"Kakek!!!" seperti bocah, pemuda itu berlari kecil menyongsong tubuh renta sang Kakek, Kyai Bahi. Meletakan kitab kuning di atas meja kecil, bergegas Kyai Bahi mendatangi sang cucu kesayangan. Sejatinya rindu di dada tak kalah besar dari pada rindu sang cucu.
Mencium punggung tangan sang Kakek, kemudian sang kakek mencium tangan sang cucu dan mencium pipinya. Mereka bukanlah Kakek dan cucu kandung, namun ikatan itu begitu kokoh.
"Gimana kabar Kakek" merangkul pundak pria tua itu seraya berjalan memasuki kediaman sang Kakek.
"Kakek baik. Hanya saja ada sedikit ngilu di sini" ujarnya memegangi letak segumpal darah, yang di sebut kalbu.
Enda, pemuda itu seketika terlihat panik"Kok nggak bilang kalau Kakek sakit?. Ayo kita ke rumah sakit sekarang!."
Menepuk punggung tangan Enda"Ini bukan penyakit yang bisa di obati oleh dokter."
Mendengar hal itu, Enda semakin panik. Begitu parah kah sakit sang Kakek? sampai nggak bisa di tangani oleh dokter??.
"Jangan putus asa Kek. Kalau semua dokter di negara ini nggak bisa mengobati Kakek, Enda akan bawa Kakek ke luar negeri!!."
Kyai Bahi terkekeh. Memperlihatkan barisan giginya yang masih lengkap. Lengkap?. ya! di usia senja pun dia masih memiliki gigi yang lengkap. Selain rajin menggosok gigi, kebiasan memakai siwak sebelum melaksanakan sholat membuat giginya terjaga dengan baik. Bisa di bayangkan setampan apa pria tua ini saat masih muda, sebab keteduhan begitu terlihat di wajahnya, apalagi saat tersenyum dan tertawa, raut tampan masih tersisa di sana.
Tawa sang Kakek menyadarkan Enda, bahwa sedang di kerjai. Melirik Kyai Bahi dengan kedua mata memicing"Kakek bohong ya?. Ini hari senin, dan Enda yakin Kakek pasti puasa. Sudahlah, ambil minum ke dapur sana! karena berbohong puasa Kakek sudah batal."
Alih-alih marah, Kyai Bahi kembali terkekeh"Enak saja bilang Kakek bohong. Kakek beneran sakit di sini" kembali memegangi dada"Dada ini rasanya sesak."
Membawa sang Kakek untuk duduk di ruang tamu"Kalau itu bukan penyakit yang bisa di sembuhkan oleh dokter, berarti ini bukan penyakit biasa. Katakan, apa mau Kakek?" Enda mengerti, pasti ada sesuatu yang di inginkan sang Kakek darinya.
Kyai Bahi mengayun kedua tangan. Seperti sedang menggendong bayi. Oho!, Enda mengangkat kedua alis dengan bibir terkantup.
"Bagaimana??. Sudah ada calon buat kasih Kakek cicit?."
Menepuk keningnya"Astaghfirullah!!, Enda lupa!. Umma minta Enda ambilin daun jeruk di kebun santriwati. Enda izin ke sana sekarang ya Kek, takut kemalaman di kebun, entar Enda ketemu jin cewek. Ribet kan urusannya kalau jin cewek itu naksir Enda, secara Enda kan ganteng banget." Berdiri, hendak meninggalkan sang Kakek.
Surban yang mengalung di leher Enda, lekas di sambar Kyai Bahi"Daun jeruk di halaman belakang juga ada. Jangan cari-cari alasan untuk kabur dari Kakek!!."
Enda mengambil langkah mundur, dan kejadian ini di lihat oleh Santriwati yang kebagian tugas memasak hari ini. Sontak mereka tertawa kecil di ujung dapur.
"Bang Enda ada-ada aja. Paling suka bikin Kyai kesal" ujar seorang Santri.
