Disebuah rumah sakit swasta, seorang wanita cantik yang menggunakan hijab sedang bersedih hati duduk seorang diri di depan ruang operasi. Gadis itu masih menangis terisak-isak.
"Sabar, Nak," ucap seseorang.
Sharena menoleh untuk melihat siapa orang yang duduk disampingnya. Sosok lelaki baya, terlihat dari penampilannya orang senang. Dari bicaranya juga sangat lembut dan sopan.
Lelaki itu mengukir senyum lembut, tatapannya yang teduh membuat hati Sharena sedikit lebih tenang. Ia mencoba membalas senyuman itu.
"Terimakasih, Pak," jawabnya sembari menyusut air mata yang sedari tadi masih setia jatuh.
"Boleh Bapak tahu siapa yang berada didalam ruangan itu?" tanya sang Bapak menatap iba, ia tahu bahwa gadis itu sedang berduka lara.
"I-ibu saya, Pak," jawab Sharen datar.
"Operasi apa?" tanya Pria itu kembali.
"Jantung, Pak. Pasang ring," jawab Sharen jujur. Sebenarnya ia enggan untuk terlalu banyak bicara dalam keadaan genting seperti ini, tetapi rasa tak sopan bila mengabaikan pertanyaan Pria baya itu.
"Oh, semoga Allah beri kelancaran ya. Kamu harus sabar dan kuat. Bapak juga sedang menunggui istri Bapak yang sedang dirawat juga di RS ini," jelasnya.
"Ah, Ibu sakit apa, Pak?" tanya Sha merespon ucapan Bapak itu.
"Hipertensi, jadi harus dirawat."
"Semoga Ibu lekas sembuh ya, Pak," Do'a wanita itu dengan tulus.
"Aamiin, Terimakasih ya. Kalau begitu Bapak balik dulu, kamu harus tegar. Jika ada kesempatan mainlah ke ruang rawat Ibu yang ada di Tulip 3." Pria itu menyebutkan ruang rawat istrinya.
"Baiklah, insya Allah. Sekali lagi terimakasih atas Do'anya, Pak."
"Ya, sama-sama. Oya, Bapak boleh tahu siapa nama kamu?" tanya Pria itu sebelum beranjak.
"Nama saya Sharena Husman, Pak."
"Ya, ya. Nama yang bagus. Nama saya, Ikhsan Wibowo," ujar Pria baya itu memperkenalkan namanya.
Sharena hanya mengangguk paham, dan mengukir senyum tipis pada lelaki yang bernama Ikhsan itu.
Dengan hati resah gelisah wanita itu menantikan pintu ruangan terbuka. Hatinya dilanda rasa cemas saat pikiran buruk menghantuinya, bagaimana jika nyawa Ibu tak bisa diselamatkan? Ha, tidak. Ia tidak boleh cengeng, harus kuat seperti yang dikatakan Pak Ikhsan.
Cukup lama wanita itu menanti kabar dari Dokter yang sedang berjuang untuk menyelamatkan nyawa sang ibu. Selang beberapa menit pintu ruangan itu terbuka.
Sharena segera bangkit dari tempat duduknya, dan menyongsong Dokter yang baru saja berada di depan pintu.
"Dok, bagaimana keadaan Ibu saya? Apakah operasinya berjalan lancar?" tanya Sha tak sabar.
"Alhamdulillah operasinya berjalan lancar, tiga puluh menit lagi Ibu anda akan dipindahkan ke ruang rawat," jelas sang Dokter tersenyum dengan nafas lega.
"Alhamdulillah ya Allah, terimakasih, Dok," ucap gadis itu tersenyum bahagia sembari menangkup kedua telapak tangannya mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada tenaga medis itu.
"Ya, sama-sama. Kalau begitu saya permisi dulu."
"Ya, mari, Dok."
Sore ini Ibu sudah menempati ruang rawat inap yang berada di lantai dua. Ruangan cempaka 2 berhadapan dengan Tulip 3. Sha izin pada Ibu ingin membeli sesuatu untuk mengisi perutnya yang sedari tadi belum terisi apa-apa.
