalistha saat ini.

Kalistha menggelengkan kepalanya seraya tersenyum, mencoba menghindari pertanyaan dari Barsh tidaklah mudah. Dan pada akhirnya, Kalistha pun luluh dan memperkenalkan dirinya.

"Aku Kalistha, saudara dari Jae!" jawab Kalistha pada Barsh.

Perkenalan itu membuat Barsh sedikit terkejut. Kalistha baru saja mengatakan bahwa dia saudaranya Jae. Sedangkan Jae adalah teman sekelasnya. Ketika Barsh ingin mengatakan sesuatu.

Suara pintu terbuka mengacaukan perkenalan mereka, baru saja pandangan mereka bertemu dan sama-sama terhanyut.

Seorang gadis Belanda bernama Arteta yang juga sahabat baik dari Kalistha masuk ke dalam aula itu. Matanya sedikit melirik kecil ke arah Barsh.

"Hallo Kalistha, kenapa kau berada di sini? Bersama pemuda aneh ini?" tanya Arteta pada Kalistha yang masih duduk di sana bersama Barsh.

"Hei, kenapa kau disini?" tanya Arteta lagi kali ini pada Barsh yang masih duduk di sampingnya Kalistha.

"Tidak, aku hanya sedang melihat Kalistha bermain piano tadi! Karena musiknya begitu indah. Aku jadi terbawa kemari!" jawab Barsh padanya.

Sambil melipat kedua tangannya di dada. Arteta menatap datar ke arah Barsh.

"Cepatlah masuk kelas! Kelasmu sudah dimulai!" ujar Arteta.

Tatapan menyebalkan itu tentu saja membuat Barsh kesal. Gadis Netherland ini, benar-benar membuat moodnya hancur seketika.

"Ya tuhan, dari mana kau mengenal gadis Belanda yang begitu menyebalkan ini?" tanya Barsh pada Kalistha di sampingnya.

"Dia sahabat baikku datang dari Belanda untuk menuntut ilmu di sini. Kami juga satu jurusan!" jawab Kalistha berusaha membela Arteta selaku sahabatnya.

"Cepatlah pergi!!!" usir Arteta sambil berjalan mendekati Kalistha dan berdiri tepat di belakangnya kali ini.

Barsh pasrah dan menuruti perintah dari Arteta, sejujurnya matanya masih ingin melihat Kalistha di sini.

"Hei, akan kuhubungi kau nanti!" ujar Barsh, ia pun berlalu dari hadapan Kalistha dan Arteta.

Baru beberapa langkah pergi dari sana. Barsh kemudian berhenti dan berbalik menatap Kalistha lagi.

"Aku suka melihatmu jika kau sedang bermain piano. Kau sangat mahir memainkannya!" ucap Barsh pada Kalistha.

Pujian dari Barsh membuat Kalistha menarik sudut bibirnya dan mengukir senyum. Tak lama ia pun mulai melangkah pergi.

"Kalistha, kau tidak ada hubungan dengan pemuda aneh itukan?" tanya Arteta pada Kalistha yang masih tersenyum menatap kepergian Barsh.

Mendengar itu, Kalistha menoleh lalu dia tersenyum dan menggeleng.

"Kapan aku pernah berbohong padamu? Sudahlah ayo kita masuk kelas!" ujar Kalistha, Arteta mengangguk mendengar itu, mereka pun mulai pergi keluar dari dalam aula.

Hari menjelang malam saat ini. Arteta sedang berada dirumahnya, tangannya membawa beberapa buku tebal.

Langkahnya mulai mendekati ranjang. Setelah dekat, dia pun menjatuhkan tubuhnya di sana. Dan berbaring diatasnya, ditaruhnya buku miliknya di samping meja kecil yang terletak di samping ranjangnya.

Arteta lalu meraih ponsel miliknya yang juga berada dibatas meja itu. Setelah itu, jari jemarinya mulai menari-nari di atas layar ponsel.

Dahinya mengernyit ketika nama seseorang tertera tepat dilayar ponselnya.

"Barsh? Jarang sekali dia mengirim pesan padaku!" ujar Arteta, dia pun mulai membalas pesan dari Barsh.