"Jaga pandangan. Kita ke sini untuk memasak, bukan ngerjain sesuatu yang unfaedah."
Teguran itu sontak membuat semuanya kembali fokus bekerja. Ya! dialah Yasmin, seorang keamanan di asrama Santriwati. Orangnya cantik, baik hati dan tidak sombong. Tapi kalau itu bersangkutan dengan lain mahram, dia terkesan dingin.
"Cepat katakan. Sudah punya calon istri belum?. Kalau belum Kakek punya calon buat kamu." Tidak lagi berbasa-basi tentang dada yang sesak, kali ini Kyai Bahi langsung pada intinya.
Enda membenarkan surban yang tadi di tarik sang Kakek"Belum ada. Tapi Enda nggak mau di cariin calon."
"Kalau nggak mau di cariin calon, cari calon sendiri. Tapi harus yang baik, menutup aurat, baik agamanya."
"Nah itu dia Kek!. Enda juga belum ada niat buat nyari."
Lirikan tajam kini tertuju kepadanya. Tentu ini berasal dari sang Kakek"Usia kamu sudah cukup untuk menikah. Kamu punya usaha sendiri, pasti bisa menghidupi istri dan anak kamu kelak."
"Enda belum siap."
"Kapan? kapan kamu siap?. Nanti kalau sudah tumbuh jenggot??."
Mengusap dagunya perlahan"Kalau jenggot sih, udah tumbuh Kek. Karena selalu Enda cukur sebelum tumbuh lebat jadinya nggak kelihatan."
Awh!! selalu ada jawaban dari mulut sang cucu. Kyai Bahi menarik napas panjang"Kamu nggak sayang sama Kakek?."
Merangkul pundak sang Kakek lagi"Siapa bilang?. Enda sayang banget kok sama Kakek.
"Kalau sayang bawakan cucu menantu untuk Kakek."
Melepaskan rangkulan tangannya"Aduh Kek. Jangan Enda dong yang bawa cucu menantunya."
"Terus siapa lagi?. Mecca? Adik kamu masih SMA, mau di suruh nikah sekarang?."
Menunduk sembari memainkan jemarinya"Ya~~~kalau Mecca mau, Enda nggak keberatan kok di langkahi."
"Syailendra Putra Khairuddin~~~." Kembali menjaga jarak dari sang Kakek. Saat dia memanggil dengan nama panjang, itu berarti ada lonjakan emosi di dalam dada.
"Sabar Kek!. Sabar~~~. Kakek lagi puasa, orang puasa nggak boleh marah. Lagian sayang kalau batal sekarang, sudah lewat waktu Ashar, bentar lagi buka."
Mendengus, hanya itu yang bisa Kyai Bahi lakukan. Dia pun membuang pandangan dari Enda.
Kembali duduk namun di kursi lain, yang letaknya sedikit jauh dari sang Kakek"Cucu Kakek kan bukan cuman Enda sama Mecca. Masih ada Arjuna."
Arjuna, ya!. Benar juga. Arjuna juga seorang cucu baginya. Tapi, kalau itu Arjuna, dia nggak bisa meminta cucu menantu. Sebab pemuda itu memiliki keluarga sendiri. Sedangkan Enda, Umma nya adalah putri semata wayang Kyai Bahi.
"Dengar-dengar, Arjuna mau melamar seorang gadis."
"Di tolak" sahut Kyai Bahi.
Kedua mata Enda memelotot. Hah!! seorang Arjuna di tolak??.
"Kakek serius?."
"Kakek nggak suka ngibul kayak kamu." Enda terkekeh mendengar jawaban sang Kakek. Mungkin karena terlalu sering di goda olehnya, sehingga sang Kakek mengatakan Enda tukang kibul. Padahal Enda seorang pemuda yang setiap perkataannya dapat di pegang.
"Kenapa di tolak?."
"Juna nggak cerita sama kamu?."
