SEBELUM MEMBACA NOVEL INI, DISARANKAN MEMBACA "THEY CALL ME, MACBETH" TERLEBIH DAHULU, AGAR PAHAM JALAN CERITANYA 🙏
Evangeline Hemachandra, seorang gadis cantik yang digelimangi oleh harta dan kasih kadang dari ayahnya, yang begitu memanjakan sang putri.
...Evangeline Hemachandra...
Semua orang selalu merasa iri dengan apa yang didapatkan oleh gadis ini, dan selalu berharap bisa seberuntung dirinya.
Namun, tak ada yang pernah tahu nasib seseorang akan seperti apa.
Di hari ulang tahu iyang ke sembilan belas tahun, tepat saat sang ayah mengumumkan secara resmi bahwa Evangeline akan menjadi penerusnya, saat itulah bencana dimulai.
Malam itu, tak hanya kabar baik yang didapat, namun juga kabar yang sangat mengejutkan lainnya.
Sang ayah membuat pengumuman tentang pertunangannya dengan kepala pengawal keluarga Hemachandra, Ardiaz Danurendra, yang tak lain adalah adik dari Aaron Danurendra, pria yang selama ini dicintai oleh Evangeline.
...Ardiaz Danurendra...
Gadis itu menolak dan pergi dari pesta. Dia berjalan kesana kemari hingga akhirnya memilih pulang ke rumah.
Namun, kejutan tak sampai di situ. Sebuah kejadian tak terduga kembali terjadi. Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat sang ayah tertembak, dan telah terkapar bersimbah darah.
Di tempat kejadian hanya ada Ardiaz. Gadis itu pun berlari di tengah malam, diantara guyuran hujan lebat, bahkan tanpa alas kaki dan masih dengan gaun pesta sebelumnya.
Dia mencoba mencari perlindungan di tempat ibu asuhnya, Morita. Namun, anak buah Ardiaz dengan cepat menemukannya dan membawanya pergi dari rumah ibu asuh tersebut.
Gadis itu dibawa ke suatu tempat, dan dia dipaksa menandatangani surat nikah. Meski awalnya tak mau karena mengira Ardiaz telah membunuh ayahnya, akan tetapi dibawah ancaman sang kepala pengawal, akhirnya dia pun terpaksa menyetujuinya.
Evangeline kembali ke rumah, dengan semua pemberontakan yang dia coba lakukan. Dia masih belum bisa menerima bahwa kini dia telah menikah dengan orang jahat.
Hingga suatu ketika, Evangeline kabur dan berhasil menemukan Aaron. Namun, saat itu dia justru mengetahui sebuah kebenaran dibalik tertembaknya sang ayah.
Bukan Ardiaz pelakunya melainkan Aaron. Evangeline pun dengan hati hancur, kembali ke rumah sang ayah dan menyerah pada keadaan.
Dia menyesal karena sudah salah paham dengan sang suami.
Setelah semua kebenaran itu terungkapkan, Ardiaz membawanya menemui seseorang yang tengah terbaring koma.
Hemachandra rupanya belum mati. Dia koma setelah me dapatkan sebuah tembakan di dada kirinya, nyaris melukai jantung.
Beruntung saat itu, Ardiaz dan kepala pelayan rumah Hemachandra dengan sigap membawanya untuk mendapatkan pertolongan.
Evangeline menangis se jadinya, dia sangat bersyukur melihat sang ayah yang masih hidup, namun juga sedih karena kondisinya yang seperti ini.
Setelah Evangeline tahu semuanya, Ardiaz pun menyerahkan kembali semua kendali atas bisnis keluarga Hemachandra kepada putri semata wayangnya itu.
Evangeline merasa keberatan, karena pengalamannya yang masih sangat kurang. Namun, gadis yang selalu bertikai dengan Ardiaz itu tak ingin terlihat payah di depan sang suami, sehingga dia pun menerima dengan angkuh.
