NovelToon NovelToon

CHARLOTTE : Merak Putih Yang Terluka

Merak Putih

“Penggal!”

Seru seorang ratu yang tersanjung di negeri ini. Rambutnya yang bergelombang panjang berwarna perak berkilau terkena sinar baskara yang telah mencapai titik kultivasinya.

Netra sang ratu menatap tajam disertai kebencian yang mendalam terhadap seorang pria yang memohon kepadanya diselingi air mata buaya.

Kedua tangan sang ratu perak menggenggam dengan kuat. Namun, ia berusaha untuk tetap tegak menghadap sang dewi kebenaran. Kini, dialah pemegang kekuasaan tanah penuh pengkhianatan.

Dagunya sedikit terangkat. Ia tak gentar sedikit pun. Setiap aksara yang keluar dari bibirnya adalah mutlak. Siapa pun tidak berhak memberontak, bahkan pria yang amat dicintainya pun tidak patut mengatakan sepatah kata.

“Maafkan aku, Charlotte,” pinta pria yang terus menangkupkan kedua tangannya untuk meminta pengampunan meskipun saat ini tubuhnya telah berada di atas tanah, di bawah kaki sang ratu yang memiliki gelar Pavo Cristatus atau Merak Putih.

Namun, luka hatinya tidak pernah sembuh meskipun pria itu terus memohon ampun, dan di bawah kekuasaannya, sebilah pedang mengkilap menjatuhi hukuman kepada pria itu sampai pada akhirnya, darah segar pun mencurat hingga menciprat gaun putih kebanggaan milik sang ratu.

Sekuat tenaga, ratu menahan bulir beningnya yang suci. Ia sudah bertekad untuk tidak membuang mutiara matanya dengan sia-sia hanya karena menangisi pria yang sudah mengkhianati hatinya.

Sementara semua orang menatap dengan mata terbelalak. Negeri yang dulunya damai berubah menjadi negeri penuh kekejaman di bawah kuku sang ratu adikara.

Tidak ada yang berani melawan atau sekadar mengutarakan pendapat. Kekuatan sang Merak Putih melebihi manusia biasa.

Setelah satu kepala menggelinding, Ratu mulai meninggalkan tempat penghakiman dengan menahan luka yang amat perih di hatinya.

Sementara seluruh pengikutnya menunduk acapkali Ratu berjalan melewati mereka. Tubuh bergetar, kuasa telah direnggut. Ratu mulai menutup hatinya yang dulu pernah sehangat mentari, bahkan memberi kehidupan di negeri terpencil yang pernah ia banggakan.

Aura sang Ratu amat disanjung, bahkan tanaman dan hewan yang dilaluinya merunduk penuh hormat terlebih setelah sang Ratu mempertaruhkan perasaannya demi menebas satu pengkhianat negeri.

Namun, hal itu malah membuat Ratu menjadi memenjarakan dirinya, tak percaya lagi bahkan pada rakyatnya sendiri. Luka di hatinya kian melebar.

Ia sudah putuskan bahwa dirinya akan menjadi ratu agung negeri yang dijuluki dengan Everfalls. Menjunjung tinggi dirinya sendiri, jauh dari tanah para pendosa.

Ratu berjalan menuju ke sebuah tanah yang melingkar, sebuah tempat persembahan. Di sekitarnya ada empat gading mengelilingi tempat tersebut, sementara di tengah ada sebuah ukiran sihir sebagai media persembahan.

“Wahai keabadian. Wahai Penjaga Dunia. Amarah. Dendam. Keagungan. Kejayaan.” Bibir Ratu mengucapkan beberapa mantra di setiap perjalanannya menuju ke tempat persembahan.

Seluruh orang terkejut, tetapi tidak ada yang bisa mereka lakukan. Semua mata tertuju pada sang Ratu yang berjalan anggun melewati rakyatnya.

“Hei, jangan bilang Ratu hendak melakukan itu!” Semua orang mulai panik. Berusaha memanggil sang Ratu negeri ini, mencoba mencegah.