"Sudah hampir seminggu kami nggak bertemu. Dia juga nggak ada cerita."
"Gadis itu sudah punya calon. Dia menolak lamaran Juna tanpa melihatnya terlebih dahulu."
Sungguh Enda nggak bisa menahan tawa. Sungguh malang nasib Arjuna, dia mendapat penolakan telak.
"Enda mau ledekin Juna dulu ah~~" ujarnya seraya mengeluarkan ponsel dari saku.
"Malah mau ngeledekin Juna. Calon mantu Kakek gimana?."
"Nanti Kek. Kalau jodoh nggak akan kemana. Kakek sabar ya, sandal jepit aja punya pasangan, masa Enda yang ganteng nggak punya pasangan!."
Ingin rasanya menjitak kening sang cucu, namun bocah itu gegas berjalan ke muara pintu.
"Enda mau ambil daun jeruk dulu. Nanti di cubit Umma kan bahaya." Berjalan memutari kediaman itu. Enda tau ada beberapa Santriwati di dapur kediaman sang Kakek. Rasanya nggak nyaman kalau harus melewati mereka yang sedang beraktivitas itu.
To be continued...
Selamat membaca jangan lupa like fav dan komennya ya.
Salam anak Borneo.
Subuh telah tiba, saat Adzan dikumandangkan sosok pemuda itu masih termenung. Sebuah penolakan, sungguh menyakitkan hati. Di mana banyak wanita tergila-gila padanya, gadis yang sempat digadang-gadang akan menjadi pasangan hidup justru menolaknya, bahkan tanpa melihatnya terlebih dahulu.
Foto sang gadis bersurai panjang nampak kumal dalam genggaman. Di saat pilihan itu dia serahkan kepada kedua orang tua, saat mendapatkan penolakan, bukan hanya hatinya yang kecewa, tapi Ayah dan Ibunda.
Tok..! tok...! tok...!, terdengar suara pintu diketuk.
Dengan malas dia bangkit dari tempat tidur.
"Ayo subuhan ke Mushola," ternyata itu sang Ayah, seperti kebiasaan dia selalu mengajaknya untuk sholat berjamaah.
"Ayah duluan saja. Juna mau ambil masker dulu."
"Ayah tunggu di depan, ya," Arjuna, sang putra hanya mengangguk samar.
Sudah beberapa hari mereka di tempat ini, kediaman nenek Adila. Sebuah desa kecil nan jauh dari perkotaan. Usai melaksanakan sholat subuh, Arjuna bersama sang Ayah berjalan menyusuri tepian kampung. Di sana masih banyak pepohonan, rumput nan hijau, dan bunga-bunga indah yang ditanam di halaman rumah warga. Sejak kecil Arjuna kerap menginap di kediaman meneknya saat libur sekolah. Dia sangat senang tinggal di sana, karena suasananya sangat berbeda dengan pesisir, tempat Ayah dan Ibunda tinggal.
Sang kakek memiliki banyak rumah kontrakan di tempat itu, dan sang nenek memilih pindah ke sana untuk mengelola bisnis rumah kontrakan tersebut. Sudah cukup baginya hidup mewah, sejak kelahiran Arjuna sang Nenek tak lagi gemar berpesta dan pamer berhiasan. Semua ada masanya, dan bagi Adila hidup sederhana di desa dengan gelar juragan kontrakan, rasanya sudah cukup dan nyaman dijalani saat hari tua.
Atas saran Adila, gadis itu dilirik keluarga Ahmad. Para orang tua sudah setuju, hanya saja sang gadis sudah memiliki kekasih. Begitu cinta dan sayang kepada sang kekasih, hingga lamaran Arjuna ditolak.
"Namanya bukan jodoh. Juna nggak bisa memaksa" ujarnya saat Agam menanyakan perasaannya usai ditolak.
"Tapi kamu jadi lebih pendiam."