Barsh : Beritahu aku banyak hal tentang temanmu.

Areta : hah?

Barsh : Jangan membuang waktuku!

Arteta : Kau menggigau atau apa? Di sini yang membuang waktu adalah kau!

Barsh : Kumohon beritahu aku tentangnya!

Arteta : Baru saja kalian berdua bertemu beberapa jam yang lalu! Kenapa kau langsung tertarik padanya.

Barsh : Perasaan bisa datang kapan saja!

Arteta : Jadi apa yang bisa aku lakukan untukmu?

Barsh : Beri aku ID Line nya!

Arteta : Akan kuberikan, tapi ingat jika kau apa-apakan dia, awas saja kau!

Barsh : Gadis Belanda menyebalkan cepatlah!

Arteta : Kalistha_14 , ingat jangan macam-macam dengannya atau kau akan menyesal!

Barsh : Oke!

Sementara di tempat lain. Terlihat Kalistha yang duduk sambil sesekali menguap. Matanya mulai lelah karena buku tebal yang ia pelajari sejak tadi.

Suara dering ponsel miliknya membuat Kalistha menoleh sebentar ke arah meja kecil di sampingnya. Saat tangannya hampir meraihnya.

Seorang gadis kecil cantik memasuki kamarnya. Itu adalah Syena. Kalistha tersenyum melihat kehadiran gadis kecil itu.

"Apa bisa aku bertanya?" tanya Syena pada Kalistha.

Syena adalah adik kandung Kalistha. Dia dicampakkan kedua orang tuanya sebab cacat. Itulah yang membuat Kalistha keluar dari dalam zona nyaman keluarganya.

Dia ingin merawat Syena dengan segenap hati tanpa cacian ataupun makin dari kedua orang tuanya.

"Tentu saja apa yang ingin kau tanyakan?" tanya Kalistha lembut padanya.

Sebuah buku biologi Syena tunjukkan padanya, Syena mulai membuka bukunya menunjukkan satu soal yang sama sekali tidak dia mengerti.

"Aku tidak faham bab ini, bisa kau ajari aku kak?" tanya Syena pada Kalistha.

Hal itu membuat Kalistha mengangguk.

"Baiklah... Naiklah akan kuajarkan!" ucap Kalistha sambil menepuk samping ranjang miliknya yang masih kosong.

Syena mendekati Kalistha dan duduk disampingnya, dengan sabar Kalistha mengajari adik kecilnya itu.

Di lain tempat Barsh kini sedang mondar-mandir di depan balkon kamarnya. Banyak pertanyaan di dalam kepalanya saat ini, mengapa Kalistha tidak membalas pesannya.

"Apa dia tidur? Di jam ini? Tidak mungkin!" Ujar Song Barsh, tangannya mulai kembali mengotak atik ponselnya. Sambungan telfon mulai terhubung.

"Arteta, apa ID Line ini benar? Atau kau hanya menipuku."

Ucap Barsh mengawali pembicaraan. Ketika panggilannya sudah terhubung pada Arteta di sana.

"Bicaralah pelan-pelan!"

"Apa ID Line yang kau berikan benar?"

"Benar!"

"Kenapa dia tidak menanggapiku?"

"Dia sibuk di jam seperti ini! Dia sibuk dengan buku tebalnya... Sudah, aku juga sibuk dentan tugasku! Jangan menggangguku."

Tutttt

Sambungan telfon pun terputus, mendengar itu Barsh mendengus kesal. Dia begitu frustasi saat ini, kesepian menghinggapinya dengan putus asa kakinya mulai menuju ruang tamu memutuskan untuk bermain game.

Jam menunjukkan pukul 22.30 kini Kalistha telah usai mengerjakan tugasnya. Kedua matanya sedikit perih memang. Kalistha sedikit penasaran dengan pesan yang tadi belum sempat ia buka.

Tangannya mulai mengotak atik ponselnya, dia terkejut melihat banyak sekali pesan dari seorang pemuda yang baru saja ia kenal pagi tadi.

Barsh : Hei, ini aku Barsh!

Barsh : Apa kau sibuk?

Barsh : Sedang apa kau? Apa kau sudah tidur?