Gadis yang berumur dua puluh empat tahun itu keluar dari ruangan, seketika langkah kakinya terhenti saat berpapasan dengan Pria baya yang tadi siang membawanya ngobrol. Ia menatap kamar yang ada dihadapannya.
Ternyata kamar ibunya dan kamar istri si Bapak berhadapan. Namun beda kelas. Kamar itu terpampang ruangan VIP.
"Sharena, kamu disini?" tanya Pak Ikhsan.
"Ah, iya Pak. Ibu saya dirawat disini," jawabnya jujur.
"Oya, bagaimana operasinya, apakah lancar?"
"Alhamdulillah lancar, Pak."
"Alhamdulillah, syukurlah. Bapak ikut senang mendengarnya. Kamu mau kemana?" tanya Pak Ikhsan yang tampak begitu ramah pada gadis itu.
"Mau ke kantin sebentar, Pak. Apakah Ibu dirawat disini?" tanya Sha ingin tahu juga keadaan istri Pria baya itu.
"Ya, diruangan itu. Apakah kamu ingin menjenguk kedalam?"
"Ah, ba-baiklah." Sha tak bisa menolak. Tak ada salahnya saling memberi Do'a dan support sesama pasien.
Pak Ikhsan membawa Sharena masuk kedalam kamar rawat sang istri. Terlihat seorang wanita yang di perkirakan berumur kurang lebih dari lima puluh tahun, wanita itu menatap kedatangan Sha dengan senyum.
"Selamat sore, Ibu. Bagaimana keadaan Ibu?" tanya Sharena dengan lembut.
"Sore, Nak. Alhamdulillah sudah mulai membaik. Cantik sekali kamu, tadi suami saya cerita tentang kamu. Oya, bagaimana keadaan Ibu kamu?" tanya wanita itu menyambut dengan ramah.
"Alhamdulillah, operasinya berjalan lancar, Bu, sekarang sudah berada di kamar rawat. Kebetulan kamarnya berhadapan dengan kamar, Ibu. Jadi saya mampir sebentar," jelas Sha sembari mengukir senyum, hingga menampakkan lobang yang ada di pipi menambah kadar kecantikannya.
"Terimakasih ya, kamu sudah menyempatkan diri untuk menjenguk Ibu," ucap sang Ibu begitu senang atas kehadiran wanita cantik itu.
"Iya sama-sama, Bu, semoga ibu cepat pulih ya. Kalau begitu saya pamit mau kebawah sebentar," ucapnya pamit undur.
"Baiklah, sering-sering kesini ya, nanti Ibu sempatin jenguk Ibu kamu," balas wanita baya itu.
Sha sedikit sungkan dengan sikap baik dan perhatian dari pasangan yang sudah tak lagi muda itu.
"Baik, Bu." Sharena segera beranjak dari ruangan itu, dan segera menuju lift untuk sampai ke lantai satu.
Gadis itu segera menuju kantin, memesan makanan dengan dibungkus saja, ia akan makan di kamar rawat saja, jaga-jaga bila nanti sang Ibu membutuhkan bantuannya.
Sha masuk kedalam ruang rawat dengan menenteng kantong plastik yang berisi makanan, meletakkan diatas nakas dan terlebih dahulu menghampiri ibunya.
"Ibu mau sesuatu?" tanyanya sembari memperbaiki kain tebal penutup tubuh malaikat tak bersayapnya itu.
"Tidak, Nak. Apakah kamu sudah makan?" tanya Ibu lirih, menatap wajah cantik sang Putri, tampak dimatanya masih tersimpan kesedihan.
"Belum, itu makanannya aku bawa kesini. Kalau begitu aku makan dulu ya, Bu."
"Ya, makanlah."
Sharena segera menyantap makanannya hingga tandas, kini kampung tengahnya sudah lebih aman karena sudah terisi. Sharena rehat sejenak meluruskan kakinya yang cukup pegal.