"Itu perasaan Ayah saja" mempercepat langkah. Hari ini Arjuna berniat kembali ke kota, sebab pekerjaan di kantor sudah lama menantinya.
"Ayah ke kantor nggak?." Bertanya sedikit nyaring, sebab adanya jarak di antara mereka.
Sang Ayah mengatakan akan ke kantor. Maka Ayah dan anak itu berangkat ke perkotaan bersama. Sedangkan sang Ibunda masih tinggal di sana. Nanti sore usai pulang bekerja sang suami akan menjemputnya.
Tibalah waktu makan siang. Betapa terkejut Arjuna atas kedatangan Syailendra. Abang yang satu ini sangat gemar membuat jantung berdebar kencang. Dia datang hampir tanpa suara, beruntung Arjuna telah selesai minum sebelum Enda menepuk pundaknya.
"Ngapain Abang ke sini?. Abang nggak kerja sama dengan perusahaan Kakek kan?."
"Maksud kamu Abang jadi koki di sini?. Enggak dong. Abang hanya mampir, mau makan siang sama kamu."
"Aku sudah selesai" Arjuna menunjuk piring di hadapan. Dan piring itu memang telah kosong.
"Kok nggak nungguin?" kening Enda seketika berkerut.
"Abang nggak bilang dari awal kalau mau makan siang sama-sama. Ini bukan salah Arjuna ya."
"Ya sudah, temani Abang makan."
"Oke! oke!. Tapi Bang, makanan di restoran Abang kan lebih enak. Kok malah ke sini?."
"Itu bukan restoran Abang!." Enda menekankan.
"Iya tau. Itu restoran punya Abi Khair. Tapi Abang kan CEOnya."
"Mana ada CEO pegang panci sama penggorengan. Aktif di dapur kotor pula" sahut Enda seraya memesan makanan.
Arjuna tersenyum kecil, seraya memasang maskernya"Ada, Abang contohnya."
Menarik masker dari wajah Juna"Nggak sesak memakai masker terus?" lain yang diucapkan Arjuna, lain pula yang dikatakan Enda.
"Enggak. Sudah kebiasaan."
"Kamu sangat tampan---."
"Abang lebih tampan" sambar Arjuna.
Terkekeh, itulah yang selalu terjadi saat dirinya kalah berdebat dengan Arjuna. Pemuda di hadapan Enda ini bukan tanpa sebab memakai masker. Saat kecil dia sempat mengalami kecelakaan, terjatuh saat mengejar layang-layang. Tentu yang mengajari mengejar layang-layang adalah Enda, saat mereka bertandang ke desa tempat tinggal Nenek Adila. Dagunya terluka dan harus dijahit. Malu karena luka itulah yang membuatnya selalu memakai masker.
Selain itu, ada sebab lain mengapa dia selalu memakai masker. Memiliki wajah tampan, hidung mancung dengan garis rahang yang menambah ketampanan seorang Arjuna, dia juga punya tahi lalat di bawah mata sebelah kanan, membuatnya sering menjadi pusat perhatian. Dirinya yang memiliki sifat seperti sang Ibunda, tak suka menjadi pusat perhatian merasa lebih nyaman saat memakai masker.
Berkacamata, dengan masker dan Topi, begitulah style Arjuna saat masih kuliah dahulu. Hingga sekarang pun style itu masih kerap menjadi pilihannya, dengan earphone di telinga Arjuna membentengi diri dari orang lain.
Selain para keluarga, dan rekan Ayah Ibunda, Arjuna tak punya banyak kawan. Seperti sekarang, dia hanya punya Enda. Enda lagi, Enda lagi. Saat susah ataupun senang, putra dari sahabat Ayah dan Ibunda inilah tempat berbagi. Arjuna yang pendiam, irit bicara, dan tak suka keramaian, sangat berbeda dengan Enda yang petakilan, usil dan selalu ceria. Meski begitu, Arjuna bisa menjadi banyak bicara kalau bersama Enda. Ya!, hanya Enda. Adik perempuan Enda yang bernama Mecca pun jarang berbincang banyak dengannya. Padahal Mecca selalu punya modal untuk mengajaknya mengobrol, dan Arjuna selalu punya kata yang membuat obrolan mereka buntu.
