Seorang gadis sedang berkutat dengan kertas dan pensilnya di atas meja belajar, lebih tepatnya di kamar sang gadis.
Aurel, gadis itu sedang membuat desain gaunnya di kamarnya. Ia sangat ingin membuat gaun yang bagus untuk wisuda dan ia mempunyai cita-cita untuk menjadi Desainer, bahkan ia kuliah mengambil jurusan tata busana.
Dengan otaknya yang kreatif, sudah banyak desain yang ia buat, tetapi tidak ada satu pun yang menurutnya bagus dan spesial.
"Susah banget, sih!" gerutu Aurel dengan sebal, ia mengambil kertas yang sudah berisi gambaran desain lalu ia meremasnya dan melempar ke dalam kotak sampah.
Sudah beberapa kali ia membuat desain, tapi tidak mendapatkan hasil yang bagus. Hal itu tentu saja membuatnya kesal. Padahal hasilnya tidaklah sangat jelek, tetapi Aurel ingin membuat desain baju yang sangat bagus untuk digunakan saat wisuda. Aurel akan tetap berusaha meski gagal berkali-kali.
"Aku akan mencobanya satu kali lagi. Jika gagal lagi, aku akan mencobanya lagi besok." tekad Aurel, walaupun wisudanya belum dekat. Tetapi ia sudah menyusun baju dengan desain yang bagus untuk Aurel pakai saat wisuda.
Aurel mengambil kertas lagi, dan mencoba menggambar desain yang lain lagi. Ia harap desain ini akan bagus, karena sudah banyak desain yang salah dan berakhir Aurel buang. Sebenarnya Aurel sudah lelah membuat ini, tetapi ia paksakan karena ingin mendapatkan hasil yang terbaik.
Tak terasa, desain itu akan segera selesai. Aurel melihatnya dengan teliti, seketika bibirnya melengkung membentuk senyuman yang bisa memikat banyak hati. Akhirnya usahanya membuahkan hasil, walaupun belum selesai sepenuhnya.
Di saat Aurel sedang fokus melanjutkan desainnya. Terdengar suara kegaduhan di lantai bawah membuatnya terusik. Aurel berusaha untuk fokus dan melanjutkan desainnya. Karena merasa terganggu Aurel keluar dari kamarnya, ia melihat ke bawah. Di lantai 1 ruang tamu, di sana orang tuanya sedang bertengkar.
Meskipun Aurel sudah berulang kali ia menyaksikan kedua orang tuanya berdebat, tetapi tetap saja ada rasa sakit melihat semua ini. Aurel hanya ingin mereka berdua berbaikan untuknya, apakah hal kecil itu saja tidak bisa mereka lakukan?
"Ini salahmu, Carramel. Kamu terlalu sibuk dengan kegiatan dan karir mu, apa kamu lupa punya keluarga?!" tukas Mario menatap istrinya dengan marah.
Ini bukan sekali atau kedua kalinya Carramel tidak memperhatikan dirinya serta anaknya. Mario sudah muak dengan tingkah istrinya yang semakin hari semakin menggila. Jangankan untuk melakukan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, untuk tetap di rumah dan bersikap selayaknya seorang istri dan ibu saja tidak bisa Carramel lakukan.
"Sudah kubilang dari awal pernikahan kita. Aku akan meneruskan karirku yang sudah kubangun dengan susah ini hingga sukses!" jawab Carramel tidak terima disalahkan oleh Mario. Mario selalu saja menyalahkan dirinya dan menganggap dia selalu benar.
"Kamu hanya mementingkan karir mu. Ingat kamu sudah berkeluarga, seharusnya kamu di rumah untuk mengurus suami dan anak. Bukan malah selalu pergi dan berkumpul dengan teman-temanmu itu!" tukas Mario. Ia sudah muak dengan perilaku istrinya yang egois, Carramel selalu pergi dari rumah hingga membuat ia dan putrinya seperti tidak mempunyai seorang istri dan ibu.
Mendengar ucapan Mario, Carramel mendengus kesal. Mario selalu saja menyuruhnya berhenti melakukan kegiatan yang ia suka dan tetap di rumah. Carramel tidak bisa melakukan itu, ia sudah terbiasa melakukan kegiatan-kegiatan seperti ini.
Carramel ingin seperti teman-temannya yang mempunyai karir bagus dan terkenal.
"Aku juga ingin karir aku bagus. Dan waktuku juga bukan hanya untuk mengurusmu dan Aurel!' sentak Carramel yang sudah emosi.
