“Kiss, Mommy, Daddy kiss mommy dong!” Jessica berteriak kegirangan setelah Frans dan Merry resmi menikah. Gadis kecil berusia enam tahun itu kini bisa mempunyai orang tua yang lengkap.
“Kamu senang sekarang?” tanya Simon, saudara sepupunya.
“Tentu saja senang. Mommy Merry dan Daddy Frans saling mencintai, mereka sudah lama berpacaran, keputusan yang tepat untuk menikah sekarang.”
Jessica memang bukan anak kandung Frans maupun Merry, dia hanya gadis kecil yang lahir dari ibu muda yang tak tahu arti mempunyai anak. Jessica diserahkan ke dinas sosial beberapa jam setelah terlahir ke dunia.
“Jessica sini kita ambil foto keluarga.” Merry berteriak kepada Jessica yang masih mengagumi keduanya. Kini dia punya keluarga resmi.
“Jess, kamu dipanggil tante Merry, cepatlah kesana,” teriak Simon.
Dengan langkah lebar sambil menjinjing gaunnya, Jessica mendekati Merry dan Frans.
“Mommy, daddy congratulations!” Jessica memeluk Merry, Frans menggabungkan pelukan hingga ketiganya kini larut dalam pelukan bahagia.
Kilatan blitz kamera mengabadikan momen berharga keluarga baru Frans.
“Kamu happy, sayang?” Frans menyapa Jessica yang sedari tadi mengikuti prosesi pernikahan dengan khidmat. Tangisnya tadi nyaris pecah, tapi karena Simon terus cerewet mengajaknya bicara Jessica urung menumpahkan air mata bahagianya.
“Tentu saja Daddy, hari ini sejarah hidupku tercatat, aku punya keluarga yang lengkap.”
***
Sudah satu minggu Merry terbaring sakit. Karena kondisinya tak kunjung membaik, Frans membawanya ke rumah sakit. Selama Merry dirawat di rumah sakit, Jessica tinggal di rumah Lyla dan Lucky, orang tua Simon. Lucky adalah adik Frans. Mulanya Jessica tidak mau, tapi karena Merry mengingatkan anak itu untuk sekolah, jadi mau tidak mau Jessica menuruti ucapan Merry dengan wajah cemberut.
“Mommy akan pulang jika nanti sudah diperbolehkan oleh dokter, tapi untuk sekarang kamu tinggal dengan Mommy Lyla dan Daddy Lucky dulu. Tidak baik jika kamu bolos sekolah terlalu sering,” ucap Merry menasihati.
“Tapi, Mom, aku ingin di sini agar bisa menemani Mommy,” tawar Jessica.
“Mommy hanya di sini untuk dua hari saja, Honey.”
“Tapi, Mom ….”
Merry tersenyum sambil mengelus kepala Jessica. Dan kemudian gadis kecil itu menganggukkan kepalanya.
“Oke.”
Jadilah akhirnya Jessica tinggal di rumah Lyla dan Lucky. Meski agak sulit beradaptasi, tapi akhirnya dia mulai terbiasa karena Merry sering melakukan panggilan video dengan Jessica.
Lyla mengatkan kepada kak iparnya itu untuk tidak terlalu sibuk, apalagi Jessica saat ini sedang tumbuh remaja yang butuh perhatian ekstra. Dulu Merry tidak bekerja, baru setelah menikah, wanita itu memutuskan kembali bekerja di kantor.
“Kamu tahu, kadang saat bekerja memang ada sesuatu yang menyita waktu kita,” kata Merry.
“Tapi kamu mungkin bisa memikirkan untuk kembali fokus mengurus Jessica lagi. Dengan begitu pasti Jessica akan merasa senang.
“Ya, aku mengerti. Tapi aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan yang sudah aku mulai.”
“Kalau begitu, apa ke depannya kamu akan cukup sibuk sehingga akan sering menitipkan Jessica kepadaku dan Lucky?”
“Aku masih belum tahu tentang ini. Tapi bisa saja iya. Meski aku akan usahakan memberikan banyak waktuku untuk Jessica.”
