NovelToon NovelToon

PERSONA ALLEGRA

Bayi Mungil

Jauh dari keramaian kota, terdapat sebuah desa yang begitu asri di pandang mata. Angin berhembus semilir. Dedaunan terlihat menghijau, walau tak dipungkiri ada dedaunan yang mengering. Semua itu tidak mengurangi keindahan untuk menyegarkan mata memandang.

Pendapatan warga di sini rata-rata memang berasal dari alam. Ada yang sebagai pencari kayu bakar, ada sebagai pemecah batu alam, dan berladang.

Lalu, suatu hari ketika seorang warga berada di hutan mencari kayu bakar, terdengar suara bayi menangis. Tangisan bayi tersebut terdengar menggetarkan hati. Pilu, menyayat hati, seakan tahu dia dibuang begitu saja.

Odin si pemilik nama dari pencari kayu bakar tersebut mencari arah suara bayi tanpa rasa takut. Dia berputar dari tujuan semula, menerobos semak belukar di sampingnya.

Odin terus melangkahkan kaki mendekati suara yang semakin terdengar nyaring. Suasana hutan yang sepi membuat suara bayi tersebut terdengar lantang.

"Ooeek ... ooeeek ...." Suara bayi semakin terdengar dekat. Odin terus melangkah menerobos semak-semak dengan menyibakkan menggunakan parang panjangnya.

Dia akhirnya menemukan bayi tersebut. Bayi yang terbungkus dengan kain panjang usang. Beralas selimut tebal yang juga terlihat lusuh. Sungguh pemandangan menyedihkan di pagi hari. Ketika sisa-sisa embun masih menempel di rerumputan sekitar hutan tersebut.

Sejenak Odin menelisik lalu mengangkat bayi tersebut bersama selimut tebal untuk membungkus bayi tersebut. Udara pagi ini cukup dingin dirasa Odin.

"Cup ... cup sayang ...." Odin berusaha mendiamkan tangisan bayi yang masih terdengar. Merasakan hangat dari sebelumnya, bayi yang tadinya menangis tanpa membuka matanya, kini membuka kelopak matanya.

Tangisan bayi itu tidak sekeras tadi. Namun Odin hampir melepaskan gendongan pada bayi tersebut. Bola mata bayi itu berwarna kuning tembaga. Sepintas seperti mata harimau belang. Odin terkesiap, jantungnya berdegup kencang.

Odin hendak meletakkan kembali bayi tersebut ke atas rumput. Belum sampai kembali ke atas rerumputan saat pertama bayi tersebut ditemui, bayi tersebut kembali menangis keras.

Sesaat Odin dilema. Bayi tersebut kembali dipandang Odin. Memandang dengan dalam pada bola mata bayi itu. Odin seperti terhipnotis melihat tiba-tiba bayi tersebut berhenti menangis dan tersenyum, menandakan dia telah bisa melihat jelas lingkungan sekitarnya.

Namun, Odin tetap menurunkan bayi tersebut dari gendongan. Meletakkan hati-hati di atas rumput dan ikut berjongkok di depan bayi tersebut.

"Siapa kamu Nak?" Odin mencoba berinteraksi. Bayi itu kembali tersenyum dan menggerakkan bibirnya bersuara. Suara khas bayi, namun ini terdengar serak. Bisa jadi akibat dia telah lama menangis.

Odin terus menatap sambil berpikir, akankah ia membawa bayi tersebut dari hutan ini. Odin memutuskan untuk tidak melakukan tindakan membawa pulang.

"Maafkan aku Nak, aku tidak berani membawamu pulang." Odin berubah pikiran setelah melihat mata si bayi yang berbeda dari kebanyakan mata manusia biasa.

Odin lalu membungkuk dan membungkus tubuh bayi itu dengan selimut tebal yang sekaligus untuk alasnya. Odin. berdiri dan kemudian hendak berlalu pergi. Dia telah melangkah menjauhi bayi tersebut.