Pagi ini perempuan itu diminta untuk melunasi biaya operasi ibunya ke kasir RS. Sebab sudah peraturan RS harus melunasi terlebih dahulu, baru dimulai penghitungan baru biaya rawat inap untuk selanjutnya.
Sha mendatangi kasir untuk melunasi, seketika Gadis itu tercengang saat melihat totalnya. Kenapa semahal itu? Uang dari mana ia dapatkan. Sha masih terdiam sepi menatap angka nominal yang tertera di kwitansi pembayaran RS.
"Bagaimana, Ibu?" tanya petugas kasir.
"Ah, maaf, Buk, kenapa sebesar ini ya?" tanya Sha meminta penjelasan, karena ia memang belum pernah menghadapi hal seperti ini sebelumnya.
"Memang segitu, Bu. Bahkan RS kami sudah memberi kelonggaran. Pasien harus ditangani terlebih dahulu, kalau RS yang lain harus melunasi terlebih dahulu baru dilakukan tindakan," jelas pegawai itu.
Sha hanya mengangguk paham. Ya, saat ibunya kritis memang segera mendapatkan penanganan dan tindakan. Maka dari itu ia tidak tahu biaya yang harus ia lunasi.
Bersambung.....
NB. Jangan lupa mampir ya, dan tinggalkan jejak sayang kalian agar Author semangat Update. Oya, apakah ada disini yang tahu dengan Bapak ikhsan Wibowo 😊
Happy reading 🥰
Sharena meminta waktu untuk dapat melunaskan semua biaya RS sang Ibu. Ia berjalan menyusuri lorong RS, bingung harus berbuat apa. Kemana ia harus mencari uang sebanyak itu? Apakah dia harus menjual rumah satu-satunya yang kini sedang mereka tempati?
Dengan pasti gadis itu menuju kediamannya dengan menggunakan motor matic kesayangannya. Setibanya dirumah, Sha segera mencari surat rumah. Tak ada yang bisa ia perbuat selain menjual rumah peninggalan dari sang Ayah.
Ternyata operasi jantung tidaklah mudah biayanya, cukup terbilang mahal. Namun demi kesembuhan Ibu apapun akan ia lakukan. Setelah mendapatkan apa yang ia cari dan melengkapi segala persyaratannya.
Sha segera melajukan motornya menuju sebuah Bank untuk mengajukan penggadaian atau dijual sekalian bila perlu.
Sharena kembali dilanda kebingungan saat pihak Bank hanya menawar jauh dari ekspektasi sebelumnya. Alasan mereka karena letaknya yang kurang strategis, dan agak sedikit jauh dari keramaian, maka mereka hanya berani memberi harga yang terbilang murah.
"Pak, apakah tidak bisa ditambah lagi harganya?" tanya wanita itu penuh harap.
"Maaf, Mbak. Dari pihak kami hanya berani menawarkan segitu."
Sharena masih berpikir untuk melepaskan rumah yang selama ini ia tinggali bersama Ibu dan adiknya. Haruskah ia melepaskan dengan harga yang rasanya tak sesuai?
"Maaf, Pak, saya pikir-pikir dulu ya," ucapnya membawa kembali berkas-berkas berharga itu.
Wanita itu kembali ke RS dengan perasaan yang tak menentu. Tak tahu harus bicara apa nantinya demi mengulur waktu untuk mencari pinjaman uang.
Karena pikiran yang sedang kacau, Sha tak fokus mengendarai sepeda motornya sehingga kuda besi itu menabrak bodi mobil yang sedang ngerem mendadak.
Braaakk!
"Astaghfirullah! Ya Allah, kenapa aku harus ceroboh seperti ini," gumam wanita itu sendiri dengan kaki bergetar.
Sha menepikan motornya mengikuti mobil yang ia tabrak tadi. Terlihat seorang lelaki keluar dengan kaca mata hitam yang masih bertengger di hidungnya. Perlahan tangannya membuka kaca matanya.