Lyla tidak lagi memaksa. Merry sudah membuat keputusan, jadi dia berusaha mendukung apa pun keputusan wanita itu. Lagi pula Merry sangat menyayangi Jessica, jadi pasti jika mengambil keputusan pastilah wanita itu akan mempertimbangkan baik dan buruk untuk Jessica.
Sementara itu, di sekolahnya Jessica yang sedang termenung memikirkan mommy nya yang masih dirawat di rumah sakit pun langsung dihampiri oleh temannya.
“Jessica, kenapa kamu sedih seperti itu?” tanya Glen, teman sekelas Merry.
“Aku sedih karena mommy ku sedang sakit sehingga aku tidak bisa bertemu dengan dia,” jawab Jessica dengan tampang cemberut.
“Mommy mu sakit? Sakit apa?”
“Aku tidak tahu. Aku hanya tahu kepala Mommy sering pusing. Tapi sekarang sudah tidak lagi sih.”
“Kamu sudah menjenguk mommy mu?”
“Belum. Tapi mommy sering video call.”
Glen mengangguk. Lalu dia menyerahkan sebungkus coklat yang dibawanya kepada Jessica.
“Ini, katanya coklat bisa membuat mood mu bagus.”
Jessica menatap coklat di tangan Glen. Dia memang suka dan biasanya coklat bisa membuat mood nya jadi bagus. Kadang jika sedang sedih, mommy nya juga sering mengajak Jessica untuk membeli coklat atau es krim, meski mommy nya hanya membolehnya makan sedikit saja, tidak banyak-banyak.
“Kamu membawa berapa?” tanya Jessica sambil menatap wajah Glen.
“Aku bawa satu.”
Jessica pun menggelengkan kepalanya.
“Kalau begitu aku tidak mau.”
“Kenapa?” tanya Glen yang menggelengkan kepalanya, menatap bingung pada Jessica.
“Nanti kamu tidak bisa makan kalau kamu memberinya untukku.”
“Kamu tenang saja. Aku bisa membelinya nanti jika sudah pulang sekolah.”
“Tidak usah.”
“Sudah, tidak apa-apa. Ini.”
Glen pun menarik satu tangan Jessica dan meletakkan coklat yang dibawanya ke telapak tangan Jessica.
“Terima kasih,” ucap Jessica sambil tersenyum menerima coklat itu.
“Sama-sama,” jawab Glen yang membalas senyum Jessica.
Jessica pun membuka coklat itu dan membaginya jadi dua.
“Ini, satu untukmu, satu untukku. Biar kita bisa makan sama-sama.”
Glen menatap takjub kepada Jessica. Sejak awal dia memang menyukai Jessica, yang merupakan gadis pemalu di kelasnya. Tapi baru kali ini Glen berani mendekati Jessica, dan ternyata Jessica orang yang baik dan perhatian.
Dan begitu pulang sekolah, saat menunggu Lyla datang menjemput, Simon langsung bertanya kepada Jessica tentang siapa anak laki-laki yang bersama Jessica sewaktu istirahat tadi.
“Yang mana?” tanya Jessica.
“Yang makan coklat bersamamu itu.”
“Oh, itu Glen, temanku.”
“Kamu tidak boleh dekat-dekat dengan dia lagi.” Simon menatap Jessica dengan tatapan penuh peringatan.
“Memangnya kenapa?” Jessica balik bertanya.
“Tidak apa-apa. Aku hanya tidak suka saja. Sepertinya dia bukan anak baik.”
Jessica menyipitkan matanya. “Dari mana kamu tahu Glen bukan anak baik?”
“Pokoknya aku tahu saja.”
“Kamu tahu, menuduh orang itu tidak baik.”
“Aku tidak menuduh.”
“Tapi tadi kamu bilang—”
“Hy, anak-anak. Kalian sedang meributkan apa?” tanya Lyla yang baru datang.