Namun, Ratu tidak bergeming. Ia terus merapalkan mantra sementara lingkaran sihir menyala secara perlahan dengan cahaya putih yang begitu cerah.

“Wahai Yang Maha Agung, ampuni segala dosa. Wujudkan kemurkaan ini dan bersatulah denganku.”

Lingkaran sihir semakin memancarkan sinarnya yang menyilaukan. Beberapa orang menutup mata menahan serangan cahaya yang mematikan.

Burung-burung berkicau, harimau mengaum, bahkan kuda-kuda meringkik tak rela dengan tindakan Ratu. Di sekeliling Ratu menjadi kacau, mereka semua tidak mau Ratu melakukan hal ini.

“Tidak, Ratu. Tolong jangan lakukan itu. Jangan tinggalkan kami!” Semua berteriak, menyerukan panggilan agar sang Ratu berhenti mengambil tindakan yang akan membuat rakyat kehilangan kedamaian.

Bahkan tanaman, bunga-bungaan, dan para hewan berusaha menahan kegilaan sang Ratu dengan mendekatinya dan menyerangnya, tetapi Ratu mencegah dengan melemparkan sihir perlindungan sehingga tidak ada yang mengganggu keputusannya kali ini.

Kemudian, Ratu pun mulai mengeluarkan sebuah kristal mengkilap yang selama ini diam-diam disimpan di telapak tangannya hingga kristal berwarna hitam itu sepenuhnya keluar sebesar lemari pakaian. Bahkan, tubuh Ratu saja kalah dengan besarnya Kristal Keabadian yang juga dijuluki dengan Kristal Kutukan.

Ya, kristal tersebut bukan sembarang kristal. Sebuah kristal yang tidak pernah disentuh oleh manusia setelah beratus-ratus tahun lamanya karena siapa pun yang memegangnya, maka akan terkutuk meskipun ia mendapatkan keabadian dan kekuatan super hebat.

“Itu Kristal Keabadian!”

“Ratu, kami mohon jangan lakukan itu!”

“Yang Mulia hentikan!”

“Ratu!”

Semua terus berusaha menghentikan sang Ratu. Kekhawatiran terus membuncah. Namun, sudah terlambat. Ratu telah melakukan perjanjian dengan Kristal Keabadian.

Cahaya hitam pun mulai mengelilinginya hingga mengganti gaun putih kebanggaannya menjadi gaun hitam penuh dengan kebencian. Namun, dari semua ritual itu, sudut mata sang Ratu-lah yang berkata jujur. Air sucinya mengalir meski tertahan sejenak selama ritual terjadi.

Terlambat.

Ya, semua sudah terlambat. Luka hati sang Ratu-lah yang menjadikannya seperti ini. Setelah ritual selesai, perlahan cahaya dari kristal maupun lingkaran sihir pun menghilang, dan... Ratu sudah memakai gaun hitam yang diberikan oleh sang Kristal Keabadian. Kutukan pun dimulai!

Tatapan Ratu kosong. Ia tak mendengar lagi teriakkan para rakyat. Telinga, mata, dan hatinya sudah tertutup untuk selamanya.

Kemudian, dengan kekuatannya yang maha dahsyat, ia mulai menjunjung tanah kebanggaannya. Dari kejauhan, kedua tangannya perlahan mengangkat istana yang menjulang tinggi menuju ke atas langit.

Sontak saja daratan bergetar hebat, semua orang berusaha berlindung dari tanah-tanah sekeliling yang mulai mengamuk. Sementara tanah di istana perlahan naik hingga menembus awan yang begitu lembut. Udara pekat yang menyesakkan pun mengelilingi sekitar.

Kemarahan sang Ratu, bahkan semua yang terjadi, Ratu bukanlah Merak Putih yang suci lagi. Perjanjian ini, membuat kutukan menjadi abadi.

Luka hati yang membuat sang pemilik Berkah tertinggi menutup diri. Sudah tak ada yang mampu melawan lagi. Jika keputusan dibuat, maka itu akan terjadi.