"Ya ampun, banyak sekali!" ujar Kalistha.

Sebab tak enak pada Barsh. Kalistha pun memutuskan untuk membalasnya.

Kalistha : Hai, maaf tadi aku sedang mengajari adikku!

Bunyi ponsel membuat Barsh sontak mengalihkan pandangannya pada ponsel yang dia letakkan tepat di sampingnya.

Gamenya dia pause saat itu juga. Tangannya cekatan mengambil ponselnya. Barsh tersenyum senang melihat balasan dari Kalistha di sana.

Barsh : Iya tidak apa, sedang apa kau sekarang?

Kalistha : Ini waktu yang senggang aku hanya sedang membaca banyak pesan darimu... ada apa, kau perlu sesuatu?

Barsh : Tidak, aku hanya ingin membicarakan sesuatu denganmu!

Kalistha : Katakan!

Barsh : Bisakah kau mengajariku piano?

Kalistha : Banyak rumor disekolah, banyak yang bilang kau kaya... kenapa kau tidak memanggil guru les musik?

Barsh : Apa kau tidak ingin mengajariku?

Kalistha : Tidak bukan begitu!

Barsh : Tak apalah jika kau tidak ingin, lagi pula aku pun juga tidak memaksa.

Kalistha : Baiklah aku akan mengajarimu.

Barsh : Setiap rabu sepulang kuliah kau harus mengajariku!

Kalistha: Baiklah!

Barsh : Terima Kasih, tidurlah! selamat malam!

Kalistha : Selamat Malam!

Pertemuan kecil yang cukup singkat antara Barsh dan Kalistha. Tetapi kesannya abadi dalam memori mereka. Berawal dari hal yang kecil, terciptalah ulasan kisah yang menarik..

Bab 2: Mengenal Lebih Dalam tentang Kalistha

...Kalistha adalah bidadari yang kutemukan diantara rangkaian nada. Kali pertama aku menatapnya, aku merasa dia adalah bagian dari denyut nadinya Barsh!...

_______

Rangkaian nada mulai mengalun, meskipun ini yang pertama kalinya Barsh lakukan tapi tak ada satupun keluhan ataupun semangat redup darinya.

Melalui arahan dari Kalistha. Barsh bermain dengan cukup baik jarinya di atas piano. Barsh mencoba menikmati permainannya yang mungkin tak begitu sempurna seperti seorang Kalistha.

Kalistha datang ketika Barsh memintanya. Dia datang menepati janjinya untuk memberi bimbingan privat piano pada Barsh.

Sebuah janji yang diberikan olehnya takkan pernah dilanggar. Semburat merah mendadak muncul di wajah Barsh. Entah mengapa dirinya begitu gugup kali ini.

Hari ini Kalistha terlihat sangat cantik. Surai panjangnya itu dikuncir. Helaian rambut memandangnya dibiarkan menjuntai di sisi-sisi wajahnya.

"Hufft..." lirih Barsh yang mulai lelah perihal permainannya.

Helaan nafas itu tentu membuat Kalistha tersenyum. Satu lagi baru saja selesai dimainkan oleh Barsh.

"Aku tidak menyangka, mempelajari hal kecil ini saja begitu menyusahkan?" keluh Barsh pada Kalistha.

Kalistha melipat kedua tangannya di dada. Manusia satu ini sepertinya tidak ada bakat di bidang musik.

Tapi sepertinya itu benar, sebab isu mengatakan bahwa Barsh adalah anak dari salah satu pengusaha ternama.

Dan hanya Barsh sajalah pewaris perusahaan itu kelak. Mungkin bisnis dan politik itu yang berkembang dalam kepalanya, bukan musik.

"Menyusahkan? Apa kau sudah menyerah? Padahal kau hampir mendekati kata sempurna... Hmm, apa aku sudah bisa berhenti menjadi guru privatmu?" tanya Kalistha pada Barsh.

Ucapan terakhir itu langsung saja membuat Barsh menoleh ke belakang. Tidak, dia tidak akan melepaskan Kalistha. Hanya ini saja caranya dekat dengan seorang Kalistha.