"Kamu ngelamar cewek kok nggak kasih tau."
Akh!! obrolan ini. Arjuna rasanya ingin pergi jauh saja. Itu baru rencana, dan sudah ditolak. Ada rasa kesal karena kabar itu sampai kepada Enda, yang artinya dirinya menjadi bahan omongan orang lain.
"Mana sih ceweknya?, abang mau tau. Secantik apa sih orangnya sampai berani nolak kamu."
Uluran tangan Enda ditepis Arjuna"Sudahlah Bang. Nggak usah bahas cewek lagi. Namanya bukan jodoh mau apa lagi."
"Abang mau lihat orangnya saja."
"Nggak boleh menatap wanita yang bukan mahram" ucap Arjuna melipat kedua tangan di dada.
"Ck!. Dasar cucu kyai, kalau ngomongin cewek suka bawa-bawa mahram."
"Kayak Abang bukan cucu kyai saja!" balas Arjuna membuat Enda tertawa. Mereka sedang membicarakan kyai Bahi, semoga tidak bersin-bersin ya orangnya di pondok pesantren sana.
"Ayo dong Jun, kasih tau ceweknya yang mana?."
"Udah kerja."
"Terus?."
"Terus apa?."
"Katanya kamu dikasih fotonya. Sini Abang lihat."
"Sudah Juna kembaliin" bohong. Nyatanya foto gadis itu nampak kumal di atas meja kerjanya, di kediaman Nenek Adila.
"Akh! Juna nggak asik!" ketus Enda.
"Sudah dari dulu kok nggak asik. Makanya yang mau temenan cuman Abang doang." Alih-alih memasang wajah sedih, saat mengatakan itu Arjuna nampak biasa-biasa saja.
To be continued...
Selamat membaca jangan lupa like fav dan komennya ya.
Salam anak Borneo.
Menjalani hari-hari bersama sang kekasih. Rasa bahagia semakin bertambah saat sang kekasih berniat melamarnya.
"Nak Arjuna pria yang baik. Baik rupa dan agamanya" ujar sang Ibu saat dirinya menolak lamaran lelaki lain, lelaki yang bahkan tidak dikenalnya.
"Ibu, Mas Randy juga baik. Dia selalu perhatian sama aku."
"Tapi nak----."
"Ibu, pokoknya aku nggak mau menikah dengan lelaki yang enggak aku kenal itu."
"Tapi dia mau langsung melamar, alih-alih hanya berpacaran denganmu" sang Ayah ikut bersuara.
Lamaran, menikah, gadis ini kerap ditodong tentang pernikahan oleh kedua orang tuanya. Sudah bertahun-tahun dirinya berpacaran dengan sorang pria, pria yang sangat baik menurutnya. Randy, dialah pria itu. Seorang anak tunggal dari keluarga kaya. Di usia muda dia sudah menjadi seorang CEO dari perusahaan yang berkembang di bidang produk digital.
Kasih sayang dan perhatian, kerap dia dapatkan dari seorang Randy. Selain Randy sendiri, kedua orang tua pemuda itu juga sangat menerima kehadiran dirinya. Meski hanya seorang pegawai di toko bunga, dan datang dari keluarga biasa, keluarga Randy tidak pernah memandang sebelah mata padanya.
Salwa Al-Adnan, itulah namanya. Seorang gadis cantik dengan rambut panjang nan indah. Memiliki tubuh tinggi dan langsing, juga berisi. Itulah salah satu alasan mengapa Randy sangat menyukai dirinya. Demi Salwa, apapun akan Randy berikan, termasuk membiayai sekolah sang calon adik ipar.