"Berani-beraninya kamu bicara seperti itu!" bentak Mario. Tangannya melayang untuk menampar pipi istrinya yang sudah bicara sekasar itu. Memang salah jika ia meminta Carramel untuk berhenti bekerja dan diam di rumah untuk menyiapkan segala kebutuhan dirinya dan putrinya? Jika karena uang, apa artinya peran Mario sebagai suami dan Papa? Bukankah itu adalah tugas dirinya?
Jika putrinya mendengar itu, pasti akan sangat sedih. Ibu yang telah melahirkannya mengucapkan kata-kata itu. Mario sangat menyayangi dan peduli kepada Aurel, ia kasihan dengan putrinya karena mempunyai ibu seperti Carramel.
Aurel kembali masuk ke dalam kamarnya, ia tidak mau mendengar perdebatan mereka. Ucapan Carramel sangat membuatnya sakit hati, ia tidak mau mendengarnya lagi. Lebih baik Aurel melanjutkan desainnya yang tertunda.
Carramel terjatuh ke lantai akibat tamparan yang sangat kuat dari Mario. Ia memegang pipinya yang memerah dan sakit.
Carramel menatap Mario dengan tatapan marah. Beraninya Mario menamparnya seperti ini seakan ini semua salah dirinya.
"Tega sekali kamu menamparku! Aku hanya ingin meneruskan karir aku, apakah itu salah?!" tanya Carramel dengan berteriak, air matanya sudah mengalir dengan deras.
Hatinya sakit ketika suaminya sendiri menampar pipinya. Matanya memerah, ia merasakan sakit di pipi dan juga dihatinya.
"Salah!" sentak Mario mendengar pertanyaan Carramel. Dengan bodohnya Carramel mempertanyakan hal itu. Emosi Mario sudah di ujung tanduk, Carramel benar-benar menguji emosinya dengan sifat dan tingkah lakunya itu.
"Itu karena kamu sering berkeliaran di luar sana dengan membawa kata karir!" teriak Mario dengan murka. Apakah yang ada di pikiran Carramel hanya ada karir dan karir? Begitu obsesinya Carramel dengan ketenaran.
"Sadar, Carramel. Kamu ini sudah menikah, sudah punya anak. Seharusnya kamu diam di rumah dan melakukan tugasmu sebagai ibu rumah tangga!" lanjut Mario menunjuk Carramel yang sedang terduduk di lantai dengan marah.
Mario lelah dengan kelakuan Carramel yang lebih mementingkan karir dibandingkan dengan keluarganya sendiri. Tidak seharusnya Carramel sibuk mengejar karirnya saat ia sudah menikah bahkan mempunyai anak.
Sedangkan Aurel, ia mencoba untuk mengabaikan suara kegaduhan di lantai bawah yang diciptakan oleh kedua orang tuanya. Aurel mencoba untuk melanjutkan kembali desain bajunya.
Akan tetapi, semakin lama. Pertengkaran Mario dan Carramel semakin menjadi-jadi, suara mereka menjadi besar hingga membuat Aurel sangat terganggu. Kepalanya pusing mendengar suara kegaduhan itu.
Aurel menjadi tidak fokus untuk melanjutkan desainnya.
"Arghhhh! Salah lagi!" ucap Aurel berdecak kesal ketika jarinya tidak sengaja mencoret, sebab suara berisik itu.
Kini desainnya tidak lagi rapi dan bagus. Ia harus mengulanginya lagi. Aurel meremas kertas itu dengan segala emosinya.
Aurel menutup telinganya dengan rapat ketika suara pertengkaran itu memasuki telinga. Ia tidak mau ini terjadi, ia sudah bosan mendengar pertengkaran ini berkali-kali.
Aurel tidak pernah menginginkan mama dan papanya bertengkar seperti ini. Ia juga ingin seperti keluarga yang lain, keluarga yang harmonis. Tidak berdebat seperti ini. Terkadang, Aurel juga lelah dengan semua yang terjadi pada keluarganya. Tetapi harus bagaimana lagi? Aurel sendiri tidak bisa melakukan sesuatu untuk merubah segalanya.
Aurel tidak memiliki pilihan lain selain diam, sekalipun ia benar-benar tertekan dengan pertengkaran orang tuanya yang tidak ada habis-habisnya.