Dia merasa tak ada salahnya mengambil semua tanggung jawab tersebut, karena Ardiaz pasti akan tetap membantunya, mengingat berapa dia patuh dan hormat kepada sang ayah.
Namun rupanya, pria itu memiliki rencananya sendiri. Dia berkata bahwa dirinya akan pergi ke suatu tempat yang tak bisa dia beritahukan kepada siapa pun.
Evangeline tiba-tiba merasa hampa saat mengetahui rencana kepergian Ardiaz. Ditambah, kemana dan untuk apa dia pergi, Ardiaz sama sekali tak mau memberitahukannya.
Saat itulah dia sadar, bahwa ada rasa aneh yang muncul dalam hati, yang seketika membuat dadanya sakit ketika harus berpisah dari pria tersebut.
Waktu berlalu begitu saja. Suatu hari, seorang dokter bernama Malcolm menemui Evangeline. Dia mengabarkan bahwa sang suami telah tewas dalam sebuah ledakan gudang.
...Malcolm Andara...
Kabar itu begitu mengejutkan untuk gadis itu. Dia selalu menangis setiap kali teringat akan kenangan bersama sang suami, yang bahkan tak ada kenangan indah di dalamnya.
Hatinya semakin sesak, saat menyadari bahwa dia begitu kehilangan sosok yang selama ini terus membuatnya kesal, sejak kehadiran Ardiaz dan sang kakak di rumah keluarganya, sepuluh tahun lalu.
Demi melupakan kesedihannya, Evangeline pun menyibukkan diri dengan bekerja. Dia tak punya siapa-siapa lagi sekarang. Sang ayah masih terbaring koma dan suaminya pergi, bahkan sekarang dikabarkan telah meninggal.
Dia tak peduli lagi dengan kondisi tubuhnya yang sangat lemah. Hingga beberapa kali dia kedapatan tak sadarkan diri karena malnutrisi dan juga dehidrasi parah.
Malcolm lah yang akhirnya merawat, dan selalu menemani Evangeline dimasa-masa sulit itu.
Dia iba melihat istri temannya itu terus menyiksa diri, hingga tanpa sadar muncul perasaan dalam hatinya terhadap gadis tersebut.
Ketika Evangeline berada di titik dimana dia tak bisa lagi bersikap tegar, gadis itu pun mengadu kepada ayah yang bahkan belum mau membuka matanya.
Sebuah keajaiban, sang ayah yang mendengar tangis pilu putrinya, akhirnya membuka mata untuk pertama kali semenjak kejadian malam itu.
Pemulihan sang ayah, sedikit membuatnya melupakan rasa kehilangan akan sang suami.
Hemachandra senang melihat sang putri telah tumbuh dewasa meski dipaksa keadaan. Dia pun bangga karena Evangeline sudah bisa diandalkan dalam menjalankan bisnis keluarga.
Namun, gadis itu justru mengembalikan semuanya kepada sang ayah. Rupanya, dia masih penasaran dengan kematian sang suami.
Dia curiga ada hal lain dibalik kematian Ardiaz, mengingat tempat dan bahkan mayatnya pun tak diberitahukan kepada pihak keluarga.
Akhirnya, dia mencari tahu semua hal dari petunjuk kecil yang diberikan Malcolm saat dokter tersebut menyampaikan kabar kematian Ardiaz.
Evangeline pun memutuskan untuk meninggalkan sang ayah demi mencari tahu kebenarannya.
Dia pergi ke ibu kota, dan menemui sahabat semasa sekolah menengah, Joy. Bersama gadis berambut pendek itu, Evangeline menyelidiki kejadian ledakan aneh di sisi timur kota yang bahkan tak masuk berita manapun.
Dia bekerjasama dengan klub mahasiswa Criminal Hunter, yang diketuai oleh seorang hacker jenius bernama Damian, yang memiliki kaitan dengan kelompok mafia besar, Lucifer.
...Damian...