Sha hanya menatap sesaat, dan segera menunduk sembari memohon maaf atas ketidak sengajaannya menabrak mobil mewah Pria itu.
"Maafkan saya, Tuan. Saya benar-benar tidak sengaja melakukannya," lirih wanita itu.
Pria itu hanya diam dengan wajah datar. Ia menatap penampilan gadis yang ada dihadapannya dari kaki hingga ujung kepala yang terbungkus hijab itu. Ia menghela nafas dalam.
"Lain kali gunakan matamu agar tak membuat kekacauan di jalan raya," balasnya dingin.
"Baiklah, Tuan, tapi tadi anda juga melakukan kesalahan, karena mengerem mendadak," ujar Sha tak mau kalah.
"Kamu sudah membuat mobil saya rusak begini, masih saja membela diri?" tanya Pria itu menyorot dengan tajam.
"Bu-bukan begitu maksud saya, tapi saya juga berhak menyuarakan dimana letak kesalahan anda. Karena apa yang terjadi bukanlah murni kesalahan saya sendiri," ucap Sha masih tak mau disalahkan sepenuhnya oleh Pria itu.
"Baiklah, sekarang kamu perbaiki mobil saya, dan akan saya perbaiki motor kamu!" tekannya tak ingin memperpanjang masalah.
"Aduh, saya minta maaf, Tuan. Udah nggak pa-pa kita perbaiki sendiri-sendiri saja ya. Hehe," ujar gadis itu tersenyum kikuk menanggapi permintaan lelaki tampan itu.
Pria itu berjalan mendekatinya dengan tatapan yang masih menghujam. Kini jarak mereka begitu dekat mengikis jarak. Sha mundur sedikit kebelakang karena merasa tidak nyaman di pepet olehnya.
"Lain kali jangan sok belagu membela diri bila tak punya uang," bisiknya tersenyum mengejek.
Pria itu segera beranjak meninggalkan Sha seorang diri yang masih terpaku ditempatnya. Gadis yang berusia dua puluh empat tahun itu kembali melajukan kendaraan roda duanya menuju RS.
Setibanya di RS, Sha segera menuju kamar sang Ibu. Ia harus memastikan kondisi Ibu baik-baik saja.
"Bagaimana keadaan Ibu, Al?" tanya Sha pada adik lelakinya.
"Alhamdulillah sudah berangsur membaik Kak," jawab Aldo sembari menduduki tempat duduknya kembali.
"Kakak darimana?" tanya Pria yang masih menduduki bangku SMA itu. Ia heran hampir seharian sang kakak menitipkan Ibu padanya.
"Oh, itu. Tadi Kakak masih cari pekerjaan. Kamu sudah makan?" tanya Sha yang belum jujur pada adiknya.
"?Sudah kak."
Sudah dua hari Sharena tak mendapat panggilan dari pihak RS untuk melunasi biaya operasi sang Ibu. Merasa tidak enak, maka gadis itu mendatangi kasir untuk kembali meminta tenggang waktu.
"Semua biaya pengobatan ibu anda sudah di lunasi oleh seseorang," jelas pegawai kasir itu.
"Apa!" Sha begitu terkejut. Siapakah orang yang melunasi biaya pengobatan Ibunya. "Maaf, Buk, boleh saya tahu siapa yang melunasi biaya pengobatan ibu saya?"
"Nama beliau, Ikhsan Wibowo," jawab pegawai itu memberitahu.
Seketika mata Sha membulat sempurna, bibirnya terbuka lebar, ia benar-benar tak percaya lelaki itu begitu baik. Ia harus mengucapkan rasa terima kasih. Atau ada yang bisa ia lakukan untuk membalas kebaikan keluarga itu. Rasanya cukup mustahil bila ada orang yang begitu baik mau mengeluarkan uang sebanyak itu.
Sharena segera menuju kamar dimana Nyonya Ikhsan itu dirawat. Hatinya sangat bahagia, akhirnya ia tak jadi menjual harta satu-satunya peninggalan ayahnya.