Sang Ratu dengan Berkah Pavo Cristus kini telah mengambil langkah, mengangkat sendiri tanah istana demi berpisah dengan tanah rakyat yang telah melukainya.

Semua ritual sudah selesai. Hingga pada akhirnya, istana kerajaan Everfalls terangkat dan berteman dengan awan-awan di atas sana, meninggalkan tanah pengkhianatan.

Sementara seluruh mata terbelalak, menatap tak percaya pada tindakan Ratu. Beberapa orang bahkan menangis karena telah ditinggalkan oleh sang Ratu. Hati kebanyakan orang menyesal akan keputusan ini.

Tanaman-tanaman di sekitar menjadi kering dan gersang. Beberapa hewan yang tadi memaksa untuk menghentikan Ratu, kini mereka malah tak bergerak sama sekali.

Mau bagaimana lagi, amukan Ratu tidak bisa dihentikan begitu saja. Hanya ada penyesalan yang mendalam, dan masa depan ... entahlah apa yang akan terjadi.

Masih di lingkaran sihir, Ratu menatap kosong para rakyatnya yang masih memohon. Kemudian, cahaya hitam membawanya menghilang secara perlahan.

“Vale,” ucap Ratu yang berarti ‘selamat tinggal’.

****

Halusinasi

“Novel sialan! Padahal ini hanya novel, tetapi kenapa hatiku sangat sakit?!”

Hiks.

Hiks.

Hiks.

“Miko, novel ini terlalu menyedihkan,” tangis seorang gadis. Namanya Ellena Smith. Gadis keturunan Jerman yang kini tengah melakukan studi menengah atas di sekolah internasional di Inggris. Oh ayolah, ia baru saja menangisi sebuah novel milik temannya, Miko Yamada yang berasal dari Jepang. Ellena benar-benar menghayati novel kuno yang dipinjamnya dari Miko.

“Kamu terlalu cengeng, Ellie.” Miko mencubit pelan pipi Ellena yang ia panggil dengan Ellie sebagai sapaan akrabnya kepada sang sahabat. “Aku sudah berkali-kali membaca ini tetapi biasa saja tuh.”

“Miko, kamu tak tahu nilai dari sebuah seni!” Ellena menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Matanya masih basah, hidungnya pun tampak merah. Ia benar-benar terlalu menikmati sebuah karya sastra yang dibawa oleh Miko.

Kedua gadis itu kini tengah bersantai di taman sekolah setelah pelajaran usai sebagai rutinitas sebelum pulang ke asrama. Sambil menikmati terbenamnya sang mentari, keduanya juga menikmati sisa makanan tadi siang sembari membaca novel kuno berjudul ‘Charlotte’.

Buku itu lumayan tebal dengan sampul berwarna gold atau emas, amat berkilauan dan menggoda. Sudah seminggu Ellena sibuk membaca buku kuno yang ditemukan Miko dari gudang rumahnya dan hari ini, akhirnya Ellena menyelesaikan dengan penuh emosional.

Semburat senja tampak indah menghiasi langit yang tampak dapat diraih, tetapi nyatanya tidak. Udara begitu lembut menerpa kulit. Beberapa orang berjalan keluar gerbang yang dijaga satpam berpakaian laiknya penjaga istana. Seharian mereka berdiri di dekat gerbang, menyambut orang yang masuk maupun pulang.

Sekolah internasional ini juga memiliki gedung bak istana dengan ornamen detail yang memiliki nilai estetika. Ornamen-ornamen keemasan bahkan setiap dindingnya punya nilai seni yang tinggi. Tak hanya itu, kolam ikan besar, danau buatan, bahkan taman hijau juga disediakan, membuat para siswa seperti pelajar elite yang tengah belajar di akademi kerajaan.

“Aku tahu, Ellie. Tapi, kamu menangis di setiap bab. Padahal adakalanya Ratu juga berbahagia dengan pria itu.” Miko membela dirinya karena sebelumnya ia dikira tidak mengetahui nilai dari sebuah karya sastra.