Kembali bayi tersebut menangis, seakan mengerti dia akan ditinggal sendirian. Odin tak sampai hati. Dia memutar tubuhnya dan kembali melangkah mendekati. Odin mengangkat bayi tersebut dan memeluk dalam gendongannya.

"Ayo kita pulang bayi cantik." Odin melihat senyum si bayi.

Hari ini, Odin memutuskan tidak melanjutkan mencari kayu bakar. Dia menelusuri jalan setapak dan kembali pulang ke desanya. Di tengah jalan, Odin berpapasan dengan beberapa warga desa lain yang tak dikenalnya.

Odin mengabaikan pandangan heran warga tersebut. Dia memeluk erat bayi tersebut dan sang bayi juga tak ingin menyusahkan orang yang telah menemukan dirinya. Bayi cantik itu hanya diam memandang mata Odin yang sesekali mengalihkan pandangannya dari jalan dan menatap mata bayi tersebut.

Tiba di desanya, tentu kehadiran Odin menuai perhatian dari tetangga-tetangga. Mereka bertanya banyak dan Odin menceritakan apa adanya.

Warga mengusulkan untuk tidak merawat bayi tersebut. Bola mata bayi itu membuat warga keberatan dia ada di desa itu.

"Sebaiknya panggil tetua desa." Saran tetangga Odin. Desa yang masih primitif itu tidak mempunyai struktur kepengurusan selain yang di sebut dengan tetua.

Seorang tetangga, akhirnya pergi dan memberikan kabar pada tetua desa. Tak lama, memanggil Odin untuk menghadap tetua desa dan membawa serta bayi tersebut.

Odin tak punya pilihan lain, mereka di sana sangat patuh pada perkataan tetua desa. Odin dan beberapa tetangga mengikuti ke rumah tetua desa. Rumah yang hanya dari kayu-kayu hutan dan pelepah-pelepah tanaman dan pepohonan hutan. Begitulah rumah-rumah penduduk di desa itu.

Mereka masih sangat primitif dari pola pikir. Sehingga tidak mengizinkan bayi yang dianggap mereka aneh. Mereka tidak mau sesuatu terjadi nantinya karena adanya bayi tersebut di perkampungan mereka. Alhasil Odin harus membawa bayi itu keluar dari desanya atau memberikan bayi tersebut ke desa lain.

Odin tak punya pilihan selain mengantarkan ke desa sebelah. Odin masih mempunyai ibu yang harus dia rawat. Untuk pergi membawa ibunya meninggalkan desa tak Mungin rasanya. Ibu Odin telah renta dan lumpuh.

"Maafkan aku Nak. Kamu dengar apa kata tetua, aku tak bisa menjagamu." Odin merasa bersalah pada bayi tersebut. Odin membelai lembut pipi bayi itu. Bayi itu menangis namun tidak berteriak seperti di hutan tadi. Hanya meneteskan air mata, seolah tahu ke mana jalan hidupnya.

Odin iba, dia mencium pipi bayi tersebut dan pamit pada ibunya untuk pergi ke desa sebelah. Odin menitipkan pesan pada tetangga sebelah untuk melihat ibunya jika dia terlambat pulang.

Tetua meminta agar bayi tersebut tidak sekalipun bermalam di desa mereka, oleh sebab itu Odin memutuskan secepatnya mengantarkan bayi tersebut dan Odin yakin dia tidak bisa pulang malam itu.

Beberapa langkah hendak meninggalkan rumah bayi tersebut merengek. Dia menangis kecil. Odin mengira bayi itu sedih, namun terdengar suara ibunya memanggil. Odin kembali dan bertanya, "Ada apa MA"

"Dia lapar dan haus, beri dia minum akar pohon yang manis. Beri dia buah hutan."

"Ya MA."

Odin melakukan apa perkataan ibunya baru setelah itu dia meninggalkan rumah dan desanya. Odin membawa bekal jika bayi itu kembali lapar dan haus.