Ia benci dengan orang tuanya yang selalu bertengkar tanpa henti. Kadang ia merasa iri kepada anak-anak dengan keluarga harmonis. Ia iri dengan anak-anak yang mendapatkan cinta dan perhatian penuh dari ibu mereka.
Hal sekecil dibuatkan bekal oleh mamanya adalah impian Aurel sejak dulu. Tapi nyatanya ia bahkan tidak pernah melihat mamanya pergi ke dapur. Sejak kecil ia sama sekali tidak tahu rasa masakan sang mama.
Di tengah-tengah pikiran-pikiran yang memenuhi otaknya, suara benda yang pecah menyadarkan Aurel.
“Lama-lama aku muak dengan tingkahmu! Suami macam apa yang tidak mendukung karir istrinya?” teriak Carramel tepat di depan wajah Mario.
“Harusnya saat kau menikah kau siap dengan konsekuensinya Carramel. Bukankah kewajiban seorang wanita yang sudah menikah adalah mengurus anak, suami dan rumah?” tukas Mario.
“Kau bahkan hanya menjadikan rumah sebagai tempat tidur. Kau akan pergi dari pagi hingga larut malam. Alasanmu selalu sama, karir-karir dan karir!” Mario benar-benar muak.
“Apakah setelah menikah kehidupanku hanya berputar di atas kepalamu dan Aurel?!” tanya Carramel dengan nada tinggi.
“Lagi pula, tahu apa kau tentang karir hah?!”
“Aku tidak tahu dan tidak pernah ingin tahu tentang karir yang kau pikirkan, yang terpenting adalah aku memenuhi kewajibanku menjadi suami dan ayah yang baik. Tidak sepertimu!”
Prang!
Suara pecahan kaca terdengar nyaring di penjuru rumah. Carramel lalu mengatakan, “Kau lihat vas itu? Itu seperti kepercayaanku yang sudah kau hancurkan, tidak akan utuh kembali.”
“Kepercayaan mana yang kau bicarakan Carramel? Kepercayaan mana?!”
“Kepercayaanku tentangmu yang akan mendukung karirku yang kubangun dengan susah payah!” Papar Carramel dengan emosi yang sudah memenuhi dirinya.
“Gelas itu sama dengan kepercayaanku pula Carramel. Kepercayaan yang sudah kau hancurkan! Mana janjimu untuk membagi waktu antara karir dan rumah tangga? Seharusnya kau menikahi karirmu dan bukan aku!”
“Jika bisa memilih aku tidak akan pernah menikahi pria sepertimu! Kau hanya bisa menuntut dan menuntunku setiap harinya!” teriak Carramel dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Melihat Carramel yang mulai berkaca-kaca, Mario jadi serba salah sendiri.
“Arghhhh!!!” teriak Mario frustrasi.
Mario membanting benda-benda di sekitarnya. Sementara Carramel hanya berdiam di tempatnya, menahan air mata yang sudah siap meluncur bebas.
Sementara di dalam kamar Aurel menutup telinganya dengan kedua tangan. Matanya terpejam meringkuk di atas ranjangnya. Ia sangat membenci pertengkaran orang tuanya yang tidak ada habisnya.
Gadis itu menangis tanpa suara saat suara-suara benda yang melayang bersatu dengan teriakan orang tuanya. Ia benar-benar lelah dengan suasana ini. Aurel membencinya!
Kenapa mamanya seegois itu. Bukankah Aurel juga perlu cintanya? Aurel juga ingin diperhatikan seperti layaknya anak-anak pada umumnya.
Ia selalu mendambakan saat-saat Carramel memperhatikannya, dan mengurusnya seperti ibu pada umumnya.
Satu-satunya yang terlintas di pikiran Aurel saat ini hanya Alex. Satu-satunya teman yang selalu ada untuknya. Tidak ada yang bisa mengerti dirinya seperti Alex.
Aurel turun dari ranjang, mencari-cari di mana ia membuang ponselnya tadi. Saat menemukan ponselnya di kolong tempat tidur, Aurel segera mencari nomor Alex.
Setelah menekan tombol telepon, Aurel menunggu Alex menjawab panggilannya. Panggilan pertamanya tak terjawab, ia masih terus mencoba.
“Mangkinkah Alex sibuk?” gumam Aurel bertanya-tanya.
Aurel hampir saja melempar ponselnya lagi karena terkejut saat mendengar suara itu. Ia meletakan ponselnya di atas ranjang, dengan tubuh bergetar Aurel kembali meringkuk di atas ranjang.