“Itu tangis haru, tahu!” Ellena cemberut. “Ah, pokoknya ini menyedihkan! Meskipun cuman novel, aku merasa ingin membantu Ratu untuk sembuh dari luka hatinya.” Bayangan Ellena mulai menuju ke imajinasi buatannya sendiri yang mempertemukan dirinya dengan sang Ratu yang berada di dalam novel tersebut.

Ctak.

Satu sentilan mendarat di kening Ellena. Sontak saja gadis itu meraung kesakitan. Seketika bayangan imajinasi Ellena menguar, hilang bersama rasa sakit akibat sentilan super dahsyat dari Miko.

“Apa kamu bodoh? Tidak mungkin gadis biasa sepertimu akan menyelamatkan Ratu. Rakyatnya saja diacuhkan, apalagi kamu yang hanya menjadi pemeran figuran?” Miko terkekeh. Ia senang sekali menggoda sahabatnya, bukan berarti kalimat tadi untuk mengejek Ellena. Tidak sama sekali, hanya saja wajah cemberut Ellena sangat membuatnya candu.

“Tidak apa! Aku pasti bisa melelehkan hati Ratu!” Ellena bertekad penuh. Mata biru kehitamannya menatap yakin ke atas awang-awang. Tangan kanannya juga mengepal dengan kuat. Ia sangat menanamkan tekad yang besar di dalam dirinya.

Sementara Miko terus tertawa hingga dirinya terpingkal-pingkal. Gadis sepolos Ellena bisa-bisanya sangat menghayati sebuah isi novel. Sangat menggemaskan. “Kamu pikir hati Ratu itu seperti keju atau coklat yang bisa meleleh? Yang benar saja kamu, Ellie. Hahaha.” Miko tak henti terbahak-bahak, bahkan ia sampai memukul pelan pundak Ellena berkali-kali.

Ellena pun hanya pasrah. Ia memang mengerti bahwa dirinya terkena virus halu yang membuat Miko terus-terusan seperti mengejeknya, sebab hal itu juga mustahil, bukan?

“Tapi Miko,” ucap Ellie mencoba untuk menarik perhatian Miko lagi. “Jika kamu punya kekuatan untuk menuju ke dunia Ratu Charlotte, apa yang akan kamu lakukan?” Kini, sikap Ellena menjadi asing. Kepalanya menunduk dalam, tatapannya menjadi tampak kosong.

Melihat itu, sejenak Miko terdiam. Ia merasa bahwa Ellena mendadak bertingkah aneh. Apakah Miko sudah berlebihan menggoda gadis polos itu?

Miko pun menghela napas. Ia yakin saat ini Ellena ingin serius. Kemudian, dia menatap bumantara yang begitu indah di atas sana dengan hiasan senja. Sebelum mengutarakan jawabannya, Miko tersenyum dan mencoba untuk membayangkan jika dirinya memang seperti yang Ellena katakan.

“Aku akan berusaha untuk kembali membuka hati Ratu hingga titik darah penghabisan, Ellie.” Miko pun menatap Ellie yang kini kedua mata gadis itu berbinar, kembali menjadi Ellie yang ia kenal. Miko pun tersenyum dan mengelus kepala Ellena. “Apa pun rintangannya, aku akan terus berusaha. Sebab, tidak enak rasanya jika terus mengurung diri sendiri. Dan jika itu terjadi padamu, aku akan menarikmu keluar lagi dari kamar!”

Miko teringat, saat pertama kali Ellena datang ke Inggris, gadis itu sama sekali tidak berinteraksi dengan siapa pun. Ellena hanya mengurung dirinya di kamar dan keluar jika perlu saja. Hingga pada akhirnya, Miko benar-benar membuat Ellena kembali menjadi dirinya sendiri dan menemui banyak orang.