Saat Sharena membuka pintu kamar rawat inap, ia melihat pasangan itu sudah bersiap untuk pulang. Jantungnya ingin lompat seketika saat sosok Pria angkuh yang baru beberapa jam tadi bertemu dengannya ada diruangan itu.
"Eh, Sha. Ayo masuklah," ujar Pak Ikhsan menyuruh gadis itu masuk. Tampak dari gelagatnya yang ingin keluar kembali, tatapannya tak lepas pada Pria yang sedang duduk disamping istri Pak Ikhsan. Ia tidak tahu ada hubungan apa lelaki itu dengan mereka.
"Ah, i-iya, Pak. Maaf jika saya mengganggu," ucap Sha merasa sungkan.
"Tidak, Nak. Ibu malah senang jika kamu datang kesini," jelas wanita baya yang bernama Rania itu.
Sha berjalan mendekat pada mereka, dan duduk di ujung Sofa yang berhadapan dengan lelaki dingin itu. Ia berusaha untuk tetap biasa saja. Anggap saja tak pernah bertemu.
"Bagaimana keadaan Ibu kamu, Sha?" tanya Ibu Rania.
"Alhamdulillah sudah mulai membaik, Bu. Dan maksud saya datang kesini ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada Bapak dan Ibu, karena sudah melunasi biaya pengobatan ibu saya," ungkapnya pada pasangan itu.
"Sama-sama, Nak. Kami senang bila kondisi Ibu kamu sudah membaik," jawab Pak Ikhsan.
"Bu, Pak, saya tidak tahu harus bicara apa, sungguh saya tak tahu harus berbuat apa untuk membalas segala kebaikan Ibu dan Bapak," lirihnya sangat sungkan.
"Jangan bicara seperti itu, Sha. Kami ikhlas melakukannya. Tapi kalau boleh Ibu tahu, kamu kerja dimana?" tanya Bu Rania.
"Saya belum mempunyai pekerjaan, Bu, kebetulan baru beberapa bulan ini wisuda," jawab Sha dengan jujur.
"Kamu ambil jurusan apa saat kuliah?" tanya Pak Ikhsan.
"Ekonomi, Pak."
"Nah, kebetulan kalau begitu. Kamu bisa bekerja di kantor Bapak. Kamu setuju 'kan Abi?" tanya Pak Ikhsan pada Pria yang sedari tadi hanya diam mengamati pembicaraan mereka.
"Maksud Papa?" tanya Pria itu tampak keberatan.
Bersambung....
Happy reading 🥰
"Maksud Papa, kamu menerima Sharena bekerja sebagai sekretaris kamu di kantor," jawab Papa jelas.
"Tapi, Pa. Dia kan belum mempunyai pengalaman dalam bekerja. ya, jadi mana mungkin aku menerimanya begitu saja," ujar Pria yang bernama Abi itu.
"Papa percaya bahwa Sha bisa melakukan pekerjaannya sebagai sekretaris kamu. Sudah, jangan membantah!" tegas Pak Ikhsan pada Pria itu yang ternyata anaknya.
"Terserah Papa deh, tapi jangan salahkan aku bila kinerjanya tidak sesuai keinginan Papa," jawabnya pasrah.
"Yasudah, bila urusan kamu sudah selesai, kamu boleh datang ke kantor," ujar Pak Ikhsan pada gadis itu.
Sha tersenyum bahagia mendengar ucapan Pak Ikhsan yang memberinya pekerjaan.
"Baik, terimakasih banyak, Pak. Saya tidak tahu harus bicara apa. Hanya bisa mengucap terima kasih atas segala kebaikan Bapak dan Ibu," ungkap gadis itu dengan tulus.
Abi menatap gadis itu dengan malas. Dia heran kenapa Papa dan Mama begitu menyayanginya. Seharusnya mereka lebih menyayangi Diana yang jelas menantu mereka.