Tubuhnya hampir tertutup sempurna oleh selimut. Makian, teriakan dan bunyi pecahan barang memenuhi telinga Aurel. Gadis itu benar-benar ketakutan.
“Alex, Aurel takut.” Aurel bergumam dengan nada bergetar.
Kapan situasi seperti ini akan selesai? Haruskah Aurel merasakannya setiap hari? Ini benar-benar memuakkan.
“Ingatlah usiamu Carramel! Kau tidak lagi muda! Seharusnya kau mulai fokus mengurus aku dan Aurel!” sergah Mario.
“Memangnya usiaku setua apa? Guru bahkan pensiun di usia enam puluh tahun. Usiaku bahkan belum lima puluh tahun!” balas Carramel.
“Aku tidak akan pernah mempermasalahkan usia pensiun kamu, jika kau tetap mengurusku dan Aurel. Kenapa kau begitu tergila-gila dengan karir? Bukan hanya kau yang membangun karir dengan susah payah. Tapi mereka bisa mengatur kapan waktunya berkarir dan mengurus rumah tangga!”
“Aku memang posesif itu dengan semua pencapaianku. Apa salahnya tergila-gila dengan buah dari usahaku selama ini?”
“Kenapa kau tidak mengerti juga Carramel? Aku hanya ingin kau mengurusku dan Aurel seperti istri dan ibu pada umumnya!” sentak Mario dengan kesal. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana untuk menghadapi Carramel.
“Tidakkah kau pikirkan perasaan Aurel? Dia pasti sangat ingin mendapat kasih sayangmu!”
“Aku melahirkannya! Apa itu tidak cukup? Aku mengorbankan tubuh ideal aku untuk membuatnya ada di dunia! Apakah itu masih kurang?!”
“Bahkan hewan sangat mencintai anak mereka, Car. Ibu macam apa kau ini, bukan berarti setelah melahirkannya tugasmu selesai!”
“Memiliki anak bukan hanya tentang mengandung sembilan bulan lalu melahirkan! Memiliki anak itu juga tentang bagaimana kita memperhatikan dan mencurahkan perhatian serta kasih sayang penuh.”
“Kau bahkan tidak pernah ada di setiap pencapaian Aurel karena sibuk dengan karir mu itu!”
“Aurel, Aurel dan Aurel! Kenapa tidak sekalipun kau memikirkan perasaanku Mario?! Aku juga ingin dimengerti!”
“Aku sudah cukup mengerti dirimu belasan tahun terakhir!”
“Mengerti aku? Dengan cara mengajakku bertengkar setiap hari?”
“Harus berapa kali kukatakan! Kita tidak perlu bertengkar seperti ini, jika kau bisa membagi waktumu!”
“Aku menikahimu karena ingin ada yang mengurusku. Jika seperti ini, sama saja dengan bohong! Aku menikahimu! Bukan karir!”
“Bukankah kau sudah melihat cara Bibi June bekerja. Apakah kau ingin kukku aku rusak?”
Aurel terus meringkuk dan menutup telinganya rapat-rapat, hingga nada dering ponselnya. membuat gadis itu segera bangkit dan meraih ponselnya tersebut.
“Alex, Aku takut,” ujar Aurel dengan nada bergetar. Suaranya serak karena menangis sedari tadi, sekarang ia benar-benar takut. Alex sudah mengetahui semua masalah yang dialaminya. Oleh karena itu, Aurel berani bercerita kepada Alex.
“Mereka bertengkar lagi?” tanya Alex.
“Mereka bahkan saling melempar kaca, Lex. Aku takut!”
“Haruskah aku menjemputmu sekarang? Kita bisa pergi untuk menenangkan pikiranmu,” tawar Alex.
“Itu tidak mungkin, di saat-saat sepertinya ini Papaku bisa membunuhmu jika kau datang.” balas Aurel, mana mungkin Alex akan datang di saat posisinya sedang gawat seperti ini? Bukannya bisa membuang segala masalah, malah akan menambahkan masalah yang baru.
“Tidak ada yang bisa kulakukan selain menjadi pendengar yang baik. Aku akan mendengarkan semua keluh kesahmu, Rel.”
Aurel menceritakan semua keluh kesahnya pada Alex yang setia mendengarkan segalanya. Setidaknya dengan bercerita dengan Alex, hati Aurel sudah lega.