Padahal alasan Ellena tidak keluar adalah karena ia tak mampu berbicara bahasa Inggris. Sejak kecil, Ellena hanya menggunakan bahasa Jerman. Ellena lahir dari keluarga biasa saja, beruntungnya ia pintar sehingga mampu mendapatkan beasiswa tetapi ia belum sepenuhnya siap hidup di negeri orang.

Mereka akhirnya sering bersama dan mendalami bahasa orang-orang sana hingga akhirnya Ellena menjadi gadis yang ceria sebagaimana mestinya. Ya, komunikasi. Itulah penyebab Ellena tak mampu berbaur dengan yang lain karena ia tak mampu mengutarakan apa yang ada di otaknya dan ia tak bisa memahami orang lain yang berbicara kepadanya.

Kedua netra Ellena semakin berbinar mendengar tekad Miko dan ikut berhalusinasi bersamanya. Selama ini, Ellena memang mengagumi Miko karena kepintaran dan kebijaksanaannya.

Namun, beberapa saat kemudian, Ellena tertawa. Kini ia berniat membalas Miko. “Kamu juga ikut berhalusinasi, Miko? Oh Tuhan, sahabatku benar-benar termakan omongannya sendiri. Ini hanya novel saja, Miko. Hahaha.”

Diperlakukan begitu, wajah Miko memerah. Ia tak menyadari bahwa Ellena hanya mengerjainya saja. Gadis keturunan Jepang itu pun akhirnya bangkit. Beberapa kali ia mengibaskan roknya.

“Aku mau pulang,” katanya seraya menahan malu.

Pfft.

Ellena terus tertawa. Kemudian ia juga bangkit dan membersihkan pakaiannya. “Maafkan aku, Miko. Aku hanya bercanda. Ternyata mengerjai orang seru juga. Aku mulai tahu mengapa kamu sering menjahiliku.” Ellena tersenyum bangga karena sudah tahu motif Miko yang terus-terusan mengerjainya.

“Ya, ya, baiklah. Sudah petang. Ayo kita pulang,” ajak Miko kemudian. Ia pun menarik tangan Ellena, mengajaknya menuju asrama di mana mereka tinggal sebagai bagian dari siswa yang mendapat beasiswa.

“Oke.” Ellena menurut.

Keduanya pun berjalan beriringan. Pikiran Miko masih terbayang dengan pertanyaan Ellena tadi. “Pergi ke dunia Ratu Charlotte, kah? Apakah ada yang seperti itu? Jika memang bisa, maka Ellie-lah yang pantas mengemban misi itu. Dia adalah gadis pemberani, tidak sepertiku.”

“Miko?” tanya Ellena tatkala melihat sahabatnya itu tampak memikirkan banyak hal. “Hei, apa yang sedang kamu pikirkan?”

Tak ada jawaban. Namun, beberapa langkah kemudian, mendadak saja Miko berhenti, membuat Ellena kebingungan.

“Apa yang terjadi, Miko? Apa kamu baik-baik saja?”

Kepala Miko tertunduk sejenak. “Ellie.”

“Hm?”

“Pergilah ke sana dan selamatkan Ratu Charlotte!” seru Miko tiba-tiba seraya memegang kedua tangan Ellena, membuat sahabatnya itu tercengang. Tak berapa lama, sebuah cahaya pun muncul dari novel tersebut. Cahaya itu membentuk portal. Ellena terbelalak. Angin begitu ribut, sekeliling tampak kacau.

“Miko, apa yang terjadi?! Kamu kerasukan apa? Dan aku mau dibawa ke mana?!” panik Ellena. Perlahan, cahaya putih yang menyilaukan tersebut membawanya hilang entah ke mana. “Miko, tolong aku!” Ellena terus menjerit karena tubuhnya ditarik begitu saja oleh cahaya misterius yang memiliki kekuatan super dahsyat. Tangan Ellena berusaha meraih Miko, tetapi tidak sampai. Ellena berulang kali memanggil Miko, tetapi gadis Jepang itu hanya tersenyum melepas kepergian sahabatnya.