Dari Damian, dia mengetahui sebuah kenyataan bahwa sang suami ternyata masih hidup. Namun, Damian mencoba mencari keuntungan dari Evangeline yang sangat ingin menemukan sang suami.
Evangeline geram dan memutuskan untuk mencari tahu sendiri tanpa bantuan Damian. Joy yang selalu ada bersamanya, menemani putri Hemachandra untuk menemukan suaminya.
Mereka mulai menemukan petunjuk demi petunjuk yang mengarahkan mereka kepada sebuah klub malam yang di ketuai oleh seorang pria tampan dan seksi bernama Mac duff atau yang Joy kenal dengan nama Mike.
...Mac duff / Mike / Delta...
Namun, saat dia sudah dekat dengan sang suami, Evangeline melihat sesuatu yang membuatnya kembali sakit hati, hingga dia memutuskan menganggap Ardiaz benar-benar sudah mati.
SEBELUM MEMBACA NOVEL INI, DISARANKAN MEMBACA "THEY CALL ME, MACBETH" TERLEBIH DAHULU, AGAR PAHAM JALAN CERITANYA 🙏
...SEBELUM MEMBACA NOVEL INI, DISARANKAN MEMBACA "THEY CALL ME, MACBETH" TERLEBIH DAHULU, AGAR PAHAM JALAN CERITANYA 🙏...
...❄❄❄❄❄...
Keesokan harinya setelah melihat kejadian tadi malam, Evangeline memutuskan untuk tidak pergi ke Merciful, karena matanya yang bengkak akibat menangis terlalu lama.
Ketua tim dimana dia ditempatkan pun hanya menerima ijin itu, dan menganggap bahwa ini adalah sebuah shock hari pertama, dimana ketika seorang pegawai baru tiba-tiba mendapat begitu banyak tugas di hari pertama kerjanya, dan membuatnya kelelahan hingga jatuh sakit.
“Kau benar-benar tidak apa? Sepertinya ini tidak sesederhana itu? Katakanlah ada apa sebenarnya, Eva? Jangan mengelabui ku dengan pocker face mu lagi,” ucap Joy.
Gadis itu kembali dibuat khawatir oleh sang sahabat, meski kali ini Evangeline berusaha untuk tak diam seperti orang gila.
Istri Ardiaz itu terlihat baru saja selesai mandi dan masuk ke dalam walk in closet, dengan handuk yang membungkus rambut basahnya.
“Aku benar-benar tidak apa-apa? Aku menangis semalam hanya ingin meluapkan semuanya sekaligus dan mengakhiri semuanya. itu saja."
"Bukankah aku harus terus hidup dan menerima kenyataan bahwa suami ku sudah mati,” jawab Evangeline.
Dia mengambil sebuah pakaian casual yang ada di dalam deretan koleksi lemarinya. sebuah dress biru muda bercorak floral, dengan kerutan di bagian pinggang menjadi pilihannya.
Sementara Joy terus memperhatikan sahabatnya itu dari dalam kamar.
Apa kau pikir aku akan percaya begitu saja? Yang benar saja, batinnya.
Dia tak lagi membicarakan hal itu. Menurut Joy, percuma jika harus mencari tahu dari Evangeline.
Setelah kedua gadis itu selesai bersiap, mereka pun pergi dengan mobil masing-masing. Joy berkata jika dia hendak pergi ke Universitas karena ada kuliah siang ini.
Sementara Evangeline, dia berkata akan ke kampus juga setelah pergi ke suatu tempat.
Putri tunggal Hemachandra itu meminta Joy untuk melajukan mobilnya lebih dulu di depan, dan temannya itu pun hanya menurut.
Namun, ketika di pertigaan lampu merah, Joy melaju lurus ke alamat kampusnya, sementara Evangeline berbelok mengambil jalur lain.
Hal itu dilihat jelas oleh Joy melalui kaca spionnya.
“Kau mau main kucing-kucingan lagi ya? Baiklah, akan ku tangkap kucing manja seperti mu. Lihat saja,” gumam Joy seraya memutar kemudi, berbalik arah dan kembali ke pertigaan dimana Evangeline menghilang.