Aurel, gadis itu menangis saat bercerita kepada Alex ditelepon. Hanya kepada Alex ia berani menceritakan semuanya, Alex yang selalu mendengar keluh kesahnya selama ini.
Alex mendengarkan Aurel bercerita dengan baik, ia tahu Aurel butuh orang untuk mendengarkan ceritanya.
"Sudah menangisnya? Aurel, kamu itu wanita yang kuat, tidak boleh menyerah. Aku akan selalu ada disampingmu dan siap mendengarkan semua cerita."
Alex selalu memberikan kata-kata untuk menyemangati Aurel, bahkan perilaku Alex yang selalu peduli dengan Aurel membuat Aurel sendiri nyaman dengan Alex.
"Alex, aku lelah jika seperti ini terus. Aku juga ingin seperti teman-temanku yang memiliki keluarga harmonis," lirih Aurel yang kini sudah meneteskan air matanya.
Mendengar isak Aurel, Alex bingung akan melakukan apa. Alex melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. Ia ingin ke rumah Aurel, tetapi ini sudah malam.
Akhirnya, Alex mengubah sambungan telepon mereka menjadi video call. Alex ingin melihat bagaimana kondisi Aurel.
"Sudah, jangan menangis. Lihatlah pipimu besar sebelah," ucap Alex dengan terkekeh melihat kondisi wajah Aurel yang sangat menggemaskan di saat seperti ini.
Mendengar ucapan Alex, dengan cepat Aurel mencari kaca untuk melihat wajahnya sekarang.
"Aaaaa, jadi jelek!” erang Aurel dengan tangisannya. Ia malu melakukan video call Alex saat wajahnya sedang seperti ini.
Alex tertawa pelan melihat tingkah laku Aurel yang menurutnya lucu itu.
Di saat itu juga, Aurel mendengar suara hantaman barang yang sangat keras. Hal itu membuat dia terlonjak kaget, bahkan Alex yang ada di seberang pun mendengar suara itu.
Refleks, Aurel melempar ponselnya ke ranjang. Ia menatap pintu kamarnya dengan badan ketakutan, berada di posisi ini membuatnya takut sekaligus bingung ingin melakukan apa.
Aurel mengambil lagi ponselnya masih dengan rasa takut memasuki relung hatinya. Dari sana, dapat Alex lihat keadaan Aurel yang sangat kacau.
"Aurel,"
Aurel mengalihkan pandangannya menatap ponselnya setelah lama ia menatap pintu kamarnya.
"Tenang. Jangan takut, Aurel." ucap Alex menenangkan Aurel.
Aurel menatap Alex yang juga sedang menatapnya. Ia berusaha menuruti ucapan Alex untuk tenang dan tidak takut. Tetapi, kondisi badannya yang bergetar hebat serta keringat yang mengucur deras tidak bisa membohongi perasaannya yang sedang dikelilingi ketakutan.
"Alex, aku takut." ucap Aurel dengan suara pelan. Perlahan, Air matanya jatuh kembali.
"Tarik nafas dan hembuskan secara perlahan. Tidak ada yang perlu kamu takutkan, tidak ada yang akan menyakitimu. Aku akan selalu melindungimu, Aurel."
Aurel cukup tenang mendengar ucapan Alex. Tetapi, suara pecahan-pecahan kaca itu masih terdengar nyaring di telinganya.
"Aku masih sedikit takut dengan suara itu,"
Aurel memberhentikan ucapannya, ia menarik nafasnya untuk melanjutkannya lagi.
"Alex, kenapa sih mama sama papa selalu saja berantem? Apa gara-gara aku, ya? Mama selalu saja pergi meninggalkan aku dengan Papa sendirian," lanjut Aurel, dadanya sesak ketika mengucapkan hal itu.
Padahal Aurel tidak minta banyak, ia hanya mau Carramel memperlakukannya selayaknya seorang ibu kepada anaknya. Padahal itu adalah hal biasa yang semua orang lakukan, tetapi justru Aurel tidak mendapatkannya.
Hanya Mario yang peduli dengan Aurel, tetapi Aurel tetap bersyukur setidaknya ia bisa mendapatkan kasih sayang dari Mario.
"Tidak, papa Mario sangat menyayangimu. Jangan katakan itu lagi, nanti papa bisa sedih." jawab Alex.
Alex tidak mau Aurel bersedih, ia mau Aurel bahagia dan tersenyum ceria seperti biasanya. Ia sangat menyayangi Aurel.