“Pergilah, dan selamatkan dia untukku, Ellie.”

****

Gadis Berjambul Merah

“Ellie...”

Sebuah suara samar-samar terdengar, menyahut Ellena.

“Ellie... cepat buka matamu, kau akan ketinggalan sesuatu yang indah loh.”

Lagi, Ellena tidak tahu suara siapa itu, tetapi suara tersebut seakan memaksa Ellena untuk membuka matanya. Padahal, tubuhnya terasa kaku, pandangannya menghitam. Hanya terdengar suara asing yang terus memanggilnya dan menyadarkannya untuk bangun.

Apakah Ellena saat ini tertidur?

“Ini pasti mimpi, bukan? Aku hanya berhalusinasi dan mengira bahwa Miko mengirimku ke suatu tempat!” batin Ellena masih dengan mata terpejam. Perlahan, ia berusaha merasakan udara sekitar yang begitu damai. Sangat damai sampai membuatnya nyaman dan tak ingin membuka mata.

Terpaan angin yang menyentuh kulitnya membuat Ellena semakin terselimuti perasaan nyaman. Terdengar kicau burung yang bersahutan dan nyanyian rerumputan yang mendamaikan. Ah, ini seperti mimpi indah saja yang diinginkan semua orang. Ellena merasa terlalu menikmati hal ini.

Namun, ia ingin membuktikan bahwa tadi hanyalah mimpi semata. Ellena yakin, setelah ia membuka matanya, pertama kali yang dilihatnya adalah atap kamar miliknya, bukan suatu hal yang tak masuk akal seperti itu.

Pikiran Ellena menafikan tentang novel dan portal yang menariknya entah ke tempat mana. Ia berusaha untuk tak percaya, bahkan berniat untuk melupakannya dengan menganggap bahwa hal tersebut adalah mimpi semata. Bahkan rasa nyaman yang ia rasakan sekarang adalah bagian dari mimpi itu juga.

Ellena hanya perlu membuka matanya dan membuktikan bahwa dugaannya benar. Namun, perkiraan Ellena hancur seketika tatkala ia benar-benar membuka matanya untuk pertama kali.

Bukan atap kamarnya yang ia lihat. Namun, sebuah pohon rindang melindunginya dari terpaan cahaya mentari yang menyilaukan. Kedua mata Ellena pun terbelalak. Tanpa aba-aba, ia bangkit. Pakaiannya masih sama, seragam sekolah yang sebelumnya ia pakai. Namun, suasana di sekitar bukanlah sekolah maupun kamarnya!

Ellena pun berdiri. Ia baru sadar bahwa dirinya tengah berada di atas bukit yang menampakkan sebuah pemukiman penduduk. Tampak ramai, tetapi di tempat Ellena berdiri, hanya kedamaian yang ia rasakan. Angin sejuk menerpanya, membuat hati seorang Ellena si gadis figuran itu merasakan kenyamanan.

Meski Ellena merasakan keanehan akan hal ini, tetapi ia masih mengira bahwa sekarang pun, pemandangan yang ia lihat ini juga bagian dari mimpinya yang terlalu indah.

Perlahan, Ellena menutup matanya, merasakan melodi angin yang menyentuh kulitnya. Ia mencoba untuk menikmati saja mimpi yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya. Untuk sekarang, ia hanya perlu menerimanya. Toh, nanti ketika sudah bangun dari tidur, semua akan kembali normal.

Ellena terbuai akan kedamaian dan rasa nyaman yang ia dapatkan. Padahal hanya mimpi, tapi terasa begitu nyata dan menyenangkan, pikir Ellena.

Tatkala Ellena terlena dengan suasana ini, tiba-tiba saja angin membawakan sebuah kesedihan yang dilantunkan seseorang. Telinga Ellena bergerak sejenak, berusaha mendengarkan dengan seksama dan mencoba untuk menangkap sebuah makna. Ia masih menutup mata, tetapi telinganya tajam mendengarkan.

Waktunya telah tiba.