Sejak berjalan menghampiri Jessica dan Simon, Lyla memang melihat kedua anaknya itu tampak bicara serius sekali. Dan ternyata begitu dia melangkah semakin dekat, dia mendengar kedua anaknya itu malah sedang berdebat cukup serius. Karena beberapa kali Lyla mendengar kata ‘menuduh’ ke luar dari mulut Jessica dan Simon.
“Simon mengatakan kalau temanku tidak baik, Mom,” adu Jessica.
“Memang temannya itu tidak baik!” bela Simon.
“Tidak, Glen itu baik!”
“Tidak baik kenapa?” tanya Lyla yang makin bingung karena anak-anaknya malah semakin sengitu saja.
“Glen tadi memberiku coklat karena melihat aku sedih sebab Mommy Merry belum juga sembuh. Dia berusaha menghiburku,” jelas Jessica.
“Dia bukan menghiburmu, Jessica. Dia itu sedang mencoba untuk mendekatimu. Semua teman laki-laki di kelasku begitu,” tukas Simon.
“Tapi dia kan temanku, bukan temanmu. Jadi Glen tidak sama.”
Lyla mengernyitkan kening setelah tahu akar masalah ini. Dari pertengkaran kedua anak itu, Lyla bisa menyimpulkan kalau saat ini ada anak laki-laki bernama Glen yang sedang mencoba mendekati Jessica. Tapi Simon merasa tidak suka dan akhirnya melarang Jessica berteman dengan Glen.
“Simon jelek, tukang marah-marah!” pekik Jessica .
Lyla tersenyum dalam hati. Sejak kecil Simon memang cukup posesif dengan saudara sepupunya ini. Tapi dia tidak menduga kalau hal seperti ini akan sampai terjadi. Di mana Simon tidak suka jika Jessica dekat-dekat dengan teman laki-lakinya.
“Simon, Mommy rasa itu tidak apa-apa. Lagi pula Jessica dan Glen hanya berteman,” ucap Lyla memberi pengertian.
“Iya, Mom. Aku dan Glen hanya berteman saja,” tambah Jessica membenarkan ucapan Lyla.
“Aku tidak mengatakan apa-apa soal hubungan Jessica dan Glen. Aku hanya mengingatkan Jessica untuk tidak dekat-dekat dengan anak itu saja,” ucap Simon membela diri.
“Tapi tadi kamu menuduh kalau Glen bukan anak baik-baik.”
“Ya, memang apa salahnya jika berjaga-jaga?”
“Itu bukan berjaga-jaga, Simon ….”
“Hy, come on, Guys. Kita hentikan perdekatan ini dan kembali ke rumah. Grandma bilang dia ingin mengajak kita jalan-jalan,” kata Lyla yang berusaha melerai pertengkaran mereka yang sepertinya tidak akan berakhir dengan cepat.
Simon masih memandang tajam ke arah Jessica.
Merry yang sudah ke luar dari rumah sakit dan menjemput Jessica di rumah Lucky dan Lyla jadi bingung karena melihat putrinya tampak bete. Tidak biasanya Jessica seperti itu.
“Kenapa dengan Jessica?” tanya Merry berbisik kepada Lyla.
“Dia sedang bertengkar dengan Simon,” jawab Lyla yang juga berbisik.
Merry membelalakkan mata, terkejut dengan fakta itu.
“Bertengkar? Kenapa?”
“Karena Simon melarang Jessica dekat dengan temannya.”
“Memang temannya kenapa?”
“Teman laki-laki Jessica yang bernama Glen memberikan Jessica coklat saat Jessica sedang sedih, dan Simon merasa tidak suka. Dia bilang Jessica untuk tidak dekat-dekat dengan temannya itu karena berpikir temannya itu tidak baik. Tapi Jessica tidak mau mendengarkan Simon, karena berpikir Simon terlalu berlebihan.”
“Lalu?”
“Lalu Simon marah kepada Jessica karena Jessica masih dekat dengan teman laki-lakinya itu.”
“Astaga ….”