Dia dengan hati-hati mengikuti mobil Evangeline dari jarak yang aman, dibantu oleh teropong andalannya, agar bisa melihat kemana arah istri Ardiaz itu pergi.
Nampak mobil sport yang dikemudikan oleh Evangeline berbelok ke sebuah mall besar di kawasan dekat kampus mereka.
“Apa dia se tertekan ini sampai ingin pergi berbelanja? Ini memang kebiasaannya, bukan? Ah... Tapi sebaiknya ku ikuti terus saja. Aku tak mau sampai kecolongan lagi seperti waktu itu. Dia sekarang sudah sangat pandai bersandiwara,” gumam Joy.
Karena pertemanan mereka yang sudah cukup lama, membuat Joy tahu setiap kebiasaan Evangeline.
Termasuk kegemarannya berbelanja, ketika berada dalam suasana hati yang tidak bagus.
Istri Ardiaz itu bisa kalap dan membeli setiap benda yang dia lihat tanpa berpikir apa kegunaannya.
Joy bahkan dibuat geleng kepala saat Evangeline memaksa membeli pakaian yang menempel pada sebuah patung, lengkap dengan patung-patungnya, hanya karena patung itu mirip dengan pria yang dia sukai, yang pada saat itu adalah Aaron, kakak kandung Ardiaz.
Kasih sayang ayahnya lah yang membuat Evangeline selalu berbuat seenaknya. Hemachandra tak pernah melarang apapun keinginan Evangeline, bahkan hal aneh sekalipun.
Akan tetapi, satu yang dia tekankan bahwa Evangeline tidak boleh bebas keluar masuk tempat hiburan malam. Hingga gadis itu benar-benar menjadi gadis manja yang polos, yang sangat payah dalam urusan minum-minum.
Kembali ke saat ini, Joy melihat Evangeline memarkirkan mobilnya di basemen, begitu pun Joy yang mengambil tempat parkir agak jauh, namun masih bisa memperhatikan sahabatnya.
Mall tersebut memiliki lift dengan dinding kaca tembus pandang, sehingga siapapun bisa melihat ke dalam dari luar, begitu pun sebaliknya.
Joy tak masuk bersama Evangeline, dan menggunakan teropongnya untuk melihat tombol berapa yang ditekan oleh gadis cantik itu.
“Lantai dua belas? Bukankah itu...,” ucap Joy terpotong.
Dia menoleh ke papan petunjuk lokasi gerai di mall tersebut. Dia melihat bahwa di lantai yang dituju oleh Evangeline, bukanlah tempat gerai pakaian atau benda-benda lain yang biasa dibeli Evangeline.
Lantai tersebut hanya berisi restoran sky lounge dan restoran shabu-shabu terkenal di kota ini.
Joy pun segera berlari ke arah lift dan menuju ke lantai yang sama dengan Evangeline.
Di sana, nampak beberapa orang berseliweran hendak makan siang di kedua resto ternama itu.
Kebanyakan diantara mereka adalah orang dari kalangan atas, yang mampu membeli satu set makanan porsi kecil, dengan harga yang bahkan bisa membeli satu unik skuter matic.
“Apa kebiasaannya sudah berubah? Bukan lagi belanja barang tapi belanja makanan?” gumam Joy pada diri sendiri.
Dia pun kembali melangkah dan mencoba mencari dimana keberadaan temannya itu. Dia melihat dari luar kaca restoran shabu-shabu, berusaha menemukan Evangeline, namun dia tak melihatnya juga.
“Apa dia masuk ke ruang VIP? Haruskah aku memeriksa satu persatu?” keluh Joy.
Dia tak mungkin memeriksa ruangan khusus itu, karena pasti pihak manajemen restoran akan memarahinya dan dianggap pengganggu.