Ketika Odin sampai di desa sebelah, Odin bertanya di mana dia bisa menitipkan bayi ini. ternyata, desa ini tak jauh berbeda dengan desanya. Melihat mata si bayi, mereka tidak bisa menerima.

Odin melanjutkan perjalanan dan menuju desa berikutnya, hari telah mulai senja. Odin berhenti di gubuk seperti ditunjukkan seorang warga desa tersebut. Gubuk itu sangat reyot namun bisa dijadikan tempat persinggahan sejenak.

"Malam ini kita tidur di sini saja," ujarnya seakan bayi itu bisa mengerti saja. Bayi itu sedang tertidur pulas. Dia tak memberi respon apapun. Dia menyesuaikan diri tanpa sadar dengan kondisinya dan tidak banyak bertingkah.

Odin beristirahat dan memakan bekalnya setelah meletakkan hati-hati bayi tersebut di balai bambu yang tidak kokoh lagi. Sekedar melepas lelah.

Matanya tak lepas memandang bayi tersebut, dia iba namun juga tak berdaya. Odin bersandar di dinding reyot dan meletakkan tangan di atas kepala bayi. Odin istirahat dan ikut terlelap.

Istirahatnya terganggu ketika sayup-sayup dia mendengar bayi tersebut menangis. Odin membuka matanya dan melihat kain bayi tersebut telah semakin basah. Entah sudah berapa kali bayi tersebut pipis di kain tersebut.

Odin membuka dan mengganti dengan kain yang dibekali ibunya. Menjemur kain basah tersebut ala kadarnya.

"Sabar sayang, semoga nasibmu menjadi lebih baik setelah ini," doanya sambil memberikan bayi tersebut minum. Ketika bayi tersebut tertidur, Odin juga melanjutkan tidurnya. Odin memutuskan akan melanjutkan perjalanan besok pagi saja.

***

Diserahkan

Sebelum fajar menyingsing, Odin telah bangun dan memutuskan melanjutkan perjalanan. Dia tidak tahu hambatan apa yang akan ditemui dan akan sampai di mana langkah kaki berlangsung. Berharap ada kebaikan untuk bayi tak berdosa ini.

Odin sekali lagi menatap dalam melihat wajah tak berdosa yang masih terlelap. Tak habis pikir siapa orang yang begitu tega membuang bayi tak bersalah. Odin menarik napas dalam-dalam. Hatinya terasa sesak. Dia mengambil botol minum berisikan air putih. Odin meneguk sedikit dan memasukkan kembali ke tas lusuhnya.

Perlahan dan penuh hati-hati, Odin mengangkat ke dalam pelukan. Dia memeluk bayi itu dalam cuaca masih dingin. Bayi kuat itu tak menangis dan masih terlelap. Dia hanya menggeliat kecil ketika Odin mengangkat ke dalam dekapannya.

Odin berjalan perlahan menyusuri jalanan sepi. Dia telah melewati jalanan yang tak ada perkampungan. Hanya semak dan pepohonan. Bayi mungil itu masih terlelap.

Odin telah memasuki sebuah desa. Dia melihat desa ini jauh berbeda dengan desanya. Rumah-rumah di sini tidak lagi beratap dedaunan.

Odin membuka selimut bayi ketika melihat bayi tersebut bergerak gelisah. Keringat muncul di kening bayi tersebut. Cuaca memang mulai sedikit panas.

Setelah bertanya sana-sini Odin menuju rumah yang ditunjukkan warga untuk menerima anak tersebut. Ternyata ada di desa tersebut sebuah keluarga yang telah lama ingin mengadopsi seorang bayi.

Betapa gembira hati Odin mendengar perkataan seorang warga desa tersebut. Odin merasa tenang meninggalkan bayi tersebut pada orang yang menginginkannya dan bisa kembali ke desanya. Odin gelisah memikirkan sang ibu yang sendirian. Selama ini Odin belum pernah meninggalkan ibunya.