"Ancaman yang sama selalu terlontar yaa! Aku benci mendengarnya!" ucap Barsh kesal lalu memalingkan wajahnya dari Kalistha. Lihatlah, dia seperti bayi besar yang sedang merajuk.

"Jika kau tidak menyerah, maka hasil yang dicapai akan maksimal!" ucap Kalistha memberi penuturan lembut untuk Barsh yang masih merajuk.

Itu bijak, membuat Barsh menyuguhkan senyuman kecil untuk Kalistha saat ini. Barsh berdiri menghadap tepat ke arah Kalistha.

Tangan kanannya terulur mengacak-acak lembut surai indah milik Kalistha yang sudah rapi dikuncir. Wajahnya dekat sekali dengan Kalistha saat ini.

"Nona Belanda itu mempengaruhimu yaa? Apa sifatnya yang cerewet itu ada pada dirimu?" tanya Barsh pada Kalistha.

Dia sedang membicarakan Arteta saat ini. Kalistha tidak mau sahabat baiknya itu dicap buruk sungguh. Arteta itu baik, menurutnya.

"Arteta tidak seperti itu!" jawab Kalistha menyangkal. Barsh kembali menarik tangannya sambil masih tersenyum.

Ketika Barsh hendak berbalik berpaling dari Kalistha. Dia mengingat sesuatu. Satu hal perihal keluarga Kalistha.

"Hei, bisa aku bertanya padamu?" tanya Barsh pada Kalistha yang masih menatapnya.

"Tentu saja!" ucap Kalistha mengangguk.

"Kau disini tinggal bersama saudaramu, bukan? Lalu kenapa  kau tinggal serumah dengannya, tidakkah orang tuamu masih hidup? Lalu di manakah mereka, Kalistha?" tanya Barsh padanya sambil menatap penuh pada Kalistha.

Deggg

"Kenapa kau menanyakan hal itu tiba-tiba?" tanya Kalistha pada Barsh yang masih menatapnya. Hatinya sesak jika mengingat masa lalu perihal kedua orang tuanya.

"Apa kau tidak ingin bercerita? It's okey, tak apa? Aku pun tidak memaksamu!" jawab Barsh menyerah ketika Kalistha mulai menunjukkan raut muka kusut sedihnya.

Kalistha menundukkan kepalanya. Perihal dua tahun yang lalu memang adalah masa yang sangat sulit untuknya.

Mengingat hal itu membuat hatinya sesak. Barsh melihat hal itu menjadi sedikit bersalah. Dia takut, Kalistha akan membencinya setelah ini. Kenapa dia lancang sekali menanyakan hal yang begitu privasi pada Kalistha.

"Kau tak apa?" Tanya Barsh khawatir. Dia menunduk mencoba memperhatikan wajah Kalistha.

"Tidak, aku baik-baik saja!" jawab Kalistha menggeleng pelan.

Wajah cantik itu mendongak mencoba mengukir senyuman palsu, menguatkan hatinya yang rapuh. Ia tau, gadis di depannya ini menyembunyikan sesuatu.

Sepertinya itu berat untuk Kalistha ceritakan. Barsh yang paham pun langsung menarik tubuh Kalistha ke arahnya. Membawa gadis yang rapuh hatinya itu masuk ke dalam rengkuhannya.

Grepp

Satu tarikan kecil menjatuhkan tubuhnya tepat ke arah Barsh. Tangan kekar itu mengukungnya mendekapnya penuh kasih.

Tak ada sepatah kata pun terucap, namun air mata Kalistha turun begitu saja. Seseorang mengungkit masa lalunya yang begitu pedih, dan hatinya? Tak mampu menahan rasa sakitnya.

"Mencampuri urusan orang lain memang bukanlah hobiku, tapi bagaimana jika hatiku benar ingin mengenalmu? Jika pertanyaan kecil itu menyakitimu, tolong jangan ada satupun goresan dalam hatimu karena kau tersinggung olehku, Kalistha!" jelas Barsh pada Kalistha.

Kalistha yang rapuh terisak. Dia menggeleng pelan mencoba memberitahu Barsh bahwa segalanya ini tak apa untuknya.