Gelap dan terang menjadi satu.

Aku buta. Berjalan tak tentu arah.

Penyelamat, datanglah.

Bantu aku menemukan jalan.

Penyelamat, datanglah padaku.

Selamatkan jiwa yang tersesat ini.

Luka ini membunuhku.

Berikan aku kesempatan.

Kegelapan.

Kegelapan.

Kegelapan terus menghantuiku.

Waktunya telah tiba.

Datanglah. Datanglah padaku.

Begitulah kiranya lagu yang dinyanyikan. Lantunan melodi itu mengalun merdu menguar bersama angin dengan diiringi petikan harpa yang entah berasal dari mana. Suara itu seperti mengawang di udara dan memenuhi seisi tempat nan indah ini. Tiba-tiba saja kedua mata Ellena mengalirkan bulir bening. Terasa sangat menyakitkan.

“Itu adalah nyanyian klasik seorang penyihir yang buta.” Mendadak saja ada seseorang yang mengatakan sebuah fakta. Sontak Ellena membuka mata, ia terkejut bukan main tatkala melihat seorang anak kecil dengan sedikit jambul kemerahan di rambutnya. Bahkan, ada ekor seperti ekor burung. Di bagian punggung gadis kecil itu juga tampak sayap yang melebar.

Ellena semakin mematung. Bahkan, matanya sampai tak berkedip sekali pun. Terlalu mengejutkan baginya.

“Hei, Ellie. Apa kamu tahu, lagu Penyihir Buta terkenal sejak ribuan tahun lalu loh. Dan yang kamu dengar adalah suara Ratu. Setiap hari dia menyanyikannya. Aku senang sekali mendengarnya karena sangat merdu, begitu pula orang-orang di sini. Mereka merindukan sang Ratu,” jelas gadis berjambul merah itu.

Ellena tak merespons. Ia masih membeku melihat suatu hal yang ganjil di sini. Berulang kali ia menelan salivanya dengan kasar, membasahi tenggorokannya yang mulai mengering. Ellena syok berkepanjangan.

Gadis kecil dengan jambul merah itu pun melebarkan sayapnya, lalu terbang mendekati Ellena. “Hei, Ellie!”

Deg.

Ellena terkejut kembali. “S-siapa yang k-kau panggil dengan E-Ellie? Dan kau ini s-sebenarnya makhluk apa?!” Ellena benar-benar tidak menyangka dengan semua ini. “Mimpi. Aku pasti sedang bermimpi, ‘kan?!”

“Aku, Ruby The Fire.” Gadis kecil itu tersenyum seraya menunjukkan punggung tangannya di depan dada yang di sana terlukis gambar api. Ia juga masih dalam keadaan terbang dan terus-menerus mendekati Ellena yang gemetar karena ketakutan. Bahkan, rasanya Ellena ingin sekali mengompol. Gadis berambut pendek itu tak menyangka dengan apa yang dilihatnya di sini.

Baru pertama kali ini Ellena melihat manusia setengah burung, seperti di film-film fantasi yang sering ia tonton bersama Miko. Namun, jika makhluk itu muncul di hadapannya secara langsung, bukankah itu sangat aneh?

“S-siluman!” tebak Ellena tanpa berpikir. Ya, tanpa berpikir pun semua sudah jelas bahwa jika bukan ‘siluman’ atau monster yang ada di film-film fantasi lantas apa lagi yang bisa menamai makhluk semacam itu?

Gadis kecil bernama Ruby itu menghela napas. Meski begitu, ia tak tersinggung karena ia tahu bahwa Ellena tidak akan mudah mengakuinya. Manusia mana pun pasti akan terkejut dengan situasi yang tiba-tiba saja berubah seperti negeri dongeng.

Ruby pun mulai menginjakkan kakinya di tanah. Lalu, dia menyembunyikan sayap dan ekornya, tetapi tiga jambul bulu burung masih berada di rambutnya. Agaknya memang ‘aksesoris’ di kepalanya itu tidak bisa hilang seperti salah satu identitas Ruby yang sebenarnya.