Setelah mengetuk pintu, Odin dipersilahkan masuk. Odin menjelaskan dengan cepat dari dia mulai menemukan bayi tersebut hingga tetua desanya yang tak bisa menerima.

"Ohh begitu. Bisa saya melihat bayinya?" tanya wanita separuh baya tersebut mengulurkan tangan hendak menyambut bayi tersebut.

Odin dengan hati-hati menyerahkan bayi tersebut ke dalam pangkuan wanita tersebut. Wanita itu bersama suaminya membuka kain bedong sang bayi. Suasana panas dalam kain bedong di tambah terkena angin semilir membuat kulit bayi tersebut merespon. Bayi itu kembali menggeliat dan membuka mata. Bertepatan pandangan wanita dan lelaki itu.

Wanita dan lelaki itu terpana melihat bola mata sang bayi yang berkedip-kedip tanpa menangis. Odin sedikit gelisah melihat tatapan mata wanita dan lelaki tersebut. Odin takut bayi itu ditolak kembali.

"Ibu terkejut?" Pertanyaan Odin menyentak keterpanaan pasangan suami-istri tersebut. Mereka memandang Odin dan mengangguk terus-terang.

"Apakah Anda berdua berubah pikiran?" tanya Odin lebih lanjut dan perasaan was-was semakin kuat dirasakannya. Harapan Odin kian terasa pupus melihat pasangan tersebut saling pandang.

"Bagaimana Bu?" Odin kembali bertanya dan menginginkan jawaban wanita itu.

"Ya kami akan merawat dan menyayangi sebagai anak kami."

Odin menarik napas lega. "Syukurlah kalau begitu Bu. Saya menginginkan ada yang mau menerimanya."

Wanita itu hanya tersenyum pada Odin. "Kamu cantik sekali," ujar wanita tersebut mencium dan mencolek-colek pipi dan hidung bayi. Bayi itu juga senang, dia tertawa-tawa. Jari-jari mungil bayi tersebut berusaha menggapai wajah wanita tersebut. Pasangan suami-istri itu tentunya sangat bahagia.

"Baiklah, kami akan merawatnya menjadi anak kami." Suami wanita tersebut mengucapkan seperti kalimat istrinya tadi. Dia sangat bahagia melihat istrinya begitu bahagia.

"Sekali lagi terima kasih." Odin mengutarakan rasa senangnya.

Tanpa berlama-lama, dia pamit untuk kembali ke desanya. "Kalau begitu saya permisi."

"Tunggu sebentar." Wanita itu menyerahkan bayi tersebut pada suaminya dan berlalu dari sana. Tak lama dia kembali dengan sebuah tentengan di tangan.

"Bawalah makanan dan minuman ini untuk bekal di jalan."

Odin menerima dan mengangguk mengganti kata terima kasih. Suami-istri mengantarkan Odin sampai ke pintu depan. Odin melihat sekali lagi pada bayi tersebut dan berharap kebahagiaan untuknya.

Bayi tersebut kembali menangis ketika Odin melangkah kaki menjauh dari rumah tersebut. Odin berhenti dan menarik napas dalam-dalam. Wanita tersebut mengangguk, mengatakan bahwa akan baik-baik saja.

Setelah punggung Odin tidak lagi terlihat, wanita itu masuk dan suaminya menutup pintu dan menguncinya. Mereka berusaha mendiamkan tangis bayi tersebut dan berhasil.

Mereka membagi tugas, ketika istri memandikan bayi tersebut, sang suami pergi ke sebuah toko kecil membeli perlengkapan bayi.

Bayi itu diperkirakan berusia sebulan. Mereka menamai sang bayi dengan nama Meimei. Kini rumah mereka tidak terasa sunyi lagi. Pasangan yang telah berusia 48 tahunan itu masih terlihat berenergi melakukan aktivitas apapun.

Mereka telah menikah selama dua puluh lima tahun dan baru tergerak hatinya untuk mengangkat anak setelah berusia 45 tahun. Sayangnya mereka belum mendapatkan hingga bayi bermata kuning tembaga itu hadir.