Dia hanya perlu berusaha untuk terbiasa. Kalistha mulai menjauhkan tubuhnya dari dekapan Barsh. Sisa air mata masih membekas di sana, meski berulang kali ia mencoba menghapusnya. Tapi buliran air itu masih tetap jatuh bercucuran.

"Aku sama sekali tidak tersinggung akan pertanyaanmu!" jawab Kalistha pada Barsh.

"Lalu?" tanya Barsh sambil menaikkan salah satu alisnya.

"Aku akan menceritakannya padamu!" jawab Kalistha. Saat ini dia hanya merasa bahwa Barsh mampu dipercaya dalam hal ini.

"Aku akan senang jika bisa membantumu!" ucap Barsh padanya. Hal itu membuat Kalistha senang rasanya.

"Aku dan Adikku Angela, dibuang begitu saja. Dua tahun yang lalu, Angela mengalami kecelakaan hebat. Menyebabkan salah satu kakinya cacat, dan adikku itu tuli. Karena mereka adalah seorang pengusaha yang sangat kaya, nama mereka begitu tenar. Hingga menerima kenyataan pahit yang dialami adikku pun sangat sulit bagi mereka, mereka ingin kesempurnaan! Tapi, bukankah manusia sama sekali tak sempurna?" jelas Kalistha.

Sakit, goresan luka yang tercipta dalam hatinya kembali pedih mengingat kejadian keji yang dilakukan kedua orang tuanya padanya.

Usapan lembut mulai Barsh berikan padanya. Barsh juga membantu menghapus setiap tetes air mata yang jatuh berlomba-lomba untuk turun.

"Itu kejam, aku turut prihatin soal itu! Maaf sudah mengungkit duka lama yang kau pendam? Sudah kau jangan menangis lagi, Kalistha. Atau kau akan menjadi keriput dan mati dengan status perawan tua!" Ujar Barsh mencoba mencairkan suasana sedih yang ada di sekeliling mereka.

"Gomballan macam apa yang kau lontarkan, tidak lucu tahu!" ucap Kalistha sambil menghapus tiap air mata yang turun dari kedua matanya.

Barsh tertawa mendengar itu. Sambil mengacak-acak lagi Surai Kalistha. Dia berkata,

"Aku faham, tentang penderitaanmu! Jadilah kuat untuk adikmu, jadilah gadis yang berguna suatu saat nanti. Raih kesuksesanmu dan rawat adikmu dengan baik. Mungkin mereka akan kembali ketika kau berhasil. Aku akan membantumu untuk tetap maju menemui masa depan cerahmu! Karena aku akan selalu senang menjadi bagian dari ceritamu, Kalistha!" ucap Barsh padanya.

Di sana Kalistha melihat ada kegigihan dalam kedua bola mata Barsh. Padahal mereka baru saja saling mengenal. Tapi kenapa Kalistha merasa bahwa tiap ucapan Barsh ini tulus buatnya.

"Terima kasih." ucap Kalistha melempar satu senyuman manis pada Barsh yang menatapnya.

__________________

Bab 3: Bermainlah Bersamaku Kalistha

Goresan tinta mulai menyusun kalimat indah. Mengekspresikan suasana hati Kalistha yang sedang senang saat ini.

Sunyi, tak ada satupun yang mengusik. Saat ini Kalistha duduk di depan teras rumahnya. Sebuah buku kecil berwarna pink berada di atas tangannya.

Sementara di tangannya yang lain dia sedang menggenggam sebuah pena. Disampingnya ada segelas coklat hangat yang menemaninya.

Dinginnya kota Tokyo menandakan bahwa musim salju akan segera turun. Sudah berjam-jam Kalistha duduk di situ. Dia merangkai kalimat demi kalimat di atas lembaran kertasnya.

Dear Diary

Musim salju pertama

Kadang, pertemuan kecil menciptakan percikan kesan yang akan begitu sukar dihapus. Bagian manakah yang harus kususun lebih dulu?

Dia begitu tampan, parasnya yang begitu indah memikat mataku. Untuk tetap terpaku tepat pada kharismanya.

Cahaya matanya yang hangat tak sedikitpun redup. Aku suka, melihat tawanya yang renyah itu mengalun.