Entah kenapa sampai sekarang Mama dan Papa selalu bersikap dingin dengan Diana, dan begitu pula dengan Diana yang tak berminat untuk mendekatkan diri pada mertuanya. Hubungan menantu dan mertua itu memang sudah lama tak sehat, sebelum mereka menikah, Pak Ikhsan dan Bu Rania sudah tak setuju.
Dengan alasan bahwa Diana adalah wanita yang tak pandai menghormati orangtua, gaya hidupnya yang suka bepoya-poya dengan kawan-kawannya, akhlak dan adabnya juga kurang. Namun pasangan itu tak bisa menghalangi pernikahan putra semata wayang mereka, dikarenakan Abian yang sangat mencintai Diana begitu dalam.
Berharap suatu saat nanti Diana bisa menjadi pribadi yang baik, namun tak sesuai harapan mereka. Lima tahun menikah tak ada yang berubah pada diri wanita itu. Abi yang dibutakan oleh cinta, maka tak bisa membedakan tingkah dan perilaku istrinya yang sudah semakin menyimpang.
"Ayo, Ma, kita pulang sekarang. Soalnya aku masih harus balik ke kantor, karena ada pekerjaan yang belum aku selesaikan," ujar Abi ingin segera beranjak.
"Kalau begitu Ibu pulang dulu ya, Sha, sampaikan salam kami pada Ibu kamu, semoga cepat pulih kembali," ucap Pak Ikhsan dan Bu Rania.
"Baik, sekali lagi terimakasih ya, Bu Pak," jawab Sha sembari mengukir senyum ramah, tidak dengan Pria sombong itu. Ia hanya mengangguk padanya sebagai tanda tak mengurangi rasa hormatnya. Namun lelaki itu tak menampakkan ekspresi apapun diwajahnya. Ah, dasar kanebo kering.
Sudah satu minggu Ibu menjalani rawat inap pasca menjalani operasi jantung. Pagi ini Dokter memberi izin untuk pulang, karena sudah di pastikan kondisi Bu Susi dinyatakan sudah pulih dan membaik, hanya perlu kontrol rutin setiap bulannya.
"Sha, bagaimana dengan biaya operasi Ibu?" tanya wanita baya itu pada putrinya yang sedang berberes untuk persiapan pulang.
"Ibu tidak perlu khawatir, karena semua biaya RS sudah dilunasi oleh calon Bos aku," jelas Sha pada sang Ibu.
"Calon, Bos?" tanya Ibu tak mengerti apa maksudnya.
"Iya, Bu. Ada orang baik yang memberi aku pekerjaan." Sha menjelaskan semuanya pada Ibu tentang Pak Ikhsan dan Bu Rania yang sudah begitu baik.
"Baik sekali mereka, Nak? Sungguh berasa hutang Budi dengan mereka," ucap Ibu.
"Aku juga begitu, Bu. Tapi kita wajib bersyukur karena masih ada orang yang mau membantu dengan ikhlas."
"Kak, udah siap? Nanti Kakak dan Ibu naik taksi saja, biar aku yang bawa motor Kakak," ucap Aldo yang baru sampai masih mengenakan pakaian seragamnya.
"Baiklah, kamu baru pulang jam segini?" tanya Sha menatap sang adik karena masih menggunakan pakaian sekolahnya.
"Iya, tadi ada pelajaran tambahan di sekolah."
Aldo segera mendorong kursi roda ibunya, sementara Sha menenteng tas dan peralatan lainnya. Setelah membantu Ibu masuk kedalam mobil, Pria yang berumur delapan belas tahun itu segera menuju parkiran untuk mengambil motor sang kakak dan memacu pulang mengikuti taksi yang di tumpang oleh Ibu dan kakaknya.
Setibanya dikediaman sederhana itu, Aldo dan Sha membantu Ibunya untuk menempati ranjang, memapah dengan pelan hingga memastikan bahwa Ibu berbaring dengan nyaman.
Setelah itu Sha mengerjakan tugas rumah yang lainnya, sejak Ibu sakit, rumah itu terlihat tak terawat karena mereka sibuk di RS menjaga sang Ibu.