Merry sampai sulit berkata-kata saking terkejutnya dengan berita ini. Sejak beberapa bulan terakhir Jessica dan Simon memang begitu dekat dan dari cerita-cerita Jessica, Simon selalu menjaga Jessica dengan baik. Namun Merry tidak menyangka kalau Simon memiliki sisi posesif seperti ini.
“Kamu tidak perlu terkejut. Simon memang sudah seperti itu sejak mereka balita. Simon paling tidak suka jika Jessica dekat dengan yang lain. Baik itu laki-laki atau perempuan,” ucap Lyla.
“Benarkah?”
Lyla mengangguk. “Mungkin karena Simon agak tertutup. Dia tidak begitu suka bergaul, jadi dia merasa kalau Jessica memiliki teman, nanti Jessica tidak akan punya waktu lagi untuk bermain dengannya.”
“Oh …. Ternyata begitu.”
Merry mengangguk-anggukkan kepala. Dia bisa memahami bagaimana perasaan Simon ini.
Lalu Merry menghampiri putrinya yang sedang duduk sambil bermain dengan mainan masak-masakannya, matanya sesekali melirik ke arah kamar Simon yang pintunya tidak tertutup rapat. Dan saat Merry perhatikan, tidak hanya Jessica yang mencuri pandang ke arah Simon. Begitu juga sebaliknya. Simon akan melirik Jessica saat Jessica melanjutkan mainan.
‘Ah, sepertinya mereka ini hanya gengsi untuk kembali main bersama,’ batin Merry yang geleng-geleng kepala melihat tingkat kedua bocah itu.
“Kamu kenapa?” tanya Merry kepada Jessica.
“Aku bosan di sini, Mom. Aku ingin pulang saja. Di sini aku tidak punya teman main, selain dengan Mommy Lyla dan Daddy Lucky, kadang dengan Uncle Alex dan Grandma,” ucap Jessica yang sengaja sekali mengeraskan suaranya agar Simon mendengarnya.
Dan benar saja, Simon yang sepertinya mendengar apa yang diucapkan Jessica langsung menoleh dan menatap saudara sepupunya itu. Namun begitu Simon tetap tidak meninggalkan kamarnya dan masih melanjutkan aktivitas membaca bukunya.
“Apa kamu ingin pulang sekarang?” tanya Merry.
Jessica pun langsung menganggukkan kepala dengan cepat.
Akhirnya, Jessica pun pulang bersama dengan Merry ke rumah Merry dan Frans. Sebelum pergi keduanya berpamitan kepada Lyla. Tapi tidak dengan Simon. Anak laki-laki itu sepertinya memang tidak ingin ke luar dari kamar untuk sekedar mengantar Jessica pergi.
“Aku yakin cepat atau lambat mereka akan baikan. Ini sudah bisa untuk anak-anak,” kata Merry yang tersenyum meyakinkan Lyla.
“Iya. Pasti nanti Simon akan mendekati Jessica lagi, atau sebaliknya. Mereka sudah bisa bersama, jadi kalau saling diam-diaman terlalu lama pasti akan capek juga,” jawab Lyla.
Setelah berpamitan dengan Lyla, Merry pun membawa Jessica pulang. Tapi selama di perjalanan Jessica terus menekuk wajahnya. Dia kelihatan lebih kesal dan bad mood dari sebelumnya. Dan saat sampai di rumah, langsung saja Jessica menumpahkan keluhannya tentang sikap Simon yang dia anggap terlalu kanak-kanak.
“Kalian kan masih anak-anak,” ucap Merry menanggapi cerita Jessica.
“Iya sih, Mom. Tapi Simon itu biasanya tidak begitu!” seru Jessica.
“Kamu tidak boleh memaksa Simon untuk selalu seperti yang kamu mau.”
“Tapi Simon duluan yang memaksaku untuk tidak dekat-dekat dengan teman-temanku. Dia bahkan tidak mau bicara denganku hanya karena aku masih main dengan Glen dan yang lainnya.”
Merry mengusap kepala Jessica dengan penuh kelembutan.
“Tapi apa kamu sudah berusaha untuk bicara dengan Simon? Siapa tahu Simon ingin kamu mengajaknya bicara lebih dulu.”