Hufft, tapi kenapa bayangnya tak pernah sedikitpun sirna? Bagaikan menghantuiku siang dan malam. Pemuda tampan itu terus saja nampak di depanku.

Hatiku yang rapuh, perlahan mulai terbenahi karenanya. Apakah ini sebuah skenario baru yang kau ciptakan padaku Tuhan? Apakah dia adalah tokoh penting di dalamnya?

Jika hal itu benar, dengan senang hatiku akan menerimanya masuk dan menyambutnya.

Tunggu, ada apa denganku? Mengapa aku terus memikirkannya? Sudahlah, tak perlu bermimpi terlalu tinggi.

Ditengah kesibukannya yang asik menulis. Nampak dari kejauhan seorang gadis Belanda memperhatikannya sejak tadi.

Beberapa menit yang lalu baru saja ia sampai. Namun Kalistha sama sekali tak menyadari keberadaanya.

Dalam kepalanya Arteta bertanya-tanya. Apa yang sedang dipikirkan oleh Kalistha saat ini. Sahabatnya itu tidak biasa melamun. Tapi kali ini, bahkan kedatangannya saja Kalistha sama sekali tak tau dan acuh.

Arteta memilih untuk menepuk bahu Kalistha yang sedang menulis. Terkejut dengan tepukan di bahunya, konsentrasinya teralih ke arah orang yang menepuk bahunya.Ketika Kalistha mendongak dia terkejut. Rupanya itu adalah Arteta.

"Arteta, sejak kapan kau disini?" tanya Kalistha padanya.

Arteta tidak menjawab itu. Dia menghela nafas sejenak. Letih rasanya setelah menyelesaikan satu tugas. Arteta memilih untuk duduk disamping Kalistha lalu mengambil segelas coklat hangat milik Kalistha.

"Hei, kenapa kau meminumnya, Teta? Buatlah sendiri, dasar!" gerutu Kalistha ketika minumannya disambar diminum begitu saja oleh Arteta tanpa seizinnya.

"Bisa kau diam sebentar? Aku baru saja dari perjalanan jauh, aku haus. Lebih baik kau buat saja lagi!" ujar Arteta pada Kalistha.

Kalistha memanyunkan bibirnya setelah mendengar apa yang Arteta katakan. Benar, apa kata Barsh. Arteta memang mengesalkan. Tapi, bagaimanapun dia. Arteta tetap memiliki hati yang baik.

"Bisa-bisanya, tidak kau buat saja sendiri sana!" ucap Kalistha lagi lalu mengambil segelas coklat hangatnya dari Arteta yang tinggal separuh.

"Tumben sekali, kenapa kau berada di depan teras rumah? Dan apakah itu? Buku kecil apa itu?" tanya Arteta pada Kalistha ketika melihat keberadaan buku kecil berwarna pink yang sedang Kalistha bawa.

Arteta menunjuk buku yang digenggam Kalistha. Hal itu membuat Kalistha terbelalak lalu tatapannya tertuju tepat pada buku yang dibawanya. Kalistha menutupnya mencoba menutupi satu sajak tentang Barsh yang baru saja dia ukir di sana.

"Tidak, ini hanya untuk mengusir jenuh, jadi ada baiknya jika aku menulis sesuatu didalam sini." ujar Kalistha pada Arteta.

Namun ketahuilah, Arteta bukanlah gadis biasa pada umumnya. Dia ini anak dari seorang detektif besar di Amsterdam. Raut-raut wajah pembohong jelas saja Arteta tau.

"Pembohong, jika kau jenuh hal pertama yang kau lakukan adalah melukis bukan?" ucap Arteta pada Kalistha.

Itu membuat Kalistha tersenyum. Sahabatnya ini benar-benar tau bahwa dirinya hobi melukis. Dan apa yang Arteta katakan itu benar.

Sebab jenuhnya Kalistha akan membuat mahakarya. Dan itu, sudah cukup menumpuk di paling atas rumah Kalistha. Beberapa lukisan hasil karya tangannya sendiri.

"Aku hanya ingin mengganti hobi saja, tidak boleh?" tanya Kalistha yang masih berusaha menutupinya.