"Bukankah dia terlihat cantik sekali?" tanya istrinya setelah bayi itu bersih. Kulitnya terlihat lebih segar dan mata indahnya mulai bergerak mengikuti arah tangan sang ibu angkatnya.

"Iya, dia tidak terlihat seperti warga di daerah sini. Siapa yang begitu tega membuang dia ke hutan," ujar sang suami.

"Siapapun itu, kita berterima kasih saja padanya. Dengan cara ini kita bisa memiliki seorang anak seperti keinginan kita." Sang istri menjawab dengan terdengar penuh egois. Sang suami hanya menggeleng dan tersenyum hangat.

Suami-istri itu juga bukan orang berada di desa tersebut. Mereka juga dari keluarga sederhana. Mereka mengandalkan hasil kebun untuk kehidupan sehari-hari. Tentunya mereka telah mempunyai persiapan untuk mengadopsi seorang anak.

Mereka memenuhi kebutuhan bayi tersebut dalam kesederhanaan. Bayi tersebut membawa keberuntungan untuk keluarga barunya.

Awal-awal hadirnya bayi tersebut di rumah pasangan suami-istri tersebut. Tetangga yang mengetahui datang silih berganti untuk melihat rupa anak angkat mereka. Tentunya ingin melihat bola mata bayi tersebut yang mulai didengar warga.

Kedatangan mereka tidak hanya tangan kosong. Mereka membawa buah tangan untuk keperluan bayi tersebut. Pasangan suami-istri tersebut terkenal ramah dan baik di lingkungan sekitar.

Suatu malam, "Pak, napasku sesak." Ibu angkat bayi tersebut mengeluh pada suaminya.

Suaminya lalu mengurut dan memberikan obat pada istrinya. Ini ketiga kalinya istrinya mengeluh sesak napas.

Jalan hidup bayi kecil itu masih harus diuji nasib. Sedang bahagia-bahagianya dia di sayang orang tua angkatnya, ibu angkatnya meninggal pagi harinya.

Tangisan bayi itu menjadi bumerang bagi ayah angkatnya yang sedang bersedih. Kematian mendadak istrinya dianggap kesialan bagi ayah angkatnya. Ayah angkatnya melemparkan kesalahan pada bayi yang tak tahu apa-apa.

Ayahnya tidak memperdulikan tangisan bayi berusia 9 bulan tersebut. Seorang tetangga merasa iba meminta agar bayi tersebut dititipkan di panti asuhan di sebuah pinggiran kota. Ayah angkatnya menyetujui.

Tanpa banyak membuang waktu, esok hari sang ayah angkat mengantarkan bayi tersebut tanpa perasaan bersalah. Lupa sudah kasih sayang selama beberapa bulan ini. Rasa sedih dan benci mengakar di hati dan pikiran.

***

Penderitaan Di Panti

"Dasar anak harimau!" Sambil berkata demikian seorang anak berusia delapan tahun mendorong anak bermata kuning tembaga. Dia tak lain dan tak bukan adalah bayi yang pernah dibuang di dalam hutan dulu. Kini bayi itu berusia delapan tahun.

"Aku bukan anak harimau!" teriaknya marah sambil menahan tangis akibat terhempas ke dinding kamar.

"Siapa bilang bukan. Kau memangsa ibu kandungmu!" entah siapa yang bercerita demikian sehingga anak yang masih polos bisa mengatakan kalimat kejam demikian.

"Aku bukan anak harimau!" teriaknya kembali. Gadis kecil itu masih terlihat tidak senang dengan tuduhan temannya.

Gadis bermata kuning tembaga tersebut tidak terima dan menangis. Dia selalu dibully oleh teman-temannya. Herannya, pengurus panti asuhan tidak pernah membela dirinya. Setiap perkelahian terjadi atau setiap dia menangis, hukuman justru jatuh padanya.