Ya, dengan Randy menopang kebutuhan sekolah putra bungsu mereka, kedua orang tua Salwa akhirnya tidak lagi mempermasalahkan perihal pernikahan yang tak kunjung datang itu.
Hanya mengelola kebun sawit milik sendiri, tak terlalu besar namun masih mampu untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Datangnya Randy tentu sangat membantu, dengan begitu beban di pundak dapat berkurang.
Bertandang ke kediaman Salwa, Randy akhirnya mengikat tali pertunangan. Desas-desus penolakan Salwa terhadap lamaran pria terdahulu sirna sudah. Terganti dengan desas-desus lamaran seorang pria kaya raya. Ya, begitulah tinggal di desa itu, apa yang terjadi kerap menjadi bahan perbincangan masyarakat di sana.
"Pernikahan akan dilaksanakan dalam tahun ini. Harinya sedang dibicarakan" ujar sang pembicara yang mewakili rombongan Randy malam itu.
Kembali menjalani keseharian sebagai pegawai di toko bunga, cincin pengikat itu telah tersemat di jari manis Salwa.
"Sayang, aku membelikan kamu dress, pakailah saat bekerja. Dress ini sangat cocok denganmu yang selalu di kelilingi bunga-bunga yang cantik. Kamu seperti dewi di antara para bunga" Randy memberikan dress indah dengan motif bunga-bunga.
"Terimakasih Sayang" ucap Salwa seraya mendaratkan ciuman di pipi Randy.
Bukan hanya kali ini, Randy kerap memberikan ini dan itu untuk Salwa. Dia sangat gemar mempercantik wanitanya. Kalau dipandang penampilan Salwa sangat modis. Dia memakai jam tangan mahal, tentu dari Randy. Tas bermerek yang juga dari Randy. Pakaian yang dibeli di butik, bukan pasar tepi jalan. Sampai alas kaki pun tak luput dari perhatian Randy. Gadis yang sangat feminim, selalu berdandan dan wangi.
Lantas bagaimana dengan isi dompet Salwa, tentu di isi dengan uang Randy juga.
Perihal uang di dompet, Salwa baru mengungkapkan hal ini saat Ayah dan Ibu mendesaknya untuk menikah. Juga di saat mereka menyesalkan lamaran pria lain yang ditolak Salwa. Kesal karena seolah disalahkan, Salwa pun mengungkapkan kebaikan Randy kepadanya. Hal ini terjadi sebelum Randy datang ke kediaman mereka, juga sebelum Randy melamar Salwa dan menanggung biaya sekolah Adik laki-laki Salwa.
Sore itu, Randy sedang ada pertemuan penting. Salwa yang sudah selesai bekerja memilih untuk pulang menaiki bus saja. Sudah lama dia tak menaiki angkutan umum itu, dan sebelumnya dia berbelanja dahulu di supermarket.
Dengan belanjaan yang banyak, Salwa menaiki bus. Bertepatan dengan jam pulang kantor, tentu bus dalam keadaan penuh, beruntung Salwa mendapatkan tempat duduk di sana.
Menunggu giliran turun seraya memainkan ponsel mahal dengan merek apel tergigit, tanpa disadari ada seseorang yang memerhatikannya.
45 menit waktu yang ditempuh. Tepat di depan halte pemberhentian Salwa turun. Sedikit berjalan maka dia akan memasuki desa tempat tinggalnya. Jalanan cukup ramai, meski terletak jauh dari pusat kota. Saat malam hari pun Salwa merasa aman bepergian sendirian, karena daerah itu sudah sangat ramai.
Di sisi lain, Syailendra baru keluar dari jalan pedesaan. Dirinya mengantarkan Arjuna pulang ke kediaman Nenek Adila karena saat berangkat Arjuna menumpang mobil sang Ayah.
"Tolong!!! copet!!" seorang wanita berteriak di jalan menuju desa yang bersebelahan dengan desa tempat tinggal Nenek Adila.