Gadis Belanda disampingnya itu mulai menatapnya dengan pandangan tak biasa. Arteta mencoba menguak satu fakta yang Kalistha sembunyikan darinya.

Kalistha sangat tidak senang dengan tatapan Arteta yang seperti mengintrogasinya. Hatinya mulai resah, sahabat baiknya ini memang selalu tidak puas jika mendapatkan jawaban yang tidak detail.

"Kau mencintai seseorang ya?" tebak Arteta.

"Huh.." lirih Kalistha mematung setelah itu.

Semburat merah terlukis jelas dalam wajahnya setelah itu.

"Tidak, lagi pula siapa yang sedang kucintai saat ini?" ucap Kalistha mencoba membantah apapun yang Arteta katakan.

"Berbohong padaku itu tidaklah mungkin, ceritakan padaku siapa pemuda yang berhasil mengambil simpati dan hatimu?" ujar Arteta yang masih kukuh dengan argumennya.

"Teta, sudah berapa kali kukatakan? Tidak ada, kalau pun ada kau yang pertama mengetahuinya. Oh ya, kenapa kau kemari? Bukankah kita ada kelas malam?" tanya Kalistha setelah menjelaskan segalanya pada Arteta dia baru ingat bahwa mereka ada kelas malam hari ini.

"Aku hanya ingin memberitahumu sesuatu!" ujar Arteta pada Kalistha.

Raut wajah Arteta mulai berubah, dari dalam tas nya ia mengambil sesuatu. Sebuah map dengan tumpukkan kertas di dalamnya.

Kalistha tau apa isi dari map itu. Dia hanya mampu tersenyum tipis ketika Arteta memberikan itu padanya. Ada dua kemungkinan setelah map itu dibuka.

Apakah nanti akan ada kemungkinan baik? Ataukah berita buruk yang akan membuat hatinya bergetar pedih?

Ini adalah masa sulitnya Kalistha. Dia tidak sanggup dan Arteta tau itu. Arteta mengatakan pada Kalistha,

"Baru saja rumah sakit menelfonku dan menyuruhku kesana! Dan ini adalah hasil Roxen kaki Syena!" jelas Arteta padanya.

Kalistha mencoba menetralisir kesedihan di hatinya. Dengan berat hati perlahan Kalistha mulai membuka map besar itu. Kalistha mencoba memahami hasil laporan dari dokter mengenai kaki adiknya.

Ini berita buruk. Rupanya masih belum ada perkembangan yang terjadi pada kedua kaki Syena.

Kaki itu masih sama mutlak cacat kata dokter. Tapi, Kalistha selalu percaya bahwa adiknya itu pasti akan sembuh dan berjalan normal kembali.

"Sepanjang malam dia selalu menangis karena kondisi kakinya. Lalu, mengapa Tuhan tidak berbaik hati padanya? Memberinya satu saja kesempatan untuk bisa berjalan normal kembali." ujar Kalistha, Arteta menatap sendu sahabatnya itu.

Rasanya, Arteta tidak akan kuat apabila menjadi seorang Kalistha.

"Kau harus tetap kuat demi adikmu! Jika adikmu tidak mampu tegar menghadapi cobaannya, maka kau sebagai seorang kakak harus menjadi suri teladan untuknya. Kau harus yakin pada Tuhan, dia pasti memiliki rencana dan kado untukmu di masa depan nanti!" tutur Arteta, setitik air mata yang jatuh dari kelopak mata Kalistha pun dihapus olehnya.

Ketika keduanya terlarut dalam obrolannya. Dari kejauhan sambil berjalan menggendong Syena di bahunya. Barsh berjalan mendekati Kalistha dan Arteta yang masih duduk di halaman rumah.

"Kakak!!!" teriak Syena riang.

Arteta dan Kalistha pun menoleh ke arah sumber suara itu. Terlihat Barsh nampak riang menggendong Syena di bahunya.

"Kau? Kenapa kemari?" tanya Arteta ketika Barsh berada tepat didepannya lalu menurunkan Angela.

"Ada apa? Aku hanya ingin mengajak peri kecil ini bermain, lagi pula dia begitu senang. Mengantarnya pulang adalah tugasku bukan?" jawab Barsh, seraya mengusap lembut surai Syena.