Alex akan mencoba membuat Aurel lupa akan kesedihannya, meski hanya sebentar. Setidaknya ia bisa melihat Aurel tersenyum lagi.
Hanya kepadanya Aurel bisa cerita leluasa bebas. Karena sejauh ini hanya Alex teman yang sangat dekat dengan Aurel. Aurel bahkan tidak mempunyai teman karena sikap posesif papanya, Mario tidak mau putrinya terluka.
"Jika mereka menyayangiku, kenapa mereka tidak melakukan keinginanku? Mereka lebih mementingkan ego mereka sendiri daripada aku!"
"Aku cuma ingin merasakan bahagianya disayang oleh mama dan papa. Tetapi, aku hanya mendapatkannya dari papa. Kenapa mama begitu tega denganku?!"
Aurel berbicara dengan Alex sambil berteriak, ia menangis meraung-raung. Melampiaskan segala emosi yang berada di relung hatinya.
Aurel marah, kesal dan sedih. Ketiga perasaan itu bercampur aduk di dalam hatinya. Ia hanya bisa menangis agar perasaannya lega.
Alex membiarkan Aurel berteriak kepadanya, ia tahu Aurel sangat lelah dengan hidupnya. Tidak ada hal yang bisa Alex lakukan untuk menenangkan Aurel.
"Aurel, aku ke rumahmu, ya? Dengan begitu kamu bisa tenang dan tidak ketakutan lagi,"
Mata Alex menatap Aurel dengan sendu. Alex sedih melihat kondisi perempuan yang ia sayangi seperti ini, ingin sekali Alex merengkuh tubuh yang rapuh itu.
"Tidak. Aku tidak mengizinkan kamu kesini. Di rumah mama dan papa sedang bertengkar, bagaimana bisa kamu kesini? Ah sudahlah, aku matikan ya." pamit Aurel, ia ingin menenangkan diri agar tidak terlalu panik. Lagi pula, suara pecahan dan lemparan barang tadi sudah menghilang.
"Istirahatlah, Aurel. Jika ada apa-apa, hubungi saja aku." jawab Alex. Sebenarnya ia tidak ingin Aurel mematikan teleponnya, ia ingin melihat Aurel tertidur lalu ia yang mematikan teleponnya.
Namun, biarkan saja. Mungkin Aurel ingin beristirahat, itu jauh lebih baik dibandingkan Alex melihat Aurel menangis histeris. Itu hanya akan membuat hatinya tercabik-cabik.
Mendengar ucapan Alex, Aurel menganggukkan kepalanya. Ia mematikan sambungan telepon mereka. Aurel menatap ke arah pintu kamarnya itu, ia berharap suara itu tidak akan ada lagi hingga ia bisa tertidur dengan nyenyak.
Aurel mulai merebahkan tubuhnya di ranjang, ia memejamkan matanya sejenak. Semoga saja, besok hidupnya akan lebih baik. Aurel sudah cukup lelah dengan masalah malam ini.
Di saat Aurel memejamkan matanya, bunyi hantaman sangat kuat terdengar di telinganya. Sontak Aurel langsung membuka matanya. Ia kira kedua orang tuanya sudah berhenti bertengkar, tetapi ternyata belum.
Aurel takut mendengar bunyi pecahan dan hantaman yang terkesan menyeramkan itu terdengar di telinganya. Badan Aurel bergetar hebat menandakan ia sedang berada dalam ketakutan.
"Aku takut," lirih Aurel. Ia memejamkan matanya ketika mendengar suara itu, seakan-akan jika ia membuka matanya pecahan dan hantaman itu akan menuju ke dirinya sendiri. Di saat seperti inilah ia butuh seseorang untuk bersandar dan menghapus semua rasa takutnya.
“Papa, aku takut, pa.” gumam Aurel menelungkupkan kepalanya di kakinya. Biasanya Mario akan datang kepadanya dan memeluknya memberikan kehangatan ketika Aurel sedang takut. Tetapi ini tidak, justru Mario dan Carramel yang membuat Aurel ketakutan.
Aurel menatap ponselnya yang berada di sampingnya. Ia ingin menelepon Alex, tetapi bagaimana jika Alex sudah tertidur? Walaupun cowok itu berbicara ia harus menelepon Alex ketika ada apa-apa, tetap saja Aurel tidak enak hati. Alex tidak akan beristirahat jika ia meneleponnya, lebih baik untuk malam ini biarkan Aurel menenangkan dirinya sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!