“Jika begini, apa kamu masih menganggapku sebagai monster?” Ruby menatap Ellena dengan tatapan memelas, seraya memohon agar Ellena dapat menerimanya dengan lapang.

Ellena yang selalu kalah dengan tatapan mata seperti seekor kucing yang meminta makan itu pun akhirnya menyerah. Ia memberanikan diri untuk menyentuh gadis kecil berambut oranye agak kemerahan.

Setelah dilihat-lihat dengan seksama, gadis bernama Ruby itu cukup menggemaskan. Senyumnya yang menawan dan badannya yang mungil seperti anak usia tiga tahun itu membuat Ellena kini menarik pelan kedua pipi Ruby, merasa gemas.

“Aw, sakhit, Ellie.” Ruby tak dapat berkata dengan jelas karena saat ini pipinya menjadi tempat Ellena melampiaskan kegemasannya pada gadis kecil itu.

“Ah, ternyata kamu gemas sekali, Ruby. Kamu anak siapa?” Kini Ellena memeluk Ruby yang mungil seraya menciumi pipinya beberapa kali. Padahal sebelumnya Ellena mengatakan bahwa Ruby adalah salah satu siluman atau monster, bahkan Ellena gemetar melihat makhluk yang tampak baru baginya itu.

Sementara Ruby hanya bermuka datar, pasrah menerima ‘serangan kegemasan’ Ellena yang tadinya sempat ketakutan terhadap dirinya.

Ellena semakin menikmati pelukan itu. Sejak dulu, dia menginginkan seorang adik perempuan. Namun, orang tua yang tersisa sejak Ellena kecil adalah ayahnya saja. Sedangkan sang ayah tak mau menikah lagi. Sehingga saat ini, Ellena menjadi anak tunggal, bahkan sekarang ia meninggalkan sang ayah untuk menempuh studi di negeri orang.

“Ellie, apa sudah selesai?” tanya Ruby yang merasa sudah bosan karena Ellena terus memeluknya tanpa memberi kesempatan untuk bicara.

“Belum, Ruby. Hei, kamu jadi adikku, ya.” Ellena mencoba untuk mengecup pipi Ruby. Bibirnya sudah mencucu ke depan, siap mencium pipi Ruby yang empuk seperti bakpao.

Namun, mendadak Ruby menahan bibir Ellena dengan telapak tangannya yang kecil. “Siapa yang mau jadi adikmu, Ellie! Dengar, aku mau memberitahumu sesuatu!” Ruby tampak marah.

Meski begitu, kemarahan gadis kecil macam Ruby bukanlah sebuah masalah untuk Ellena. Ia malah semakin gemas dengan Ruby. Kedua tangannya pun kembali membentang, berusaha memeluk Ruby, tetapi gadis kecil berjambul itu terus menolak.

Ruby kabur, sementara Ellena terus mengejarnya. Ia seperti sudah dibutakan oleh kelucuan Ruby yang sudah seperti adiknya.

“Ruby, kemarilah, Sayang.” Ellena semakin tak henti mengejar Ruby yang kini membentangkan sayapnya kembali. Lalu gadis kecil itu terbang ke atas, menjauh dari Ellena. Senyum Ellena semakin mengerikan bagi Ruby karena Ellena senyum penuh obsesi seperti seorang psikopat yang telah menemukan mangsanya.

Bahkan, Ellena melupakan bahwa ia sekarang bukan berada di tempat yang seharusnya. Ellena hanya mengira bahwa semua ini sekadar mimpi dan pasti akan segera berakhir. Namun tidak dengan Ruby, ia ingin sekali membawa Ellena kepada kenyataan.

Ruby kewalahan dengan tingkah Ellena. Hingga pada akhirnya, ia pun berkata pada Ellena dengan lantang agar gadis itu tahu mengapa ia berada di tempat ini, “Ellie, kamu tidak bisa pulang ke duniamu!”

****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!