Jessica tak langsung menjawab. Dia menggelengkan kepalanya.
“Belum Mom.”
“Nah, mungkin karena itu Simon tidak suka kamu dekat-dekat dengan temanmu.”
“Kenapa? Karena mereka tidak baik, seperti yang dikatakan Simon?”
Merry menggeleng. “Bukan. Tapi karena kamu menyapa Simon lagi. Padahal biasanya kamu suka mengganggu Simon jika sedang sibuk. Tapi sekarang kamu tidak mau bicara dengannya hanya karena Simon tidak menyapamu lebih dulu,” jelas Merry.
Jessica diam sebentar. Jika diingat-ingat lagi, memang selama ini selalu Jessica yang menyapa Simon duluan. Simon lebih banyak diam, paling baru dua bulan belakangan ini Simon sering menegurnya duluan, itu pun karena berusaha membujuk Jessica untuk mau menginap di rumahnya. Selebihnya selalu Jessica yang berusaha mendekati kakak sepupunya itu.
Maka, besoknya ketika bertemu dengan Simon di sekolah, Jessica langsung menghampiri Simon.
“Simon …,” panggil Jessica ragu, karena takut jika Simon tidak akan menanggapi panggilannya.
Namun dugaan Jessica salah. Simon langsung menoleh.
“Ada apa?” tanya Simon dengan santai.
“Kenapa kamu tidak pernah bicara denganku lagi?” tanya Jessica langsung ke intinya.
“Karena kamu tidak mau bicara denganku. Kamu marah karena aku melarangmu untuk dekat dengan temanmu itu, jadi aku tidak berani untuk bicara denganmu. Aku takut jika kamu akan marah-marah nanti,” jelas Simon.
Jessica bernapas lega. Ternya apa yang mommy nya katakan memang benar. Jessica harus memulai obrolan lebih dulu karena memang Simon bukan tipe yang terbuka. Simon biasanya hanya mau bicara jika diajak bicara duluan.
“Aku pikir kamu yang marah karena tidak mau bicara denganku,” ucap Jessica dengan bibir dimanyunkan.
“Tidak. Kenapa aku harus marah?” tanya Simon balik. Dia tidak marah, dia hanya tidak suka Jessica berdekatan dengan kawan lainnya apalagi kawan laki-laki.
“Ya, karena aku dekat dengan Glen dan yang lainnya.”
“Itu hakmu. Tapi, aku peringatkan untuk hati-hati. Pokoknya jangan terlalu dekat.”
Jessica pun mengangguk. Merry sudah menyampaikan kepadanya kalau mungkin sikap Simon yang mendiamkannya itu adalah karena Simon khawatir Jessica melupakan Simon dan tidak mau bermain dengan Simon lagi karena sudah memiliki banyak teman baru dan sibuk dengan mereka.
“Oke, aku tidak akan terlalu dekat dengan mereka. Tapi, kamu bisa bicara denganku, jangan harus aku yang selalu menyapamu lebih dulu,” ucap Jessica.
“Baiklah.”
Simon senang karena Jessica kini sudah berbaikan lagi dengannya.
Simon dan Jessica sudah berbaikan lagi, hingga sekarang Merry dan Frans tidak perlu tawar menawar lagi dengan Jessica untuk meminta gadis kecil itu menginap di rumah Lyla dan Lucky jika mereka ada jadwal perjalanan bisnis, karena Jessica tidak menolak tanpa drama lagi. Gadis kecil itu sudah mengerti dengan kesibukan orang tua angkatnya itu.
“Mommy dan Daddy akan pergi ke luar kota besok sore. Kamu tidak apa-apa untuk tinggal dengan Mommy Lyla dan Daddy Lucky dulu?” tanya Merry dengan lembut.
Jessica mengangguk. Gadis kecil itu merasa sudah punya tempat di rumah Simon. Ia bisa bermain bersama Simon sepanjang hari.
“Berapa hari?”
“Satu minggu.”