Dia kembali melihat sekitar, namun tiba-tiba netranya melihat sosok yang dicari, tengah berdiri di dekat resepsionis sky lounge resto di ujung sana.
Joy pun segera berlari kecil ke arah itu dan benar saja, itu memang Evangeline.
Gadis tersebut berjalan dipandu oleh seorang pelayan ke sebuah meja.
Joy tak bisa melihat dengan jelas dari luar, hingga dia pun terpaksa harus masuk ke dalam.
Dia terlalu fokus pada Evangeline, hingga sapaan penerima tamu pun tak digubrisnya.
Joy bahkan langsung masuk dan mencari tempat duduk yang membuatnya bisa memantau Evangeline dari jauh.
Joy terlihat seperti seorang penguntit yang menyembunyikan wajahnya di balik buku menu, karena tak mau jika Evangeline sampai lihat keberadaannya di sana.
Gadis itu melihat jika Evangeline tengah duduk seorang diri di sana. Namun, ada gelas lain yang ada di seberangnya, pertanda bahwa dia tidak sendiri.
Ada seseorang yang tadi menunggunya di tempat itu, namun entah sekarang pergi kemana.
Tak berapa lama kemudian, Evangeline tiba-tiba berdiri dan tersenyum ke arah depan, membuat Joy pun mengikuti arah tatapan sahabatnya.
Nampak seorang pria tampan berjalan ke arah sang sahabat. Pria dengan kemeja warna putih gading dengan tatanan rambut yang rapi, nampak berjalan ke arah Evangeline.
Joy semakin membola, saat Evangeline dengan manjanya memeluk pria tersebut dengan begitu akrabnya.
Siapa pria itu? Aku seperti pernah melihatnya. Apa jangan-jangan... wahhhh... batin Joy.
Dia tengah menerka-nerka sendiri akan hubungan keduanya, bahkan dia sampai menutup mulutnya karena pikirannya itu.
Ditengah keterkejutannya, seorang pelayan menghampiri dan bermaksud menanyakan pesanan Joy.
“Permisi, Nona. Apa sudah siap untuk memesan?” tanya pelayan.
Joy terkejut dengan kedatangan pelayan tadi, sampai dia menghela nafas dalam setelah melihat pelayan itu.
Mendengar pertanyaan pelayan tadi, dia pun melihat ke buku menu yang ada di depannya.
Dia kembali membelalak saat melihat daftar harga makanan yang ada di sana.
Gawat. Uang saku ku bisa habis kalau aku sampai makan di sini, batin Joy.
Dia pun lalu melihat lagi lembar demi lembar, hingga dia melihat deretan menu minuman yang ada di sana.
“Ah... Aku pesan coffee latte saja satu. Terimakasih,” ucap Joy.
Pelayan itu terlihat mencatat pesanannya, dan mengulangi lagi lalu kemudian berbalik hendak pergi.
Tetiba, Joy mencegahnya karena terbersit sesuatu di pikiran.
“Ehm... Tunggu sebentar,” seru Joy.
Pelayan itu pun kembali berbalik.
“Apa ada yang Anda butuhkan lagi, Nona?” tanyanya ramah.
“Apa mungkin kau mengenal pria itu? Maaf, hanya saja sepertinya aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi... ah... maaf kan aku. Kau mana mengenalnya. Dasar aku saja yang bod*h,” ucap Joy menyanggah sendiri pertanyaannya.
Pelayan tadi pun menoleh, melihat ke arah yang ditunjuk oleh Joy.
“Oh... Maksud Anda pria itu? Dia adalah putra tunggal Tuan Andara, pemilik mall ini,” jawab si pelayan.
What? pekik Joy dalam hati dengan mata yang membola sempurna.
.
.
.
.
Mohon tinggalkan jejak berupa like 👍, komen 📝, atau beri dukungan lainnya
terimakasih.
Siang hari di sebuah apartemen mewah di kawasan pusat Kota Orchid, seorang pria terlihat masih terbaring di atas tempat tidurnya, dengan pakaian acak-acakan seperti sisa semalam.