Sudah beberapa hari sejak kepulangan Ibu dari RS, pagi ini Sha sudah bersiap untuk mendatangi kantor yang bergerak di bidang retail. Sebenarnya Sha ragu untuk berhadapan dengan Pria kaku itu. Kenapa ayah dan anak sikapnya bertolak belakang ya?
"Kamu jadi kekantor?" tanya Ibu yang sudah terlihat lebih fresh.
"Jadi. Do'ain ya, Bu, semoga aku diterima bekerja disana," jawab Sha meminta Do'a restu.
"Tentu saja, Nak. Ibu akan selalu mendo'akan kamu. Semoga Allah beri kemudahan segala urusan kamu hari ini," Do'a Ibu untuk putrinya.
"Aamiin, kalau begitu aku jalan sekarang ya, Bu." Sha menyalami tangan Ibu dengan takzim.
Sesuai alamat yang diberikan oleh Pak Ikhsan, kini gadis cantik berlesung pipi itu sudah tiba di gedung pencakar langit. Sedikit nervous saat masuk kedalam perusahaan yang terkenal cukup besar yang ada di kota Medan.
Sha menuju meja resepsionis untuk menyampaikan niat dan tujuannya datang ke kantor itu. Ia berusaha menekan rasa gugup, karena semua orang menatap dirinya, apakah karena dia yang menggunakan hijab? Karena semua staf dan karyawan terlihat mengenakan rok dibawah lutut.
"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" tanya pegawai resepsionis itu.
"Ah, pagi Mbak. Saya mau bertemu dengan Bapak Abian Rahardian," ujar Sha.
"Apakah Mbak sudah membuat janji dengan beliau?"
"Tidak, tapi saya disuruh datang untuk menghadap," jelasnya meyakinkan.
"Baik, kalau begitu saya hubungi beliau dulu, kalau boleh saya tahu, nama Mbak siapa?"
"Sharena Husman."
"Baik, tunggu sebentar ya, Mbak."
Pegawai itu segera menghubungi atasannya, dan menyebutkan nama gadis yang ingin bertemu dengannya.
"Baik, silahkan Mbak datang keruangan Pak Abian yang berada dilantai lima," ucap pegawai itu memberi izin.
"Baik, terimakasih Mbak," ucap Sha, kedua wanita itu saling mengangguk ramah dan mengulas senyum untuk mengakhiri percakapan mereka.
Setibanya dilantai Lima, Sha mencari ruangan Pria itu. Tak tahu ruangannya yang mana, akhirnya wanita itu memutuskan untuk bertanya pada salah satu staf yang sedang fokus dengan pekerjaannya.
"Maaf, permisi Mas, ruangan Pak Abian yang mana ya?" tanya gadis itu menghampiri meja kerja yang didesain Open Office itu.
"Ruangan direktur utama, ada di sebelah sana, Mbak. Apakah sudah buat janji?" tanya pegawai itu sembari tersenyum ramah.
"Ah, sudah, Mas. Kalau begitu terimakasih ya, mari."
"Mari cantik," jawab Pria itu tersenyum menatap dengan seksama hingga gadis itu hilang dari pandangannya.
Sharena membaca tulisan yang tertera di pintu ruangan itu. Kembali hatinya gugup, namun ia berusaha untuk menekan rasa takut dan gugup itu. Ia harus bisa mendapatkan pekerjaan demi kesembuhan Ibu yang harus kontrol setiap bulannya, dan juga membiayai sekolah sang adik.
Tok! Tok!
"Masuk!" seru seseorang, dari suaranya Sha sudah mengenali.
Sha segera membuka pintu ruangan. Terlihat Pria itu sedang fokus dengan gawainya, dan sesekali menatap benda pipih yang ada di mejanya.
"Duduk!" titahnya tanpa menoleh sedikitpun pada gadis itu. Hah, sombong sekali, apakah wajah gadis itu sangat membosankan?
Bersambung....
Jangan lupa tinggalkan dukungannya ya, agar Author semangat update. terimakasih 🙏😘
Happy reading 🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!