“Hah, satu minggu?” tanya Jessica kaget.
Merry yang saat itu sedang mengemudikan mobilnya setelah menjemput Jessica di sekolah langsung menatap putrinya sejenak.
“Iya, satu minggu,” ulang Merry.
“Kok lama sekali sih, Mom?”
“Ada proyek di Bali yang harus dipantau, Honey.”
Jessica pun menganggukkan kepala tanda dia mengerti.
“Mom ...,” panggil Jessica yang tampak duduk begitu lemas di jok samping Merry.
“Kenapa, Honey?” tanya Merry.
“Mommy sampai kapan kerjanya? Apa tidak bisa berhenti saja?”
“Kenapa memangnya, Honey?”
Jessica menatap tas ranselnya yang bergambar Little Pony nya berwarna putih dan berambut ungu. Dia kelihatan begitu galau sehingga Merry kembali mengulangi pertanyaannya.
“Apa ada, Jessica?” tanya Merry lagi.
“Aku kesepian, Mom. Selama Mommy kerja, Mommy jadi kurang waktu untukku. Mommy sering pergi dan telat menjemputku. Bahkan Mommy juga kadang tidak sempat menjemputku dan meminta aku untuk pulang dengan Mommy Lyla,” tutur Jessica akhirnya.
Merry menghembuskan napasnya lalu mengusap lembut rambut panjang Jessica.
“Maaf ya, Honey. Mommy belum bisa berhenti, karena memang ada beberapa hal yang perlu mommy urus.”
“Tapi Mommy semakin hari semakin sibuk. Aku jadi tidak ada teman main.”
“Kan ada Sandy juga Mommy Lyla yang bisa bermain denganmu,” ucap Merry mengingatkan.
“Memang ada, tapi tetap saja beda kalau tidak ada Mommy.”
Merry jadi merasa bersalah dengan Jessica. Dia tidak tega meninggalkan Jessica yang tampak begitu murung. Apa lagi setelah mendengarkan apa yang Jessica katakan kepadanya.
"Baik, Mommy akan coba usahakan untuk tidak terlalu sibuk. Bagaimana?" tanya Merry sambil melirik sekilas kepada Jessica.
"Mommy pasti bohong. Waktu itu Mommy pernah bilang begitu. Tapi yang ada Mommy malah tambah sibuk."
"Mommy bukan ingin sengaja sibuk, Honey. Mommy kan sudah menjelaskan tentang ini."
Jessica tak lagi menjawab ucapan Lyla. Gadis itu hanya menghembuskan napas berat dan terus menundukkan kepala. Jessica bahkan langsung ke luar begitu saja dari mobil ketika Merry selesai memarkirkan mobilnya. Dan tanpa membuka sepatu atau mencuci tangan, Jessica sudah langsung melangkah masuk ke kamarnya.
Merry menghela napas panjang-panjang. Dia tahu saat ini Jessica pasti kecewa kepadanya. Tapi Merry memang sudah setuju untuk menangani proyek di Bali dan tidak mungkin membatalkannya begitu saja dan mengalihkannya kepada yang lain.
Jessica tidak ke luar kamar sama sekali sampai tiba waktu makan malam. Frans yang kebingungan karena tidak mendapati putrinya berada di meja makan langsung bertanya kenapa Merry.
"Kenapa Jessica belum turun juga? Apa dia sakit?" tanya Frans.
"Tidak. Tapi dia bilang dia tidak mau makan, sudah kenyang," jawab Merry sambil menundukkan kepalanya.
"Kenyang? Apa tadi dia sudah makan makanan berat sebelum makan malam?"
"Belum."
"Lalu?"
Merry menggeleng lemas sebelum mengatakan. "Dia sepertinya tidak suka aku bekerja dan terlalu sibuk sampai-sampai kurang waktu untuk menemaninya. Dia bahkan sempat menanyakan kapan aku akam berhenti kerja."