Keributan tersebut mengundang perhatian pengurus panti. Mereka sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Ada apa lagi!" Bentakan ditujukan pada Meimei kecil.

"Aku__" perkataan gadis kecil itu terpenggal karena pengurus panti langsung memotong pembicaraan.

"Kau pasti membuat ulah lagi!"

"Sini! Ikut denganku!" Pengurus panti menarik tangan kecil itu tanpa perasaan. Dia menyeret Meimei ke luar kamar lalu membawa ke gudang belakang panti.

"Kau tidur di sini untuk malam ini! Itu hukuman untuk anak selalu membuat ribut." Meimei kecil tidak membantah. Dia sudah sangat hapal tak ada gunanya.

Gadis kecil itu selalu dibiarkan lapar dan dikurung dengan alasan sebagai hukuman karena membuat keributan. Meimei hanya bisa meringkuk di sudut kamar gudang belakang panti.

Tangis Meimei kecil tidak ada yang mau peduli padanya. Ketika malam datang, kamar itu tak kunjung terbuka. Dalam kegelapan dan haus serta lapar, Meimei berusaha meraba dinding mencari saklar lampu.

Dia merayap memegang dinding juga sebagai penopang badan yang lemas. Dia tentu tidak akan bisa menjangkau saklar lampu seperti hari-hari sebelumnya. Badannya belum bisa mencapai tinggi saklar terletak.

Dia akhirnya merosot di pinggir dinding dan meringkuk kembali meredam perut yang sakit dan rasa takut akibat kegelapan. Meimei kecil tidak mengetahui apa-apa, tidak mengerti apapun. Sehingga dia tidak mengeluh tentang orang tua maupun keluarganya. Satu hal yang dia pahami sekarang dia merasa sangat lapar dan haus. Diapun jatuh tertidur.

Pagi hari, "Cepat bangun dan makanlah. Pemilik panti asuhan ini akan datang. Kau jangan coba mengadu apapun. paham!" Gadis itu mengangguk pelan.

"Jika kau berani, ibu akan mengusir kau dari sini!" gadis kecil itu menggeleng penuh ketakutan.

Perempuan itu meninggalkan gadis kecil tersebut dan gadis tersebut pergi menuju meja makan. Dia hanya melihat sepiring nasi putih. Lagi-lagi dia tidak diberi sayur dan lauk pauk.

Dia menarik kursi dan menatap nasi putih tersebut. Segelas air terlihat di meja makan. Dia meneguk habis air putih tersebut. Lalu mengambil sejumput nasi putih tersebut dan menyuap.

Hanya sesuap, lalu terdengar bunyi, "Praaaang ...." Dia membanting piring nasinya. Emosi gadis itu memuncak. Dia lupa jika dia bisa saja diusir.

Kegaduhan yang dia buat, langsung diredam pengelolaan panti. Dia tidak ingin pemilik panti melihat kekacauan ini. Gadis itu selamat dari amukan. Pengurus panti meminta dia untuk main di luar.

Dia pergi ke luar dan memilih ke halaman belakang. Di satu sudut halaman belakang ada batang pohon. Gadis itu memanjat dahan pohon dan memilih duduk dalam rimbunnya dedaunan.

Dia takut untuk kembali ke dalam panti. Dia tahu akan dihukum setelah acara di panti selesai. Gadis kecil itu termangu-mangu tanpa banyak tahu siapa dia dan apa yang terjadi padanya.

Dia hanya tahu, selalu menjadi bulan-bulanan teman dan pengurus panti. Tak punya teman, tak punya banyak pengetahuan. Dia melihat sebuah mobil berisi tumpukan jerami. Dia bahkan tidak tahu jika itu jerami, mengira itu rumput.

Gadis kecil itu begitu takut untuk kembali, dia merayap di sebuah dahan yang lebih besar. Mencari cara agak bisa tepat ditumpukkan jerami. Dia pindah ke dahan yang lebih kecil dan merayap mundur.