Sepatu dan jasnya berserakan di bawah, dan bahkan sebelah kaus kaki masih menempel di tubuhnya.
Bau alkohol yang menyengat menyeruak dari tubuh pria tersebut.
Dia seolah masih enggan untuk bangun, meski matahari telah berada tepat di atas ubun-ubun. Apalagi tirai tebal di sana masih tertutup, dan menghalangi cahaya terik siang ini.
Namun tiba-tiba, sebuah ketukan keras terdengar dari luar kamarnya. Semakin lama, ketukan semakin terdengar begitu keras dan mengusik pria tadi.
Dia pun menggeliat karena terganggu dengan suara berisik dari luar.
“Apa yang Charlie lakukan?” gumamnya.
Dia masih sangat malas untuk bangun, terlebih kepalanya yang juga terasa sangat pusing.
Dia tak ingat jelas berapa banyak alkohol yang dia minum malam tadi. Tapi yang jelas, itu pasti jumlah yang sangat banyak mengingat dia yang tak mudah mabuk sampai tumbang.
Dia hanya mengingat, dia mengeluarkan semua koleksi alkohol dari lemarinya.
Ketukan berubah menjadi gedoran yang begitu kuat, hingga pintu hampir jebol dibuatnya.
Pria yang tak lain adalah Ardiaz itu pun lalu mencoba bersuara dengan keras agar rekannya yang diluar segera berhenti.
“Charlie, hentikan. Aku sudah bangun,” teriaknya.
Setelah mengatakannya, Jordan pun diam dan tak lagi menggedor pintu. Namun, suaranya berganti dengan garukan pada kayu.
Ardiaz tau dengan jelas kode itu. Jordan selalu kelakuannya setiap kali ada pesan penting yang datang.
“Kirimkan saja ke ponsel lama ku,” teriaknya lagi.
Dia berharap Jordan tak lagi mengganggunya, karena sudah berhasil menyampaikan pesan. Namun, suara itu terus terdengar yang menandakan bahwa perintah Ardiaz tak mungkin dilakukan.
Akhirnya, mau tak mau dengan kepala yang terasa berat dan hampir pecah, Ardiaz pun bangun dan membuka pintu.
Nampak rekannya sudah berdiri di depan kamarnya dengan Macbook di tangan.
...Jordan / Charlie...
“Apa ini surel?” tanya Ardiaz.
Tanpa menjawab, seperti biasa Jordan akan langsung mengutak atik layar dan menunjukkan sesuatu kepada Ardiaz.
“Baiklah. Aku pinjam dulu milikmu ini,” ucap Ardiaz.
Dia pun kembali masuk dan meletakkan MacBook tadi di atas ranjang, sementara dirinya berjalan ke arah kamar mandi.
Ardiaz mencoba menyegarkan diri dengan guyuran air dingin, mengingat dia harus segera memeriksa email yang masuk tadi.
Setelah selesai mandi, dia keluar dengan hanya mengenakan bathrobe dan berjalan ke arah tempat tidur.
Ardiaz meraih Macbook tadi dan turun ke bawah. Pria tersebut berbelok ke arah dapur dan mengambil sebuah botol kecil berisi minuman penghilang mabuk yang ada di dalam lemari pendingin.
Jakunnya naik turun meneguk semua isi botol tersebut, dan membuang wadah kosongnya ke tempat sampah.
Rasa mint dari minuman tadi terasa memenuhi seluruh rongga mulut Ardiaz. Dia kemudian mengambil air mineral dan membawanya ke arah ruang tengah.
Nampak begitu banyak botol kosong yang berserakan di sana, sisa masuknya semalam.
Meski dia bersikap tak acuh dengan perkataan Mac duff semalam, namun sejujurnya, Ardiaz pun merasa bersalah dan sakit hati melihat Evangeline yang pergi sambil menangis, saat melihat Alexa berdekatan dengannya.