"Apa kakak tau, kakak ini baik sekali. Dia mengajakku berkeliling kota Tokyo, dan mengajakku ke toko mainan besar!" ucap Syena bercerita riang pada Kalistha dan Arteta yang memperhatikannya.

Kalistha nampak senang sekali rasanya. Jarang baginya melihat Syena sebahagianya ini. Apalagi bersama dengan orang baru yang baru saja dikenalnya. Itu Barsh!

"Kau pasti lelahkan sayang? Masuk dan ganti bajumu ada bento untukmu, sudah kusiapkan daritadi jangan lupa minum obatmu juga yaa!" ucap Kalistha.

Syena mengangguk mendengar itu. Dia pun masuk kedalam rumahnya. Entah mengapa Arteta begitu faham mengenai suasana ini.

Ketika hanya tinggal dirinya sendiri di sana tanpa Syena. Melihat tatapan yang terjadi antara Barsh dan Kalistha. Arteta memilih mundur saja sebelum jadi obat nyamuk.

Kepergian Arteta masuk ke dalam rumah Kalistha membuat Barsh merasa merdeka. Merasa tak ada lagi yang mengganggu. Barsh mulai menatap lembut Kalistha yang berdiri di depannya.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Kalistha pada Barsh. Namun yang ditanya hanya tersenyum.

"Apa? Kenapa kau tersenyum seperti itu?" tanya Kalistha lagi yang merasa aneh dengan tatapan Barsh di sini.

"Ikutlah bersamaku!" jawab Barsh sambil mengulurkan tangannya pada Kalistha.

"Ini bukan jadwal dimana aku harus mengajarimu piano bukan?" ucap Kalistha mencoba mengalihkan ajakan Barsh ke arah lain.

"Memang bukan, cobalah ikut bersamaku sebentar Kalistha!" ajak Barsh lagi padanya.

Kalistha sedikit mencari cari alasan yang tepat untuk menolak ajakan Barsh. Bukannya tak senang akan tawaran yang diajukan. Hanya saja hatinya masih ragu pada Barsh.

"Pukul 4 nanti salju mulai turun di Tokyo! Aku harus tetap di rumah menjaga Syena!" ujar Kalistha.

Setelah mengatakan itu Kalistha pun membalikan tubuhnya untuk masuk kedalam rumah. Barsh yang kesal pun mencoba menahannya.

Satu tarikan dari Barsh membawa tubuh Kalistha kembali menghadap ke arah Barsh. Kalistha menubruk kecil  tubuh Barsh.

Hingga membuatnya refleks menyentuhkan kedua telapak tangannya berada tepat di atas dada bidangnya Barsh.

Kalistha terkejut dia terpaku dalam posisi tubuhnya saat ini. Berbeda dengan Barsh yang saat ini berseringai sambil memperhatikan raut wajah Kalistha yang syok.

"Sudah berapa kali kukatakan? Jangan membuatku kecewa, ikutlah bersamaku!" ujar Barsh lagi padanya.

Kalistha terjebak dalam posisi ini. Dan posisi ini membuatnya bungkam, hingga begitu keluh lisannya untuk berucap.

Tapi, Kalistha adalah pribadi yang keras kepala. Dia pun segera mendorong tubuh Barsh ke belakang lalu menjauhkan tubuhnya dari Barsh.

"Maaf aku tidak bisa." ucap Kalistha lagi, ia pun berbalik dan masuk kedalam rumahnya.

Melihat Kalistha yang menghindar dan mulai menjauh. Barsh berlari kecil ke arahnya. Kalistha memekik ketika sepasang tangan kekar mulai mengangkat tubuhnya, menggendongnya, membawanya dengan paksa.

"Apa-apaan kau ini, turunkan aku." pekik Kalistha pada Barsh yang membawanya paksa.

"Aku sudah bilang untuk tidak membuatku kecewa. Jika aku seperti ini bukan salahku, kan?" jawab Barsh sambil tersenyum pada Kalistha.

"Dasar!" ucap Kalistha pada Barsh.

Kalistha pasrah ketika Barsh membawanya masuk ke dalam mobil.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!