Atas dasar rasa kemanusiaan, Enda yang suka menolong mempercepat laju kendaraan. Menghalau sang copet yang berlari tunggang langgang di kejar masa.
Buk!! sang copet terjatuh dan tas sang wanita terlempar ke tepi jalanan. Terpincang-pincang, copet itu berniat menaiki motor sang rekan yang sedari tadi ingin membawanya dari kejaran masa.
Tidak ingin melewatkan kesempatan emas, Enda lekas keluar dari mobil dan menarik si copet.
Cukup ahli dalam berkelit, si copet melayangkan tinju di wajah Enda. Akh! wajah tampan itu!!. Enda sangat khawatir wajah tampannya akan lecet. Mengaduh dan langsung didorong si copet Enda terjatuh ke sisi mobilnya.
Bertepatan dengan naiknya copet itu ke motor rekannya, rombongan masa yang mengejar pun sampai di hadapan Enda.
"Mas!!. Mas berdarah!!" pekik gadis itu, yang tak lain adalah Salwa.
"Wah berani mengacau di sini. Kita harus lebih menjaga tempat ini" seru salah seorang dari masa yang ingin membantu Salwa.
"Ya!!. Penjahat seperti itu jangan sampai berkembang biak di daerah kita" sahut yang lainnya.
"Mas mari kami bantu" seorang bapak-bapak memapah Enda hendak membawanya ke sebuah warung tepi jalan, tak jauh dari tempat itu.
"Bantu saya masuk ke mobil saja pak, ada obat kok di dalam mobil saja."
Mereka pun membantu Enda masuk ke dalam mobil"Di mana kotak obatnya Mas!!" tanya Salwa dalam panik. Dia tak menghiraukan tas yang masih berantakan di tepi jalan. Juga belanjaan miliknya, yang sedari tadi dititipkan pada Ibu-ibu. Gemas dengan copet itu si Ibu-ibu juga ikut mengejar copet.
Mengambil kotak obat dengan meringis, Salwa lekas mengambil alih kotak obat dari tangan Enda"Biar saya bantu Mas."
Melihat sang korban berniat merawat sang pahlawan kesorean, masa pun bubar meninggalkan mereka.
"Neng, ini belanjaan Eneng" si Ibu tak lupa menyerahkan belanjaan Salwa sebelum pergi.
"Ini tas Eneng. Semua barangnya sudah saya masukan ke dalam. Silahkan diperiksa. Tapi ponselnya pecah Neng" seorang Ibu lain menyerahkan tas milik Salwa.
"Enggak apa-apa. Syukurlah masih kembali sama saya. Terimakasih Ibu-ibu atas bantuannya" tidak lupa Salwa mengucapkan terimakasih.
"Sama-sama Neng" dua Ibu-ibu itu pergi usai menyerahkan barang milik Salwa. Kini tinggal Salwa dan Enda di dalam mobil.
"Saya baik-baik saja."
"Tapi sudut bibir Mas berdarah."
"Hanya perih sedikit. Periksalah barang-barang kamu. Semoga nggak ada yang hilang" ujar Enda mengambil alih lagi kotak obat itu. Berduaan dengan seorang wanita di dalam mobil saja sudah membuatnya deg-degan. Bagaimana kalau gadis ini yang mengobatinya, dia takut terjerat perangkap setan.
"Alhamdulillah aman Mas" ujar Salwa usai memeriksa isi dalam tas.
"Kamu mau kemana?, mau saya panggilkan ojek?," alih-alih menawarkan diri untuk mengantar, Enda menawarkan ojek pada Salwa.
paham dengan hal itu, Salwa meminta di antar ke pangkalan ojek yang sempat dia lalui saat mengejar copet.
Hanya mundur sedikit, tugas Enda pun selesai. Setelah mengucapkan banyak terimakasih, akhirnya Salwa dan Enda berpisah.
To be continued...
Selamat membaca jangan lupa like fav dan komennya ya.
Salam anak Borneo.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!