Frans membolakan mata. Selama ini dia kira Jessica sudah cukup dekat dan nyaman dengan keluarga Lyla dan Lucky. Tapi ternyata Jessica masih merasa sulit berpisah dengan Merry. Padahal mereka masih tinggal satu atap, tapi Jessica sudah merasa kesepian karena Merry lumayan sibuk bekerja belakangan ini.
"Jadi, saat ini dia sedang demo dan tidak mau makan karena hal ini?" tanya Frans penasaran.
Merry menggendikkan bahunya. "Bisa jadi."
Frans menghela napas. "Apa karena ini kamu kelihatan kurang sehat? Saat ini bahkan wajahmu kelihatan pucat. Atau sebaiknya kamu batalkan jadwal kepergianmu besok, biar aku saja yang menghendlenya."
"Tidak, aku tidak apa-apa," jawab Merry.
"Baiklah, kalau begitu aku akan menemui Jessica dulu."
Akhirnya Frans pun bangkit dari kursinya dan melangkah ke kamar Jessica. Dia mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban dari Jessica sehingga Frans memutuskan untuk langsung masuk saja.
"Jessica, Daddy masuk ya, Honey," kata Frans sebelum masuk.
Begitu Frans membuka pintu, tampak olehnya Jessica yang berbaring di kasur dengan wajah yang dibenamkan ke bantal. Dari bahunya yang bergetar, Frans bisa menebak kalau Jessica saat ini tengah menangis.
"Ada apa, Honey? Kenapa kamu menangis? Apa yang membuatmu sedih?" tanya Frans.
Jessica menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa mengubah posisinya.
Frans berusaha sekali lagi untuk menanyakan putri kecilnya itu sampai akhirnya Jassy mau balik badan lalu duduk di hadapan Frans. Dia lalu menangis sambil memeluk Frans.
"Aku rindu Mommy," ungkap Jessica di sela tangisnya.
"Tapi Mommy kan saat ini Mommy ada di rumah," kata Frans.
"Bukan itu." Jessica menarik diri dan menatap daddy nya.
"Lalu bagaimana?"
"Aku rindu Mommy yang dulu. Yang tidak sibuk dan selalu ada waktu untukku. Sekarang Mommy sudah tidak begitu lagi," jelas Jessica.
Frans mengusap pipi Jessica yang basah dengan kedua jempolnya dan merangkum wajah gadis kecilnya itu dengan kedua telapak tangan.
"Kalau begitu, sebaiknya kamu menyampaikan ini kepada Mommy, Princess. Kalau kamu begini, nanti yang ada Mommy tidak mengerti dan malah sedih," ucap Frans.
Jessica menatap Frans dengan mata berkaca-kaca. Lalu dia menoleh ke arah pintu, di mana Merry berdiri sambil menatapnya dengan sedih. Rupanya Merry sudah berada di sana sejak tadi dan mendengarkan segala ucapan Jessica.
Merry langsung melangkah masuk dan memeluk putrinya itu. Dia meminta maaf karena telah membuat Jessica jadi merasa sedih.
"Maafkan Mommy, Honey," kata Merry sambil mengecup pucuk kelala Jessica berkali-kali.
Jessica mengangguk. "Aku juga minta maaf, Mom."
Setelah selesai membicarakan tentang hal ini, di mana Merry mengatakan akan meluangkan lebih banyak waktu lagi untuk Jessica dan mungkin mempertimbangkan akan berhenti bekerja dalam waktu dekat, mereka pun bersiap makan malam. Frans sendiri setuju-setuju saja jika memang Merry kembali untuk fokus menjadi seorang ibu rumah tangga. Atau Merry bisa mengerjakan pekerjaannya di rumah sehingga bisa meluangkan waktu lebih banyak dengan Jessica nantinya.
Namun, saat mereka sedang makan, tiba-tiba Merry merasa perutnya bergejolak. Rasa mual membuatnya segera berlari meninggalkan meja dan menuju wastafel. Wanita itu berusaha memuntahkan sesuatu yang berusaha mendesak ke luar.
Frans dan Jessica yang melihat itu pun juga langsung menyusul Merry karena khawatir.
“Daddy, kenapa dengan Mommy?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!