Meimei lalu bergelantung dan memilih melompat ke dalam tumpukan jerami tersebut. Dia bersembunyi hingga dia tertidur menahan lapar dan haus.

***

"Bangun!" terdengar suara berat membentak Meimei.

Gadis kecil itu tersentak dan memandang pria gendut yang tak lain supir jerami tadi. Dia merangkak dan hendak turun dari tumpukan jerami.

Lelaki yang terlihat galak ternyata tidak begitu adanya. Dia membantu Meimei turun dari tumpukan jerami.

"Terima kasih Paman," ujar Meimei takut-takut.

"Kamu kenapa bisa di sini!" tanya supir jerami tersebut masih dengan nada keras. Meimei terlihat bingung untuk menjelaskannya.

Melihat gadis kecil itu diam saja, supir jerami itu menilik gadis kecil bermata tembaga tersebut. Dia mengingat-ingat berhenti di mana saja. Ingatannya terkumpul dan hanya berhenti di balik tembok sebuah panti. Dia yakin di ladang jerami tadi tidak ada penumpang lain.

"Kamu anak panti asuhan?" tanya supir melembutkan suaranya. Dia tahu anak itu ketakutan. Meimei hanya mengangguk polos.

"Mengapa kamu di sini?" tanya supir jerami mencari tahu.

"Terjatuh dari pohon besar." Meimei masih menjawab dengan takut-takut.

"Mari paman antar," kata supir jerami berbaik hati. Namun Meimei menggeleng pelan.

"Aku tidak ingin lagi di sana." penuh kepolosan, Meimei menceritakan perlakuan tersebut pada lelaki itu.

Setelah mendengar cerita Meimei, lelaki itu berkata, "Paman tidak bisa mengadopsimu. Paman tidak punya keluarga."

Gadis itu tidak paham kata adopsi dia bertanya dan lelaki tersebut mengatakan, "Merawatmu."

"Baiklah Paman, aku akan pergi saja dari sini. Maukah Paman memberikan aku minum dan sedikit makanan? Aku haus dan lapar."

Mendengar perkataan yang lemah, lelaki itu membawa ke dalam rumah. Dia memberikan sepotong roti dan sebotol air putih. Hanya itu yang ia punya.

Gadis itu walau sangat lapar, dia makan dengan perlahan. Lelaki itu terus memperhatikan gerak-geriknya. Ketika gadis kecil tersebut telah menghabiskan minuman dan makanannya, dia bertanya, "Kamu punya keluarga?"

Lelaki itu hanya mendapatkan gelengan. "Lalu kamu mau ke mana?"

"Aku tidak tahu Paman, aku takut untuk kembali."

Lelaki tersebut tahu, tidak mungkin membiarkan gadis seusianya berkeliaran di dunia luar tanpa ada apapun dan pengawasan siapapun. Jalan terbaik baginya mengembalikan ke panti asuhan. walaupun keras tetapi lebih aman baginya.

"Sekarang kamu istirahat dulu, besok pagi paman antar kamu ke panti. Di sana aman untukmu." Meimei mengangguk dan mengikuti untuk beristirahat.

"Istirahatlah, paman akan melanjutkan kerja membongkar jerami. Kamu juga boleh berjalan di sekitar sini jika mau."

"Baik Paman."

Meimei masih termangu di kursi. Dia mengedarkan pandangan. Terbayang di pelupuk mata perlakuan teman dan pengurus panti. Meimei menggeleng cepat.

"Tidak, aku tidak mau kembali ke sana," gumamnya. "Mereka pasti akan memarahi dan menghukum aku lagi." Meimei masih berkata-kata dalam kebingungannya.

Meimei setuju, dia mengikuti lelaki tersebut keluar dan berjalan di sekitar gudang jerami tersebut. Lelaki itu begitu asyik melakukan pekerjaannya. Meimei menjauh menuju jalan setapak yang terlihat. Dia tidak berniat untuk dipulangkan ke panti.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!