Ardiaz duduk di sofa, bersandar dengan sebelah kaki yang bertopang pada kaki lainnya.
Matanya mulai fokus pada layar Macbook sementara jemarinya lincah menari di atasnya. Dia membuka satu bersatu file yang dikirimkan secara anonim kepada Jordan.
Tanpa harus mencari tahu, Ardiaz sudah bisa menebak siapa yang telah mengirimkan semua informasi tersebut.
File-file itu berisikan perjanjian kerjasama antara Merciful dan rekanannya. Semua nampak normal di awal.
Ardiaz pun sama sekali tak tertarik saat melihat semua berkas-berkas lama tersebut. Namun tiba-tiba, pupilnya melebar dengan alis yang hampir menyatu, saat matanya memperhatikan sebuah keanehan di dalam berkas yang saat itu dilihatnya.
Nampak di sana sebuah gambar benda antik, dan dibawahnya ditulis sumbangan lelang dari klien tersebut.
Benda tersebut tak lain adalah keramik dari jaman kuno yang memiliki nilai sejarah yang sangat mahal, dan Ardiaz pernah melihat benda tersebut di acara lelang Lucifer beberapa waktu lalu.
Dia pun kemudian mengulanginya lagi dari awal, dan meneliti setiap berkas yang ada. Ada beberapa berkas kerja sama yang memiliki benda sumbangan seperti tadi, ada pula yang tidak ada.
Ardiaz pun mulai menyimpulkan bahwa dokumen perjanjian bergambar adalah yang berkaitan dengan Lucifer, sedangkan yang tidak hanya berkaitan dengan Merciful.
Hingga tiba pada sebuah berkas perjanjian dengan nama klien yang membuat rasa penasaran Ardiaz semakin bertambah.
Perusahaan tersebut bergerak di bidang retail dan pariwisata, yang selama ini terus berusaha melebarkan sayapnya hingga ke pelosok negeri, bahkan ke mancanegara.
Satu-satunya perusahaan yang tak memiliki cabang di Kota Wisteria, Andara Corporation.
Jemarinya dengan hati-hati menggulir layar ke atas untuk melihat berkas di bawahnya. Berbeda dengan gerak jari, jantung Ardiaz kini berdegup begitu kencang.
Dia takut jika apa yang dikatakan oleh Joker sebelumnya benar, dan itu pasti akan membuat pertemuannya dengan Malcolm menjadi berbeda dari sebelumnya.
Di tengah kegamangannya, jemari Ardiaz berhenti tepat di salah satu halaman, dengan sebuah gambar kalung bermata biru yang sangat dia kenal.
Udara di sekitarnya seolah menghilang, hingga dia pun tak bisa bernafas. Bola matanya bergerak tak tentu, dengan tangan yang meremas pinggiran Macbook dengan kuat.
Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri kalung blue ocean milik sang ibu yang tewas dalam pembantaian berada di sana, dan tercantum sebagai sumbangan kepada Merciful.
Meski dalam perjanjian tersebut nama yang tercantum adalah Howard, namun jika ini menyangkut Lucifer, sudah pasti bahwa sang CEO pun ikut terlibat dan bisa saja justru dia lah dalangnya.
Sayangnya, Keterkejutan Ardiaz tidak selesai sampai di situ. Entah kenapa semuanya terjadi bersamaan.
Di saat dia baru saja menemukan sebuah fakta mengenai kebenaran di balik tragedi pembantaian keluarganya, sebuah pesan dari nomor Mac duff semakin membuatnya menggila.
Bos sky night itu tiba-tiba mengirimkan sebuah foto yang menampilkan sepasang pria dan wanita, tengah duduk berhadapan di sebuah restoran sky lounge.
Tidak. Tak akan ku biarkan kau jatuh ke tangan orang yang salah, batin Ardiaz.
.
.
.
.
Mohon tinggalkan jejak berupa like 👍, komen 📝, atau beri dukungan lainnya
terimakasih
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!